Universitas Sumatera Utara
59
4.2. Analisis Data Tunggal
Analisis tabel tunggal atau disebut juga analisis satu variabel adalah analisis data yang bertujuan untuk menggambarkan karakteristik sampel
penelitian. Hasil dari analisis tabel tunggal ini dapat membantu peneliti untuk memahami dan menguasai masalah yang diteliti Singarimbun, 1995: 267. Proses
memperoleh data untuk tabel tunggal menggunakan program SPSS 13.0 dengan menggunakan perintah Analized – Descriptive Statistics – Frequencies dan
memindahkan semua butir pertanyaan yang sudah diinput pada lembar kerja SPSS. Berikut ditampilkan data umum responden dan hasil pengolahan data
penelitian ini.
4.2.1. Data Umum Responden Gambar 4.2.1.1 Usia responden
Responden penelitian berdasarkan temuan sebanyak 32 berusia lebih dari
50 tahun. Mereka yang dikirimkan dari Jepang
untuk bekerja di Indonesia
mewakili perusahaannya tentu merupakan orang berpengalaman dalam pekerjaannya,
dan biasanya yang dikirim untuk bekerja di luar negaranya pada sebuah perusahaan adalah orang yang sudah mengabdi
bertahun-tahun di perusahaan tersebut. Jumlah terbesar kedua adalah mereka yang berusia antara 30 – 39 tahun 28.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
60 Responden menetap di Indonesia untuk beberapa alasan yang lebih
beragam dibandingkan responden yang berusia lebih dari 50 tahun. Misalnya untuk menjadi penerjemah, belajar bahasa Indonesia dan untuk bekerja.
Gambar 4.2.1.2 Jenis kelamin responden
Diagram menunjukkan lebih dari setengah responden penelitian ini adalah
laki-laki 80. Jepang dalam dimensi nilai Hofstede masuk pada kategori negara
dengan budaya maskulin, yaitu satu budaya yang nilai dominannya terorientasi
pada laki-laki, termasuk untuk urusan kesuksesan karier. Artikel di situs liputan6.com menyebutkan jumlah penduduk
perempuan di Jepang jauh melampaui jumlah penduduk pria. Namun untuk posisi eksekutif pada perusahaan masih didominasi kaum pria, karena hanya 15
perusahaan di Jepang yang posisi eksekutif dijabat oleh wanita. Temuan ini sesuai dengan hasil wawancara singkat peneliti dengan salah
seorang staf Konsulat Jepang di Medan yang menyebutkan bahwa kebanyakan warga Jepang yang ada di Indonesia pria, karena yang bekerja pada perusahaan
besar dan menduduki posisi top management adalah pria. Pada saat peneliti menghadiri kegiatan Bon Odori pada bulan Maret 2013 di Fakultas Ilmu Budaya
USU pemandangan yang terlihat pun juga menunjukkan bahwa lebih banyak warga Jepang yang berjenis kelamin laki-laki yang hadir pada kegiatan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
61
Gambar 4.2.1.3 Status perkawinan responden
Responden penelitian ini sebanyak 68 sudah berkeluarga menikah. Data
ini berbanding
lurus dengan
data sebelumnya
tentang usia
responden. Menikah saat ini tidak menjadi pilihan
bagi warga Jepang yang berusia di atas 25 tahun, mereka lebih fokus mencapai
kesuksesan dalam karirnya. Budaya maskulin orang Jepang juga salah satu alasan bagi orang muda di
Jepang untuk tidak terburu-buru menikah. Menikah tidak menjadi target utama, bukan karena tidak menemukan pasangan yang tepat tapi mereka memang
memilih hidup sendiri untuk mencapai kesuksesan dalam karir. Keadaan ini juga dapat dikaitkan dengan dimensi nilai Individualism
budaya Jepang yang diajukan oleh Hofstede. Salah seorang responden menyebutkan, nilai individualism orang Jepang dapat dilihat dari kursi-kursi di
restoran yang tersedia. Ada banyak restoran yang menyediakan meja hanya dengan satu kursi. Hal ini baginya merupakan bentuk kebiasaan orang Jepang
yang memang senang menikmati suasana seorang diri saja. Selain itu, responden juga menyebutkan untuk sebagian orang Jepang membentuk keluarga di Jepang
harus dipikirkan dengan serius karena sifatnya jangka panjang. Biaya pendidikan atau kesehatan merupakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan saat berfikir untuk
menikah.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
62
Gambar 4.2.1.4 Lama responden menetap di Indonesia
Responden penelitian ini sebanyak 56 adalah warga Jepang yang menetap di
beberapa Kota Indonesia sekitar 1 – 12 bulan 1 tahun. Rata-rata responden yang
menjadi sampel penelitian ini sudah menetap di Indonesia minimal 2 bulan.
Satu hal yang menarik bagi peneliti adalah satu orang responden penelitian sudah tinggal di Medan selama 14.4 tahun.
Beliau menikah dengan warga Indonesia dan mempunyai seorang anak laki-laki yang berkuliah di Universitas Sumatera Utara. Beliau saat ini masih menjadi
pengajar bahasa Jepang di Fakultas Ilmu Budaya USU dan di STIB Harapan Medan meskipun usianya sudah 79 tahun. Beliau memilih menghabiskan masa tua
di Indonesia karena biaya hidup di Indonesia tidak mahal. Responden penelitian yang dapat diwawancarai peneliti menyebutkan
suasana di Indonesia sangat disukai oleh orang Jepang, mulai dari orang Indonesia yang ramah, kebudayaan yang beragam, cuacanya yang hangat, banyaknya tempat
wisata alam dan biaya hidup yang tidak mahal. Responden juga menyebutkan biaya hidup yang tidak mahal saat ini menjadi alasan utama untuk menetap di
Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
63
4.2.2. Variabel X1 Rasa Kecemasan Gambar 4.2.2.1 Senang mengetahui ada perkumpulan warga Jepang
di daerah yang ditempati
Secara umum orang Jepang adalah masyarakat yang lekat dengan budaya
kolektifnya. Hal ini tercermin dari 68 responden
setuju dengan
pernyataan merasa senang ada perkumpulan warga
Jepang di Kota yang ditempati. Responden
setuju dengan
pernyataan ini karena menurut mereka dengan adanya perkumpulan warga Jepang di Kota yang mereka tempati akan memudahkan mereka untuk mencari informasi
yang diperlukan terutama mengenai apa saja hal-hal yang perlu dihindari atau dilakukan saat berinteraksi dengan warga di Indonesia. Menurut salah satu
responden, perkumpulan warga ini juga membuat mereka yang sesekali merasakan rasa rindu dengan Kota asalnya akan terobati dengan hadir saat
pertemuan diadakan. Gudykunst 2003 menyebutkan kehadiran in-group sangat membantu
seseorang yang berada dalam lingkungan baru lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Responden menyatakan bahwa saat pertama sekali
sampai di Indonesia mengalami kejutan budaya. Melalui pertemuan dengan orang Jepang yang sudah lebih dulu tinggal di Indonesia membuat proses penyesuaian
budaya lebih cepat dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
64
Gambar 4.2.2.2 Khawatir pesan sulit diterima saat berinteraksi dengan warga Indonesia
Orang Jepang
yang menjadi
responden pada penelitian ini sebanyak 56 mempunyai kekhawatiran pesan yang
disampaikan saat berinteraksi dengan warga Indonesia akan sulit diterima atau
dipahami. Hal ini terjadi karena sebagian besar
orang Jepang
memang tidak
menguasai bahasa asing karena pendidikan bahasa asing tidak diajarkan sejak usia dini.
Dalam aksioma ke-36, Gudykunst menyebutkan bahwa bahasa dapat menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan sebagai halangan besar untuk
berkomunikasi dengan orang asing. Namun apabila seseorang mampu memahami cara berinteraksi yang baik meskipun tidak mempunyai kemampuan berbahasa
kecemasan dapat berkurang dan komunikasi efektif dapat tercapai.
Gambar 4.2.2.3 Senang terlibat di kegiatan yang diadakan orang Indonesia meskipun tidak mengerti bahasa Indonesia
Orang Jepang pada dasarnya suka hidup berkelompok. 84 responden
senang jika diundang untuk hadir pada sebuah kegiatan yang diselenggarakan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
65 orang Indonesia yang dikenalnya meskipun mereka tidak mengerti bahasa
Indonesia. Orang Jepang sangat tidak suka berada pada situasi ketidakpastian, karena
itu bagi mereka penting untuk mempelajari hal-hal baru yang timbul karena perbedaan budaya yang dapat memunculkan ketidakpastian saat berinteraksi.
Salah seorang responden menunjukkan rasa ingin tahu yang besar terhadap keseharian peneliti dengan meminta peneliti membawa responden berkunjung ke
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Hal ini bagi peneliti merupakan salah satu cara orang Jepang untuk memahami kebiasaan orang di luar budayanya.
Gambar 4.2.2.4 Merasa nyaman hadir di acara yang diadakan orang Indonesia
Sebanyak 72
responden menyatakan setuju mereka nyaman hadir
di acara yang diadakan warga Indonesia. Merujuk pada temuan sebelumnya terdapat
12 responden yang merasa senang hadir pada kegiatan yang diselenggarakan warga
Indonesia tidak nyaman berada di sana. Hal ini disebabkan salah satunya karena orang Jepang juga tidak cukup baik
dalam menguasai bahasa asing, misalnya bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional. Situasi ini menimbulkan rasa khawatir bagi sebagian orang Jepang
yang menjadi responden penelitian.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
66
Gambar 4.2.2.5 Memilih tidak terlibat dalam interaksi yang lama karena tidak paham bahasa Indonesia
Sebanyak 64 responden tidak menghindari interaksi yang lama dengan
orang Indonesia meskipun mereka tidak mengerti bahasa Indonesia.
Salah satu responden mengatakan bahwa terlibat langsung dalam interaksi
dengan orang Indonesia justru membuat mereka akan lebih mudah untuk belajar berbahasa Indonesia dan termasuk juga
belajar tentang budaya Indonesia. Salah satu bentuk keingintahuan yang ditunjukkan oleh salah satu responden adalah saat berinteraksi dengan peneliti,
responden tidak malu untuk bertanya hal-hal yang belum diketahuinya dan kemudian mencatatnya.
Axioma 26 menyebutkan saat seseorang dapat memahami tingkah laku orang asing, dia dapat lebih percaya diri saat berinteraksi. Hal ini menunjukkan
juga motivasi yang dimiliki oleh orang Jepang dalam penelitian ini cukup tinggi untuk beradaptasi dengan orang Indonesia. Responden penelitian yang saat ini
sedang belajar bahasa Indonesia di FIB USU memilih untuk banyak terlibat dengan berbagai kegiatan dengan teman-temannya, misalnya pergi nonton,
olahraga, diskusi sehabis kelas maupun mengunjungi tempat wisata di sekitar kota Medan. Terlibat dalam kegiatan informal bagi responden memudahkannya untuk
melancarkan bahasa Indonesia juga melihat kebiasaan berteman orang Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
67
Gambar 4.2.2.6 Belajar tata krama orang Indonesia untuk menghormati warga di lingkungan tempat tinggal
Belajar tata karma orang Indonesia menurut 88 responden adalah cara yang
tepat untuk menghormati budaya lokal. Responden juga menyebutkan bahwa
dengan belajar tata krama orang Indonesia dapat
mempercepat proses
adaptasi budaya
yang mereka lakukan, selain mempelajari bahasa Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan aksioma 34 yang menyatakan peningkatan inklusif moral seseorang terhadap orang asing dapat menurunkan tingkat
kecemasan dalam diri. Dengan belajar tata karma orang Indonesia, dengan sendirinya orang Jepang dapat mengetahui etika berinteraksi yang baik dengan
orang di lingkungannya.
Gambar 4.2.2.7 Mengunjungi rumah kolega untuk mempelajari cara hidup orang Indonesia
76 responden
tidak setuju
dengan melakukan kunjungan ke rumah orang Indonesia dapat mengetahui seperti
apa kesehariannya. Orang Jepang sangat menghargai privasi, bahkan menurut
responden bagi pasangan suami istri
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
68 privasi harus tetap dihargai. Ini yang membuat orang Jepang tidak cukup suka
melakukan kunjungan ke rumah temannya yang warga Indonesia karena mereka sendiri merasa bahwa rumah adalah wilayah yang sangat pribadi.
Bagi orang Jepang, melakukan kunjungan ke rumah seseorang harus ada alasan yang berarti, tidak seperti kebanyakan orang Indonesia yang berkunjung ke
rumah koleganya hanya untuk sekedar mampir atau kebetulan. Kesalahpahaman dapat terjadi ketika seseorang dari budaya yang berbeda tidak cukup memahami
batasan tentang privasi yang berlaku bagi orang dari budaya lain. Di Indonesia, jika berkunjung ke rumah kolega tanpa membuat janji
terlebih dahulu bukan sebuah masalah besar. Kebiasaan seperti ini tidak dapat kita terapkan kepada kolega yang berasal dari negara Jepang karena bagi mereka
tindakan seperti itu dinilai kurang sopan Asmayani, 2011: 12-15. Melakukan kunjungan ke rumah orang Jepang jika tidak membuat janji
biasanya dilakukan oleh orang yang sudah cukup dekat, dan biasanya hal tersebut terjadi karena ada keperluan yang sangat mendesak. Bagi orang Jepang, membuat
janji untuk berkunjung berkaitan juga dengan pemanfaatan waktu dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, peneliti selalu membuat jadwal dengan
staf Konsulat Jepang jika ingin berkunjung. Peneliti juga pernah mengalami kesalahpahaman dalam membuat jadwal pertemuan dengan salah satu responden.
Bagi orang Jepang, jika membuat janji untuk bertemu harus secara lengkap menyebutkan waktu pertemuan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
69
Gambar 4.2.2.8 Tidak nyaman dianggap tidak mengerti bahasa Indonesia
Era globalisasi
menuntut kemampuan seorang untuk beradaptasi
satu sama lain tanpa memandang asal ataupun budaya mereka.
Perbedaan bahasa menjadi salah satu hal utama yang menarik untuk dilihat
menyangkut orang asing. Seseorang yang mengunjungi budaya lain sebagai turis dapat menemukan perbedaan baru dan
menarik dan tidak mengalami banyak hal yang mengganggu atau stimulus untuk memikirkan kembali bagaimana orang berpikir tentang diri sendiri.
64 responden penelitian tidak masalah ketika dalam berinteraksi dianggap tidak mengerti bahasa Indonesia. Menurut salah satu responden, dengan
begitu mereka berharap agar rekannya mau mengajarkan berbahasa Indonesia. Peneliti saat bertemu salah satu responden penelitian juga diberitahu terlebih
dahulu bahwa responden tidak fasih berbahasa Indonesia, sehingga dia meminta agar peneliti dalam berbicara lebih pelan dan mau menjelaskan beberapa kata
yang tidak dipahaminya. Keadaan ini dapat dijelaskan melalui aksiom 36 yang menyebutkan bahasa dapat dipertimbangkan sebagai sebuah halangan untuk
berinteraksi dengan orang asing. Ketika seseorang dapat memprediksi apa yang harus dilakukannya dengan hambatan bahasa yang ada, maka artinya dia sudah
dapat mengelola ketidakpastian dalam interaksi.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
70
Gambar 4.2.2.9 Menyukai budaya sopan santun orang Indonesia
Era globalisasi menciptakan satu kesempatan
besar untuk
terjadinya perpindahan dari satu negara ke negara
lain yang memiliki budaya yang sangat berbeda.
Setiap orang yang berinteraksi dalam konteks antarbudaya tidak pernah
melepaskan identitas yang melekat pada dirinya. Identitas orang Indonesia yang sangat diketahui banyak orang asing adalah budaya sopan santun, terutama
terhadap orang asing. Sebanyak 68 responden menyatakan menyukai budaya sopan santun orang Indonesia. Warga negara asing yang datang ke Indonesia
beberapa ada yang ingin mempelajari budaya atau adat istiadat di Indonesia, seperti salah satu responden menyebutkan memilih Medan dan Yogyakarta
sebagai Kota tempat tinggalnya karena ingin mengetahui ragam budaya Indonesia. Kategori sosial menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menempatkan diri secara tepat pada sebuah lingkungan sosial dengan membuat mengelompokkan orang ke dalam kategori yang mudah kita pahami. Budaya
sopan santun merupakan kategori sosial yang mudah dipahami oleh orang Jepang karena ini salah satu nilai budaya yang sudah sejak awal diajarkan dalam keluarga
Jepang.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
71
4.2.3 Variabel X2 Pengelolaan Rasa Ketidakpastian Gambar 4.2.3.1 Bangga dengan aksen Jepang saat berinteraksi
Cara mengetahui
dari mana
seseorang yang belum dikenal berasal adalah
dengan mendengarkannya
berbicara. Aksen merupakan salah satu variasi dalam pelafalan yang terjadi ketika
orang menggunakan bahasa yang sama. Ketika seseorang berbicara akan muncul
aksen yang khas dari daerahnya. Terdapat 60 responden yang tidak menganggap aksen Jepang yang
mereka miliki menjadi satu kebanggaan saat berinteraksi. Aksen yang mereka miliki pada situasi tertentu justru memberi sedikit kesulitan. Aksen biasanya
dipengaruhi dari perbedaan geografis dan historis, dan terkadang aksen menjadi salah satu penanda dari mana seseorang berasal.
Saat berinteraksi dengan responden yang dapat berbahasa Indonesia, baik peneliti maupun responden mengalami beberapa kesalahan dalam memahami
pesan yang disampaikan. Peneliti merasakan langsung bagaimana aksen yang melekat pada responden membuat beberapa bahasa Indonesia yang diucapkan
menjadi berbeda. Responden menyebutkan bahwa aksen juga menjadi kendala dalam belajar bahasa Indonesia karena ada beberapa kata yang sulit dilafalkan.
Orang Jepang tidak mengenal huruf “l” atau “ng”, sehingga kata-kata dengan huruf tersebut sulit diucapkan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
72
Gambar 4.2.3.2 Tidak suka membahas masalah pribadi dengan orang asing
Orang Jepang
sangat mengutamakan
privasi dalam
kesehariannya. Persoalan
privasi ini
berkaitan dengan ruang dan jarak dalam konteks antarbudaya. Ruang gerak dapat
juga diasosiasikan
dengan budaya,
khususnya pada nilai budaya. Salah satu responden penelitian menyebutkan bahwa peneliti memerlukan
waktu yang cukup lama untuk menggali beberapa informasi yang sifatnya personal dari responden, karena mereka tidak mudah memberikan informasi
terkait dirinya kepada orang yang belum cukup dikenalnya. Hasil yang diperoleh dari lapangan menunjukkan bahwa 60 responden
memang tidak senang membahas masalah pribadi dengan orang asing. Penelitian ini juga terdapat pertanyaan sebaliknya, apakah orang senang membahas masalah
pribadi dengan orang asing. Sebagian responden menyatakan bahwa orang Indonesia menurut kacamata mereka memang senang membahas masalah pribadi
dengan orang asing. Pertanyaan tentang usia, pekerjaan, status perkawinan bagi responden
sudah termasuk ke dalam kategori pertanyaan pribadi bagi sebagian responden penelitian. Salah seorang responden menyatakan bahwa pertanyaan seperti itu
seharusnya muncul saat interaksi sudah terbangun dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
73
Gambar 4.2.3.3 Tidak nyaman jika dikunjungi tanpa membuat janji
Gudykunst menyebutkan bahwa budaya telah membuat pola sementara
kehidupan yang menjadi bagian dari lingkungan
psikologis 2003:179.
Pemanfaatan waktu menjadi bagian dari lingkungan
psikologis karena
waktu berkaitan dengan privasi orang dalam
kesehariannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 56 responden tidak nyaman
apabila mereka dikunjungi tanpa membuat janji terlebih dahulu. Orang Jepang mempunyai pandangan yang berbeda terhadap waktu jika dibandingkan orang
Indonesia. Bagi orang Jepang, waktu adalah sesuatu yang berharga yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Hall menyebutkan, orang Jepang untuk sistem waktunya menggabungkan antara M-time dan P-time. Orang Jepang saat berinteraksi dengan orang asing
menggunakan paham monochronic Samovar et. al. 2010: 334. Hal ini sangat kental dirasakan saat peneliti melakukan pendekatan untuk bertemu beberapa
responden penelitian. Peneliti sempat mengalami situasi tidak nyaman saat peneliti dan responden mempunyai interpretasi yang berbeda terhadap pesan teks
yang dibuat terkait jadwal pertemuan. Penggunaan waktu polychromic bagi orang ketika hubungan personal sudah terbangun dengan baik, misalnya ketika
menghabiskan waktu sehabis bekerja dengan teman-teman.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
74
Gambar 4.2.3.4 Tidak nyaman nomor telepon diberikan kepada orang asing
Altman menyebutkan
privasi sebagai salah satu bentuk kendali selektif
terhadap akses ke diri seseorang atau kelompok. Menurutnya, privasi itu seperti
sebuah mekanisme yang memungkinkan seseorang
mengendalikan situasi
interaksinya dengan
orang lain
Gudykunst, 2003: 177. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 60 responden tidak nyaman
memberikan nomor teleponnya kepada orang asing. Nomor telepon dan email, menurut salah seorang responden merupakan bagian dari identitas diri yang masih
menjadi bagian wilayah privasi yang tidak dapat diberikan begitu saja kepada orang lain.
Gambar 4.2.3.5 Orang Indonesia senang membahas sejarah bangsa
Budaya memiliki perilaku dan persepsi berbeda terhadap orientasi waktu
yang memengaruhi orang-orang dari budaya tersebut mengambil sikap dalam
berinteraksi. Budaya yang berorientasi masa lalu
menekankan pentingnya masa lalu dan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
75 menggunakan apa yang telah terjadi sebelumnya sebagai dasar pemikiran mereka
terhadap orang lain dan kejadian lainnya Samovar et. al., 2010: 330. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 36 responden penelitian
yang setuju dengan pernyataan yang peneliti ajukan. orang Indonesia adalah bangsa yang menghargai sejarah masa lalu dengan ditandai ada banyak peringatan
terhadap hari-hari bersejarah bagi bangsa. Namun, orang Indonesia tidak pernah menjadikan sejarah masa lalu sebagai warisan masa lalu yang membuat
bangsanya menyimpan rasa benci kepada bangsa lain. Responden menyebutkan pengalaman masa lalu yang terjadi antara bangsa
Jepang dan Indonesia menurutnya tidak membuat interaksi berlangsung kaku. Cerita masa lalu tentang sejarah perjuangan bangsa tidak diangkat dalam
percakapan saat berinteraksi karena bagaimanapun akan menimbulkan rasa sensitif dari kedua pihak, meskipun tidak mengalami secara langsung.
Gambar 4.2.3.6 Kesulitan mengatur jadwal pertemuan dengan orang Indonesia
Fred E.
Jandt menyebutkan
pendatang dan
imigran cenderung
mengalami kejutan
budaya, atau
perasaan disorientasi dan kegelisahan bagi kebanyakan orang yang tinggal di sebuah
budaya baru Eadie, 2009: 403. Indonesia dan Jepang memiliki
budaya yang sangat berbeda termasuk dalam memaknai waktu. Orang Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
76 melihat waktu sebagai sesuatu yang tidak nyata, sehingga dalam memanfaatkan
waktu orang Indonesia dinilai cenderung lebih santai. Namun dari hasil penelitian diperoleh bahwa 76 responden merasa mereka tidak menemukan kesulitan
dalam mengatur jadwal pertemuan dengan orang Indonesia. Menurut responden penelitian, mereka tidak pernah kesulitan membuat
janji dengan orang Indonesia yang dikenalnya. Saat membuat jadwal bertemu dengan responden yang dapat ditemui, peneliti memilih untuk hadir lebih awal
dari jadwal yang ditentukan sebagai bentuk menghormati responden sebagai orang yang membantu proses penelitian. Bagi orang Jepang, meluangkan waktu lebih
lama terhadap orang yang dianggap penting adalah hal wajar Gudykunst, 2010: 328. Saat melakukan kunjungan ke Konsulat Jepang maupun bertemu dengan
salah satu responden, peneliti selalu mempecepat jadwal berangkat 30 menit lebih awal dari biasanya.
Gambar 4.2.3.7 Menghormati waktu beribadah kolega yang Muslim
Agama merupakan salah satu persoalan pribadi yang sangat dihindari
untuk menjadi pembahasan bagi orang Jepang,
namun bagi
orang Jepang
mempelajari tentang Islam di Indonesia adalah satu hal yang menarik. Seperti yang
ditulis seorang Jepang bernama Hisanori Kato, banyak hal tentang Islam yang dia ketahui dari koleganya di Indonesia.
Agama menjadi salah satu identitas seseorang dalam konteks antarbudaya,
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
77 sehingga terkadang agama juga dapat memuncukan stereotype. Menghormati
waktu beribadah warga Indonesia bagi 64 responden penelitian bukan sebuah masalah. Bagi orang Jepang, beribadah adalah hak pribadi seseorang sehingga
tidak seorangpun boleh mengganggu ritual keagamaan orang lain. Pandangan orang Jepang terhadap agama Islam saat ini kurang baik
disebabkan pemberitaan yang banyak berkaitan dengan Islam adalah terorisme. Sebagain besar orang Jepang mempunyai informasi tentang Islam dari media luar
dan Islam cukup membuat mereka khawatir saat pindah ke Indonesia. Salah satu responden menyebutkan, keresahan yang menyebabkan kejutan budaya saat di
Indonesia salah satunya karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Keresahan yang dialami sebelum menetap di Indonesia, tidak dirasakan lagi
setelah berinteraksi dengan orang Indonesia, khususnya yang beragama Islam. Interaksi dengan peneliti berjalan dengan baik karena responden sudah sering
bertemu dengan perempuan muslim yang memakai jilbab. Menurutnya, orang Jepang harus mau mempelajari budaya lain untuk menambah pengetahuan agar
tidak salah dalam menilai orang-orang dari budaya lain. Pengalamannya menetap di Indonesia adalah salah satu hal yang membuat pandangannya terhadap Islam
sedikit berubah.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
78
Gambar 4.2.3.8 Senang dengan keragaman beragama di Indonesia
Masih berkaitan dengan diagram sebelumnya, 80 responden mengaku
senang dengan keragaman beragama di Indonesia. Responden mengaku cukup
senang melihat kerukunan beragama di Indonesia, meskipun memang ada juga
mereka temukan beberapa cerita yang tidak menyenangkan tentang keragaman beragama di Indonesia.
Saat bulan Ramadhan tiba adalah salah satu bukti nyata dari kerukunan beragama di Indonesia dari sudut pandang responden. Menurut mereka, saat bulan
Ramadhan tiba tidak hanya kaum muslim yang menghormatinya. Orang di luar agama Islam juga turut menghormati bulan Ramadhan dengan tidak makan dan
minum secara terang-terang. Temuan yang menarik dari obrolan peneliti dengan salah satu responden.
Responden menyebutkan bahwa saat menetap di Jakarta, saat bulan Ramadhan beberapa temannya yang beragama Islam tidak menjalankan puasa. Saat
responden bertanya alasan mereka tidak berpuasa, mereka menyebutkan karena mereka tinggal di Jakarta. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar bagi responden
yang merupakan penganut Budha. Responden menyebutkan, memberikan alasan tidak sesuai juga seperti menjadi kebiasaan dari beberapa orang Indonesia yang
pernah ditemuinya.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
79
Gambar 4.2.3.9 Tidak nyaman jika ditraktir saat pergi dengan orang Indonesia
Pernyataan ini muncul menjadi salah
satu butir
dalam kuesioner
berdasarkan beberapa
literatur yang
membahas mengenai uniknya budaya Jepang memasukkan point tentang tidak
populernya budaya mentraktir teman jika sedang pergi makan bersama. Hasil yang
peneliti peroleh cukup berbeda dengan artikel-artikel yang menyebutkan bahwa orang Jepang tidak cukup akrab dengan budaya traktir. 84 responden penelitian
menyatakan mereka nyaman jika ditraktir saat pergi makan. Menurut salah satu responden, budaya traktir menjadi hal yang biasa mereka alami saat mereka
tinggal di Indonesia. Mereka tidak keberatan jika ditraktir saat keluar dengan temannya yang orang Indonesia. Menurut responden tersebut, itu pemandangan
yang baru baginya. Namun kemudian dia membiasakan diri tanpa harus merasa malu jika ditraktir.
Responden menyebutkan dia akan tetap membayar pesanannya jika temannya yang orang Indonesia tidak menawarkan untuk mentraktir dirinya. Bagi
mereka, membayar makanan seseorang jika tidak pada tempatnya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan juga mereka takut akan membuat seseorang
kehilangan muka. Hal ini berkaitan dengan nilai balas budi yang ditanamkan dalam budaya Jepang. Rizal Dwi Prayogo, mahasiswa Indonesia yang sedang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
80 berkuliah di Jepang menulis tentang budaya balas budi yang menjadi alasan
mengapa orang Jepang tidak cukup akrab dengan budaya traktir: Orang Jepang mengenal istilah 恩on atau 恩返し ongaeshi
yang berarti balas budi. Orang Jepang merasa berhutang budi atas segala kebaikan yang diterimanya. Maka dari itu, ia akan
menolak sebisa mungkin kebaikan yang kita tawarkan. Jikapun “terpaksa” menerima tawaran tersebut, maka akan ia ingat terus
sampai ia bisa membalas kebaikan yang diterimanya. Mentraktir orang Jepang itu tidak mudah. Biasanya kalau kita
mengajak orang Jepang makan, itu artinya masing-masing akan membayar sendiri-sendiri betsu-betsu. Pada dasarnya, orang
Jepang tidak mau ditraktir karena dianggap utang budi. Dan utang budi dianggap sebagai beban yang berat Rizaldi, 2012
4.2.4. Variabel Y Kompetensi Komunikasi Gambar 4.2.4.1 Identitas pribadi tidak memengaruhi kemampuan
komunikasi dalam interaksi antarbudaya
Hasil penelitian menunjukkan 80 responden menganggap bahwa identitas
pribadi memengaruhi
kemampuan berkomunikasi.
Saat seseorang
berinteraksi dengan orang yang berbeda budaya
dengannya, secara
spontan identitas pribadinya akan memengaruhinya
dalam berinteraksi. Identitas pribadi terdiri atas karakteristik yang membuat seseorang berbeda dari orang lain Samovar et. al., 2010: 192.
Identitas pribadi yang melekat pada seseorang bersifat dinamis, karena identitas dipengaruhi oleh pengalaman seseorang. Responden penelitian saat
berkunjung ke kampus peneliti menyebutkan bahwa pada dasarnya karakter orang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
81 Medan tidak berbeda jauh dengan orang Osaka, Kota asal responden. Namun
karena penguasaan bahasa Indonesianya yang masih minim membuatnya tidak cukup luwes dalam berkomunikasi dengan orang Indonesia di sekitarnya. Seperti
yang disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa sebagian responden mengaku tidak bangga dengan dialek Jepang yang dimilikinya. Hal ini menurut responden
juga memengaruhi kemampuannya berkomunikasi.
Gambar 4.2.4.2 Membuka diri terhadap orang asing memengaruhi kemampuan komunikasi dalam interaksi antarbudaya
Peneliti mengutip aksioma ke-41 dari Gudykunst yang menyebutkan jika
seseorang menyadari
latar belakang
budaya orang asing, dia tidak akan mudah terintimidasi.
Melalui proses
self disclosure membuka diri dalam konteks
antarbudaya ini dapat membuat seseorang memilih cara yang tepat dalam berkomunikasi. Membuka diri terhadap orang
asing adalah salah satu cara yang dapat dilakukan seseorang untuk memberi kemudahan bagi orang lain untuk mendapatkan informasi tentang dirinya.
Membuka diri terhadap orang asing menurut 56 responden penelitian ini dapat memengaruhi kemampuan komunikasi dalam interaksi antarbudaya. Salah
satu responden mengatakan penting membuka diri karena latar belakang budaya yang berbeda membuatnya harus melakukan adaptasi. Seseorang yang
berinteraksi dalam konteks antarbudaya jika memiliki mindfulness dalam dirinya
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
82 dapat membantu menciptakan komunikasi antarbudaya yang efektif. Berada
dalam situasi mindful dapat membantu seseorang untuk menganalisis pesan tertentu yang bermanfaat untuk mengurangi culture shock, stereotype dan
hambatan lain dalam komunikasi antarbudaya.
Gambar 4.2.4.3 Culture shock memotivasi keinginan belajar kebiasaan orang Indonesia
Culture shock,
prasangka, etnosentrisme serta stereotip adalah hal
yang sulit dihindari dalam interaksi antarbudaya apabila pihak yang terlibat
tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Culture shock atau gegar
budaya adalah hambatan komunikasi yang dapat dialami oleh siapa saja. Seseorang
akan berusaha melakukan penyesuaian diri terhadap budaya di lingkungan baru mereka. Istilah culture shock diperkenalkan pertama sekali oleh Kalvero Oberg,
seorang Antropolog pada tahun 1960. Menurut Kalvero culture shock ditimbulkan karena rasa gelisah yang muncul ketika seseorang kehilangan tanda dan simbol
yang bisa dihadapi dalam hubungan sosialnya Samovar et. al., 2010: 476. Culture shock secara sadar ataupun tidak dialami oleh siapapun yang
memulai kehidupan pada sebuah budaya baru. Culture shock dapat diminimalkan dengan mencari tahu mengenai hal-hal penting yang perlu dipelajari dari budaya
baru. Menurut 64 responden, culture shock yang mereka alami membuat mereka
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
83 termotivasi untuk mengetahui mengenai kebiasaan orang Indonesia. Kejutan
budaya yang paling banyak dialami oleh responden penelitian adalah ketidakteraturan yang tampak biasa saja di mata orang Indonesia.
Motivasi berinteraksi dengan orang asing juga peneliti rasakan langsung dari seorang responden yang banyak membantu dalam penelitian ini. Responden
sudah memahami beberapa kebiasaan orang Indonesia dengan baik sehingga komunikasi yang terjalin antara peneliti dengan responden cukup positif.
Menurutnya, motivasi untuk mengetahui kebiasaan orang Indonesia membantunya untuk cepat beradaptasi dan membuka diri dengan mereka.
Gambar 4.2.4.4 Belajar bahasa Indonesia sebelum pindah ke Indonesia
76 responden
penelitian memutuskan
untuk belajar
bahasa Indonesia sebelum pindah ke Indonesia,
karena bahasa
menjadi salah
satu hambatan dalam interaksi orang Jepang
dengan orang dari budaya lain, tidak terkecuali dengan orang Indonesia.
Bahasa berfungsi
untuk memberikan informasi ataupun pengetahuan bagi orang lain, juga dapat
menunjukkan bagaimana sikap, perasaan dan emosi kita. Bahasa juga dapat berfungsi mengarahkan orang lain Gudykunst, 2003: 212. Dengan menguasai
bahasa yang lazim digunakan oleh masyarakat di tempat kita berada dapat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
84 mengurangi kecemasan dalam berinteraksi. Aksioma 36 dengan jelas
menyebutkan pengaruh dari bahasa terhadap interaksi antarbudaya.
Gambar 4.2.4.5 Belajar bahasa Indonesia itu mudah
Responden penelitian yang sudah belajar bahasa Indonesia sebelum pindah
ke Indonesia, sebanyak 48 menganggap bahasa Indonesia mudah dipelajari. 52
lagi merasa sulit untuk mempelajari bahasa Indonesia. Orang Jepang sangat dikenal
dengan semangat pantang menyerah dan pekerja keras, termasuk dalam mempelajari sebuah hal baru. Responden penelitian mengaku bahasa Indonesia
mereka pelajari karena memang keinginan mereka untuk tinggal di Indonesia. Responden yang berusia 50 tahun ke atas tidak fasih berbahasa Indonesia dan
tidak cukup menguasai bahasa Inggris. Kesulitan yang diperoleh responden dalam mempelajari bahasa Indonesia juga disebabkan tata bahasa yang digunakan
berbeda.
Gambar 4.2.4.6 Senang diminta untuk mengajarkan bahasa Jepang
Hasil ini menunjukkan bahwa responden penelitian mau membuka diri
dengan orang Indonesia, karena 96 merasa senang jika ada yang meminta
diajarkan belajar
bahasa Jepang.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
85 Banyaknya kesempatan untuk belajar di Negeri Sakura yang terbuka bagi orang
Indonesia dan alasan untuk lebih memahami karya-karya sastra, sejarah, termasuk budaya populer seperti manga dan anime turut mendorong besarnya minat
warga Indonesia mempelajari Bahasa Jepang http:www.republika.co.id. Salah satu responden menyebutkan saling memberi pelajaran tentang
bahasa dapat menjadi salah satu cara untuk membuka diri dengan orang asing. Saat ini responden sedang belajar bahasa Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara, salah satu cara yang dilakukan untuk mengasah kemampuan komunikasinya dengan mengikuti aktivitas teman-temannya di luar
kampus. Dengan mengikuti aktivitas di luar kampus, dia merasa lebih mudah melakukan adaptasi dan mempelajari bahasa Indonesia yang lebih informal.
Gambar 4.2.4.7 Lebih suka berinteraksi dengan bahasa Inggris
Fenomena pekerja
asing di
Indonesia bukan
hal baru
di era
perdagangan bebas, karena sudah banyak perusahaan asing yang memiliki cabang di
Indonesia mengirimkan langsung tenaga kerja dari negaranya yang sering disebut
ekspatriat. Ekspatriat mempunyai beberapa makna yag tercantum dalam kamus besar
bahasa Indonesia, salah satu yang paling sesuai dengan penelitian ini adalah orang yang meninggalkan negara asalnya atau warga negara asing yang menetap pada
satu negara baru. Responden penelitian ini mempunyai latar belakang pekerjaan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
86 yang cukup beragam, diantaranya bekerja sebagai staf Konsulat, pelatih atletik,
penerjemah, konsultan teknik, guru bahasa dan lain-lain. 84 responden penelitian menyatakan tidak setuju jika dalam berinteraksi
lebih suka menggunakan bahasa Inggris. Salah satu staf Konsulat yang menjadi penghubung bagi peneliti dengan beberapa responden lain menyebutkan bahwa
dengan membiasakan menggunakan bahasa Indonesia saat berinteraksi dengan orang Indonesia merupakan salah satu cara orang Jepang menunjukkan rasa
hormatnya. Selain itu, beliau juga menyebutkan bahwa orang Jepang memang banyak yang tidak menguasai bahasa Inggris. Jadi saat berada pada satu negara
yang tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi, mereka cenderung memilih mempelajari bahasa resmi pada negara tersebut.
Gambar 4.2.4.8 Berbicara pakai bahasa Indonesia meskipun tidak lancar
Pengalaman peneliti saat bertemu dengan
beberapa orang
Jepang menunjukkan bahwa mereka memang
memilh untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, meskipun tidak lancar.
Responden penelitian sebanyak 88 juga setuju dengan pernyataan yang peneliti
ajukan, bahwa orang Jepang lebih suka berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia meskipun tidak lancar.
Gudykunst 2003: 233 menyebutkan saat bahasa dominan ataupun bahasa kedua dipelajari, ada masalah yang tersisa dari efek penggunaannya pada saat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
87 komunikasi terjadi. Jika seseorang memiliki kompetensi dalam bahasa orang
asing, hal ini dapat mengurangi ketidakpastian dan kecemasan saat berinteraksi dengan mereka. Kemampuan linguistik juga memengaruhi kemampuan seseorang
untuk mengakomodasi komunikasinya dan mengubah kode saat berkomunikasi dengan orang asing.
Gambar 4.2.4.9 Kecemasan dan ketidakpastian memengaruhi keinginan untuk berinteraksi
Perbedaan kebiasaan
ataupun bahasa
yang digunakan
merupakan beberapa hal yang menyebabkan muncul
rasa kecemasan dan ketidakpastian bagi warga Jepang dalam berinteraksi saat baru
menetap di Indonesia. Namun 68
responden penelitian menyatakan bahwa kecemasan dan ketidakpastian yang mereka alami tersebut memengaruhi
keinginan untuk berinteraksi dengan orang Indonesia. Pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa seorang individu yang baru
datang ke sebuah negara akan mengalami culture shock yang menyebabkan kecemasan dan ketidakpastian. Saat seseorang pindah ke budaya baru tentu
membawa nilai, kepercayaan dan kebiasaan dari budaya lama mereka yang dapat dapat menyebabkan kesalahpahaman maupun konflik. Hal ini memotivasi
beberapa responden untuk mengetahui apa saja kebiasaan orang Indonesia pada umumnya dan akan membuat mereka mudah diterima dalam berinteraksi.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
88 Gudykunst 2003: 338 menyebutkan mengelola kecemasan diperlukan
untuk mengurangi kecenderungan menghindari interaksi dengan orang asing dan memotivasi untuk berkomunikasi managing anxiety is necessary to decrease our
tendency to avoid interacting with strangers and to motivate us to want to communicate.
Gambar 4.2.4.10 Kecemasan dan ketidakpastian ada dalam interaksi antarbudaya
Seperti disebutkan pada penjelasan diagram sebelumnya, perbedaan budaya
menjadi salah satu penyebab seseorang tidak dapat menghindari kecemasan dan
ketidakpastian dalam
interaksi antarbudaya.
Situasi ketidakpastian
muncul disebabkan ketika memasuki lingkungan dengan budaya yang baru, tidak mampu untuk memprediksi atau
menjelaskan perasaan, sikap dan perilaku orang asing. Sedangkan kecemasan merupakan perasaan gelisah, tegang atau khawatir yang muncul disebabkan
ketakutan dari konsekuensi negatif yang potensial muncul saat interaksi dengan orang asing Gudykunst, 2003: 329.
72 responden penelitian menyatakan mereka mengalami kecemasan dan ketidakpastian di awal interaksi antarbudaya yang mereka lalui saat di Indonesia,
meskipun sebelum ke Indonesia mereka sudah membekali diri dengan beberapa informasi tentang budaya dan kebiasaan orang Indonesia. Dengan kata lain, situasi
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
89 ini menuntut kemampuan komunikasi yang baik dari kedua pihak saat
berinteraksi.
Gambar 4.2.4.11 Bahasa adalah kunci keberhasilan interaksi
Bahasa adalah sejumlah simbol atau tanda yang disetujui untuk digunakan
oleh sekelompok
orang untuk
menghasilkan arti.
Hubungan antara
simbol yang dipilih dan arti yang disepakati kadang berubah-ubah Samovar
et. al., 2010: 269. 88 responden
penelitian setuju bahwa bahasa adalah kunci keberhasilan dalam interaksi, terutama dalam konteks interaksi antarbudaya. Bahasa diakui oleh sebagian
responden menjadi hambatan utama saat mereka berinteraksi. Pada diagram sebelumnya dijelaskan bahwa orang Jepang yang menjadi responden penelitian
tidak memiliki kemampuan berbahasa asing yang baik. Sebuah penelitian dilakukan oleh Morita pada universitas di Jepang
dengan melibatkan 250 responden yang berjudul “English and Intercultural Interaction in the Internationalization of a Japanese University” menyebutkan
kemampuan bahasa menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilan interaksi antara mahasiswa lokal dan internasional di Jepang. Berdasarkan pernyataan
seorang responden penelitian Morita, keterampilan berbahasa asing yang dimiliki mahasiswa Jepang masih kurang baik sehingga dapat menyebabkan rasa cemas
muncul saat mereka berinteraksi dengan mahasiswa internasional “I feel very
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
90 anxious about interacting with international students, I want to interact with them
although I’m worried about my language ability” Morita, 2012. Staf Konsulat Jepang di Medan yang berhasil peneliti temui menyebutkan
bahwa orang Jepang yang sudah berusia tua memang tidak mempunyai keterampilan berbahasa asing yang cukup memadai, sehingga peneliti disarankan
untuk mencari teman yang dapat berbahasa Jepang untuk memudahkan proses pengumpulan data penelitian. Peneliti menilai bahwa hal tersebut dipengaruhi
nilai yang ditanamkan pada masyarakat Jepang untuk menjunjung tinggi nilai lokal sehingga masih banyak orang Jepang yang bertahan untuk menggunakan
bahasa Jepang dalam berkomunikasi dengan orang asing sekalipun. Seseorang yang mempunyai motivasi untuk melintasi batas pribadi dan
berusaha mempelajari pengalaman orang lain tandanya ingin sukses dalam interaksi antarbudaya Samovar et. al., 2010: 461.
Gambar 4.2.4.12 Menguasai bahasa asing mengurangi rasa cemas dan tidak pasti dalam berinteraksi
Gudykunst menyebutkan bahwa sulit untuk mengurangi ketidakpastian
dalam satu interaksi jika orang asing tidak mampu menggunakan bahasa setempat
Gudykunst, 2003: 340. Motivasi untuk mengatasi kecemasan dan ketidakpastian
dalam berinteraksi
antarbudaya juga
memengaruhi seseorang dalam mempelajari bahasa asing.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
91 Semua responden penelitian 100 setuju bahwa menguasai bahasa asing
dapat mengurangi kecemasan dan ketidakpastian dalam berinteraksi antarbudaya. Belajar bahasa asing khususnya bahasa Inggris di Jepang mulai diterapkan pada
usia sekolah, sama halnya dengan sistem pendidikan di Indonesia. Namun yang membuat sulit penerimaan bahasa Inggris bagi orang Jepang karena pada dasarnya
orang Jepang tidak mengenal huruf alphabet a-z dalam bahasanya. Orang Jepang menggunakan dua perangkat huruf fonetik, yaitu hiragana
dan katakana, yang dapat mengalami perubahan bunyi ketika terdapat penambahan titik-titik khusus pada huruf tertentu. Hiragana dipakai bersama
dengan kanji untuk menuliskan kalimat Jepang umum, Katakana dipakai untuk menuliskan kata-kata serapan dari bahasa lain, nama orang dan tempat non-
Jepang, bunyi, dan suara hewan http:www.id.emb-japan.go.jp. Salah satu responden penelitian menyebutkan bahwa bahasa Indonesia
sudah dipelajarinya sebelum pindah ke Medan untuk memperdalam kemampuannya berbahasa Indonesia. Keterampilan berbahasa Indonesia yang
dimilikinya sangat membantu dalam berinteraksi dengan teman-teman kuliahnya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Gambar 4.2.4.13 Tidak mengerti bahasa asing menyebabkan kesalahan memaknai pesan saat berinteraksi
Keterampilan bahasa
menjadi faktor utama dalam interaksi antarbudaya
sehingga 80 responden penelitian setuju bahwa tidak mengerti bahasa asing dapat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
92 menyebabkan kesalahan dalam memaknai pesan saat berinteraksi. Semua bahasa
manusia mengandung elemen yang universal dan setiap elemen mempunyai keunikan tersendiri Gudykunst, 2003: 211.
Responden menyatakan menguasai bahasa menjadi modal utama bagi mereka untuk memulai interaksi dengan orang-orang di lingkungannya yang baru
selain mencari informasi tentang budayanya. Sebagian responden mengaku memulai dengan berinteraksi dengan bahasa Inggris karena sudah menjadi bahasa
internasional di beberapa negara. Saat berinteraksi dengan beberapa responden, baik secara langsung
maupun melalui email peneliti menggunakan bahasa Inggris. Namun pada tahap berikutnya, beberapa responden menggunakan bahasa Indonesia dalam
berinteraksi karena mereka merasa lebih dekat jika berinteraksi dengan bahasa yang digunakan kelompok mayoritas.
Gambar 4.2.4.14 Kompetensi komunikasi dilihat dari kemampuan mengirimkan pesan dalam berinteraksi
Seseorang yang
mempunyai kompetensi komunikasi adalah orang yang
memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dan sesuai dengan anggota
dari budaya yang memiliki latar belakang linguistik-kultural Samovar et. al., 2010:
460.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
93 Sudah diketahui bersama bahwa perbedaan nilai budaya dalam sebuah
interaksi menuntut setiap orang untuk memiliki kompetensi komunikasi. 88 responden penelitian setuju jika kompetensi komunikasi seseorang dilihat dari
kemampuannya dalam menyampaikan pesan dalam berinteraksi. Maksud pernyataan ini adalah jika dalam berinteraksi seseorang mampu menciptakan
komunikasi yang efektif akan menunjukkan kompetensinya dalam berkomunikasi. Seperti disebutkan bahwa seseorang yang mempunyai kompetensi komunikasi
adalah orang mindful, yaitu orang yang dapat memberikan umpan balik sesuai dengan hasil interpretasi pesan yang disampaikan orang lain.
Gudykunst menyebutkan bahwa menjadi seseorang yang mindful merupakan keterampilan yang paling penting dalam berkomunikasi secara efektif
dengan orang asing, karena dengan menjadi individu yang mindful seseorang dapat membuat keputusan apa yang dipelu dilakukannya pada situasi yang
spesifik untuk menciptakan komunikasi yang efektif Gudykunts, 2003: 287. Seseorang yang sudah membekali dirinya dengan serangkaian informasi
mengenai orang asing pada lingkungan barunya akan lebih mudah menentukan seperti apa sebaiknya caranya berinteraksi. Seseorang yang mindful, dalam dirinya
disebutkan Gudykunst 2003: 288 memiliki beberapa kemampuan yaitu: dapat mentoleransi kebingungan, mengendalikan kecemasan, dapat berempati, dapat
beradaptasi dengan perilaku serta mampu membuat prediksi dan penjelasan yang akurat tentang perilaku orang asing.
Penjelasan tentang kemampuan seseorang menyampaikan pesan dan hubungannya dengan komunikasi efektif juga dapat dilihat dari beberapa aksioma
yang secara khusus membahas tentang kecemasan, ketidakpastian, kesadaran dan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
94 komunikasi efektif aksioma 35 sampai aksioma 39. Aksioma-aksioma ini
menyebutkan bahwa saat seseorang mempunyai kemampuan untuk membedakan orang asing, mempertimbangkan halangan dalam berinteraksi dengan orang asing
dan menentukan reaksi yang seharusnya diberikan kepada orang asing dapat menciptakan komunikasi efektif.
4.3. Analisis Data Silang