Universitas Sumatera Utara
23
2.4. Kompetensi Komunikasi
Kegiatan berkomunikasi merupakan kegiatan yang sudah biasa dilakukan oleh siapa saja, namun hanya sedikit dari kita yang telah menguasai kompetensi
komunikasi. Kompetensi secara sederhana dilihat sebagai kemampuan seseorang yang di dalamnya terdapat keterampilan, pengetahuan dan sikap dalam melakukan
kegiatan atau pekerjaan tertentu sesuai dengan standar yang ada. Kompetensi komunikasi yang baik ditandai dengan adanya mindfulness
dari pelaku interaksi yang pada akhirnya akan menciptakan komunikasi yang efektif. Kemampuan seseorang untuk menyampaikan pesan dengan tepat dapat
disebut sebagai kompetensi komunikasi. Sedangkan kemampuan yang terdiri atas pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dalam mengelola pertukaran
pesan verbal dan nonverbal yang tujuannya untuk menciptakan kesamaan memahami pesan sehingga komunikasi efektif dapat tercapai disebut kompetensi
komunikasi Samovar et. al., 2010: 460. Kompetensi komunikasi sebagai alat ukur dalam melihat kualitas
komunikasi hingga dapat dikategorikan komunikasi efektif tergambar dalam penelitian berikut:
“Konsep kompetensi komunikasi digunakan sebagai alat untuk mengukur kualitas komunikasi seseorang atau sekelompok orang.
Keberhasilan effectiveness dan kelayakan appropriateness adalah dimensi yang digunakan untuk menilai kompetensi
komunikasi. Jadi, kompetensi komunikasi antarbudaya melihat keberhasilan dan kelayakan komunikasi dan interaksi antara
orang-orang dari budaya yang berbeda. Perbedaan kompetensi komunikasi antarbudaya apakah subyek penelitian bersama-sama
dengan teman sekelompoknya atau seorang diri ketika sedang berkomunikasi dengan orang Australia hanya ditemukan secara
terbatas pada anggota kelompok yang kemampuan Bahasa inggrisnya lebih rendah dibandingkan anggota kelompok yang
lain. Bagi mereka bantuan anggota-anggota lain dalam kelompok
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
24 sangat diandalkan untuk berkomunikasi dengan orang Australia”
Koestoer, 1999.
Kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara efektif dan pantas dalam budaya lain dipengaruhi oleh komponen utama yang patut menjadi perhatian,
seperti motivasi untuk berkomunikasi, pengetahuan yang cukup tentang budaya, kemampuan komunikasi yang sesuai, sensitivitas dan karakter.
J. H. Turner menyebutkan kebutuhan dasar dari seseorang memotivasi diri untuk berinteraksi dengan orang lain Gudykunst and Kim, 2003: 276. Motivasi
menjadi bagian hal yang penting untuk diperhatikan karena dalam interaksi dengan orang lain agar tercipta suasana yang positif harus terlihat oleh dua pelaku
komunikasi motivasi dari kedua pihak. Motivasi yang logis dan alami akan membentuk persepsi tentang keinginan pribadi untuk meningkatkan kemampuan
komunikasinya. Pengetahuan yang cukup tentang budaya menjadi penting karena dengan
mempunyai komponen ini dengan sendirinya seseorang menyandari dan memahami peraturan, norma dan harapan yang dapat dikelompokkan dengan
budaya orang-orang yang berinteraksi dengannya. Dalam usaha mencapai kompetensi dalam komunikasi, seseorang diharapkan memiliki pengetahuan
konten yang meliputi pengetahuan mengenai isi pesan dan pengetahuan prosedural berkaitan dengan bagaimana proses isi pesan disampaikan dalam
situasi tertentu Samovar et. al., 2010: 462. Kemampuan komunikasi yang sesuai di sini diartikan sebagai kemampuan
yang meliputi kemampuan untuk mendengar, mengamati, menganalisis dan menginterpretasikan sampai mengaplikasikan perilaku tertentu untuk mencapai
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
25 tujuan tertentu. Sensitivitas dalam berkomunikasi diperlukan sebagai salah satu
syarat kompetensi lainnya karena dalam proses interaksi yang terdiri dari beberapa latar belakang budaya akan menimbulkan gesekan bila sensitivitas tidak
diasah sebaik mungkin. Karakter menjadi hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai
kemampuan komunikasi. Karakter menjadi dasar penilaian bagi sekelompok orang karena karakter dapat diasosiakan sebagai sifat seseorang yang terbentuk
melalui proses interaksi dengan lingkungan. William Howel menyebutkan terdapat empat tingkatan dari kompetensi komunikasi, yaitu:
1. Unconscious Incompetence: Tidak sadar dan tidak bisa melakukan apa- apa. Dimaksud tidak sadar adalah telah salah menafsirkan pesan atau
perilaku komunikasi pihak lain secara tidak sadar. Sedangkan tidak bisa melakukan apa-apa adalah tidak cukup peduli dengan perilaku
komunikasinya sendiri. Bentuk kompetensi ini adalah yang paling rendah dari bentuk lainnya.
2. Conscious Incompentence: Sadar dalam berkomunikasi, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa. Sadar adalah komunikasi yang dilakukannya tidak
efektif dan seringkali terjebak pada salah paham, seperti penanganan konflik yang tidak produktif. Meskipun begitu, mampu melakukan apapun
untuk memperbaikinya. 3. Conscious Competence: Sadar dalam hal berkomunikasi dan mampu
melakukan sesuatu. Orang pada bentuk ini mampu mengontrol perilaku komunikasinya secara sadar dan melakukannya terus menerus sehingga
menjadi komunikasi yang lebih efektif.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
26 4. Unconscious Competence: Tidak sadar karena telah menjadi sebuah
kebiasaan dan mampu melakukan sesuatu. Bentuk ini merupakan tingkatan paling tinggi dalam kompetensi komunikasi. Orang pada tingkatan ini
memiliki kemampuan untuk menyatukan tindakan komunikasi menjadi bagian dari perilakunya sehari-hari. Dia tidak perlu lagi sibuk untuk
mengatur perilakunya terus menerus karena secara otomatis dirinya telah menyesuaikan Griffin, 2006: 431.
Menurut Gudykunst, mindfulness terdapat pada situasi kompetensi ketiga yaitu pada tahap seseorang sadar saat berkomunikasi dan mampu melakukan
sesuatu. Orang tersebut dalam tahapan ini mampu mengontrol perilaku komunikasinya secara sadar dan melakukannya terus menerus sehingga menjadi
komunikasi yang lebih efektif Gudykunst and Foss, 2003: 40. Seorang mahasiswa Universitas Indonesia mencoba melihat bagaimana
mindfulness dalam interaksi Mahasiswa Berbeda Agama. Penelitian tersebut menghasilkan gambaran sebagai berikut:
Komunikasi antarbudaya yang mindful akan muncul ketika setiap pihak yang berinteraksi dapat meminimalisasikan kesalahpahaman
budaya, yaitu usaha mereduksi perilaku etnosentris, prasangka, dan stereotip. Penelitian ini menemukan bahwa situasi mindful
sudah mulai tercipta dalam interaksi antaragama yang dilakukan oleh para mahasiswa itu. Para mahasiswa dari pelbagai latar
belakang agama telah mampu berkomunikasi antaragama dengan mindfulness pada diri mereka karena mereka telah memiliki
kecakapan
atau kompetensi
komunikasi yang
memadai. Kemampuan ini mereka dapatkan berdasarkan pengalaman
interaksi antaragama yang sejak kecil. Pengalaman hidup dalam masyarakat yang multikultur ini juga membuat mereka
berpandangan terbuka terhadap perbedaan yang merupakan faktor penumbuh mindfulness dalam diri mereka Skripsi Mahasiswa
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, 2006 dalam Jurnal Thesis Volume VNo.3 September – Desember 2006, hal.153.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
27 Keadaan di atas disebutkan oleh Langer 1989 sebagai suatu cara
berkomunikasi secara automatic pilot. Perilaku orang asing dipahami menggunakan
kerangka rujukan
yang dimiliki
dan berusaha
unutk mengevaluasinya daripada mencoba memahami perilaku tersebut. Seseorang yang
mindful tidak akan melihat hasil akhir dari komunikasi yang dilaluinya, tapi mencoba untuk fokus pada proses komunikasi itu sendiri Gudykunst and Foss,
2003: 406.
2.5. Teori Manajemen Kecemasan dan Ketidakpastian