Latar Belakang KESIMPULAN DAN SARAN
2
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat melihat interaksi seorang anak dengan teman sebaya yang akan melibatkan suatu permainan dan permainan
terkesan menjadi kebutuhan seorang anak pada masa itu. Permainan memiliki manfaat yang beragam bagi anak-anak. Permainan memberikan manfaat dalam
peningkatan afiliasi dengan teman sebaya, mengurangi tekanan, meningkatkan daya jelajah, dan memberi tempat berteduh yang aman bagi perilaku yang secara
potensial berbahaya. Dalam buku Santrock yang berjudul Child Development,, Freud dan Erikson mendefinisikan permainan adalah suatu bentuk penyesuaian
diri manusia yang sangat berguna dalam menguasai kecemasan anak dan konflik. Dalam buku yang sama, Jean Piaget dan Lev Vygotsky juga mendefinisikan
permainan bagi anak. Piaget 1962 melihat permainan sebagai media yang meningkatkan perkembangan kognitif anak-anak. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh Vygotsky 1962 yang meyakini bahwa permainan merupakan setting yang sangat bagus dalam perkembangan kognitif.
Masih dalam buku Child Development, Harter 1998 menyebutkan bahwa pada masa anak-anak, anak akan memahami diri berdasarkan atas berbagai peran
dan kategori-kategori keanggotaan yang mendefinisikan siapa anak itu. Walaupun bukan keseluruhan identitas prbadi, pemahaman diri memberi tiang pondasi
rasionalnya Damon Hart, 1988, 1992. Pemahaman diri ialah representasi kognitif diri anak, bahan dan konsep diri. Konsep diri self-concept mengacu
pada bidang spesifik pada dirinya. Anak-anak dapat membuat evaluasi diri dalam banyak bidang kehidupan mereka akademis, atletik, penampilan, dan lain-lain.
Misalnya, seorang anak perempuan berusia 5 tahun memahami bahwa ia adalah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
seorang perempuan, berambut hitam, suka mengendarai sepedanya, mempunyai seorang teman, dan seorang perenang.
Ada beberapa penelitian mengenai konsep diri anak yaitu konsep diri pada anak sekolah dasar dan menengah pertama yang dilakukan oleh Andriasari
2015. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi konsep diri positif atau negatif. Selain itu, anak yang memiliki
konsep diri negatif akan mudah menyerah sedangkan anak yang memiliki konsep diri positif akan bersikap optimis. Pardede 2008 meneliti tentang konsep diri
anak jalanan, dari hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa anak jalan dalam penelitian tersebut memandang diri sebagai pribadi yang negatif. Subyek
merasa tidak diterima di masyarakat dan memiliki penghargaan diri yang rendah. Penelitian lain juga dilakukan oleh Husniyati 2009 di RPSA Kota
Semarang. Dari penelitian tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa mayoritas anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang mempunyai konsep diri
pada kategori tinggi 50 serta pengetahuan tentang diri 60 dengan kategori tinggi, maksudnya rata-rata pengetahuan anak jalanan terhadap diri sendiri adalah
tinggi, yaitu mereka mengetahui bagaimana diri mereka sendiri. Penilaian tentang diri pada kategori sedang 47,5, maksudnya sebagian anak jalanan menilai
tentang diri mereka cukup. Sedangkan dalam pengharapan anak jalanan pada kategori tinggi 57,5, maksudnya sebagian besar anak jalanan berharap agar
mereka dapat hidup lebih baik lagi. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri terhadap pengetahuan tentang diri dan pengharapannya sendiri yang tinggi kurang
diimbangi dengan penilaian tentang diri sendiri yang cukup. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Terdapat fenomena yang ditemukan peneliti dalam masyarakat. Bersumber darisitus berita online: merdeka.com, diberitakan bahwa seorang anak berusia 7
tahun menjadi seorang abdi dalem termuda di Keraton Yogyakarta. Anak ini bernama Riski Kuncoro Manik, dia sudah mengikuti aktivitas sebagai abdi dalem
di Keraton Yogyakarta sejak dia berumur tiga tahun. Orang tua Riski juga adalah seorang abdi dalem. Hal ini menarik karena Riski tergolong anak-anak yang tidak
seperti anak pada umumnya dimana pada masa ini anak-anak lebih memilih bermain dari pada bekerja. Selain itu, ketika Riski menjalankan tugasnya sebagai
abdi dalem keraton, Riski tidak akan bergaul dengan teman sebaya melainkan abdi dalem yang memiliki usia jauh di atas Riski sehingga pergaulan dengan
teman sebaya Riski mungkin akan berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Fenomena lain yang berasal dari pengalaman peneliti saat masih duduk di
bangku sekolah dasar, peneliti memiliki teman sebaya anak seorang abdi dalem keraton. Anak ini terkesan ramah dan sopan kepada siapa saja. Hal menarik
lainnya adalah ketika pada anak seusianya lebih memilih bermain sepulang sekolah, anak ini lebih senang untuk membantu orang tuanya. Dia membantu
ibunya dalam mengumpulkan barang bekas dan membantu ayahnya menjalankan tugasnya sebagai abdi dalem, seperti membantu sang ayah membersihkan dan
merawat makam-makam raja keraton. Peneliti pernah menanyakan alasan mengapa dia memilih melakukan hal demikian dari pada bermain. Bagi anak ini
membantu orang tua terlebih dalam tugas-tugas sang Ayah sebagai abdi dalem keraton membuatnya merasa senang.
5
Dalam bukunya, Soenarto 2012 mengungkapkan bahwa abdi dalem keraton merupakan agen pelestari budaya atau salah satu perwakilan pelestari budaya
seperti yang diharapkan oleh Sultan Hamengku Buwana X sebagai pelestari budaya sekaligus “jati diri” Bangsa Indoensia, yang juga pernah disampaikan oleh
Sultan Hamengku Buwana IX saat penobatan sebagai Raja Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 18 Maret 1940. Disamping itu dengan diaturnya tata
cara, sopan santun tingkah laku bagi Abdi Dalem Keraton Yogyakarta, mengingat bahwa abdi dalem adalah juga agen budaya keraton yang mumpuni mengetahui
makna dalam hal nilai-nilai keutamaan yang diyakini baik oleh manusia pada umumnya. Sehingga melalui agen budaya ini, abdi dalem keraton dapat menjadi
suritauladan di lingkungan masyarakat yang ditempati, yang di lewati, dan yang menyaksikan. Pengabdian seorang abdi dalem keraton ditunjukan dengan
tanggung jawab melaksanakan semua yang menjadi keseharusan dan menaati pranata demi kejayaan budaya sebagai jati dirinya. Sehingga kesetiaan seorang
abdi dalem kepada keraton dalam arti kepada Raja, dengan segala kekayaan budayanya disebut pengabdian yang dilandasi kebaikan, ketulusan. Matulessy dan
Abdi Keraf 2011 mengungkapkan bahwa konsep diri yang dimiliki oleh abdi dalem keraton adalah konsep diri yang positif dan lebih banyak dipengaruhi oleh
perasaan kekaguman pada pribadi Sultan sebagai orang yang diabdi, memungkinkan individu untuk mengadopsi perilaku tertentu dari Sultan menjadi
bentuk perilaku hidupnya setiap hari. Karena abdi dalem memiliki interaksi sosial dengan Sultan maka terbentuk konsep diri para abdi dalem seperti diatas. Hal ini
diperkuat dalam John Kinch 1963 dalam Fitts 1971 yang mengemukakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi sosial dan konsep diri ini mempengaruhi tingkah laku seseorang.
Menurut Papalia, Olds, dan Feldman 2004 terdapat beberapa faktor pembentuk konsep diri, yakni 1 orang tua sebagai kontak sosial yang paling
awal yang kita alami, dan yang paling kuat, apa yang dikomunikasikan oleh orang tua pada anak lebih menancap daripada informasi lain yang diterima anak
sepanjang hidupnya, 2 kawan sebaya yang menempati kedudukan kedua setelah orang tuanya dalam mempengaruhi konsep diri, apalagi perihal penerimaan atau
penolakan, peran yang diukir anak dalam kelompok teman sebayanya mungkin mempunyai pengaruh yang dalam pada pandangan tentang dirinya sendiri, 3
masyarakat yang menganggap penting fakta-fakta kelahiran di mana akhirnya penilaian ini sampai kepada anak dan masuk ke dalam konsep diri, dan 4 belajar
di mana muncul konsep bahwa konsep diri kita adalah hasil belajar, dan belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan psikologis yang relatif permanen yang
terjadi dalam diri kita sebagai akibat dari pengalaman. Penelitian tersebut menyimpulkanbahwa peran orang tua sebagai abdi dalem dan budaya jawa
memiliki peran kuat dalam pembentukan konsep diri anaknya. Sehingga perilaku anak abdi dalem keraton pada fenomena-fenomena yang telah diuraikan peneliti
diatas tidak lepas dari hasil interaksi sang anak dengan orang tua. Hal ini didukung oleh Teori Rogers dalam Burns, 1993 yang menyatakan bahwa konsep
diri memainkan peranan yang sentral dalam tingkah laku manusia.
George Herbert Mead 1972 mengemukakan bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi
7
pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi
dari dirinya yang diterima dari orang-orang penting significant others disekitarnya. Mead juga mengemukakan bahwa setiap individu memiliki
pemahaman tertentu tentang penilaian orang lain terhadap dirinya, dan individu tersebut akan bertingkah laku sesuai dengan penilaian umum. Pernyataan ini
senada dengan John Kinch 1963 dalam Fitts, 1971 yang mengemukakan bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi sosial dan konsep diri ini mempengaruhi
tingkah laku seseorang. Menurutnya, konsep diri seseorang didasarkan pada persepsi dari reaksi-reaksi orang lain terhadap dirinya. Dari beberapa pengertian
konsep diri yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan secara gamblang bahwa konsep diri merupakan pandangan dan sikap individu terhadap dirinya sendiri.
Pengertian ini senada dengan Burns 1993 yang mengemukakan bahwa konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri.
Cawagas 1983 dalam Pudjijogyanti 1988 juga mengemukakan hal yang sama bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi
fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kepandaiannya, kegagalannya, dan lain sebagainya. Dua orang peneliti dan penulis utama yang
mengkaji dan memberikan sumbangan besar dalam pengembangan studi konsep diri, Rogers 1951 dan Staines 1954 dalam Burns 1993 yang menyatakan
definisi konsep diri yang sejalan. Rogers menyatakan bahwa konsep diri disusun dari unsur-unsur seperti persepsi-persepsi dari karateristik-karateristik dan
kemampuan-kemampuan seseorang; hal-hal yang dipersepsikan dan konsep- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
konsep tentang diri yang ada hubungannya dengan orang-orang lain dan dengan lingkungannya; kualitas-kualitas nilai yang dipersepsikan yang dihubungkan
dengan pengalaman-pengalaman dan obyek-obyek; dan tujuan-tujuan serta ide-ide yang dipersepsikan sebagai mempunyai valensi positif atau negatif. Jadi menurut
Rogers, konsep diri dengan kata lain adalah gambaran yang terorganisasikan yang berada di dalam kesadaran baik sebagai tokoh atau dasar, dari diri dan diri yang
berkaitan self in relationship, bersama-sama dengan nilai-nilai positif dan negatif yang dihubungkan dengan kualitas-kualitas dan hubungan-hubungan
sebagaimana mereka dipersepsikan sebagai hidup atau ada dimasa lalu, sekarang, atau dimasa yang akan datang. Staines dalam definisinya juga menempatkan
konsep diri ke dalam bidang studi tentang sikap yang dibangun dari pengalaman- pengalaman seorang individu. Konsep diri menurutnya adalah suatu sistem yang
sadar dari hal-hal yang dipersepsikan, konsep-konsep, dan evaluasi-evaluasi mengenai diri individu sebagaimana dia tampak bagi dirinya sendiri. Termasuk di
dalamnya suatu kognisi respons yang evaluatif yang dibuat oleh individu itu terhadap aspek-aspek yang dipersepsikan dan dipahami tentang dirinya sendiri;
suatu pemahaman tentang gambaran yang diduga oleh orang-orang lain mengenai dia, dan suatu kesadaran dari suatu diri yang dievaluasikan, yang merupakan
gagasannya tentang pribadi sebagaimana yang dia inginkan dan dimana dia harus bertingkah laku.
Adapun konsep diri didefinisikan secara berbeda oleh para ahli. Seifert dan Hoffnung 1994, misalnya, mendefinisikan konsep diri sebagai suatu pemahaman
mengenai diri atau ide tentang konsep diri. Santrock 1996 menggunakan istilah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
konsep diri mengacu pada evaluasi bidang tertentu dari konsep diri. Sementara itu, Menurut Duffy dan Atwater 2005 konsep diri adalah suatu cara pada
individu dalam memandang dirinya, bagaimana perasaan seseorang tentang tubuhnya dan bagaimana kepuasaan dan ketidakpuasan seseorang terhadap
dirinya. Selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu bagaimana seseorang
melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan- harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana orang
lain melihat dirinya. Menurut Burns 1982, konsep diri adalah hubungan antara sikap dan
keyakinan tentang diri kita sendiri. Sementara itu, Cawagas 1983 dalam Pudjijogiyanti, 1988 menjelaskan bahwa konsep diri mencakup seluruh
pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kelebihannya atau kecakapannya, kegagalannya, dan sebagainya.
Berdasarkan pada beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang konsep diri yang mencakup keyakinan, pandangan
dan penilaian seseorang kepada dirinya sendiri. Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat konsep diri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang
konsep diri, dan bagaimana kemampuan berpikir seseorang. Sehingga konsep diri anak abdi dalem keraton adalah gagasan tentang konsep diri sang anak yang
mencakup keyakinan, pandangan, dan penilaian anakkepada dirinya sendiri yang terbentuk dari hasil interaksi sang anak dengan orang tua yaitu abdi dalem keraton
10
dan lingkungannya yaitu lingkungan budaya jawa yang akan mempengaruhi perilaku anak.
Berdasarkan fenomena-fenomena anak abdi dalem keraton dan uraian diatas terkait konsep diri, maka peneliti ingin meneliti apa konsep diri anak abdi dalem
keraton yang dirumuska n dalam judul “Konsep Diri Anak Abdi Dalem Keraton
Yogyakarta ”.