Konsep diri anak Abdi Dalem Keraton Yogyakarta.

(1)

KONSEP DIRI ANAK ABDI DALEM KERATON YOGYAKARTA Franciscus De Paula Bramasta M.A.

ABSTRAK

Konsep diri adalah gagasan tentang konsep diri yang mencakup keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang kepada dirinya sendiri. Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat konsep diri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang konsep diri, dan bagaimana kemampuan berpikir seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa konsep diri anak abdi dalem keraton. Penelitian ini mnggunakan metode pendekatann kualitatif dan metode pengumpulan data menggunakan observasi tertutup dan wawancara semi struktur. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak yang memiliki rentang usia kira-kira 5 hingga 11 tahun, masih bersekolah, dan memiliki orang tua sebagai abdi dalem keraton berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta. Verifikasi data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi data dan wawancara ulang. Dari hasil analisis data diketahui bahwa secara umum, kedua subjek menggambarkan dirinya sebagai seorang anak yang prososial yaitu memiliki kepedulian kepada orang lain, mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya, bertanggung jawab, mau dan mampu bersosial dengan lingkungan sosialnya, serta taat pada aturan dan norma. Hasil lainnya menunjukkan kedua subjek memiliki memiliki penghargaan ke pada diri (self-esteem) yang tinggi, memiliki sikap nrima atau menerima apa yang mereka miliki serta mensyukurinya. Konsep diri yang dimiliki oleh kedua subjek adalah konsep diri yang positif, dimana kedua subjek dapat mengenal dirinya dengan baik.


(2)

CHILD'S SELF CONCEPT OF PALACE COURTIERS Franciscus De Paula Bramasta Meindo A.

ABSTRACT

Self concept is the idea of self concept which encompassed faith, viewpoint, and research someone to him self. Self concept consist of how we to see the self concept as personal, how we to feel the self concept, how the capability thinking of someone. This research inted to understand what the self concept of child palace courtiers. This research using qualitative approach methods and data accumulation method which use closed observation, and semi structure interview. Subjects in this research are child who have the age range about 5 until 11 years old, still study in school and have parents as a palace coutiers who they are domiciled in Daerah Istimewa Yogyakarta. Data verification in this research use data triangulation and repetitive interview. From the result of data analysis are knew that commonly both of subject figure their self as a child that is have concern to other people, accentuate importance other people rather than their importance, responsible, want and capable make the society activity with their social environment, obedient toward rule, regulation, and norm. Other results showed both of subjects have had high self-esteem, has an attitude accept what they have and be grateful. The concept of self-owned by the two subjects is a positive self-concept, where both subjects can recognize himself well.


(3)

(4)

(5)

KONSEP DIRI ANAK ABDI DALEM KERATON YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Franciscus De Paula Bramasta M. A. 119114051

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(6)

(7)

(8)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya kecil dan sederhana ini penulis dedikasikan untuk Tuhan Yesus yang selalu membimbing penulis dalam menjalankan kehidupan yang penuh dengan suka dan duka. Orang tua, saudara, dan

para sahabat yang selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan kuliah. Semua orang terkasih yang telah memberi kesan, makna, dan

warna dalam kehidupan penulis.


(9)

HALAMAN MOTTO

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamul; carilah, maka kamu akan mendapatka; ketoklah maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap

orang yang meminta, menerima, dan setiap orang mencari, mendapat, dan setiap orang mengetok, baginya pintu dibukakan. Adakah seorang dari padamu yang memberi batu Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti,atau memberi ular,

jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baikkepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga!

Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya


(10)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 29 Agustus 2016 Penulis


(11)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Franciscus De Paula Bramasta Meindo A.

NIM : 119114051

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Konsep Diri Anak Abdi Dalem Keraton Yogyakarta

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hal untuk menyimpan, mengalihkan, dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada Tanggal : 29 Agustus 2016

Yang menyatakan,


(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis sampaikan pada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan baik

2. Papah dan Mamah, terimakasih atas kasih sayang dan doa yang selalu menyertai penulis. Penulis merasa termotivasi dengan dukungan yang selalu diberikan oleh orang tua penulis.

3. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi dan Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selalu Kaprodi untuk semua kesempatan belajar yang diberikan.

4. Bapak Drs. H.Wahyudi, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah memberikan banyak inspirasi, dukungan, masukan, tenaga, waktu, dan nasehat hidup yang tak terlupakan. Terima kasih atas kesabaran bapak yang mau menerima penulis selama menjalankan bimbingan skripsi.

5. Ibu Debri Pristinella, M.Si. selalu dosen pembimbing akademik, terima kasih atas segala bimbingan dan motivasinya sehingga penulis dapat terus bersemangat berkuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


(13)

6. Terima kasih untuk Bapak Emanuel yang telah membantu dan membimbing saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Para subjek, terima kasih atas kesediannya meluangkan waktu dan tenaga dalam membantu terselesaikannya skripsi ini.

8. Kepada Arum manusia terbaik sedunia yang selalu menemani, mendukung, membantu, dan mendoakan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

9. Kepada sahabatku Agni dan Dek Betha yang membantu dalam penyelesaikan skripsi ini, saya ucapkan trima kasih.

10.Kepada orang tua saya yang selalu mendukung dalam berbagai bentuk saya ucapkan trima kasih yang sebesar-besarnya untuk usaha mereka. 11.Teman-teman terbaik penulis yaitu Wila, Bili, Catur, Andi, Nina,

Kristian, Cuki, Edi,Made, Aldo, dan Andre yang selalu mendukung dan membantu dalam segala bentuk.

12.Teman-teman sebimbingan Pak Wahyudi yaitu Ratna, kak Firsta, kak Galih, Kristian, dan Veronica yang sudah menjadi teman diskusi dalam penyelesaian skripsi.

13.Teman-teman angkatan 2011, terima kasih atas segala pengalaman dan kebersamaannya selama berdinamika di Psikologi.

14.Untuk nama-nama yang berperan dalam penyelesaian skripsi ini namun belum disebutkan, maaf atas keterbatasan penulis. Terima kasih untuk semuanya.


(14)

Penulis menyadari tulisan ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki karya ini. Akhir kata, penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membaca. Terimakasih.

Penulis


(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN

JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Diri... 12

B. Abdi Dalem Keraton ... 23


(16)

D. Budaya Jawa ... 29

E. Anak ... 31

F. Konsep Diri Anak... 33

G. Konsep Diri Anak Abdi Dalem Keraton ... 34

BAB III. METODE PENELITIAN A. Paradigma Penelitian Kualitatif ... 36

B. Subjek Penelitian ... 38

C. Metode Pengumpulan Data ... 40

D. Metode Analisis Data ... 42

E. Uji Kesahihan dan Keandalan Data ... 43

F. Pedoman Observasi Wawancara ... 44

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 47

B. Hasil Penelitian ... 49

1. Data Demografi Subjek ... 49

2. Hasil Observsai Subjek 1 ... 50

3. Diskripsi Data Subjek 1 ... 51

4. Hasil Wawancara Subjek 1 ... 54

5. Hasil Observasi Subjek 2 ... 55

6. Diskripsi Data Subjek 2 ... 56

7. Hasil Wawancara Subjek 2 ... 58


(17)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(18)

KONSEP DIRI ANAK ABDI DALEM KERATON YOGYAKARTA Franciscus De Paula Bramasta M.A.

ABSTRAK

Konsep diri adalah gagasan tentang konsep diri yang mencakup keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang kepada dirinya sendiri. Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat konsep diri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang konsep diri, dan bagaimana kemampuan berpikir seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa konsep diri anak abdi dalem keraton. Penelitian ini mnggunakan metode pendekatann kualitatif dan metode pengumpulan data menggunakan observasi tertutup dan wawancara semi struktur. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak yang memiliki rentang usia kira-kira 5 hingga 11 tahun, masih bersekolah, dan memiliki orang tua sebagai abdi dalem keraton berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta. Verifikasi data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi data dan wawancara ulang. Dari hasil analisis data diketahui bahwa secara umum, kedua subjek menggambarkan dirinya sebagai seorang anak yang prososial yaitu memiliki kepedulian kepada orang lain, mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya, bertanggung jawab, mau dan mampu bersosial dengan lingkungan sosialnya, serta taat pada aturan dan norma. Hasil lainnya menunjukkan kedua subjek memiliki memiliki penghargaan ke pada diri (self-esteem) yang tinggi, memiliki sikap nrima atau menerima apa yang mereka miliki serta mensyukurinya. Konsep diri yang dimiliki oleh kedua subjek adalah konsep diri yang positif, dimana kedua subjek dapat mengenal dirinya dengan baik.


(19)

CHILD'S SELF CONCEPT OF PALACE COURTIERS Franciscus De Paula Bramasta Meindo A.

ABSTRACT

Self concept is the idea of self concept which encompassed faith, viewpoint, and research someone to him self. Self concept consist of how we to see the self concept as personal, how we to feel the self concept, how the capability thinking of someone. This research inted to understand what the self concept of child palace courtiers. This research using qualitative approach methods and data accumulation method which use closed observation, and semi structure interview. Subjects in this research are child who have the age range about 5 until 11 years old, still study in school and have parents as a palace coutiers who they are domiciled in Daerah Istimewa Yogyakarta. Data verification in this research use data triangulation and repetitive interview. From the result of data analysis are knew that commonly both of subject figure their self as a child that is have concern to other people, accentuate importance other people rather than their importance, responsible, want and capable make the society activity with their social environment, obedient toward rule, regulation, and norm. Other results showed both of subjects have had high self-esteem, has an attitude accept what they have and be grateful. The concept of self-owned by the two subjects is a positive self-concept, where both subjects can recognize himself well.


(20)

(21)

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat bahwa anak-anak lebih banyak melakukan kegiatan bermain dan berinteraksi dengan teman sebaya daripada dengan orang dewasa dan orang lanjut usia, sehingga masa kanak-kanak merupakan periode yang khas. Hal tersebut diungkapkan oleh Borstelman, 1993 dalam buku Life-Span Development (Santrock 1995). Masa awal anak-anak memiliki rentang usia kira-kira 5 atau 6 tahun. Untuk pertengahan dan akhir anak-anak ialah periode perkembangan yang memiliki rentang usia kira-kira 6 hingga 11 tahun, yang kira-kira setara dengan tahun-tahun sekolah dasar. Periode ini kadang-kadang disebut sebagai “tahun-tahun sekolah dasar”. Dalam periode ini, teman sebaya penting dalam perkembangan sosial anak karena dengan bergaul dengan teman sebaya, anak akan belajar bagaimana mereka bersosial.

Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian Anna Freud & Dann tahun 1951 dalam buku Child Development (Santrock, 2007). yang meneliti enam anak dari keluarga yang berbeda yang disatukan setelah orang tua mereka terbunuh dalam Perang Dunia ke II. Kedekatan teman sebaya yang intensif itu diobservasi, anak-anak membentuk kelompok yang dirajut secara ketat, yang bergantung satu sama lain dan jauh dari orang-orang luar. Walaupun kurang pengasuhan dari orang tua, mereka tidak menunjukkan perilaku yang menyimpang dan tidak mengalami kelainan mental yang serius.


(23)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat melihat interaksi seorang anak dengan teman sebaya yang akan melibatkan suatu permainan dan permainan terkesan menjadi kebutuhan seorang anak pada masa itu. Permainan memiliki manfaat yang beragam bagi anak-anak. Permainan memberikan manfaat dalam peningkatan afiliasi dengan teman sebaya, mengurangi tekanan, meningkatkan daya jelajah, dan memberi tempat berteduh yang aman bagi perilaku yang secara potensial berbahaya. Dalam buku Santrock yang berjudul Child Development,, Freud dan Erikson mendefinisikan permainan adalah suatu bentuk penyesuaian diri manusia yang sangat berguna dalam menguasai kecemasan anak dan konflik. Dalam buku yang sama, Jean Piaget dan Lev Vygotsky juga mendefinisikan permainan bagi anak. Piaget (1962) melihat permainan sebagai media yang meningkatkan perkembangan kognitif anak-anak. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Vygotsky (1962) yang meyakini bahwa permainan merupakan setting yang sangat bagus dalam perkembangan kognitif.

Masih dalam buku Child Development, Harter (1998) menyebutkan bahwa pada masa anak-anak, anak akan memahami diri berdasarkan atas berbagai peran dan kategori-kategori keanggotaan yang mendefinisikan siapa anak itu. Walaupun bukan keseluruhan identitas prbadi, pemahaman diri memberi tiang pondasi rasionalnya (Damon & Hart, 1988, 1992). Pemahaman diri ialah representasi kognitif diri anak, bahan dan konsep diri. Konsep diri (self-concept) mengacu pada bidang spesifik pada dirinya. Anak-anak dapat membuat evaluasi diri dalam banyak bidang kehidupan mereka (akademis, atletik, penampilan, dan lain-lain). Misalnya, seorang anak perempuan berusia 5 tahun memahami bahwa ia adalah


(24)

seorang perempuan, berambut hitam, suka mengendarai sepedanya, mempunyai seorang teman, dan seorang perenang.

Ada beberapa penelitian mengenai konsep diri anak yaitu konsep diri pada anak sekolah dasar dan menengah pertama yang dilakukan oleh Andriasari (2015). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi konsep diri positif atau negatif. Selain itu, anak yang memiliki konsep diri negatif akan mudah menyerah sedangkan anak yang memiliki konsep diri positif akan bersikap optimis. Pardede (2008) meneliti tentang konsep diri anak jalanan, dari hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa anak jalan dalam penelitian tersebut memandang diri sebagai pribadi yang negatif. Subyek merasa tidak diterima di masyarakat dan memiliki penghargaan diri yang rendah.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Husniyati (2009) di RPSA Kota Semarang. Dari penelitian tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa mayoritas anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang mempunyai konsep diri pada kategori tinggi (50%) serta pengetahuan tentang diri (60%) dengan kategori tinggi, maksudnya rata-rata pengetahuan anak jalanan terhadap diri sendiri adalah tinggi, yaitu mereka mengetahui bagaimana diri mereka sendiri. Penilaian tentang diri pada kategori sedang (47,5%), maksudnya sebagian anak jalanan menilai tentang diri mereka cukup. Sedangkan dalam pengharapan anak jalanan pada kategori tinggi (57,5%), maksudnya sebagian besar anak jalanan berharap agar mereka dapat hidup lebih baik lagi. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri terhadap pengetahuan tentang diri dan pengharapannya sendiri yang tinggi kurang diimbangi dengan penilaian tentang diri sendiri yang cukup.


(25)

Terdapat fenomena yang ditemukan peneliti dalam masyarakat. Bersumber darisitus berita online: merdeka.com, diberitakan bahwa seorang anak berusia 7 tahun menjadi seorang abdi dalem termuda di Keraton Yogyakarta. Anak ini bernama Riski Kuncoro Manik, dia sudah mengikuti aktivitas sebagai abdi dalem di Keraton Yogyakarta sejak dia berumur tiga tahun. Orang tua Riski juga adalah seorang abdi dalem. Hal ini menarik karena Riski tergolong anak-anak yang tidak seperti anak pada umumnya dimana pada masa ini anak-anak lebih memilih bermain dari pada bekerja. Selain itu, ketika Riski menjalankan tugasnya sebagai abdi dalem keraton, Riski tidak akan bergaul dengan teman sebaya melainkan abdi dalem yang memiliki usia jauh di atas Riski sehingga pergaulan dengan teman sebaya Riski mungkin akan berbeda dengan anak-anak pada umumnya.

Fenomena lain yang berasal dari pengalaman peneliti saat masih duduk di bangku sekolah dasar, peneliti memiliki teman sebaya anak seorang abdi dalem keraton. Anak ini terkesan ramah dan sopan kepada siapa saja. Hal menarik lainnya adalah ketika pada anak seusianya lebih memilih bermain sepulang sekolah, anak ini lebih senang untuk membantu orang tuanya. Dia membantu ibunya dalam mengumpulkan barang bekas dan membantu ayahnya menjalankan tugasnya sebagai abdi dalem, seperti membantu sang ayah membersihkan dan merawat makam-makam raja keraton. Peneliti pernah menanyakan alasan mengapa dia memilih melakukan hal demikian dari pada bermain. Bagi anak ini membantu orang tua terlebih dalam tugas-tugas sang Ayah sebagai abdi dalem keraton membuatnya merasa senang.


(26)

Dalam bukunya, Soenarto (2012) mengungkapkan bahwa abdi dalem keraton merupakan agen pelestari budaya atau salah satu perwakilan pelestari budaya seperti yang diharapkan oleh Sultan Hamengku Buwana X sebagai pelestari

budaya sekaligus “jati diri” Bangsa Indoensia, yang juga pernah disampaikan oleh

Sultan Hamengku Buwana IX saat penobatan sebagai Raja Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 18 Maret 1940. Disamping itu dengan diaturnya tata cara, sopan santun tingkah laku bagi Abdi Dalem Keraton Yogyakarta, mengingat bahwa abdi dalem adalah juga agen budaya keraton yang mumpuni (mengetahui makna) dalam hal nilai-nilai keutamaan yang diyakini baik oleh manusia pada umumnya. Sehingga melalui agen budaya ini, abdi dalem keraton dapat menjadi suritauladan di lingkungan masyarakat yang ditempati, yang di lewati, dan yang menyaksikan. Pengabdian seorang abdi dalem keraton ditunjukan dengan tanggung jawab melaksanakan semua yang menjadi keseharusan dan menaati pranata demi kejayaan budaya sebagai jati dirinya. Sehingga kesetiaan seorang abdi dalem kepada keraton dalam arti kepada Raja, dengan segala kekayaan budayanya disebut pengabdian yang dilandasi kebaikan, ketulusan. Matulessy dan Abdi Keraf (2011) mengungkapkan bahwa konsep diri yang dimiliki oleh abdi dalem keraton adalah konsep diri yang positif dan lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan kekaguman pada pribadi Sultan sebagai orang yang diabdi, memungkinkan individu untuk mengadopsi perilaku tertentu dari Sultan menjadi bentuk perilaku hidupnya setiap hari. Karena abdi dalem memiliki interaksi sosial dengan Sultan maka terbentuk konsep diri para abdi dalem seperti diatas. Hal ini diperkuat dalam John Kinch (1963) dalam Fitts (1971) yang mengemukakan


(27)

bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi sosial dan konsep diri ini mempengaruhi tingkah laku seseorang.

Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2004) terdapat beberapa faktor pembentuk konsep diri, yakni (1) orang tua sebagai kontak sosial yang paling awal yang kita alami, dan yang paling kuat, apa yang dikomunikasikan oleh orang tua pada anak lebih menancap daripada informasi lain yang diterima anak sepanjang hidupnya, (2) kawan sebaya yang menempati kedudukan kedua setelah orang tuanya dalam mempengaruhi konsep diri, apalagi perihal penerimaan atau penolakan, peran yang diukir anak dalam kelompok teman sebayanya mungkin mempunyai pengaruh yang dalam pada pandangan tentang dirinya sendiri, (3) masyarakat yang menganggap penting fakta-fakta kelahiran di mana akhirnya penilaian ini sampai kepada anak dan masuk ke dalam konsep diri, dan (4) belajar di mana muncul konsep bahwa konsep diri kita adalah hasil belajar, dan belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan psikologis yang relatif permanen yang terjadi dalam diri kita sebagai akibat dari pengalaman. Penelitian tersebut menyimpulkanbahwa peran orang tua sebagai abdi dalem dan budaya jawa memiliki peran kuat dalam pembentukan konsep diri anaknya. Sehingga perilaku anak abdi dalem keraton pada fenomena-fenomena yang telah diuraikan peneliti diatas tidak lepas dari hasil interaksi sang anak dengan orang tua. Hal ini didukung oleh Teori Rogers (dalam Burns, 1993) yang menyatakan bahwa konsep dirimemainkan peranan yang sentral dalam tingkah laku manusia.

George Herbert Mead (1972) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi


(28)

pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang penting (significant others) disekitarnya. Mead juga mengemukakan bahwa setiap individu memiliki pemahaman tertentu tentang penilaian orang lain terhadap dirinya, dan individu tersebut akan bertingkah laku sesuai dengan penilaian umum. Pernyataan ini senada dengan John Kinch (1963 dalam Fitts, 1971) yang mengemukakan bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi sosial dan konsep diri ini mempengaruhi tingkah laku seseorang. Menurutnya, konsep diri seseorang didasarkan pada persepsi dari reaksi-reaksi orang lain terhadap dirinya. Dari beberapa pengertian konsep diri yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan secara gamblang bahwa konsep diri merupakan pandangan dan sikap individu terhadap dirinya sendiri. Pengertian ini senada dengan Burns (1993) yang mengemukakan bahwa konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri.

Cawagas (1983) dalam Pudjijogyanti (1988) juga mengemukakan hal yang sama bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kepandaiannya, kegagalannya, dan lain sebagainya. Dua orang peneliti dan penulis utama yang mengkaji dan memberikan sumbangan besar dalam pengembangan studi konsep diri, Rogers (1951) dan Staines (1954) dalam Burns (1993) yang menyatakan definisi konsep diri yang sejalan. Rogers menyatakan bahwa konsep diri disusun dari unsur-unsur seperti persepsi-persepsi dari karateristik-karateristik dan kemampuan-kemampuan seseorang; hal-hal yang dipersepsikan dan


(29)

konsep-konsep tentang diri yang ada hubungannya dengan orang-orang lain dan dengan lingkungannya; kualitas-kualitas nilai yang dipersepsikan yang dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman dan obyek-obyek; dan tujuan-tujuan serta ide-ide yang dipersepsikan sebagai mempunyai valensi positif atau negatif. Jadi menurut Rogers, konsep diri dengan kata lain adalah gambaran yang terorganisasikan yang berada di dalam kesadaran baik sebagai tokoh atau dasar, dari diri dan diri yang berkaitan (self in relationship), bersama-sama dengan nilai-nilai positif dan negatif yang dihubungkan dengan kualitas-kualitas dan hubungan-hubungan sebagaimana mereka dipersepsikan sebagai hidup atau ada dimasa lalu, sekarang, atau dimasa yang akan datang. Staines dalam definisinya juga menempatkan konsep diri ke dalam bidang studi tentang sikap yang dibangun dari pengalaman-pengalaman seorang individu. Konsep diri menurutnya adalah suatu sistem yang sadar dari hal-hal yang dipersepsikan, konsep-konsep, dan evaluasi-evaluasi mengenai diri individu sebagaimana dia tampak bagi dirinya sendiri. Termasuk di dalamnya suatu kognisi respons yang evaluatif yang dibuat oleh individu itu terhadap aspek-aspek yang dipersepsikan dan dipahami tentang dirinya sendiri; suatu pemahaman tentang gambaran yang diduga oleh orang-orang lain mengenai dia, dan suatu kesadaran dari suatu diri yang dievaluasikan, yang merupakan gagasannya tentang pribadi sebagaimana yang dia inginkan dan dimana dia harus bertingkah laku.

Adapun konsep diri didefinisikan secara berbeda oleh para ahli. Seifert dan Hoffnung (1994), misalnya, mendefinisikan konsep diri sebagai suatu pemahaman mengenai diri atau ide tentang konsep diri. Santrock (1996) menggunakan istilah


(30)

konsep diri mengacu pada evaluasi bidang tertentu dari konsep diri. Sementara itu, Menurut Duffy dan Atwater (2005) konsep diri adalah suatu cara pada individu dalam memandang dirinya, bagaimana perasaan seseorang tentang tubuhnya dan bagaimana kepuasaan dan ketidakpuasan seseorang terhadap dirinya. Selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya.

Menurut Burns (1982), konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri. Sementara itu, Cawagas (1983 dalam Pudjijogiyanti, 1988) menjelaskan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kelebihannya atau kecakapannya, kegagalannya, dan sebagainya.

Berdasarkan pada beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang konsep diri yang mencakup keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang kepada dirinya sendiri. Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat konsep diri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang konsep diri, dan bagaimana kemampuan berpikir seseorang. Sehingga konsep diri anak abdi dalem keraton adalah gagasan tentang konsep diri sang anak yang mencakup keyakinan, pandangan, dan penilaian anakkepada dirinya sendiri yang terbentuk dari hasil interaksi sang anak dengan orang tua yaitu abdi dalem keraton


(31)

dan lingkungannya yaitu lingkungan budaya jawa yang akan mempengaruhi perilaku anak.

Berdasarkan fenomena-fenomena anak abdi dalem keraton dan uraian diatas terkait konsep diri, maka peneliti ingin meneliti apa konsep diri anak abdi dalem keraton yang dirumuskan dalam judul “Konsep Diri Anak Abdi Dalem Keraton Yogyakarta”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena-fenomenaa di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan peneliti sebagai berikut :

Apa konsep diri anak abdi dalem keraton?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apa konsep diri anak abdi dalem keraton.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang akan dilakasanakan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis sebagai berikut:

1. Manfaat teoretis

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dan memperkaya hasil


(32)

penelitian dalam bidang psikologi perkembangan dan psikologi sosial terutama yang berkaitan dengan konsep diri anak abdi keraton kepada anak kandungnya.

2. Manfaat praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran konsep diri anak kepada orang tua yang memiliki profesi sebagai abdi dalem keraton dan masyarakat umum. Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini orang tua dapat memahami konsep diri sang anak sehingga dapat membantu anak dalam mencapai harapan dan cita-cita di masa yang akan datang berdasarkan konsep diri sang anak.


(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

George Herbert Mead (1972) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman tersebut merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang penting (significant others) disekitarnya. Mead (1972) juga mengemukakan bahwa setiap individu memiliki pemahaman tertentu tentang penilaian orang lain terhadap dirinya, dan individu tersebut akan bertingkah laku sesuai dengan penilaian umum. Pernyataan ini senada dengan John Kinch (1963) dalam Fitts (1971) yang mengemukakan bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi sosial dan konsep diri ini mempengaruhi tingkah laku seseorang. Menurutnya, konsep diri seseorang didasarkan pada persepsi dari reaksi-reaksi orang lain terhadap dirinya. Dari beberapa pengertian konsep diri yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan dengan jelas bahwa konsep diri merupakan pandangan dan sikap individu terhadap dirinya sendiri. Pengertian ini senada dengan Burns (1993) yang mengemukakan bahwa konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri.

Cawagas (1983) dalam Pudjijogyanti (1988) juga mengemukakan hal yang sama bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi


(34)

kegagalannya, dan lain sebagainya. Dua orang peneliti dan penulis utama yang mengkaji dan memberikan sumbangan besar dalam pengembangan studi konsep diri, yaitu Rogers (1951) dan Staines (1954) dalam Burns (1993) menyatakan definisi konsep diri yang juga sejalan dengan penjelasan sebelumnya. Rogers menyatakan bahwa konsep diri disusun dari unsur-unsur seperti persepsi-persepsi dari karateristik-karateristik dan kemampuan-kemampuan seseorang; hal-hal yang dipersepsikan dan konsep-konsep tentang diri yang ada hubungannya dengan orang-orang lain dan dengan lingkungannya; kualitas-kualitas nilai yang dipersepsikan yang dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman dan obyek-obyek; dan tujuan-tujuan serta ide-ide yang dipersepsikan sebagai mempunyai valensi positif atau negatif. Jadi menurut Rogers, konsep diri dengan kata lain adalah gambaran yang terorganisasikan yang berada di dalam kesadaran baik sebagai tokoh atau dasar, dari diri dan diri yang berkaitan (self in relationship), bersama-sama dengan nilai-nilai positif dan negatif yang dihubungkan dengan kualitas-kualitas dan hubungan-hubungan sebagaimana mereka dipersepsikan sebagai hidup atau ada dimasa lalu, sekarang, atau dimasa yang akan datang. Staines dalam definisinya juga menempatkan konsep diri ke dalam bidang studi tentang sikap yang dibangun dari pengalaman-pengalaman seorang individu. Konsep diri menurutnya adalah suatu sistem yang sadar dari hal-hal yang dipersepsikan, konsep-konsep, dan evaluasi-evaluasi mengenai diri individu sebagaimana dia tampak bagi dirinya sendiri. Termasuk di dalamnya suatu kognisi respons yang evaluatif yang dibuat oleh individu itu terhadap aspek-aspek yang dipersepsikan dan dipahami tentang dirinya sendiri; suatu pemahaman


(35)

tentang gambaran yang diduga oleh orang-orang lain mengenai dia; dan suatu kesadaran dari suatu diri yang dievaluasikan, yang merupakan gagasannya tentang pribadi sebagaimana dia inginkan dan dimana dia harus bertingkah laku.

Adapun konsep diri didefinisikan secara berbeda oleh para ahli. Seifert dan Hoffnung (1994) mendefinisikan konsep diri sebagai suatu pemahaman mengenai diri atau ide tentang konsep diri. Santrock (1996) menggunakan istilah konsep diri mengacu pada evaluasi bidang tertentu dari konsep diri. Sementara itu, Duffy dan Atwater (2005) konsep diri adalah suatu cara pada individu dalam memandang dirinya, bagaimana perasaan seseorang tentang tubuhnya dan bagaimana kepuasaan dan ketidakpuasan seseorang terhadap dirinya. Selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya.

Menurut Burns (1982), konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri, sedangkan Pemily dalam Atwater (1984), mendefinisikan konsep diri sebagai sistem yang dinamis dan kompleks diri keyakinan yang dimiliki seseorang tentang dirinya, termasuk sikap, perasaan, persepsi, nilai-nilai, dan tingkah laku yang unik dari individu tersebut. Sementara itu, Cawagas (1983) menjelaskan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kelebihannya atau kecakapannya, kegagalannya, dan sebagainya.


(36)

Berdasarkan pada beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang konsep diri yang mencakup keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang kepada dirinya sendiri.

a. Dimensi-dimensi Konsep Diri

Dimensi dari konsep diri dikemukakan oleh Fitts (1971), dimana Fitts sependapat dengan Rogers yang menganggap bahwa diri sebagai suatu obyek sekaligus juga sebagai suatu proses, yang melakukan fungsi persepsi, pengamatan serta penilaian. Keseluruhan kesadaran mengenai diri yang diobservasi, dialami serta dinilai ini adalah konsep diri. Berdasarkan pendapatnya itu, Fitts membagi konsep diri ke dalam 2 (dua) dimensi pokok, yaitu :

1) Dimensi Internal, yang terdiri dari :

a) Diri sebagai obyek/identitas (identity self) b) Diri sebagai perilaku (behavior self)

c) Diri sebagai pengamat dan penilai (judging self) 2) Dimensi Eksternal, yang terdiri dari :

a) Diri fisik (physical self)

b) Diri moral-etik (moral-ethic self) c) Diri personal (personal self) d) Diri keluarga (family self) e) Diri sosial (social self)

Kesemua dimensi dan bagian-bagiannya secara dinamis menurut Fitts adalah berinteraksi dan berfungsi secara menyeluruh menjadi konsep diri. Untuk


(37)

lebih memahami maksud dari kedua dimensi konsep diri ini, berikut dijelaskan satu persatu. Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah ketika seorang individu melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia batinnya sendiri atau dunia dalam dirinya sendiri terhadap identitas dirinya, perilaku dirinya, dan penerimaan dirinya. Kerangka acuan internal atau yang disebut juga dimensi internal ini oleh Fitts dibedakan atas tiga bentuk, yaitu :

1) Diri identitas (identity self)

Identitas diri ini merupakan aspek konsep diri yang paling mendasar. Konsep ini mengacu pada pertanyaan "siapakah saya?" dimana di dalamnya tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri oleh individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya. Misalnya, "saya Iskandar" dan kemudian sejalan dengan bertambahnya usia dan interaksi individu dengan lingkungannya, akan semakin banyak pengetahuan individu akan dirinya sendiri, sehingga individu tersebut akan dapat melengkapi keterangan dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks, seperti: "saya Tini", "saya seorang ibu dari tiga orang anak",

“saya bekerja sebagai seorang polisi wanita", dan sebagainya. Selanjutnya setiap elemen dari identitas diri akan mempengaruhi cara individu mempersepsikan dunia fenomenalnya, mengobservasinya, dan menilai dirinya sendiri sebagaimana ia berfungsi. Pada kenyataannya, identitas diri berkaitan erat dengan diri sebagai pelaku.


(38)

Identitas diri sangat mempengaruhi tingkah laku seorang individu, dan sebaliknya identitas diri juga dipengaruhi oleh diri sebagai pelaku. Sejak kecil, individu cenderung untuk menilai atau memberikan label pada orang lain maupun pada dirinya sendiri berdasarkan tingkah laku atau apa yang dilakukan seseorang. Dengan kata lain, untuk dapat menjadi sesuatu seringkali seseorang harus melakukan sesuatu, dan dengan melakukan sesuatu, seringkali individu harus menjadi sesuatu. 2) Diri perilaku (behavioral self)

Diri perilaku merupakan persepsi seorang individu tentang tingkah lakunya. Diri pelaku berisikan segala kesadaran mengenai "apa yang dilakukan oleh diri". Selain itu, bagian ini sangat erat kaitannya dengan diri sebagai identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.

3) Diri pengamat/penilai (judging self)

Diri penilai ini berfungsi sebagai pengamat, penentu standar serta pengevaluasi. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri, identitas dengan diri pelaku. Manusia cenderung untuk senantiasa memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, label-label yang dikenakan kepada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi dibalik itu juga sarat


(39)

dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian inilah yang kemudian lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkannya. Diri penilai menentukan kepuasan seseorang individu akan dirinya atau seberapa jauh ia dapat menerima dirinya sendiri. Kepuasan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri (self-esteem) yang miskin dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar kepada dirinya, sehingga menjadi senantiasa penuh kewaspadaan. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya akan lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan lebih memfokuskan energi serta perhatiannya ke luar diri yang pada akhirnya dapat berfungsi secara lebih konstruktif. Diri sebagai penilai berkaitan erat dengan harga diri (self-esteem), karena sesungguhnya kecenderungan evaluasi diri ini tidak saja hanya merupakan komponen utama dari persepsi diri, melainkan juga merupakan komponen utama pembentukan harga diri. Penghargaan diri pada dasarnya didapat dari 2 (dua) sumber utama, yaitu (1) dari diri sendiri dan (2) dari orang lain. Penghargaan diperoleh ketika individu berhasil mencapai tujuan-tujuan dan nilai-nilai tertentu. Tujuan, nilai, dan standar ini dapat bersumber dari internal, eksternal, maupun keduanya. Umumnya, nilai-nilai dan tujuan-tujuan pada mulanya dimasukkan oleh orang lain. Penghargaan hanya akan didapat melalui pemenuhan tuntutan dan harapan orang lain. Namun, pada saat diri sebagai pelaku telah berhubungan dengan


(40)

tingkah laku aktualisasi diri, maka penghargaan juga dapat berasal dari diri individu itu sendiri. Oleh karena itu keduanya saling berhubungan. Walaupun harga diri (self-esteem) merupakan hal yang mendasar untuk aktualisasi diri, tetapi aktualisasi diri juga penting untuk kebutuhan harga diri. Penjelasan mengenai ketiga bagian dari dimensi internal, memperlihatkan bahwa masing-masing bagian mempunyai fungsi yang berbeda namun ketiganya saling melengkapi, berinteraksi, dan membentuk suatu diri (self) serta konsep diri (self concept) secara utuh dan menyeluruh. Dimensi kedua dari konsep diri adalah apa yang disebut dengan dimensi eksternal. Pada dimensi eksternal individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktifitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain yang berasal dari dunia di luar diri individu.

Sebenarnya, dimensi eksternal merupakan suatu bagian yang sangat luas, misalnya diri individu yang berkaitan dengan belajar. Namun, yang dikemukakan oleh Fitts adalah bagian dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang. Bagian-bagian dimensi eksternal ini, dibedakan Fitts atas 5 (lima) bentuk, yaitu :

1) Diri fisik (physical self)

Diri fisik menyangkut persepsi seorang individu terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini, terlihat persepsi seorang individu mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, dan kurus).


(41)

Diri moral merupakan persepsi seseorang individu terhadap dirinya sendiri, yang dilihat dari standar pertimbangan nilai-moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seorang individu mengenai hubungannya dengan Tuhan, kepuasan seorang individu akan kehidupan agamanya, dan nilai-nilai moral yang dipegang seorang individu, yang meliputi batasan baik dan buruk.

3) Diri pribadi (personal self)

Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seorang individu terhadap keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungannya dengan individu lain, tetapi dipengaruhi oleh seberapa jauh seorang individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejumlah mana seorang individu merasakan dirinya sebagai pribadi yang tepat.

4) Diri keluarga (family self)

Diri keluarga menunjukkan pada perasaan dan harga diri seorang individu dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian diri ini menunjukkan seberapa jauh seorang individu merasa adekuat terhadap dirinya sendiri sebagai anggota keluarga dan terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya selaku anggota dari suatu keluarga.

5) Diri sosial (social self)

Diri sosial merupakan penilaian seorang individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya.


(42)

Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam dimensi eksternal ini sangat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seorang individu tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki diri fisik yang baik tanpa adanya reaksi dari individu lain yang menunjukkan bahwa secara fisik ia memang baik dan menarik. Demikian pula halnya, seorang individu tidak dapat mengatakan bahwa ia memiliki diri pribadi yang baik tanpa adanya tanggapan atau reaksi dari individu lain di sekitarnya yang menunjukkan bahwa ia memang memiliki pribadi yang baik.

Hubungan antar dimensi dalam konsep diri (dimensi internal dan eksternal) dapat dijelaskan dengan menggunakan analogi. Misalnya, total dari diri (self) sebagai suatu keseluruhan adalah sebuah apel. Apel tersebut dapat dibagi-bagi secara horisontal maupun secara vertikal, yang pada setiap potongan akan mengandung bagian dari potongan bagian lainnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa setiap bagian dari dimensi internal akan mengandung bagian-bagian dari dimensi eksternal, demikian pula sebaliknya. Interaksi yang terjadi di dalam bagian-bagian dan antar bagian pada dimensi internal, eksternal, ataupun keduanya, berkaitan erat dengan integrasi serta efektifitas keberfungsian diri secara keseluruhan sebagai suatu keutuhan. Seorang individu yang terintegrasi dengan baik akan menunjukkan derajat konsistensi interaksi yang tinggi, baik di dalam bagian dari dirinya sendiri (intrapersonal communication) maupun dengan individu-individu lain (interpersonal communication).


(43)

b. Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif

Wicklund dan Frey (1980) dalam Calhoun (1990) menyatakan pendapatnya bahwa yang menjadikan penerimaan diri kepada bentuk konsep diri positif adalah ketika seorang individu dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali. Tidak seperti konsep diri yang terlalu kaku atau terlalu longgar, konsep diri yang positif lebih bersifat stabil dan bervariasi. Menurut Chodorkoff (1954) dalam Calhoun(1990), konsep diri positif ini berisi berbagai "kotak kepribadian", sehingga seorang individu dapat menyimpan informasi tentang dirinya sendiri, baik itu informasi yang negatif maupun yang positif. Jadi seorang individu dengan konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri.

Calhoum dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe, yaitu:

1) Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau sesuatu yang dihargai dalam kehidupannya.

2) Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras sehingga menciptakan cita diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.


(44)

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan konsep diri negatif adalah keadaan dimana individu tidak tahu siapa dirinya, tidak mengetahui kekurangan, dan kelebihannya serta individu memandang dirinya terlalu stabil dan teratur (kaku).

B. Abdi Dalem Keraton Yogyakarta

1. Pengertian Abdi Dalem Keraton Yogyakarta

Abdi dalem keraton merupakan agen pelestari budaya atau salah satu perwakilan pelestari budaya seperti yang diharapkan Sultan Hamengku Buwana X. Pernyataan tersebut juga pernah disampaikan oleh Sultan Hamengku Buwana IX pada saat penobatan sebagai Raja Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 18 Maret 1940. Menurut Maharkesti (2003) dalam Subarjo (2010) yang disebut dengan abdi dalem Keraton Yogyakarta adalah semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang bekerja di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta. Menurutnya, pada zaman pemerintahan Hamengku Buwono VII, abdi dalem di Keraton Yogyakarta secara umum dibagi ke dalam dua golongan, yaitu abdi dalem perempuan yang disebut dengan abdi dalem keparak dan abdi dalem laki-laki. Untuk abdi dalem laki-laki tidak ada sebutan khusus. Jadi ketika menyebut kata abdi dalem secara langsung atau tidak sudah menunjuk kepada abdi dalem laki-laki.

Menurut Joyokusumo dalam Subarjo (2010) abdi dalem adalah semua orang, baik laiki-laki maupun perempuan, yang bekerja di dalam lingkungan


(45)

Keraton Yogyakarta. serta ditetapkan dengan serat kekancingan dari raja untuk bekerja di tempat yang ada hubungannya dengan Keraton Yogyakarta. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa abdi dalem keraton adalah semua orang yang bekerja dan mengabdi di lingkungan keraton yang disertai dengan surat pengangkatan berupa surat kekancingan dari Keraton Yogyakarta dan juga sebagai pelestari budaya sekaligus “jati diri” Bangsa Indoensia.

2. Penggolongan Abdi Dalem

Penggolongan abdi dalem dibedakan menjadi dua, yaitu abdi dalem punakawan dan abdi dalem kaprajan. Abdi dalem punakawan adalah abdi dalem yang bertugas di keraton, sedangkan abdi dalem keprajan adalah seluruh pegawai pemerintah daerah yang mendapat SK Gubernur dan meminta pangkat (kelengahan) di keraton (Sulistyowati, 1999).

3. Sejarah dan Pengertian Abdi Dalem Punakawan dan Abdi Dalem Keprajan

Pada jaman kolonial siapa saja yang bekerja di lingkungan keraton disebut abdi dalem. Menurut Wibawa (2005) pada saat itu sudah ada pembagian kerja. Abdi dalem yang bekerja di dalam benteng disebut abdi dalem punakawan dan abdi dalem yang bekerja di luar benteng disebut abdi dalem kepatihan. Setelah Yogyakarta mendeklarasikan menjadi bagian Republik Indonesia, abdi dalem


(46)

kepatihan diubah menjadi abdi dalem kaprajan dan berstatus Pegawai Negeri Sipil, dimana untuk pemberian gajinya dilakukan oleh pemerintah pusat, sedangkan abdi dalem punakawan tetap menerima gaji dari Keraton Yogyakarta. Menurut Wibawa (2005) gaji yang dterima abdi dalem kaprajan meningkat mengikuti perkembangan jaman, sedangkan abdi dalem punakawan hampir dikatakan tetap.

Wibawa juga mengatakan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX semua pegawai Pemda Propinsi DIY secara otomatis menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta. Namun setelah Sultan Hamengku Buwono X naik tahta, pegawai Pemda Propinsi DIY tidak secara otomatis menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta, melainkan diwajibkan untuk mendaftar terlebih dahulu. Kemudian pangkat pada abdi dalem disesuaikan dengan pangkat atau golongannya dalam Pegawai Negeri Sipil.

4. Hak dan Kewajiban Abdi Dalem Keraton

Seorang abdi dalem keraton tidak lepas dari hak dan kewajiban. Menurut Sudaryanto (2005) hak sebagai abdi dalem keraton meliputi kepangkatan, gelar nama, gaji, kesejahteraan, dan uang pensiun. Hal ini juga senada dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh national geographic dengan abdi dalem keraton yang bernama KRT. H. Jatingrat yang akrab disapa Romo Tirun. Humas Keraton Yogyakarta tersebut mengatakan bahwa para abdi dalem mendapatkan gelar dari Keraton dan mendapatkan pendidikan. Hal ini untuk menandakan bahwa mereka


(47)

adalah benar-benar abdi dalem Keraton Yogyakarta yang memahami segala adat dan peraturan Keraton. Abdi Dalem yang masih memiliki hubungan darah dengan Keraton akan mendapatkan gelar Raden. Untuk abdi dalem yang tidak memiliki hubungan darah dengan Keraton akan mendapatkan gelar dengan sebutan Mas Bekel, Mas Rono, dan Mas Lurah. Sudaryanto juga menyebutkan beberapa kewajiban sebagai abdi dalem keraton yang meliputi caos, presensi, dan mengikuti upacara adat.

5. Motivasi Menjadi Abdi dalem Keraton

Seseorang yang ingin menjadi abdi dalem keraton tentunya memiliki motivasi atau dorongan menjadi abdi dalem keraton. Menurut Sudaryanto (2005) motivasi seseorang menjadi abdi dalem keraton adalah berupa keinginan untuk mendapatkan ketentraman hidup dan mencari berkah.

C. Keraton Yogyakarta 1. Keraton Yogyakarta

Yogyakarta sebagai salah satu daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai sejarah, peran, dan pengaruh yang kuat terhadap Bangsa Indonesia. Sejarah yang dimaksud adalah Yogyakarta merupakan satu-satunya swapraja, kerajaan zaman kolonial, yang berhasil dan konsisten mempertahankan diri dalam Negara Indonesia. Layaknya sebuah negara yang


(48)

merdeka, Yogyakarta mempunyai kepemimpinan tersendiri yang dikenal dengan kesultanan, wilayah, rakyat dan birokrasi pemerintahan, yang kemudian dikukuhkan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta oleh perundang-undangan Republik Indonesia (RI) pada tanggal 17 Agustus 1945. Menurut Suwarno (1994) wilayah kekuasaannya meliputi wilayah Kasultanan dan Paku Alaman serta daerah enclave, Ngawen, Kotagede, dan Imogiri. Pasangan pemimpin pada saat itu adalah Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai kepala dan wakil kepala daerah. Periode jabatannya juga berbeda dengan daerah lain yang menetapkan pergantian kepala dan wakil kepala daerah setiap lima tahun sekali. Oleh karena itu, beberapa keunikan tersebut menjadi motivasi keberadaan Yogyakarta yang diistimewakan.

Keraton Yogyakarta adalah pusat wilayah tempat kediaman Raja atau Sri Sultan beserta keluarganya. Tidak hanya raja dan keluarga saja tetapi juga para abdi dalem keraton. Para abdi dalem ini tinggal di lingkungan tempat-tempat yang berbeda. Menurut Suwarno (1994) Keraton Yogyakarta sendiri dibagi menjadi kediaman raja dan keluarga yaitu keraton. Kemudian menyusul lingkungan yang disebut Kutanagara atau yang kemudian disebut dengan Nagara atau Nagari. Di lingkungan wilayah ini, tinggal abdi dalem teras kerajaan yang menjalankan tugas atas perintah raja. Lingkungan luarnya disebut NagaraAgung yang merupakan tanah lungguh para abdi dalem yang tinggal di wilayah Nagari. Lingkungan paling luar disebut Mancanagara dan pasisiran (pantai) yang diperintah oleh para bupati yang ditunjuk oleh raja.


(49)

Pasca kemerdekaan komunitas keraton masih tetap berusaha mempertahankan spirit doktrin keagung binataran. Menurut Meodjanto doktrin ini memuat ajaran kekuasaan raja yang besar sehingga rakyat sampai mengakui bahwa raja adalah pemilik segala sesuatu, baik harta benda maupun manusia. Sri Sultan Hamengku Buwono mengisyaratkan tahta bagi kesejahteraan kehidupan sosial budaya rakyat, secara retoris dinyatakan “buat apa sebuah tahta dan

menjadi sultan, bila tidak memberi manfaat bagi masyarakat”. Menurut Atmakusumah (1982) cara pandang seperti ini yang membuat para abdi dalem memiliki loyalitas yang tinggi terhadap keraton.

2. Budaya Keraton Yogyakarta

Dalam bukunya, Soenarto (2012) mengemukakan kebudayaan keraton dapat dilihat dari bangunan-bangunan dan tanaman-tanaman yang terdapat di dalam keraton. Bangunan-bangunan dan tanaman-tanaman keraton tersebut adalah symbol-simbol yang bermakna dan memiliki ciri khas Budaya Jawa. Selain itu, di dalam Keraton terdapat peraturan yang wajib ditaati oleh semua warga Keraton, baik Keluarga Keraton maupun para Abdi Dalem. Sebagai warga Keraton ada kewajiban datang (sowan) ke Keraton sesuai dengan kepentingan yang dikerjakan oleh masing-masing.

Budaya berpakaian di dalam Keraton memiliki perbedaan antara Keluarga Keraton dengan para Abdi dalem Keraton. Para Abdi dalem mengenakan kain batik bercorak, ikat pinggang, baju peranakan, tutup kepala atau disebut dengan blangkon, keris, sandal, dan samir. Selain itu para abdi dalem diwajibkan memiliki sikap sopan, perilaku, dan berbahasa yang baik di dalam Keraton


(50)

maupun di luar Keraton sesuai dengan budaya yang dianut oleh masyarakat Jawa yaitu Budaya Jawa. Idrus (2004) mengemukakan, budaya Jawa merupakan budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai atau adat istiadat dan unggah-ungguh yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa Budaya Keraton tidak terlepas dari Budaya Jawa.

D. Budaya Jawa

1. Pengertian Budaya Jawa

Menurut Koentjaraningrat (1985) kebudayaan Jawa merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman hidup. Menurut Idrus (2004) budaya Jawa merupakan budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai atau adat istiadat dan unggah-ungguh yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Selain itu Suseno (1985) mengungkapkan bahwa salah satu tata krama Budaya Jawa adalah prinsip tidak boleh mengungkapkan segala sesuatu secara langsung karena dianggap kurang sopan jika mengungkapkan sesuatu yang dikehendaki.

2. Perilaku Masyarakat Jawa

Nilai kebudayaan yang diperoleh dari proses belajar menghasilkan sikap dan perilaku tertentu dalam menjalaninya. Menurut Soekanto (1990) kebudayaan


(51)

mengisi serta menentukan jalannya kehidupan manusia. Prinsip yang mengarahkan perilaku ini dikenal dengan istilah value atau nilai. Rokeach dalam Muniarti dan Beatrix (2000) mendefinisikan nilai sebagai tujuan yang diharapkan seseorang. Nilai berfungsi sebagai prinsip yang mengarahkan perilaku, dan memiliki derajat kepentingan yang berbeda-beda. Pandangan Moghaddam dan Studer dalam Utama (2003) menyebutkan bahwa perilaku manusia bukan dilihat dari hubungan sebab akibat melainkan dari keterkaitan normatif manusia dan lingkungan sekitarnya, sehingga budaya menentukan perilaku yang dianggap tepat tentang bagaimana seharusnya seseorang berperilaku.

Menurut Hardjowirogo (1983) orang Jawa tidak bisa melepaskan diri dari lilitan tradisinya sehinga perilaku-perilaku orang Jawa juga tidak lepas dari budaya Jawa. Manusia Jawa digambarkan sebagai makhluk yang tidak begitu tertarik terhadap materi dan merasa bangga akan gambaran mengenai dirinya. Mulder (1984) menyebutkan kaidah-kaidah moril Javanisme yang menekankan pada sikap narima, sabar, waspada-eling (mawas diri), andap asor (rendah diri), dan prasaja (sahaja), serta dorongan-dorongan dan emosi-emosi pribadi. Mudler juga mengatakan bahwa sumber budaya Jawa berpusat pada pendidikan budi pekerti, budi luhur, budi utama, sopan santun, lemah lembut, ramah tamah, sabar, dan menerima diri apa adanya.

Interaksi masyarakat jawa dalam kehidupan memiliki berbagai macam peraturan dengan tujuan menjaga keselarasan dalam masyrakat. Greetz dalam Suseno (1996) menyebutkan bahwa terdapat dua kaidah yang paling menentukan


(52)

dalam segala situasi manusia hendak bersikap sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain. Dua kaidah ini adalah prinsip rukun dan prinsip hormat. Suseno juga mengatakan bahwa nilai rukun dan hormat secara turun-temurun telah mendasari pandangan-pandangan hidup orang Jawa.

E. Anak

1. Pengertian Anak

Dalam bukunya, Santrock (2003) menjelaskan beberapa fase anak. Masa awal anak-anak memiliki rentang usia kira-kira 5 atau 6 tahun. Untuk pertengahan dan akhir anak-anak ialah periode perkembangan yang memiliki rentang usia kira-kira 6 hingga 11 tahun atau kira-kira-kira-kira setara dengan tahun-tahun sekolah dasar. Sehingga dapat diartikan anak adalah seseorang yang memiliki rentang usia 5 sampai 11 tahun

2. Perkembangan Sosio Emosional Masa Anak-anak

Masa anak-anak pasti tidak terlepas oleh masa-masa bermain dengan teman sebaya dan relasi dengan keluarga. Masa-masa ini sangat berpangaruh dalam pembentukan sosio emotional pada anak. Dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan relasi orang tua, anak akan belajar dan berkembang secara sosial.


(53)

Relasi pertama seorang anak terjadi dalam keluarga. Hal tersebut tentu saja berkaitan dengan pola asuh orang tua terhadap anaknya. Menurut Santrock (2003) pola asuh adalah pola atau bentuk pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, dan termasuk dalam pengaruh mikrosistem terhadap perkembangan. Menurut Utti (2006), Okapko (2004), dan Ofoegbu (2002) dalam Okorodudu (2010), pola asuh adalah tindakan orang tua dalam pengasuhan anak, pelatihan, pemeliharaan, atau pendidikan anak. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah bentuk pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, pelatihan, pemeliharaan, atau pendidikan anak yang mempengaruhi perkembangan anak.

Definisi teman sebaya dalam Santrock (2007) yaitu anak-anak yang tingkat usia dan kematangannya kurang lebih sama. Interaksi teman sebaya yang mengisi suatu peran yang unik dalam kebudayaan kita. Penelitian yang dilakukan oleh Suaomi, Harlow, dan Domek (1970) dalam Santrock (2007) menjawab pentingya peran teman sebaya bagi perkembangan anak. Penelitian ini menggunakan subjek sekumpulan monyet dimana sekumpulan monyet sebaya yang diasuh bersama dipisahkan, mereka menjadi depresi dan kurang berkembang secara sosial.

Sebagian besar interaksi anak-anak dengan teman sebaya akan melibatkan permainan. Permainan adalah suatu kegiatan yang menyenangkan yang dilakukan untuk kepentingan kegiatan itu sendiri. Menurut Freud dan Erikson dalam Santrock (2007), permainan adalah suatu bentuk penyesuaian diri manusia yang


(54)

berguna dalam membantu anak dalam perkembangan kognitif. Menurut Piaget (1962) dalam Santrock (2007) permainan memungkinkan anak mempraktekkan kompetensi-kompentensi dan ketrampilan-ketrampilan mereka yang diperlukan dengan cara yang santai dan menyenangkan. Piaget yakin bahwa struktur–struktur kognitif perlu dilatih dan permainan memberi setting yang sempurna bagi latihan ini.

F. Konsep Diri Anak

Menurut Harter (1998) anak akan memahami diri pada masa anak-anak berdasarkan atas berbagai peran dan kategori-kategori keanggotaan yang mendefinisikan siapa anak itu. Damon dan Hart (1988 dan 1992) menyebutkan bahwa meskipun bukan keseluruhan identitas pribadi, tetapi pemahaman diri memberi tiang pondasi rasionalnya. Pemahaman diri ialah representasi kognitif diri anak, bahan dan konsep diri. Konsep diri (self-concept) mengacu pada bidang spesifik pada dirinya. Anak-anak dapat membuat evaluasi diri dalam banyak bidang kehidupan mereka, seperti bidang akademis, atletik, penampilan, dan lain-lain. Misalnya, seorang anak perempuan berusia 5 tahun memahami bahwa ia adalah seorang perempuan, berambut hitam, suka mengendarai sepedanya, mempunyai seorang teman, dan seorang perenang.

Menurut Keliat (2005) konsep diri anak berkembang secara bertahap melalui pengalaman dan hubungan dengan keluarga atau orang-orang di sekitarnya, sehingga konsep diri anak terbentuk melalui kontak sosial dan belajar.


(55)

G. Konsep Diri Anak Abdi Dalem Keraton

Jika kita membicarakan konsep diri maka kita akan dihadapkan pertanyaan-pertanyaan tentang diri kita, seperti “siapa saya?”, “apa peran saya

dalam kehidudpan?”, “bagaimana nilai-nilai kehidupan yang saya anut?”, “apa

cita-cita saya kelak?”, “bagaiamana pandangan orang tentang saya?”. Menurut Aritoteles (384-322 SM) dalam Abdulkarim (2006) manusia merupakan makhluk sosial yang artinya pada dasarnya manusia adalah makhluk yang ingin selalu bergaul dan berkumpul dengan manusia serta bermasyarakat. Hal tersebut mendasari konsep diri pada seseorang yang akan terbentuk melalui interaksi sosial dan konsep diri inilah yang akan mempengaruhi perilaku manusia, dimana pengertian tersebut sejalan dengan pengertian menurut John Kinch (1963) dalam Fitts (1971).

Kemudian dalam konteks ini kita mempertanyakan apa yang disebut dengan konsep diri itu. Dalam penelitian ini konsep diri dijelaskan dengan beberapa teori yang sudah dijelaskan diatas. Oleh karena itu, peneliti mengambil kesimpulan berdasarkan beberapa teori yang sudah dijelaskan diatas bahwa gagasan tentang konsep diri mencakup keyakinan, pandangan, dan penilaian seseorang kepada dirinya sendiri. Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat konsep diri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang konsep diri, dan bagaimana kemampuan berpikir seseorang. Konsep diri terbentuk melalui interaksi sosial dan konsep diri ini akan mempengaruhi perilaku manusia tersebut.


(56)

Dari fenomena-fenomena yang telah diuraikan peneliti pada latar belakang tentang anak abdi dalem keraton yang memilih mengabdi dan bekerja sebagai abdi dalem keraton di usia anak-anak serta lebih memilih membantu pekerjaan orang tua sebagai abdi dalem keraton daripada bermain dengan anak seusianya. Fenomena anak abdi dalem ini berbeda dengan anak pada umum yang lebih memilih bermain dengan teman sebaya daripada bekerja atau mengabdikan diri kepada Keraton di usianya yang masih anak-anak atau merasa lebih senang membantu pekerjaan orang tua sebagai abdi dalem keraton setelah pulang sekolah daripada bermain dengan teman-teman sebaya setelah pulang sekolah. Fenomena anak abdi dalem ini juga berbeda dengan teori-teori perkembangan sosio emosional masa anak-anak sehingga peneliti menganggap fenomena ini merupakan fenomena yang unik.

Penelitian ini merumuskan satu permasalahan untuk dikaji, yakni apa konsep diri anak abdi dalem keraton. Berdasarkan teori-teori di atas mengenai pengertian konsep diri, pembentuk konsep diri, dan dampak konsep diri, maka dapat dirumuskan bahwa konsep diri anak abdi dalem keraton adalah gagasan tentang konsep diri anak yang mencakup keyakinan, pandangan, dan penilaian anak kepada dirinya sendiri yang terbentuk dari hasil interaksi sang anak dengan orang tua yaitu abdi dalem keraton dan lingkungannya yaitu lingkungan budaya jawa yang akan mempengaruhi perilaku anak.


(57)

BAB III Metode Penelitian

A. Paradigma Penelitian Kualitatif

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif untuk menghasilkan dan pengolahan data yang sifatnya deskriptif, seperti transkrip wawancara dan perilaku-perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif adalah proses pencarian data untuk memahami masalah sosial yang didasari pada penelitian yang menyeluruh dibentuk oleh kata-kata, dan diperoleh dari situasi yang alamiah.

Penelitian kualitatif didefinisikan secara beragam sesuai dengan sudut pandang yang dipakai oleh para ahli. Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau perilaku yang diamati. Definisi tersebut lebih menitik beratkan pada jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian yakni data deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif dan berupaya menggali makna dari suatu fenomena. Hal ini hampir sama dengan yang dikatakan Matthew B. Milees dan A. Michael hubertman (M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, 2012, dalam Pika dkk, 2009) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif lebih menekankan aspek proses mendapatkan data melalui kontak secara intensif dalam situasi sosial.


(58)

Pada penelitian kualitatif, peneliti berusaha memahami subjek dari kerangka berpikirnya sendiri. Dengan demikian, yang penting adalah pengalaman, pendapat, perasaan dan pengetahuan partisipan (Poerwandari, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri anak abdi dalem keraton Yogyakarta. Peneliti akan menggali penghayatan subjek terhadap usahanya dalam menjelaskan gambaran tentang dirinya. Menurut Poerwandari (2007) untuk mendapatkan pemahaman mendalam dan khususnya atas suatu fenomena serta untuk memahami manusia dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk yang subjektif, maka pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang paling sesuai untuk digunakan. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini tidak kaku. Penelitian kualitatif sifatnya fleksibel, dalam arti kesesuaiannya tergantung dari tujuan setiap penelitian. Walaupun demikian selalu ada pedoman untuk diikuti, tapi bukan aturan yang mati (Cassel &Symon, 1994:Strauss, 1987:Taylor & Bogdan, 1984 dalam Pika dkk, 2009).

Metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui konsep diri adalah metode analisis isi (content analysis). Alasan penggunaan metode ini karena metode atau pendekatan ini bertujuan untuk menafsirkan secara subyektif isi data berupa teks melalui proses klarifikasi sistematik seperti coding dan indentifikasi aneka tema (Hsieh & Shannon dalam Supratiknya, 2015). Analisis isi merupakan analisis mendalam yang dapat digunakan untuk penelitian kuantitatif dan kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, analisis isi melibatkan isi dari komunikasi berupa percakapan, teks tertulis, dan wawancara yang akan dikategorikan serta diklasifikasikan. Selain itu, objek dari analisis isi dalam kualitatif berupa transkrip


(59)

wawancara, rekaman, dokumen, dan sebagainya (Elo & Kyngas dalam Supratiknya, 2015).

Dalam analisis isi (content analysis), terdapat dua pendekatan yaitu analisis isi konvensional (pendekatan induktif) dan analisis isi terarah (pendekatan deduktif). Dalam penelitian ini menggunankan pendekatan deduktif atau dapat disebut directed content analysis. Elo dan Kyngas dalam Supratiknya (2015) menjelaskan bahwa pendekatan ini bertujuan untuk menguji kembali atau memvalidasi ketegori, konsep, hipotesis, bahkan teori yang sudah pernah didapatkan dalam sebuah konteks baru dengan subyek yang baru. Hsieh dan Shannon dalam Supratiknya (2015) menyatakan bahwa penggunaan teori pada pendekatan ini dapat membantu menetukan skema pengodean awal.

Pendekatan ini lebih cocok digunakan oleh peneliti karena data yang akan diperoleh dari informan akan diuji ulang dan dikategorikan sesuai dengan teori yang digunakan peneliti sebagai pegangan serta acuan.

B. Subjek Penelitian 1. Populasi

Menurut Hadi (1990 dalam Pika dkk 2009), populasi merupakan sejumlah individu yang paling sedikit mempunyai satu ciri atau sifat yang sama. Populasi ini kemudian diambil contoh atau sampel yang diharapkan dapat mewakili


(60)

populasi. Pada penelitian ini, populasi yang diambil adalah para anak abdi dalem keraton Kesultanan Yogyakarta.

2. Sampel

Dalam memperoleh subyek penelitian, teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan subjek yang didasarkan atas adanya tujuan tertentu dan kriteria tertentu (Herdiansyah, 2015). Teknik ini dilakukan karena beberapa pertimbangan yaitu keterbatasan waktu, tenaga, dan dana sehingga tidak mengambil sampel yang besar dan jauh. Pengambilan sampel pada penelitian ini tidak dilakukan secara acak tetapi dipilih mengikuti kriteria tertentu dan kepada subyek juga ditanyakan mengenai kesediannya untuk menjadi subyek penelitian.

Adapun kriteria-kriteria untuk menentukan subyek adalah sebagai berikut: a. Seorang anak yang memiliki rentang usia kira-kira 5 hingga 11

tahun.

b. Masih bersekolah.

c. Memiliki orang tua sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta. d. Berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta.


(61)

C. Metode Pengumpulan Data 1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Maksud mengadakan wawancara, seperti ditegaskan Lincoln dan Guba (1985), antara lain: mengkontruksikan mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; merekontruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.

Wawancara dilakukan terhadap subjek penelitian dan significant other (orang terdekat dan sekeliling subjek). Peneliti akan menggunakan wawancara semi terstruktur. Peneliti merancang serangkaian pertanyaan yang disusun dalam suatu daftar wawancara, akan tetapi daftar tersebut digunakan untuk menuntun dan bukan untuk mendikte wawancara tersebut. Wawancara semi terstruktur memfasilitasi terbentuknya hubungan atau empati, memungkinkan keluwesan yang lebih besar dalam peliputan dan memungkinkan wawancara untuk memasuki daerah-daerah baru, dan cenderung untuk menghasilkan data yang lebih subur (Smith, 2013).


(62)

2. Observasi

Poerwandari (2005) mengemukakan bahwa observasi adalah metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apa lagi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Observasi bertujuan mendeskripsikan setting yang dipelajari aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yangterlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Peneliti yang baik akan melaporkan hasil obsevasinya secara deskriptif, tidak secara interpretative. Deskripsi hendaknya memadai dalam detail dan ditulis sedemikian rupa untuk memungkinkan pembaca memvisualisasikan setting yang diamati. Peneliti melakukan observasi secara tertutup, observasi tertutup adalah observasi yang dilakukan tanpa diketahui oleh subyek dan dilakukan secara diam-diam. Hal ini dikarenakan bahwa manusia pada umumnya bertingkah laku berbeda bila tahu mereka diamati. Sebaliknya, individu yang tidak menyadari bahwa mereka diamati akan bertingkah laku biasa (tidak dibuat-buat atau disesuaikan dengan harapan sosial). Selanjutnya peneliti mencatat segala sesuatu yang dilakukan subjek yang dapat memberikan makna dan informasi.

Hal-hal yang perlu untuk diobservasi dalam penelitian ini yaitu :

a. Kesan umum terdiri dari kondisi fisik subyek serta lingkungan tempat tinggal.

b. Kegiatan sehari-hari terdiri dari interaksi subyek dengan keluarga danlingkungan sosial.


(63)

c. Ekspresi dan perilaku subyek saat proses wawancara.

D. Metode Analisis Data

Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi terarah dengan penerapan kategori secara deduktif. Elo & Kyngas dalam Supratiknya (2015) menjeaskan langkah pertama untuk menganalisis data dengan menyusun sebuah kerangka berdasarkan kategori. Hsieh dan Shannon dalam Supratiknya (2015) menambahkan pada langkah pertama, peneliti akan mengajukan pertanyaan terbuka tentang pengalaman atau perasaan informan yang sesuai konteks penelitian dan selanjutnya akan diajukan pula pertanyaan-pertanyaan terarah menuju kategori yang sudah ditetapkan.

Pada langkah kedua peneliti akan melakukan coding data agar semua yang nampak dari data para informan dapat diidentifikasikan dan dibagi perkategori yang sejenis atau bermakna sama (Hsieh dan Shannon dalam Supratiknya, 2015). Sebelum proses pengodean dilakukan, peneliti akan membaca seluruh transkrip wawancara kemudian menentukan kode-kode yang sesuai dengan teori yang ditetapkan oleh peneliti. Setelah proses pengodean dilakukan, peneliti akan memilah-milah bagian mana yang termasuk dalam satu kategori baru dan subkategori dari salah satu kode yang sudah ada sebelumnya.


(64)

E. Uji Keabsahan dan Keandalan Data

Dalam Moleong (2010), uji keabsahan data bertujuan agar data dapat dipertanggungjawabkan sehingga data memiliki tingkat kepercayaan dan keakuratan yang tinggi. Pemeriksaan keabsahan data didasarkan pada kriteria tertentu. Kriteria itu terdiri atas derajat kepercayaan (kredibilitas), keteralihan, ketergantungan dan kepastian. Masing-masing kriteria tersebut menggunakan teknik pemeriksaa sendiri-sendiri. Kriteria derajat kepercayaan datanya dilakukan dengan teknik perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, pengecekan, kecukupan refensial, kajian kasus negatif dan pengecekan anggota. Pada penelitian ini uji kesahihan dan keandalan data dilakukan dengan metode Triangulasi.

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi dengan pemeriksaan melalui sumber lainnya. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton 1987).


(65)

F. Pedoman Observasi dan Wawancara 1. Pedoman Observasi

Observasi akan dilakukan bersamaan dengan wawancara. Observasi akan dilakukan secara tertutup, yaitu tanpa sepengetahuan subyek. Hal-hal yang perlu untuk diobservasi dalam penelitian ini yaitu :

a. Kesan umum terdiri dari kondisi fisik subyek serta lingkungan tempat tinggal.

b. Kegiatan sehari-hari terdiri dari interaksi subyek dengan keluarga danlingkungan sosial.

c. Ekspresi dan perilaku subyek saat proses wawancara.

2. Pedoman Wawancara

Dimensi dari konsep diri dikemukakan oleh Fitts (1971), dimana Fitts sependapat dengan Rogers yang menganggap bahwa diri sebagai suatu obyek sekaligus juga sebagai suatu proses, yang melakukan fungsi persepsi, pengamatan serta penilaian.Keseluruhan kesadaran mengenai diri yang diobservasi, dialami serta dinilai ini adalah konsep diri. Berdasarkan pendapatnya itu, Fitts membagi konsep diri ke dalam 2 (dua) dimensi pokok, yaitu :

a. Dimensi Internal

1)Diri identitas (identity self)


(66)

2)Diri pelaku (behavior self)

Kegiatan apa saja yang Anda lakukan? 3)Diri pengamat/penilai (judging self)

Menurut Anda, Anda merupakan seorang anak yang seperti apa? b.Dimensi Internal

1)Diri fisik (physical self)

Menurut Anda, Anda memiliki fisik yang seperti apa?

Bagian manakah dari fisik Anda yang paling disukai dan tidak disukai? Bagaimana penilaian orang tua dan teman-teman tentang fisik Anda? Apa yang Anda lakukan dengan penilaian-penilaian yang Anda dapat? 2)Diri moral-etik (moral-ethcal self)

Apa agama Anda?

Apa yang Anda dapat dari agama yang Anda anut? Apa fungsi agama untuk Anda?

Bagaiamana Anda menjalankan ajaran-ajaran agama? 3)Diri personal (personal self)

Apa perasaan Anda dengan segala sesuatu yang ada pada diri Anda? 4)Diri keluarga (family self)

Apa perasaan yang Anda rasakan apabila sedang bersama keluarga? Bagaimana perlakuan keluarga Anda kepada dirianda?

Apa yang Anda lakukan dengan perlakuan tersebut? 5)Diri social (social self)


(67)

Bagaimana hubungan Anda dengan keluarga, teman-teman, dan tetangga?

Kegiatan apa saja yang Anda lakukan dengan keluarga, teman-teman, dan tetangga?

Apa penilaian Anda dengan kegiatan-kegiatan yang Anda lakukan dengan mereka?

Penilaian apa yang Anda dapat dari mereka? Apa yang Anda lakukan dengan penilaian mereka?


(1)

rumah dan lain-lain tadi?

Senang

3. Terus ada harapan lagi gak setelah Asih tadi sudah memiliki motor, rumah, dan lain-lain tadi, punya cita-cita lain lagi tidak?

Tidak, sudah cukup. 4. Lalu untuk fisik Asih

yang cantik dan kecil tadi punya harapan lain lagi gak?

Gak ada. Diri keluarga

(family self)

1. Kalo Asih lagi bareng sama keluarga, sama Bapak, Ibuk, adik dan embak rasanya apa? Senang.

2. Terus kegiatannya apa aja kalo sama mereka?

Nonton TV.

3. Terus ada lagi tidak? Ehm kalo nonton TV biasanya sambil ngapain?

Makan.

4. Terus yang dilakukan kalian pas nonton TV sambil makan tu ada kegiatan lain lagi gak? Gak ada.

5. Apa yang pernah diberi oleh Bapak atau Ibukke Asih?

Dibiayai sekolah. 6. Oh biayai sekolah?

Iya.

7. Terus Asih ngasih balik ke Bapak Ibu apa?

Membantu orang tua. 8. Oh jadi setelah Asih

Subjek adalah anak yang berbakti dengan orang tua karena orang tua subjek telah mensekolahkan subjek.


(2)

dibiayai sekolah Asih memberikan timbal balik ke orang tua dengan membantu orang tuanya?

Iya Diri sosial (social

self)

1. Terus hubungan kamu sama teman-teman gimana? Tadikan kalo sama keluarga baik sering nonton sering makan-makan bareng terus kalo sama teman-teman?

Baik.

2. Baik? Baik seperti apa?

Jadi kalo sama teman-teman pernah tidak terjadi berantem gitu? 3. Tidak, rukun?

4. Jadi baiknya karena rukun itu?

Iya.

5. Tadi kegiatannya apalagi ya selain kasti tadi?

Gobak sodor.

6. Lalu kalo sama Bapak atau Ibu pernah dimarahi tidak? Nggak.

7. Terus kalo sama tetangga kegiatannya apa?

Arisan.

8. Ada kegiatanlagi? Tidak ada.

9. Terus perasaannya Asih bagaimana saat Asih berkumpul dengan tetangga seperti arisan tadi? Senang.

10.Ada penilaian dari tetangga tentang

Subjek merupakan pribadi yang mau bersosial dengan teman-teman dan tetangga.


(3)

Asih? Tidak ada.


(4)

Lampiran 2

A. Hasil Uji Keabsahan Data 1. Subjek 1

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji keabsahan data dengan teknik triangulasi dengan sumber. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton 1987).

Peneliti menanyakan kembali pertanyaan-pertanyaan yang telah ditanyakan dalam wawancara sebelumnya kepada subjek. Berdasarkan perbandingan jawaban-jawaban yang telah dijawab subjek dapat disimpulkan tidak ada perbedaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa subjek menjawab dengan jujur. Selain itu, peneliti mewawancarai Ayah subjek tentang gambaran diri subjek. Ayah subjek mengatakan bahwa subjek adalah anak yang sangat peduli dengan orang lain terlebih pada orang tua dan adik-adiknya. Ayah subjek menceritakan bahwa subjek senang menabung dari hasil uang saku karena dia tidak mau menghabiskan uang pemberian Ayahnya. Subjek merasa kasian kepada Ayahnya bila sang Ayah tidak memiliki uang.

Informasi lain mengenai subjek datang dari sang Ibu, menurutnya subjek adalah anak yang sangat mengasihi adik dan orang tuanya. Subjek bangun pagi setiap hari untuk menemani adiknya ketika sang Ibu sedang sibuk di dapur. Subjek juga lebih mementingkan kedua adiknya dibandingkan kepentingan


(5)

dirinya. Subjek lebih memilih menemani kedua adiknya karena sang Ibu sedang sibuk memebereskan barang dagangan ketika subjek diajak bermain oleh teman-temannya.

Dari hasil uji keabsahan data dengan teknik Triangulasi dengan sumber di atas dapat disimpulkan bahwa data hasil wawancara dengan subjek dapat dipercaya.

2. Subjek 2

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji keabsahan data dengan teknik triangulasi dengan sumber. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton 1987).

Peneliti menanyakan kembali pertanyaan-pertanyaan yang telah ditanyakan dalam wawancara sebelumnya kepada subjek. Berdasarkan perbandingan jawaban-jawaban yang telah dijawab subjek dapat disimpulkan tidak ada perbedaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa subjek menjawab dengan jujur. Selain itu, peneliti, Ayah subjek mengatakan bahwa subjek adalah anak tidak suka menuntut macam-macam seperti anak jaman sekarang. Selain itu, subjek merupakan anak yang mengerti dengan kondisi orang tua, bila orang tuanya hanya dapat menyediakan hasil kebun untuk makan, subjek tidak pernah menuntut lebih dari itu. Ketika anak seusianya lebih memilih bermain, subjek lebih mengutamakan membantu orang tua di rumah.


(6)

Informasi lain mengenai subjek datang dari sang Ibu, menurutnya subjek adalah anak yang sangat patuh dan hormat dengan orang tua. Subjek akan segera melaksanakan perintah kedua orang tuanya bila subjek diberi perintah. Subjek tidak pernah melawan kepada orang tua, menurut Ibu subjek anak jaman sekarang banyak yang berani dengan orang tuanya akan tetapi subjek tidak demikian.

Dari hasil uji keabsahan data dengan teknik Triangulasi dengan sumber di atas dapat disimpulkan bahwa data hasil wawancara dengan subjek dapat dipercaya.