Keraton Yogyakarta Keraton Yogyakarta

27 merdeka, Yogyakarta mempunyai kepemimpinan tersendiri yang dikenal dengan kesultanan, wilayah, rakyat dan birokrasi pemerintahan, yang kemudian dikukuhkan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta oleh perundang-undangan Republik Indonesia RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Menurut Suwarno 1994 wilayah kekuasaannya meliputi wilayah Kasultanan dan Paku Alaman serta daerah enclave, Ngawen, Kotagede, dan Imogiri. Pasangan pemimpin pada saat itu adalah Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai kepala dan wakil kepala daerah. Periode jabatannya juga berbeda dengan daerah lain yang menetapkan pergantian kepala dan wakil kepala daerah setiap lima tahun sekali. Oleh karena itu, beberapa keunikan tersebut menjadi motivasi keberadaan Yogyakarta yang diistimewakan. Keraton Yogyakarta adalah pusat wilayah tempat kediaman Raja atau Sri Sultan beserta keluarganya. Tidak hanya raja dan keluarga saja tetapi juga para abdi dalem keraton. Para abdi dalem ini tinggal di lingkungan tempat-tempat yang berbeda. Menurut Suwarno 1994 Keraton Yogyakarta sendiri dibagi menjadi kediaman raja dan keluarga yaitu keraton. Kemudian menyusul lingkungan yang disebut Kutanagara atau yang kemudian disebut dengan Nagara atau Nagari. Di lingkungan wilayah ini, tinggal abdi dalem teras kerajaan yang menjalankan tugas atas perintah raja. Lingkungan luarnya disebut NagaraAgung yang merupakan tanah lungguh para abdi dalem yang tinggal di wilayah Nagari. Lingkungan paling luar disebut Mancanagara dan pasisiran pantai yang diperintah oleh para bupati yang ditunjuk oleh raja. 28 Pasca kemerdekaan komunitas keraton masih tetap berusaha mempertahankan spirit doktrin keagung binataran. Menurut Meodjanto doktrin ini memuat ajaran kekuasaan raja yang besar sehingga rakyat sampai mengakui bahwa raja adalah pemilik segala sesuatu, baik harta benda maupun manusia. Sri Sultan Hamengku Buwono mengisyaratkan tahta bagi kesejahteraan kehidupan sosial budaya rakyat, secara retoris dinyatakan “buat apa sebuah tahta dan menjadi sultan, bila tidak memberi manfaat bagi masyarakat”. Menurut Atmakusumah 1982 cara pandang seperti ini yang membuat para abdi dalem memiliki loyalitas yang tinggi terhadap keraton.

2. Budaya Keraton Yogyakarta

Dalam bukunya, Soenarto 2012 mengemukakan kebudayaan keraton dapat dilihat dari bangunan-bangunan dan tanaman-tanaman yang terdapat di dalam keraton. Bangunan-bangunan dan tanaman-tanaman keraton tersebut adalah symbol-simbol yang bermakna dan memiliki ciri khas Budaya Jawa. Selain itu, di dalam Keraton terdapat peraturan yang wajib ditaati oleh semua warga Keraton, baik Keluarga Keraton maupun para Abdi Dalem. Sebagai warga Keraton ada kewajiban datang sowan ke Keraton sesuai dengan kepentingan yang dikerjakan oleh masing-masing. Budaya berpakaian di dalam Keraton memiliki perbedaan antara Keluarga Keraton dengan para Abdi dalem Keraton. Para Abdi dalem mengenakan kain batik bercorak, ikat pinggang, baju peranakan, tutup kepala atau disebut dengan blangkon, keris, sandal, dan samir. Selain itu para abdi dalem diwajibkan memiliki sikap sopan, perilaku, dan berbahasa yang baik di dalam Keraton PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29 maupun di luar Keraton sesuai dengan budaya yang dianut oleh masyarakat Jawa yaitu Budaya Jawa. Idrus 2004 mengemukakan, b udaya Jawa merupakan budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai atau adat istiadat dan unggah-ungguh yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa Budaya Keraton tidak terlepas dari Budaya Jawa.

D. Budaya Jawa

1. Pengertian Budaya Jawa

Menurut Koentjaraningrat 1985 kebudayaan Jawa merupakan konsep- konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman hidup. Menurut Idrus 2004 b udaya Jawa merupakan budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai atau adat istiadat dan unggah-ungguh yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Selain itu Suseno 1985 mengungkapkan bahwa salah satu tata krama Budaya Jawa adalah prinsip tidak boleh mengungkapkan segala sesuatu secara langsung karena dianggap kurang sopan jika mengungkapkan sesuatu yang dikehendaki.

2. Perilaku Masyarakat Jawa

Nilai kebudayaan yang diperoleh dari proses belajar menghasilkan sikap dan perilaku tertentu dalam menjalaninya. Menurut Soekanto 1990 kebudayaan