BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perusahaan menggunakan dana yang bersumber dari pihak internal dan eksternal untuk menjalankan operasinya. Sumber pendanaan internal dapat
diperoleh dari modal pemilik perusahaan dan laba ditahan, sedangkan sumber dana eksternal berasal dari pemegang saham dan kreditur. Perusahaan cenderung
lebih menyukai berhutang daripada menjual saham untuk kebutuhan dana jangka pendek, karena hutang memiliki biaya berupa tingkat bunga yang harus
dibayarkan yang dapat mengurangi laba perusahaan yang kemudian akan mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Namun,
pada titik tertentu, hutang justru akan menimbulkan risiko, yaitu pada saat perusahaan berhutang lebih tinggi dari aktiva yang menjamin hutang tersebut,
sehingga perusahaan tidak dalam keadaan likuid, dan terancam mengalami kesulitan keuangan.
Banyak penelitian sejenis yang dilakukan untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan hutang suatu perusahaan. Manan 2004 menganalisis
tujuh faktor yang diduga memiliki pengaruh terhadap kebijakan hutang suatu perusahaan, yaitu management ownership, institusional ownership, shareholder
dispersion, dividen payout ratio, ukuran perusahaan, struktur aset, earning volatility, stock volatility, dan pertumbuhan perusahaan. Kurniati 2007 dan
Pithaloka 2009 menganalisis faktor-faktor internal yang mempengaruhi
kebijakan hutang. Penelitian Damayanti 2006, Bachtiar 2007, dan Shelly 2009 menambahkan variabel free cash flow sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi kebijakan hutang. Dari keenam penelitian yang dijadikan referensi oleh peneliti, ditemukan fenomena inkonsistensi untuk variabel free cash flow,
kepemilikan institusional, ukuran perusahaan, dan kebijakan dividen dalam mempengaruhi kebijakan hutang.
Free Cash Flow biasanya menimbulkan konflik kepentingan antara pemegang saham dan manajer. Konflik kepentingan ini dapat diminimalisasi
dengan adanya hutang. Penambahan hutang dapat mengurangi free cash flow karena adanya pembayaran kembali bunga dan pokok pinjaman, serta dapat
mengurangi kemampuan manajer dalam melakukan tindakan pemborosan. Hal ini membuat manajemen lebih disiplin sehingga penggunaan sumber daya
perusahaan menjadi lebih produktif. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Damayanti 2006, Bachtiar 2007 dan Shelly 2009 menunjukkan terjadinya
inkonsistensi. Hasil penelitian Damayanti 2006 dan Bachtiar 2007 menunjukkan bahwa free cash flow berpengaruh terhadap kebijakan utang, sedangkan hasil
penelitian Shelly 2009 menunjukkan bahwa free cash flow tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan hutang.
Saham yang dijual perusahaan dapat dimiliki oleh pihak manajemen ataupun pihak diluar manajemen. Kepemilikan saham oleh pihak luar seperti investor
institusi disebut dengan kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional menyebabkan kinerja manajemen diawasi secara optimal dan akan meminimalisir
perilaku opurtunistik. Penelitian Manan 2004 dan Kurniati 2007 menunjukkan
hasil bahwa kepemilikan institusional secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang, namun Damayanti 2006 menyatakan bahwa
kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap kebijakan hutang. Ukuran perusahaan dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu besarnya tingkat
penjualan pada suatu periode dan besarnya nilai aset yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Dalam kaitannya dengan ukuran perusahaan, semakin
besarnya perusahaan dan luasan usahanya, secara logika, kebutuhan dana untuk menjalankan operasinya pasti akan semakin besar. Kebutuhan dana ini bisa
dipenuhi dengan dua alternatif kebijakan, bisa dengan menjual saham sebagai tambahan modal, dan juga dengan melakukan kebijakan hutang. Menurut
Pecking Order Theory yang dikutip oleh Pithaloka 2009:39 menyatakan bahwa semakin besar perusahaan maka kecenderungan menggunakan pendanaan
eksternal juga semakin kecil, artinya perusahaan yang besar cenderung sedikit menggunakan hutang, namun hasil penelitian Manan 2004 dan Pithaloka 2009
justru menunjukkan hal yang berlainan. Hasil kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh secara signifikan dan positif
terhadap kebijakan hutang suatu perusahaan. Artinya, semakin besar ukuran suatu perusahaan maka perusahaan tersebut akan berhutang semakin banyak.
Kebijakan dividen dalam suatu perusahaan merupakan hal yang kompleks karena melibatkan kepentingan berbagai pihak seperti pemegang saham, manajer,
kreditor dan pihak eksternal lain yang memiliki kepentingan terhadap informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan. Pembagian dividen menyebabkan
berkurangnya laba ditahan sehingga perusahaan membutuhkan tambahan dana
dari sumber eksternal. Penambahan dana bisa dilakukan dengan menerbitkan saham baru atau mengajukan pinjaman kepada kreditor. Kreditor memerlukan
informasi tentang kebijakan dividen suatu perusahaan untuk menilai dan menganalisa tentang kemungkinan return yang akan ia peroleh apabila
memberikan pinjaman kepada suatu perusahaan. Penelitian Manan 2004 menunjukkan bahwa dividend payout ratio secara parsial tidak memiliki pengaruh
signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan, namun terjadi perbedaan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniati 2007 yang menunjukkan
bahwa dividen memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap kebijakan hutang.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil penelitian dari penelitian terdahulu. Inkonsistensi hasil penelitian
atas pengaruh free cash flow, kepemilikan institusional, dan kebijakan dividen terhadap kebijakan hutang disebabkan oleh adanya perbedaan objek dan waktu
penelitian. Khusus untuk variabel ukuran perusahaan, terdapat perbedaaan antara teori Pecking Order dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Manan 2004 dan
Pithaloka 2009. Penelitian ini menggunakan data berupa laporan keuangan dari tahun 2008
sampai dengan 2009, dimana pada tahun tersebut merupakan tahun kebangkitan pasar modal pasca krisis keuangan global. Krisis keuangan global yang terjadi pada
akhir tahun 2007 memiliki dampak yang cukup signifikan bagi pasar modal dan pasar saham, dimana harga saham anjlok yang menimbulkan kerugian yang dialami
oleh investor. Selain itu, krisis keuangan global mengakibatkan perbankan di
Indonesia menaikkan suku bunga kredit, sehingga kebijakan perusahaan untuk berhutang pada saat kondisi tersebut akan menyulitkan perusahaan di masa depan
mengingat semakin tingginya beban bunga yang akan ditanggung. Perbedaan lainnya adalah penelitian ini menggunakan variabel free cash flow, kepemilikan
institusional, ukuran perusahaan, dan kebijakan dividen sebagai variabel independen ke dalam satu penelitian.
Fenomena inkonsistensi hasil penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya memotivasi peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan memfokuskan
objek penelitian pada perusahaan LQ45 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Peneliti menggunakan data dari perusahaan LQ45 sebagai objek penelitian karena
saham-saham emiten yang masuk dalam perhitungan Indeks LQ45 merupakan saham yang aktif, memiliki fundamental yang baik dan masuk dalam kategori
blue chips yang diminati oleh investor dalam melakukan investasi saham di Bursa Efek Indonesia.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, peneliti tertarik untuk meneliti dan mendapatkan bukti empiris bagaimana faktor free cash flow,
kepemilikan institusional, ukuran perusahaan, dan kebijakan dividen perusahaan mempengaruhi kebijakan hutang perusahaan LQ45 yang terdaftar pada Bursa
Efek Indonesia dengan tahun penelitian 2008 sampai dengan tahun 2009.
B. Perumusan Masalah