22
PROSIDING Seminar Nasional dan Call For Papers Ekonomi Syariah“Indonesia Sebagai Kiblat Ekonomi Syariah”
tor kecuali biaya penyusutan dalam rangka pembiayaan dengan akad Ijarah Mun-
tahiyah Bittamlik dan jumlah yang
diperjanjikan dalam akad berdasarkan Prinsip Syariah. Pembebanan biaya ini
harus memperhatikan ketentuan Pasal 9 UU PPh, yaitu biaya yang tidak boleh
dikurangkan secara fiskal.
e. Transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan semata-mata untuk
memenuhi prinsip syariah tidak termasuk dalam pengertian pengalihan harta sebagai-
mana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta maka pengalihan harta tersebut dianggap pengalihan
harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah Penerima Fasilitas. Nasabah Penerima
Fasilitas adalah nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan
itu, berdasarkan prinsip syariah.
Selain di bidang Pajak Penghasilan, pemerintah mengakomodasi pengaturan
kegiatan perbankan syariah melalui UU Pajak Pertambahan Nilai PPN. Setelah UU Nomor
36 Tahun 2008 memberikan penegasan khusus tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas
transaksi yang berbasis syariah, UU PPN terbaru yaitu UU No. 42 Tahun 2009 juga
memberikan ruang khusus untuk menegaskan perlakuan PPN atas transaksi berbasis syariah.
Ketentuan tentang transaksi berbasiskan syariah dalam UU PPN yang baru diatur dalam
dua tempat, yaitu: a. Pasal 1A ayat 1 huruf h, di mana dalam
bagian ini dijelaskan bahwa yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena
Pajak adalah penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam
rangka perjanjian pembiayaan yang dila- kukan berdasarkan prinsip syariah, yang
penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang
membutuhkan Barang Kena Pajak.
b. Penjelasan Pasal 4A ayat 3 huruf d. Bagian ini menjelaskan bahwa jasa ke-
uangan adalah salah satu jasa yang tidak dikenai atau dikenakan PPN. Termasuk
dalam jasa keuangan ini adalah jasa pembiayaan termasuk pembiayaan syariah
berupa sewa guna usaha dengan hak opsi financial lease, anjak piutang factoring,
usaha kartu kredit danatau pembiayaan konsumen.
Secara ringkas, regulasi perpajakan yang terkait dengan Perbankan Syariah bisa dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 2. Perkembangan Regulasi Perpajakan Terkait dengan Perbankan Syariah
Jenis Peraturan
Perihal Keterangan
UU No 17 Tahun 2000
Pajak Penghasilan Kegiatan usaha berbasis syariah praktis tidak
disebut sama sekali UU No 36
Tahun 2008 Perubahan atas UU
No 17 Tahun 2000 tentang PPh
Memasukkan penghasilan dari kegiatan usaha berbasis syariah sebagai objek pajak
Menegaskan bahwa ketentuan perpajakan tentang bidang usaha berbasis syariah ini diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
PP Nomor 25 Tahun 2009
PPh Kegiatan Usaha Berbasis Syariah
Perlakuan PPh dari kegiatan usaha berbasis syariah meliputi
PMK No. 136PMK.03
2011 Pengenaan PPh
Kegiatan usaha perbankan syariah
Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari
kegiatan usaha Perbankan Syariah
23
PROSIDING
Seminar Nasional dan Call For Papers Ekonomi Syariah“Indonesia Sebagai Kiblat Ekonomi Syariah”
1.3 Perlakuan Pajak yang Sama antara Perbankan Syariah dan Perbankan
Konvensional. Hadirnya usaha berbasis syariah ini
menuntut pemerintah untuk merumuskan UU perpajakan dalam rangka mengakomodasi
kegiatan usaha berbasis syariah dalam keten- tuan peraturan perundang-undangan perpaja-
kan. Bukti keseriusan pemerintah dalam merespon berkembangnya perbankan syariah
ini adalah lahirnya UU No. 36 tahun 2008 tentang PPh dan UU No. 42 Tahun 2009 tentang
PPN. Hadirnya dua UU ini memberikan angin segar bagi pelaku kegiatan usaha berbasis
syariah. Dengan adanya kedua UU ini mulai diatur perlakuan perpajakan secara khusus atas
transaksi syariah, sehingga lebih memberikan kepastian hukum perlakuan perpajakan tran-
saksi syariah yang selama ini yang memung- kinkan terjadi perbedaan persepsi mengenai
perlakuan perpajakan antara para pelaku transaksi syariah dan Direktorat Jenderal pajak.
Apabila dicermati, sebenarnya tidak ada perlakuan khusus dari kedua UU tersebut
terhadap perbankan syariah. Dimasukkannya penghasilan dari kegiatan usaha berbasis
syariah sebagai objek pajak dalam Pasal 4 ayat 1 huruf q UU No. 36 Tahun 2008 didasarkan
pada pemikiran bahwa perlunya ada perlakuan yang sama antara usaha berbasis syariah dengan
usaha lain yang sejenis. Perlakuan yang sama ini juga ditunjukkan pada pasal 3 PP Nomor
25 Tahun 2009 tanggal 3 Maret 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis
Syariah. Ketentuan dalam Peraturan Pemerin- tah ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2009, sama
dengan mulai berlakunya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Pasal 1ayat 2 PP ini
menyatakan bahwa usaha berbasis syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi
syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis syariah
lainnya. Kemudian dalam pasal 2 ayat 1 diatur tentang perlakuan PPh dari kegiatan usaha
berbasis syariah meliputi: a penghasilan; b biaya; c pemotongan pajak atau pemungutan
pajak. Biaya dari kegiatan usaha berbasis syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1
huruf b termasuk: a hak pihak ketiga atas bagi hasil; b bonus; 3 margin; 4 hasil berbasis
syariah lainnya yang sejenis. PP ini menyatakan bahwa ketentuan mengenai penghasilan, biaya,
dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan usaha berbasis syariah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 berlaku mutatis mutandis
ketentuan dalam Undang- Undang Pajak Penghasilan. Dalam penjelasan
PP ini, yang dimaksud dengan mutatis mutan- dis
adalah bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan
usaha berbasis syariah. Contoh, perlakuan perpajakan mengenai bunga berlaku pula untuk
imbalan atas penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal
perusahaan. Imbalan tersebut dapat berupa hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bo-
nus, sesuai dengan pendekatan transaksi syariah yang digunakan. Pada ketentuan perpajakan
secara umum, bunga merupakan penghasilan bagi pihak penerima dan merupakan pengurang
penghasilan bagi pihak pembayar. Berkenaan dengan kewajiban pemotongan Pajak Peng-
hasilan, pihak pembayar wajib memotong Pajak Penghasilan atas bunga yang dibayarkan.
Pemotongan tersebut dapat dilakukan sesuai dengan Pasal 4 ayat 2, Pasal 23, danatau Pasal
26 Undang-Undang Pajak Penghasilan sesuai dengan transaksi dan lembaga yang ber-
transaksi. Perlakuan perpajakan tersebut juga berlaku terhadap hak pihak ketiga atas bagi
hasil, margin, atau bonus yang timbul dari penggunaan dana pihak ketiga yang tidak
termasuk dalam kategori modal perusahaan, sesuai dengan transaksi dan lembaga yang
bertransaksi. Dengan menggunakan prinsip
24
PROSIDING Seminar Nasional dan Call For Papers Ekonomi Syariah“Indonesia Sebagai Kiblat Ekonomi Syariah”
mutatis mutandis ini maka perlakuan Pajak
Penghasilan akan sama dan netral antara kegiatan usaha konvensional dan kegiatan
usaha berbasis syariah. Dengan demikian, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat
distortif serta akan memberikan perlakuan yang sama level playing field bagi Wajib Pajak
dalam suatu industri yang sama.
Perlakuan yang sama juga dinyatakan dalam Pasal 1A ayat 1 huruf h UU No.42
tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM. Pasal ini menyebutkan ketentuan baru yang belum
diatur dalam UU PPN sebelumnya, yang memberikan penegasan bahwa dalam hal
pembiayaan syariah, penyerahan BKP dianggap terjadi antara supplier BKP dengan konsumen
yang membutuhkan barang tersebut yang menggunakan jasa lembaga keuangan syariah
untuk membiayainya. Dalam praktek selama ini, dalam hal pembiayaan syariah, penyerahan
BKP dianggap terjadi antara supplier BKP ke perusahaan pembiayaan atau perbankan
syariah dan dari perusahaan pembiayaan syariah ke nasabah atau konsumen sesung-
guhnya dari barang ini. Praktek ini sebenarnya juga berasal dari pemahaman prinsip syariah
sendiri di mana dalam transaksi pembiayaan syariah murabahah, bank atau lembaga
pembiayaan syariah seolah-olah bertindak sebagai pembeli barang dan menjual kembali
ke konsumen sehingga transaksinya atau akadnya adalah jual beli. Akan tetapi, ketika
pemahaman ini diterapkan dalam pengenaan PPN maka akan terjadi perbedaan perlakuan
antara pembiayaan konvensional dan pem- biayaan syariah di mana beban lebih berat akan
dibebankan kepada bank atau perusahaan pembiayaan syariah. Padahal pada hakekatnya
kedua-duanya adalah melakukan kegiatan usaha yang sama yaitu kegiatan usaha pem-
biayaan financing. Atas dasar pemikiran untuk memberikan perlakuan yang sama equal
treatment
maka dibuatkan ketentuan yang jelas tentang pembiayaan syariah ini. Perlakuan ini
sama persis dengan yang diterapkan selama ini kepada perusahaan pembiayaan konvensional
di mana yang penyerahan BKP dianggap terjadi antara supplier dan nasabah perusahaan pem-
biayaan.
Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 4A ayat 3 huruf d disebutkan bahwa jasa
keuangan adalah salah satu jasa yang tidak dikenai atau dikenakan PPN. Termasuk dalam
jasa keuangan ini adalah jasa pembiayaan termasuk pembiayaan syariah berupa sewa
guna usaha dengan hak opsi financial lease, anjak piutang factoring, usaha kartu kredit
danatau pembiayaan konsumen. Jasa keuangan dalam UU PPN yang lama tidak ditegaskan
sebagai jasa yang tidak dikenai PPN. Keten- tuannya hanya menyebutkan bahwa jasa per-
bankan, jasa sewa guna usaha dengan hak opsi, dan jasa asuransi tidak dikenai PPN. Dalam UU
PPN baru, yang disebutkan sebagai salah satu jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa
keuangan di Pasal 4A ayat 3 huruf d. Di bagian penjelasannya, baru disebutkan jenis-
jenis jasa keuangan ini yaitu: 1 jasa meng- himpun dana dari masyarakat berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabu- ngan, danatau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu; 2 jasa menempatkan dana, me- minjam dana, atau meminjamkan dana kepada
pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk,
cek, atau sarana lainnya; 3 jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah, berupa sewa guna usaha dengan hak opsi, anjak piutang, usaha kartu kredit; danatau
pembiayaan konsumen; 4 jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk
gadai syariah dan fidusia; 5 jasa penjaminan. Dapat dilihat disini bahwa jenis jasa nomor 1
dan 2 pada hakikatnya adalah jasa perbankan. Dalam pengertian ini termasuk juga perbankan
syariah walaupun tidak ditegaskan khusus karena baik perbankan konvensional maupun
perbankan syariah kegiatan usahanya adalah
25
PROSIDING
Seminar Nasional dan Call For Papers Ekonomi Syariah“Indonesia Sebagai Kiblat Ekonomi Syariah”
menghimpun dan meminjamkan atau menya- lurkan dana masyarakat seperti dijelaskan
dalam nomor 1 dan 2 di atas. Untuk jasa pembiayaan dan jasa gadai ditegaskan bahwa
jasa-jasa ini termasuk jasa pembiayaan dan jasa gadai secara syraiah untuk memastikan adanya
equal treatment
dalam jasa keuangan ini. Penegasan ini memang diperlukan, karena cara
penyebutan jasa ini adalah nama jasanya bukan atas dasar cara operasinya seperti disebutkan
dalam jenis yang nomor 1 dan 2.
Dalam kedua Undang-undang ini, se- mangat yang diusung adalah sama, yaitu mem-
berikan persamaan perlakuan antara transaksi konvensional dan transaksi yang berbasiskan
syariah. Equal treatment ini menurut peme- rintah memang sudah selayaknya dilakukan
agar tidak terjadi pembebanan pajak yang berbeda dalam suatu industri yang sama.
1.4 Insentif Fiskal: Bentuk Perlakuan “Adil” untuk Menyongsong Indonesia
sebagai Kiblat Ekonomi Syariah Dengan kondisi bank syariah yang masih
berkembang, pemerintah dinilai perlu mengkaji pemberian insentif pajak. Sejak berdirinya BMI
tahun 1991 sebagai cikal bakal kegiatan usaha berbasis syariah, pemerintah belum membe-
rikan dukungan maksimal khususnya dalam pemberian insentif pajak. Harus diakui bahwa
pemerintah sebenarnya telah berusaha untuk memberikan dukungan dengan menetapkan
Undang-Undang yang khusus mengatur tentang kegiatan berbasis syariah.
Bentuk dukungan lainnya adalah diber- lakukannya UU perpajakan yang mengatur
persamaan perlakuan perpajakan antara usaha berbasis syariah dengan usaha berbasis
konvensional seperti dibahas pada sub bab 3.2 dan 3.3 di atas. Salah satu tujuan penetapan UU
pajak tersebut adalah memberikan persamaan perlakuan antara transaksi konvensional dan
transaksi yang berbasiskan syariah agar tidak terjadi pembebanan pajak yang berbeda dalam
suatu industri yang sama. Pemerintah Indonesia dan regulator perlu
meningkatkan kepedulian kepada perbankan syariah. Sebab, secara alamiah bank syariah
berbeda dengan bank konvensional. Untuk itu, diperlukan keberpihakan yang lebih berupa
beberapa insentif bagi perbankan syariah. Perlakuan yang sama atau netralisasi antara
transaksi konvensional dan transaksi yang berbasiskan syariah belum cukup maksimal
mendorong pengembangan industri ini. Per- lakuan yang sama berakibat secara komparatif
industri perbankan syariah akan sulit mengejar peningkatan share-nya karena di saat yang sama
industri perbankan konvensional juga terus melesat. Pemberian insentif akan lebih efektif
mendorong pengembangan industri perbankan syariah nasional dibanding sekedar netralisasi
pajak. Fasilitas insentif, bisa diberikan dalam bentuk fasilitas pembebasan perpajakan tax
holiday
dalam jangka waktu tertentu. Hal ini telah dibuktikan oleh beberapa negara yang
memberikan insentif fiskal secara maksimal. Pada negara-negara dengan perkembangan
industri perbankan yang sangat pesat seperti Malaysia dan Dubai, fasilitas pembebasan
pajak ini menjadi kunci utama. Di Dubai, fasilitas berlaku selama 50 tahun dan bisa
diperpanjang 50 tahun lagi, sehingga menjadi 100 tahun. Malaysia meski lebih pendek yakni
selama 10 tahun, tapi juga bisa diperpanjang kembali selama 10 tahun.
Pemberian insentif pajak bagi perbankan syariah, tidak akan memicu persaingan dengan
perbankan konvensional. Dengan pemberian insentif, pertumbuhan perbankan syariah justru
akan lebih cepat memberi kontribusi bagi eko- nomi negara. Apalagi selama ini telah terbukti
bahwa dalam perjalanannya, bank syariah mampu bertahan dari terjangan badai krisis
yang sempat melanda negara kita. Perbankan syariah mempunyai daya tahan kuat meng-
hadapi krisis dibandingkan bank-bank