Kekuatan Mengikat dari Perjanjian Internasional

Berdasarkan hukum posisitf Indonesia dalam Pasal 11 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Dalam hal bahwa suatu perjanjian menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang, maka pembuatan perjanjian internasional harus dengan persetujuan DPR. 21 Ketentuan lebih lanjut tentang pembuatan perjanjian internasional diatur dengan UU Nomor 24 tahun 2000. Dalam UU ini ditegaskan pula bahwa pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap: 22 1. Penjajakan 2. Perundingan 3. Perumusan naskah 4. Penerimaan naskah perjanjian 5. Penandatanganan 6. Pengesahan naskah perjanjian Pengesahan naskah perjanjian authentication of the text adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi ratification, aksesi accession, penerimaan acceptance, dan persetujuan approval.

5. Kekuatan Mengikat dari Perjanjian Internasional

Kekuatan mengikat dari suatu perjanjian internasional erat kaitannya dengan ratifikasi. Ratifikasi perjanjian internasional merupakan hal menarik dan 21 Ibid 17 22 Ibid 17 Universitas Sumatera Utara sangat penting dibahas karena berkaitan erat dengan kekuatan mengikat suatu perjanjian internasional. Ratifikasi tersebut tidak hanya menjadi persoalan hukum internasional, tetapi juga merupakan persoalan hukum nasional Hukum Tata Negara. Hukum internasional hanya menentukan pentingnya suatu perjanjian internasional diratifikasi, sedangkan tata cara pemberian ratifikasi perjanjian diatur oleh hukum nasional masing- masing Negara. Berdasarkan uraian dimuka akan dibahas implementasi ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia setelah berlakunya UU No . 24 Tahun 2000. Hubungan luar negeri dan kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain ,organisasi internasional, dan subyek-subyek hukum internasional lain, secara umum diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Hal ini sesuai dengan isi Pembukaan UUD 1945 . Disamping itu, perjanjian internasional merupakan pelaksanaan Pasal 11 UUD 1945 dan perubahannya 1999. Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat, melaksanakan hubungan luar negeri serta kerjasama internasional berdasarkan pada asas kesamaan derajat, saling menghormati dan saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing- masing, sejalan dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Pedoman yang digunakan untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional di Indonesia sebelum tahun 2000 terdapat dalam Surat Presiden No . 2826HK1960 tanggal 22 Agustus 1960, yang mengatur mengenai pengesahan melalui undang- undang atau Keputusan Presiden. 23 Sebelum UU No. 21 Tahun 2000 berlaku masih terdapat kesimpang siuran dan belum terdapat keseragaman dan pedoman yang jelas 23 www. depdeinas.go.id. kamis 02012014 Universitas Sumatera Utara mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional. Hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya peraturan perundang- undangan sebagai pelaksana ketentuan Pasal 11 UUD 1945, yang ada hanya Surat Presiden No . 2826HK1960 kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat mengenai penafsiran terhadap Pasal 11 UUD 1945 khususnya tentang masalah substansi perjanjian internasional, dan perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan dan pengesahan oleh Dewan Perwakilan, dan perjanjian internasional yang cukup disampaikan untuk diketahui saja oleh DPR. 24 Surat Presiden tersebut pada pokoknya membagi perjanjian internasional atas dua pengertian, yaitu perjanjian terpenting treaties, yang akan disampaikan pemerintah kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR dan perjanjian lain agreements yang akan disampaikan kepada DPR untuk diketahui setelah disahkan oleh presiden. Walupun surat presiden tersebut telah berlaku sebagai suatu pedoman dan menetapkan kriteria perjanjian internasional yang termasuk dalam pengertian perjanjian terpenting namun dalam perkembangan dewasa ini terdapat ketidak jelasan atas bidang perjanjian sehingga dianggap pembuatan dan pengesahannya telah mengalami keracuan dan kesimpangsiuran. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia berusaha menyusun Rancangan Undang- undang Perjanjian internasional, yang akhirnya pada tanggal 23 Oktober 2000 disahakanlah Undang- undang perjanjian internasional yaitu Undang-undang No.24 Tahun 2000 selanjutnya disingkat UUPI. Undang-undang inilah yang menjadi dasar hukum dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional di Indonesia. 25 24 Ibid 20 25 Ibid 20 Universitas Sumatera Utara Landasan hukum mengenai pembuatan Undang- undang mengenai perjanjian internasional antara lain Pasal 11 UUD 1945 dan perubahannya 1999 dan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri . Selain itu Undang – undang tersebut membuat prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang berlaku secara universal dan dijadikan pedoman bagi masyarakat internasional dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional. Berdasarkan Pasal 9 ayat 2 UUPI, dalam prakteknya ada dua macam pengesahan perjanjian internasional di Indonesia, yaitu dengan Undang-undang dan keputusan presiden. Dalam menentukan ratifikasi perjanjian internasional akan diratifikasi dengan Undang-undang atau dengan Keppres, dilihat dari substansi atau materi perjanjian bukan berdasarkan bentuk dan nama nonmenclature perjanjian, dan dilakukan oleh Departemen Luar Negeri. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksud agar terciptanya kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan Undang-Undang Pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan Undang- undang apabila berkenaan dengan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000: 26 a. Masalah politik , perdamaian dan keamanan negara; b. Perubahan wilayah dan penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia ; c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara; d. Hak asasi manusia dan lin gkungan hidup; e. Pembentukan kaidah hukum baru ; f. Pinjaman dan atau hibah luar negeri. 26 Suryokusumo Sumaryo. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta :Tatanusa. 2008 .hal 72 Universitas Sumatera Utara Khusus mengenai pinjaman dan hibah luar negeri berserta persetujuannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan diatur oleh Undang- undang tersendiri. Hal ini telah dibicarakan dalam rapat pembahasan rancangan UUPI dalam keterangan pemerintah mengenai RUUPI pada tanggal 22 Mei 2000, ketika dijelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan materi tentang “Pinjaman Luar Negeri”sifatnya khusus dan perlu diatur tersendiri. Landasan pemikiran tersebut didasarkan pada suatu pembicaraan dan pembahasan yang intensif dan komprehensif dengan Departemen keuangan, Bank Indonesia ,dan Bappenas mengenai masalah ini. Pinjaman luar negeri tidak dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional dengan pertimbangan- pertimbangan sebagai berikut: 27 a. Saat ini pinjaman luar negeri pemerintah mengacu pada ketentuan dalam Indische Comptabilitets WetICW, sementara pinjaman luar negeri yang diterima oleh bank Indonesia mengacu pada Undang- undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 yang penggunaannya berkaitan dengan pengelolaan cadangan devisa ,sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan moneter. b. Berdasarkan praktek yang berlaku selama ini, pagu plafon pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR berdasarkan disahkanya Undang- undang APBN pada setiap tahun anggaran, sehingga secara otomotis persetujuan DPR terhadap jumlah pinjaman luar negeri telah diperoleh pada saat disetujuinya Undang-Undang APBN. c. Untuk melaksanakan kebijakan ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam Bab IV TAP MPR No. IV MPR1999 tentang GBHN 1999-2004 yang 27 Ibid 23 Universitas Sumatera Utara diarahkan untuk mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri Pemerintah sebagai kegiatan ekonomi yang produktif dan pelaksanaannya dilakukan secara transparan, efektif dan efisien, maka Pemerintah sedang merancang RUU yang mengatur mekanisme dan prosedur pinjaman luar negeri. d. Oleh karena sifat perjanjian pinjaman luar negeri sangat khusus dan agar proses penerimaan pinjaman luar negeri yang dibutuhkan untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia tidak mengalami hambatan-hambatan, maka mekanisme persetujuan DPR perlu diatur secara komprehensif sehingga memerlukan pengaturan secara khusus dalam UU tersendiri. Selanjutnya pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk dalam pasal 10 tersebut dilaksanakan dengan keputusan presiden pasal 11 ayat 1 UU No. 24 Tahun 2000. Pengesahan perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan bagi perjanjian yang memasyarakatkan adanya pengesahan sebelum mulai berlakunya perjanjian tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis- jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini, diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran, niaga, penghindaran pajak berganda,dan kerjasama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis penjelasan atas UU No. 24 Tahub 2000. 28 28 Perjanjian internasional,www. dfa-departemen luar negeri.co.id. Rabu 08012014 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan ketentuan tersebut dimuka dapat diketahui bahwa dasar hukum pengesahan perjanjian internasional dengan Undang- undang adalah Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000, sedangkan dasar hukum pengesahan melalui keputusan presiden ialah pasal 11 ayat 1 UU No. 24 Tahun 2000.Setelah penandatanganan, instansidepartemen teknis terkait sebagai Vocal poin-nya menyiapkan bahan-bahan berupa dokumen-dokumen yang telah di-Certified True Copy oleh departemen luar negeri . Dokumen-dokumen yang perlu dipersiapkan oleh lembaga pemrakarsa adalah Pasal 12 UU No. 24 Tahun 2000: 29 a. Salinan naskah perjanjian ; b. Terjemahan ; c. Rancagan Undang-undangRancangan keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ;dan ; d. Dokumen-dokumen lain yang diperlukan . Lembaga pemrakarsa dalam membuat rancangan Undang- undang RUU rancangan keppres RKP pengesahan perjanjian, dilakukan bersama-sama dengan departemen luar negeri atau dapat pula dilakukan oleh lembaga pemrakarsa itu sendiri dengan diketahui oleh departemen luar negeri. Sifat RUURKP pengesahan perjanjian internasional adalah sangat sederhana, biasanya hanya terdiri dari pasal yang berisi kalimat pengesahannya. Apabila terdapat reservasi persyaratan, disebutkan dalam RUURKP tersebut. Setelah menyiapkan semua dukumen yang dipersyaratkan dalam Pasal 12, lembaga pemrakarsa 29 Ibid 28 Universitas Sumatera Utara mengirimkannya ke departemen luar negeri untuk selanjutnya departemen luar negeri meneruskan ke secretariat negara dan memulai proses ratifikasi. 30

6. Akibat-akibat yang ditimbulkan Perjanjian Internasional