Dasar Hukum Pengaturan Perjanjian Internasional Pembuatan Perjanjian Internasional

tersebut menjadi surat-menyurat maka praktek nya sekarang ini menganjurkan agar dicapai dulu kesepakatan mengenai isi nota-nota tersebut sebelum dipertukarkan.

3. Dasar Hukum Pengaturan Perjanjian Internasional

Dasar hukum perjanjian internasional adalah pasal 38 ayat 1 piagam mahkamah Internasional, yang menyatakan perjanjian internasional harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Perjanjian internasional adalah sebagai sumber hukum internasional dengan alasan: Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, karena perjanjian internasional diadakan secara tertulis Perjanjian internasioanl mengatur masalah-masalah bersama yang penting dalam hubungan antara subjek hukum internasional Selain itu, landasan hukum adalah kepentingan riel: keperluan suatu negara memenuhi kebutuhan warga negara dengan bekerja sama berdasarkan perjanjian internasional. 18 Kerja sama internasional adalah bentuk hubungan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan untuk kepentingan negara-negara di dunia. Kerja sama internasional, yang meliputi kerja sama di bidang politik, sosial, pertahanan keamanan, kebudayaan, dan ekonomi, berpedoman pada politik luar negeri masing-masing.

4. Pembuatan Perjanjian Internasional

Perundingan dalam suatu konferensi internasional baik yang bersifat bilateral maupun yang bersifat multilateral pada umumnya dilakukan oleh utusan- 18 6http:answers.yahoo.comquestionindexhtml. Sabtu 04012014 Universitas Sumatera Utara utusan yang ditunjuk oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri. Pada perundingan untuk persoalan-persoalan tertentu terkadang Presiden dan Menteri Luar Negeri sendiri atau Menteri lainnya sesuai dengan bidangnya masing-masing yang memimpin delegasi. Dalam praktek internasioanl utusan-utusan suatu negara ke suatu konferensi internasional biasanya dilengkapi dengan surat kuasa full powers. Full powers menurut Konvensi Wina adalah suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk mewakili negaranya dalam berunding, menerima atau membuktikan keaslian naskah suatu perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian atau melaksanakan perbuatan lainnya sehubungan dengan suatu perjanjian. Pada zaman dahulu Full Powers mempunyai arti yang sangat penting bagi raja-raja dalam mengirimkan utusan-utusannya untuk berunding yang mana selalu dilengkapi dengan Full Powers. Pada saat ini di era modern Full Powers tidak lagi memiliki arti sepenting tersebut mengingat perkembangan zaman dan hanya mempunyai arti formal saja. Bahkan pada saat ini penunjukan Surat Kuasa itu tidak selalu mutlak sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 b Konvensi Wina yang menyatakan bahwa wakil dari suatu negara dalam suatu perundingan dapat dibebaskan dari surat kuasa kalau memang demikian praktek dari negara yang bersangkutan . 19 Demikian halnya dengan utusan yang tidak mempunyai Full Powers pun dapat ikut membuat suatu perjanjian asal saja dikonfirmasikan kemudian oleh 19 Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,Bandung: P.T Alumni,2001, hal 101 Universitas Sumatera Utara pemerintahnya. Walaupun arti dari surat kuasa ini tidak sepenting pada zaman dahulu, akan tetapi masih tetap diperlukan terutama pada saat penandatanganan suatu perjanjian internasional agar diketahui bahwa utusan yang menandatangani tersebut betul betul merupakan wakil yang sah dari negaranya. Dengan demikian, Konvensi Wina hanya menyebut Full Powers sebagai satu-satunya dokumen yang harus dimiliki oleh seorang utusan atau delegasi ke suatu konferensi internasional atau untuk semua tahap treaty-making process. Berdasarkan pendapat para ahli hukum internasional ada beragam pendapat diantara ahli tentang masalah ini. Mochtar Kusumaatmaja 1982 menegaskan bahwa berdasarkan praktik di beberapa negara, dikenal 2 cara pembentukan perjanjian internasional: 20 a. Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional melalui tiga tahapan yaitu: 1 Tahap Perundingan negotiation Pada tahap ini pihak-pihak akan mempertimbangkan terlebih dahulu materi yang hendak dicantumkan dalam naskah perjanjian. Materi tersebut ditinjau dari sudut pandang politik, ekonomi maupun keamanan dan juga mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul setelah perjanjian disahka. Penunjukkan wakil suatu negara dalam perundingan diserahkan sepenuhnya kepada negara bersangkutan. 2 Tahap Penandatangan signature Tahap penandatanganan diakhiri dengan penerimaan naskah adoption of the text dan pengesahan authentication of the text. Apabila koferensi tidak menentukan cara pengesahan maka pengesahan dapat dilakukan dengan 20 Perjanjian internasional,www. dfa-departemen luar negeri.co.id. kamis 09012014 Universitas Sumatera Utara penendatanganan, penandatanganan sementara atau pembubuhan paraf. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, berarti suatu negara telah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. 3 Tahap Ratifikasi ratification Meskipun delegasi suatu negara telah menandatangani suatu perjanjian internasional, tidak berarti bahwa negara tersebut secara otomatis terikat pada perjanjian itu. Negara tersebut baru terikat pada materi isi perjanjian setelah naskah tersebut diratifikasi. b. Melalui dua tahapan yaitu perundingan dan penandatanganan. Cara yang pertama diadakan untuk hal-hal yang dianggap penting, sehingga perlu persetujuan dari DPR. Sedangkan cara kedua untuk perjanjian internasional yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat seperti misalnya perdagangan yang berjangka waktu pendek. Hampir senada dengan Mochtar Kusumaatmaja, Pierre Fraymond 1984 mengemukakan 2 prosedur pembuatan perjanjian internasional yaitu: 1. Prosedur normal atau klasik. Prosedur ini mengharuskan adanya persetujuan parlemen, dengan melalui tahap perundingan, penandatanganan, persetujuan parlemen, dan ratifikasi. 2. Prosedur yang disederhanakan simplified. Prosedur ini tidak mensyaratkan persetujuan parlemen dan ratifikasi. Prosedur ini timbul untuk penyelesaian secara cepat. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan ke dua prosedur terletak pada perlu atau tidaknya persetujuan parlemen dalam pembuatan perjanjian internasional. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hukum posisitf Indonesia dalam Pasal 11 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Dalam hal bahwa suatu perjanjian menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang, maka pembuatan perjanjian internasional harus dengan persetujuan DPR. 21 Ketentuan lebih lanjut tentang pembuatan perjanjian internasional diatur dengan UU Nomor 24 tahun 2000. Dalam UU ini ditegaskan pula bahwa pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap: 22 1. Penjajakan 2. Perundingan 3. Perumusan naskah 4. Penerimaan naskah perjanjian 5. Penandatanganan 6. Pengesahan naskah perjanjian Pengesahan naskah perjanjian authentication of the text adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi ratification, aksesi accession, penerimaan acceptance, dan persetujuan approval.

5. Kekuatan Mengikat dari Perjanjian Internasional