Problematikan Pendidikan Pesantren Sebagai Alternatif Pendidikan Nasional di Era Globalisasi.

Sementara itu, tidak semua pesantren melakukan pengembangan system pendidikannya dengan cara memperluas cakupan wilayah garapannya danatau memperbaharui model pendidikannya. Masih banyak pesantren yang mempertahankan system pendidikan tradisional dan konvensional dengan membatasi diri pada pengajaran kitab-kitab klasik dan pembinaan moral kegamaan semata. Pesantren model klasiksalafi ini memang unggul dalam melahirkan santri yang memiliki kesalehan, kemandirian dalam arti tidak terlalu tergantung kepada peluang kerja di pemerintahan dan kecakapan dalam penguasaan ilmu-ilmu keislaman. Kelemahannya, out put pendidikan pure salaf kurang kompetitif dalam percaturan dan persaingan kehidupan modern. Padahal, tuntutan kehidupan global menghendaki kualitas sumber daya manusia terdidik dan keahlian di bidangnya. Realitas out put pesantren yang memiliki sumber daya manusia kurang kompetitif inilah yang kerap menjadikannya termarjinalisasi dan kalah bersaing dengan out put pendidikan formal baik agama maupun umum. Tepat apa yang dikemukakan K.H. Sahal Mahfudz 1994 sebagai berikut. “Kalau pesantren ingin berhasil dalam melakukan pengembangan masyarakat yang salah satu dimensinya adalah pengembangan semua sumberdaya, maka pesantren harus melengkapi dirinya dengan tenaga yang terampil mengelola sumberdaya yang ada di lingkungannya, di samping syarat lain yang diperlukan untuk berhasilnya pengembangan masyarakat. Sudah barang tentu, pesantren harus tetap menjaga potensinya sebagai lembaga pendidikan”. Keberhasilan model pendidikan pesantren yang ketiga masih banyak terdapat di berbagai daerah di pelosok tanah air. Bukan berarti model pendidikan seperti ini tidak relevan lagi untuk konteks perkembangan social saat sekarang ini. Tetapi justru keberadaan pesantren salafi ini perlu untuk mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius dari berbagai pihak terutama pemerintah daerah. Amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasioal No. 20 tahun 2003 telah memasukkan pesantren sebagai salah satu sub system dari system pendidikan; sebuah perhatian dan pengakuan yang sudah selayaknya diterima komunitas pesantren. Karena bagaimanapun, pesantren merupakan khazanah budaya yang memainkan peran penting dalam setiap proses perubahan social sejak awal berdirinya lembaga ini. Tanpa peran dan partisipasi pesantren dapat diakatakan proses pembangunan daerah akan mengalami kegagalan. Selain permasalahan di atas, kebanyakan pendidikan pesantren itu yang belum mantap adalah:

1. Model kurikulum. Pada pesantren tradisional kurikulum yang digunakan

masih tidak memiliki rencana atau program yang jelas dalam mencapai tujuan tertentu. Kurikulum pendidikan pesantren hanya berkutat pada kitab-kitab klasik yang lebih menekankan pada bidanh fiqh, teologi, tasawuf dan bahasa. Contohnya di bidang fiqih, kalangan pesantren menganut salah satu madhab, tidak akomodatif terhadap nilai kebenaran berbagai madhab-madhab dengan menggunakan metodolgi berpikir kritis analisis. Kurikulum menjadi sangat penting dalam mendesain pola pendidikan. Menurut Mujamil Qomar dalam Akhyak 2003, menyatakan epistemology diperlukan anatara lain dalam hubungan dengan penyusunan dasar-dasar kurikulum yang lazimnya diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan dapat diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu dilewati oleh peserta didik dalam usahanya untuk mengenal dan memahami pengetahuan.

2. Sarana Prasarana dan Sumber Daya Manusia SDM

Sarana prasarana menjadi penting dalam memperbaiki dan menunjang pertumbuhn kualitas peserta didik. Sarana prasarana yang diperlukan adalah gedung atau ruang belajar, asrama, masjid, perpustakaan, laporatorium atau unit keterampilan, koperasi, kantin dan sarana olahraga.Semuanya ini mendukung terciptanya suasana pembelajaran yang efektif tentunya juga didukung dengan SDM yang memadai. Misalnya pada pendidik diharapkan memiliki kompetensi dan profesionalitas pada bidang yang digarapnya.