sudah selayaknya diterima komunitas pesantren. Karena bagaimanapun, pesantren merupakan khazanah budaya yang memainkan peran penting dalam
setiap proses perubahan social sejak awal berdirinya lembaga ini. Tanpa peran dan partisipasi pesantren dapat diakatakan proses pembangunan daerah
akan mengalami kegagalan. Selain permasalahan di atas, kebanyakan pendidikan pesantren itu
yang belum mantap adalah:
1. Model kurikulum. Pada pesantren tradisional kurikulum yang digunakan
masih tidak memiliki rencana atau program yang jelas dalam mencapai tujuan tertentu. Kurikulum pendidikan pesantren hanya berkutat pada
kitab-kitab klasik yang lebih menekankan pada bidanh fiqh, teologi, tasawuf dan bahasa. Contohnya di bidang fiqih, kalangan pesantren
menganut salah satu madhab, tidak akomodatif terhadap nilai kebenaran berbagai madhab-madhab dengan menggunakan metodolgi berpikir kritis
analisis. Kurikulum
menjadi sangat penting dalam mendesain pola pendidikan. Menurut Mujamil Qomar dalam Akhyak 2003, menyatakan
epistemology diperlukan anatara lain dalam hubungan dengan penyusunan dasar-dasar kurikulum yang lazimnya diartikan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan pendidikan dapat diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu dilewati oleh peserta didik dalam usahanya untuk mengenal dan
memahami pengetahuan.
2. Sarana Prasarana dan Sumber Daya Manusia SDM
Sarana prasarana menjadi penting dalam memperbaiki dan menunjang pertumbuhn kualitas peserta didik. Sarana prasarana yang
diperlukan adalah gedung atau ruang belajar, asrama, masjid, perpustakaan, laporatorium atau unit keterampilan, koperasi, kantin dan
sarana olahraga.Semuanya ini mendukung terciptanya suasana pembelajaran yang efektif tentunya juga didukung dengan SDM yang
memadai. Misalnya pada pendidik diharapkan memiliki kompetensi dan profesionalitas pada bidang yang digarapnya.
Sarana parasarana di atas mungkin tidak terlalu ideal kalau tidk didukung dengan adanya SDM yang berkualitas baik yang ada pada
pendidik, karyawan, santri dan kepemimpinan seorang kyai. Secara logika, Indonesia tergolong Negara yang besar dan memiliki sumber daya alam
yang besar pula, namun masih kalah oleh Negara kecil yang memiliki sumber daya alam kecil tetapi SDM nya berkualitas seperti Singapura,
Malaysia, Brunai Darussalam, Jepang dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa SDM itu lebih penting dari pada memiliki sumber
daya alam banyak tetapi tidak orang yang mampu mengelolanya. Pelibatan institusi pesantren dalam akselerasi pendidikan maupun
pengembangan masyarakat bukan saja signifikan, tetapi sekaligus strategis. Bukan hanya karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
memiliki akar kuat di masyarakat, tetapi juga mayoritas madrasah berstatus swasta 95 dari total jumlah madrasah, dan sebagian di antaranya berada di
pesantren. Sebagai institusi yang menempati posisi penting di masyarakat, pesantren diharapkan mampu memberikan stimulasi dan pengaruh kepada
masyarakat tentang makna pendidikan. Tambahan lagi, saat ini ada kecenderungan kuat di kalangan keluarga muslim untuk menyekolahkan
anaknya di pesantren, baik karena alas an relegius ataupun lingkungan social dan budaya. Fenomena ini satu sisi menunjukkan bahwa lembaga pendidikan
pesantren tengah mengalami semacam “kebangkitan”, atau setidaknya menemukan “popularitas” baru, atau karena alas an orang tua menyekolahkan
anak di pondok pesantren karena lingkungan dan budaya yang ada di masyarakat sekarang ini sudah terpengaruh oleh dunia informasi dan
teknologi khususnya internet yang bias juga mempengaruhi negative terhadap mental anak. Hal ini menjadi indikasi lebih lanjut tentang kerinduan dan
harapan expectation orang tua muslim untuk mendapatkan pendidikan islami yang baik, sekalgus kompetitif, bagi anak-anak mereka. Namun
sebaliknya, boleh jadi fenomena ini menjadi indikasi “kepasrahan’ orang tua
muslim terutama
terutama di wilayah urban yang merasa “tidak mampu” lagi
mendidik anak-anak mereka secara Islami at
au “tidak yakin” bahwa anak
-
anak mereka mendapatkan pendidikan agama yang cukup memadai dari sekolah-sekolah umum.
Jika melihat keadaan di atas tampaknya akselerasi pendidikan dan pengembangan masyarakat di pesantren optimis bias berjalan. Namun
bagaimanapun, program-program ini masih sangat tergantung pada sejauhmana penerimaan kiai di pesantren sendiri. Sebab, yang relative besar,
juga memiliki basis konstituen yang relative solit di masyarakat dan sumber daya local yang kuat. Sehingga intervensi dari luar akan cenderung kurang
efektif. Hal ini menjadi tantangan bagi kementrian agama untuk secara terus menerus mensosialisasikan dan mendorong pesantren-pesantren tersebut
terlibat dalam akselerasi pendidikan di pesantren. Jika Kementrian Agama mampu menggerakkan partisipasi pesantren secara lebih maksimal, kontribusi
pesantren dalam akselerasi pendidikan nasional akan dapat ditingkatkan secara drastic. Oleh sebab itu, pelibatan pesantren dalam akselerasi
pendidikan nasional tidak bias ditangani secara serampangan, apalagi karitatif dan birokrastif. Tugas Kementrian Agama yang mendesak adalah bagaimana
memperbesar partisipasi pesantren melalui program-program yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter pesantren itu sendiri.
2. Bidang Moral
Dalam bidang moral, faham liberlisme dalam bentuk kebebasan berkespresi, melalui teknologi informasi telah diekspose besar-besaran
dengan berbagai media elektroniknya, telah banyak menabrak batas-batas yang sudah digariskan oleh norma agama maupun norma ketimuran.
Globalisasi pada hakikatnya adalah westernisasi, berupa penanaman nilai- nilai Barat yang menginginkan terlepasnya ikatan-ikatan nilai moralitas
agama. Westernisasi akan selalu tarik menarik dengan local culture budaya local yang ada, dan westernalisasi mempunyai kekuatan yang luar biasa
sehingga akan mempunyai kemampuan melindas local culture tersebut. Hal ini semakin semakin terbukti karena dalam banyak hal kita selalu berkiblat