b. Lembaga pesantren
menggodok kader-kader
mandiri sehingga
terciptanya bangsa yang mandiri dan tidak tergantung pada bangsa lain. c. Demokratisasi merupakan nilai-nilai dasar yang dimiliki pesantren
membuahkan hasil
pada tumbuh
kembangnya bangsa
yang mengagungkan Negara demokrasi Nasaruddin Umar: 2002.
Pesantren adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini. Bahkan kiprahnya sudah dimulai sejak bangsa ini masih bernama nusantara.
Kemudian bersama negeri ini, pesantren ikut merasakan perjuangan panjang meraih kemerdekaan. Kisruh pemerintahan Orde Lama, diktatorisme Orde
Baru, dan hingga kini di tengah euphoria kebebasan, pasca reformasi. Para santri pun kemudian bermetamorfosis di tengah kebebasan itu.
Tak lagi terkungkung dalam bilik pesantren yang sempit. Tidak lagi dimonopoli oleh penjara suci kekuasaan kyai. Atau hanya jadi subkultur
yang berada di tengah pedesaan terpencil. Pesantren kini telah berkembang dan maju, tak saja dari bentuk
lahirnya berupa bangunan, wilayah ataupun tempat. Dari yang dulu berada di desa terpencil, atau di atas gunung yang jauh dari kaum urban. Kini
bangunan-bangunan pesantren mulai menyapa warga kota dan dekat dengan mereka.
Zamakhsyari Dhofier 2011 mengemukakan bahwa “
Tujuan pendidikan pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid
dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan
kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkahlaku jujur dan bermoral, serta menyiapkan para murid diajar mengenai etika agama di atas etika-etika yang
lain. Tujuan pesantren bukan untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi menanamkan kepada mereka bahwa belajar
adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan
”
. Di antara cita-cita pendidikan pesantren adalah latihan untuk dapat
berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada Tuhan. Para kyai selalu menaruh perhatian dan
mengembangkan watak pendidikan individual, murid dididik sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan dirinya.
Anak-anak yang cerdas dan memiliki kelebihan kemampuan dari yang lain diberi perhatian istimewa dan selalu didorong untuk terus
mengembangkan diri dan menerima kuliah pribadi secukupnya. Murid- murid juga diperhatikan tingkahlaku moralnya secara teliti. Mereka
diperlakukan sebagai makhluk yang terhormat, sebagai titipan Tuhan yang harus disanjung. Kepandaian berpidato dan berdebat juga dikembangkan.
Kepada murid ditanamkan perasaan kewajiban dan tanggungjawab untuk melestarikan dan menyebarkan pengetahuan mereka tentang Islam kepada
orang lain, mencurahkan waktu dan tenaga untuk belajar terus menerus sepanjang hidupnya.
5. Eksistensi Pendidikan Pesantren Sebagai Alternatif Pendidikan
Nasional di Era Globalisasi.
Keberadaan pondok pesantren di Indonesia yang secara keseluruhan diperkirakan memiliki santri kurang lebih 9 juta santri adalah merupakan
potensi bangsa yang cukup besar. Potensi tersebut dapat memberikan kontribusi positif yang cukup besar bila dikelola dengan baik, tetapi
sebaliknya apabila kurang dikelola dengan baik, maka hal itu akan dapat memberikan dampak negatif yang cukup besar pula dalam pembangunan
bangsa ini. Namun sayangnya, kenyataan jumlah santri yang besar itu hingga saat ini belum tertangani dengan baik sebagai akibat belum
sinergisnya program-program pemerintah dengan pesantren. Terbukti pada tahun 2003 dari 9 juta santri tersebut yang lulusannya dapat disetarakan
dengan pendidikan nasional tingkat pendidikan dasar baru 900 ribu santri saja. Hal ini mengindikasikan perlu adanya pembaharuan-pembaharuan
sistem manajemen di lingkungan pondok pesantren agar dapat mengakomodasikan program-program pemerintah dalam bidang pendidikan
tanpa menghilangkan ciri khas dari pendidikan pesantren itu sendiri Sulton ridlo: 2006.
Dilihat dari
fungsinya keberadaan
pesantren sejak
awal perkembangannya tidak lebih hanyalah sebuah lembaga pendidikan dan
penyiaran agama Islam. Seirama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan zaman, maka terjadilah pergeseran nilai,
struktur dan pandangan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Diantara aspek tersebut adalah yang berkaitan langsung dengan dunia pendidikan.
Dalam hubungannya dengan pondok pesantren, maka pesantren mengahadapi satu kondisi yang dilematis, yaitu dalam satu sisi apakah
pesantren harus hanyut mengikuti perkembangan modern dengan konsekuensi kehilangan
“jati diri” atau sisi lain tetap mempertahankan
tradisinya yang sejak lama telah mengakar dalam kehidupan pesantren yang berdampak terhadap ke eksklusifan pesantren.
Pergeseran nilai tersebut setidaknya bisa digambarkan dengan realitas di lapangan saat ini yang mengatakan bahwa terdapat kategorisasi
jenis-jenis pesantren, yakni ada yang mengkategorisasikan menjadi dua yaitu: pesantren salaf dan pesantren khalaf Zamahsyari Dhofir: 1982.
Sedangkan Maskuri Abdillah 2001 membagi pesantren menjadi empat kelompok yaitu: pertama, pesantren yang mendirikan pendidikan formal
dengan menerapkan kurikulum nasional dan atau EbtaEbtanas baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan MI, MTs, MA dan PTAI maupun
yang memiliki sekolah umum SD, SMP, SMA dan PTU seperti pesantren
Tebu Ireng Jombang, pesantren Futuhiyah Demak dan pesantren Syafi’iyah
Jakarta, kedua, pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak
menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren Darus Salam Gontor Ponorogo dan pesantren Daaru Rahman Jakarta, ketiga, pesantren yang
hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah seperti pesantren Lirboyo Kediri dan Tegal Rejo Magelang, dan keempat,
pesantren yang yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian saja. Melihat kondisi pesantren yang saat ini ada, maka bisa kita lihat
bahwa sekarang pesantren telah banyak membuka diri inklusif terhadap
perkembangan luar dengan pemberlakuan konsep qoidah fiqhiyah
“al
- muhafazah ala-qodim al-salih wa al-akhdu bi al-jadid al-
aslah”.
Termasuk di dalamnya pondok pesantren Miftahul Ulum. Paling tidak jenis pesantren
yang masih masuk dalam kategori tradisional telah banyak yang melakukan pembaharuan kea rah pesantren yang modern baik dari segi program
pesantren maupun dari segi manajemen. Disinilah letak kemajuan pendidikan Islam tradisional pesantren.
Hal yang menarik untuk diperhatikan ialah bahwa system madrasah yang berkembang di Negara-negara Islam yang lain sejak permulaan abad
ke 12, tidak pernah muncul di Indonesia sampai dengan permulaan abad ke- 20. Tetapi menurut karya-karya sastra Jawa Klasik seperti Serat Cabolek,
Serat Centini dan lain-lain, paling tidak sejak permulaan abad ke 16 telah banyak pesantren masyhur yang menjadi pusat-pusat pendidikan Islam.
Pesantren-pesantren ini mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang jurisprudensi, teologi dan tasawuf. Kiranya cukup alasan
untuk menyimpulkan bahwa, tidak seperti keadaan di Negara-negara Arab, tradisi pesantren di Indonesia sejak bentuknya yang paling tua telah
merupakan suatu kombinasi antara madrasah dan pusat kegiatan tarekat. Dan, pola kombinasi madrasah dan tarekat inilah yang akhirnya tumbuh di
Indonesia, yang tidak mempertentangkan antara aspek syariah dan aspek tarekat. Tanpa berani menyimpulkan analisis seperti itu, sejarawan dan
antropolog tidak mungkin dapat menjelaskan betapa hebatnya budayawan- budayawan seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumaterani, dan
Nuruddin Arraniri dapat melahirkan karya-karya besar dalam bahasa Melayu Jawi yang dapat mengubah kebudayaan semula bernuansa Hindu
Budhist menjadi peradaban Melayu nusantara. Yahya A. Muahaiman selaku Mendiknas tahun 1999 mengatakan
bahwa “Dewasa ini pendidikan nasional masih dihadapkan pada beberapa
permasalahan yang menonjol yaitu: 1 masih rendahnya pemerataan pendidikan, 2 masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan, dan 3
masih lemahnya manajemen pendidikan” Fasli Jalal Supriyadi: 2001.