Eksistensi Pendidikan Pesantren Sebagai Alternatif Pendidikan
perkembangan luar dengan pemberlakuan konsep qoidah fiqhiyah
“al
- muhafazah ala-qodim al-salih wa al-akhdu bi al-jadid al-
aslah”.
Termasuk di dalamnya pondok pesantren Miftahul Ulum. Paling tidak jenis pesantren
yang masih masuk dalam kategori tradisional telah banyak yang melakukan pembaharuan kea rah pesantren yang modern baik dari segi program
pesantren maupun dari segi manajemen. Disinilah letak kemajuan pendidikan Islam tradisional pesantren.
Hal yang menarik untuk diperhatikan ialah bahwa system madrasah yang berkembang di Negara-negara Islam yang lain sejak permulaan abad
ke 12, tidak pernah muncul di Indonesia sampai dengan permulaan abad ke- 20. Tetapi menurut karya-karya sastra Jawa Klasik seperti Serat Cabolek,
Serat Centini dan lain-lain, paling tidak sejak permulaan abad ke 16 telah banyak pesantren masyhur yang menjadi pusat-pusat pendidikan Islam.
Pesantren-pesantren ini mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang jurisprudensi, teologi dan tasawuf. Kiranya cukup alasan
untuk menyimpulkan bahwa, tidak seperti keadaan di Negara-negara Arab, tradisi pesantren di Indonesia sejak bentuknya yang paling tua telah
merupakan suatu kombinasi antara madrasah dan pusat kegiatan tarekat. Dan, pola kombinasi madrasah dan tarekat inilah yang akhirnya tumbuh di
Indonesia, yang tidak mempertentangkan antara aspek syariah dan aspek tarekat. Tanpa berani menyimpulkan analisis seperti itu, sejarawan dan
antropolog tidak mungkin dapat menjelaskan betapa hebatnya budayawan- budayawan seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumaterani, dan
Nuruddin Arraniri dapat melahirkan karya-karya besar dalam bahasa Melayu Jawi yang dapat mengubah kebudayaan semula bernuansa Hindu
Budhist menjadi peradaban Melayu nusantara. Yahya A. Muahaiman selaku Mendiknas tahun 1999 mengatakan
bahwa “Dewasa ini pendidikan nasional masih dihadapkan pada beberapa
permasalahan yang menonjol yaitu: 1 masih rendahnya pemerataan pendidikan, 2 masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan, dan 3
masih lemahnya manajemen pendidikan” Fasli Jalal Supriyadi: 2001.
Melihat kondisi pesantren yang ada saat ini, maka bisa kita lihat bahwa sekarang pesantren telah banyak membuka diri inklusif terhadap
perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Miftahul Ulum mengatakan sekarang sudah banyak pesantren yang tadinya kategori
tradisional telah melakukan pembaharuan kearah pesantren modern dalam arti pesantren sudah memiliki lembaga pendidikan formal dari tingkat MI,
MTs, MA, dan PTAI. Pesantren modern setidaknya memiliki visi, misi dan strategi tradisi yang dirumuskan secara jelas, sudah memiliki aturan dasar
yang disepakati bersama, pembagian kerja yang terstruktur, berorientasi pada tercapainya tujuan pendidikan yang telah disepakati bersama.
Dengan demikian setidaknya pesantren sudah menggunakan manajemen modern yang artinya pesantren telah memiliki visi, misi dan
strategi yang dirumuskan secara jelas, sudah memiliki aturan dasar yang sudah disepakati bersama, pembagian kerja yang struktur, berorientasi pada
stakeholders’ dan transparansi dalam pengelolaannya. Untuk itu pada UU
RI nomer 20 tahun 2003 pendidikan pesantren telah dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional, baik itu pesantren tradisional maupun pesantren
modern diharapkan bersama-sama pemerintah bisa membangun masyarakat dalam rangka pemerataan pendidikan melalui pendidikan
pesantren sebagai alternatif pendidikan nasional di era globalisasi.
6. Problematikan Pendidikan Pesantren sebagai Alternatif Pendidikan Nasional di Era Globalisasi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada era globalisasi saat ini terasa sekali pengaruhnya dalam berbagai bidang
kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang pendidikan, sosial, budaya, termasuk dalam pendidikan pesantren. Kemajuan yang pesat itu
mengakibatkan cepat pula berubah dan berkembangnya berbagai tuntutan masyarakat. Masyarakat yang tidak menghendaki keterbelakangan akibat
perkembangan tersebut, perlu menanggapi serta menjawab tuntutan kemajuan tersebut secara serius. Dalam kaitannya dengan hal itu, Taylor
1978, mengemukakan bahwa, hakikat perubahan masyarakat memerlukan pengetahuan baru, keterampilan baru, serta tanggungjawab substasial
terhadap nilai-nilai masyarakat. Khusus dalam bidang pendidikan, misalnya pesantren dapat
dikatakan kalah bersaing dalam menawarkan suatu model pendidikan kompetitif yang mampu melahirkan out put santri yang memiliki
kompetensi dalam penguasaan ilmu sekaligus skill sehingga dapat menjadi bekal untuk terjun ke dalam kehidupan social yang terus mengalami
percepatan perubahan akibat modernisasi yang ditopang kecanggihan sains dan teknologi. Kegagalan pendidikan pesantren dalam melahirkan sumber
daya santri yang memiliki kecakapan dalam bidang ilmu-ilmu keislaman dan penguasaan teknologi secara sinergis berimplikasi terhadap kemacetan
potensi pesantren kapasitasnya, sebagai salah satu agent of social change dalam berpartisipasi mendukung proses transformasi.
Ada pula sebagian pesantren yang memperbaharui system pendidikannya dengan menciptakan model pendidikan modern yang tidak
lagi terpaku pada system pengajaran klasik wetonan, bandongan, dan sorogan dan materi kitab-kitab kuning. Tetapi, semua system pendidikan
mulai dari teknik pengajaran, materi pelajaran, sarana dan prasaranya didesain berdasarkan system pendidikan modern. Modifikasi pendidikan
pesantren semacam ini telah dieksperimentasikan oleh beberapa pondok pesantren seperti Pesantren Darus Salam Gontor Ponorogo, Pesantren As
Salam Pabelan Surakarta, Pesantren Darun Najah Jakarta, dan Pesantren Al Amin Perinduan Sumenep Madura.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sampai sekarang eksistensinya masih diakui, bahkan semakin memainkan perannya di
tengah-tengah masayaraakat dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia SDM yang handal dan berkualitas. Kendatipun bukan berarti
pondok pesantren luput dari beragam permasalahan dan kendala yang dihadapinya. Memang system yang diapakai dalam pondok pesantren
mempunyai keunikan dibandingkan dengan system pendidikan yang diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, seperti:
a. Memakai system tradisional yang mempunyai kebebasan penuh untuk memilih materi yang akan diajarkan di pondok pesantren dibandingkan
dengan sekolah modern sehingga terjadi hubungan dua arah antara kyai dan santri.
b. Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi berjuang bersama dalam pahit maupun senang dalam local maupun interlokal.
c. Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealism, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri dan keberanian hidup.
d. Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan sehingga mereka hamper tidak dapat diakui oleh pemerintah.
e.
Para santri tidak mengidap penyakit “simbolik” yaitu perolehan gelar dan
ijazah, karena sebagian besar pondok pesantren tidak mengenal ijazah sebagai bentuk kelulusan pada peserta didik.
Berbeda dengan pendidikan umum lainnya, di sana siswa belajar karena menekankan pada ijazah sebagai ending kelulusannya. Santri di
lembaga pondok pesantren dengan ketulusan hatinya masuk pesantren untuk mendalami ilmu-ilmu agamanya tanpa adanya harapan untuk memiliki
ijazah. Hal ini karena tujuan utama mereka adalah hanya ingin mencari keridloan Allah SWT, semata-mata. Dengan apa yang menjadi
kecenderungan seperti tersebut, bukan berarti pondok pesantren telah menduduki posisi sebagai lembaga yang paling elit, ditengah-tengah arus
perubahan social dan budaya seperti yang terjadi akhir-akhir ini, justru menjadi persoalan baru yang tampaknya memerlukan solusi dan pemecahan,
diantara: a. Masalah integrasi
sistem pendidikan pondok pesantren system pendidikan tradsional ke dalam system pendidikan nasional.
b. Masalah pengembangan wacana social, budaya, dan masalah ekonomi c. Masalah pengalaman kekuatan dengan pihak-pihak lain untuk mencari
tujuan membentuk masyarakat ideal yang diinginkan
d. Maslah berhubungan dengan keimanan dan keilmuan sepanjang hayat pondok
pesantren http:idshyoong.comsocial-scienceseducation
2192459-problematikan-pondok-pesantrenixzz2GDOKd2Op. Dengan segenap potensi dan peran yang sangat strategis yang
dimiliki pesantren, maka sudah seharusnyalah semua pihak turut kembali mencurahkan perhatian pada lembaga pendidikan tertua di nusantara ini
pesantren. Baik pemerintah dengan segala kebijakan dan political will-nya, para pakar dan professional swasta, maupun masyarakat pada umumnya.
Terlebih lagi umat Islam, sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas pendidikan Islam khususnya pesantren.
Pesantren juga perlu di bantu. Semua pihak, seperti disebut sebelumnya, juga perlu turun tangan membantu pondok pesantren. Karena
pondok pesantren itu bukan milik kyai atau santrinya semata, tapi juga milik seluruh umat Islam dan bahkan milik bangsa ini.
Tak hanya di bantu, Sebenarnya pondok pesantren juga perlu diperjuangkan. Bila dibantu berkonotasi pada hubungan yang sifatnya tidak
melibatkan jiwa dan sekadarnya saja, maka kata diperjuangkan bermakna mencurahkan segala tenaga dan jiwa atau segala daya dan upaya untuk
pengembangan dan kemajuan pondok pesantren. Dengan demikian pesntren yang komposisinya paling banyak salaf
pesantren tradisional dari keseluruhan jumlah pesantren yang ada di Indonesia tersebut dituntut untuk melakukan pengembangan dan
pembaharuan baik di bidang program pendidikan pesantren maupun di bidang pengelolaan organisasi lembaga dengan cara menyesuaikan diri
dengan pendidikan nasional dan pola manajerial yang professional .