Pengaruh Karakteristikdan Perilaku Aplikasi Herbisida Terhadap Kadar Cholinesterase dalam Darah Penyemprot Gulma di PTPN V Pekanbaru Tahun 2014

(1)

PENGARUH KARAKTERISTIK DAN PERILAKU APLIKASI HERBISIDA TERHADAP KADAR CHOLINESTERASE DALAM DARAH

PENYEMPROT GULMA DI PTPN V PEKANBARU TAHUN 2014

TESIS

Oleh

KRISTINE SEMBIRING 127032168/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF CHARACTERISTICS AND BEVAVIORAL OF HERBICIDE APPLICATION ON CHOLINESTERASE

LEVELS IN BLOOD SPRAYING WEEDS IN PTPN V PEKANBARU 2014

THESIS

By

KRISTINE SEMBIRING 127032168/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH KARAKTERISTIK DAN PERILAKU APLIKASI HERBISIDA TERHADAP KADAR CHOLINESTERASE DALAM DARAH

PENYEMPROT GULMA DI PTPN V PEKANBARU TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

KRISTINE SEMBIRING 127032168/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH KARAKTERISTIK DAN PERILAKU APLIKASI HERBISIDA TERHADAP KADAR CHOLINESTERASE DALAM DARAH PENYEMPROT GULMA DI PTPN V PEKANBARU TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : Kristine Sembiring Nomor Induk Mahasiswa : 127032168

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Dra. Retno Widhiastuti, M.Si) (Ir. Indra Chahaya, M.Si

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah Diuji

pada Tanggal : 26 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Dra. Retno Widhiastuti, M.Si Anggota : 1. Ir. Indra Chahaya, M.Si

2. Ir. Evi Naria, M.Kes 3. dr. Taufik Ashar, M.K.M


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH KARAKTERISTIK DAN PERILAKU APLIKASI HERBISIDA TERHADAP KADAR CHOLINESTERASE DALAM DARAH

PENYEMPROT GULMA DI PTPN V PEKANBARU TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2014

Kristine Sembiring 127032168/IKM


(7)

ABSTRAK

Pestisida merupakan suatu substansi kimia yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama. Pestisida juga digunakan sebagai pilihan utama untuk memberantas organisme pengganggu, sebab pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi, penggunaannya mudah dan hasilnya cepat diketahui. Namun bila aplikasinya kurang bijaksana dapat membawa dampak pada pengguna, hama sasaran, maupun lingkungan yang sangat berbahaya.

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh karakteristik (usia, lama jam kerja, masa kerja,pendidikan) dan perilaku aplikasi herbisida (pengetahuan, sikap dan tindakan) terhadap kadar cholinesterase pada penyemprot gulma di PTPN V Pekanbaru tahun 2014.

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada Februari - Juli 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah semua petugas penyemprot gulma di kebun Sei Pagar PTPN V Pekanbaru sebanyak 30 orang dan sampel seluruh dari populasi. Analisa data uji menggunakan uji Exact - Fisher.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan jenis kelamin terhadap kadar cholinesterase pada penyemprot gulma di PTPN V Pekanbaru tahun 2014.

Diharapkan bagi PTPN V Pekanbaru khususnya Kebun Sei Pagar agar lebih sering melakukan pelatihan dan penyuluhan untuk penyemprot gulma. Diharapkan kepada penyemprot gulma agar lebih sadar lagi dalam penggunaan APD.


(8)

ABSTRACT

Pesticide is a chemical substance that is used to control a variety of pests. Pesticides are also used as the primary option to eradicate the organism, because the pesticide has a high killing power, easy to use and fast results are known. However, if the application is unwise to have an impact on the user, the target pest, as well as a very dangerous environment.

The purpose ofthis study was to determine the effect of the characteristics (age, long working hours, job tenure, education) and herbicide application behavior (knowledge, attitudes, and actions) against cholinesterase levels in spraying weeds in PTPN V Pekanbaru 2014.

This research is analytic study with cross sectional approach. The research was conducted in February – July 2014.Population in this study were all officers spraying weeds in Kebun Sei Pagar PTPN V Pekanbaru sample of 30 people and the whole of the population. Analysis ofthe test data Exact - Fisher.

The results showed no effect of working life, knowledge, attitudes and actions toward cholinesterase levels in spraying weeds in PTPN V Pekanbaru 2014. Knowledge is the most dominant variable in affecting the level of cholinesterase on spraying weeds in PTPN V Pekanbaru 2014.

Expected for PTPN V Pekanbaru especially kebun Sei Pagar to be more frequent training and education for spraying weeds. It is expected to be more conscious of weed sprayi g again in the use of APD.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus atas Berkat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan Judul “Pengaruh Karakteristikdan Perilaku Aplikasi Herbisida Terhadap Kadar Cholinesterase dalam Darah Penyemprot Gulma di PTPN V Pekanbaru Tahun 2014”, ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Strata-2 pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Proses penulisan Tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini ucapan terimakasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), sebagai rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Dra. Retno Widhiastuti,MSi , selaku ketua komisi pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk bimbingan, memberikan masukan dan pemikiran dengan penuh kesabaran di tengah-tengah kesibukannya.


(10)

5. Ir. Indra Chahaya,Msi, selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan, saran-saran dan masukan untuk menyelesaikan Tesis ini.

6. Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku anggota komisi penguji yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan Tesis ini. 7. dr. Taufik Ashar, MKM, selaku anggota komisi penguji yang telah banyak

memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan Tesis ini. 8. Seluruh staf PTPN V Pekanbaru khususnya Kebun Sei Pagar dan staf Prodia

yang telah membantu penelitian penulis.

9. Seluruh staf dosen Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri, yang telah memberikan pembelajaran selama penulis mengikuti pendidikan. 10. Orangtuaku (L. Sembiring, Alm. R. Singarimbun, R. Perangin – angin) yang

telah memberikan motivasi serta dukungan doa dan kasih sayang kepada ananda dalam menjalani pendidikan ini.

11. Mas Manu dan KakOpa, Abang Arif dan Kak Neli, Abang Nedi dan Nanta, Abang Iyus dan Kak Eva, Abang Martin dan Kak Rina, serta semua sanak saudara yang telah memberikan dukungan dan doa.

12. Seluruh civitas GMKI Koms. FKM USU terkhusus 07 generation (Rini, Marlina, Devi, Raisa, Josia, Horas, Indra, Febri dan Daniel), kakanda dan adik – adik (bang Jasmen, bang Parlan, bang Lafandi,bang Gibeon, Fitri, Hotman, Lestari, Alvira, Jani, Jane, Thomson, Desima, Fredy, Philip, Herna, danWelsa).


(11)

13. Kelompok kecilku Blessing Purple (Kak Ryzma, Kak yenthi, Valentina, Rafika, Nova, Detha).

14. Teman-teman penulis di Minat Studi Manajemen Ke sehatan Lingkungan Industri angkatan 2012 ( Rina Mahyurni ,Evi fitriani, Dodi Lashon S, Kak Putri Yunita, Kak Titi Karsita, Ibu Lasni, Ibu Evita dan Kak Tambar).

15. Teman-teman penulis di Marakas 41 ( Rini, Dina, Ayu, Balige Group, Apri, Nova) yang telah bersama – sama menghabiskan waktu bersama.

16. Teman – temanku Sri Sabarina, Ruth barus, Bang Heru, Bang Frans, Reza, dan yang saya tidak bisa sebutkan satu persatu.

17. Seluruh pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan untuk menyelesaikan Tesis ini.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran-saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan Tesis ini.Semoga Tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Oktober 2014 Penulis

Kristine Sembiring 127032168/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Kristine Sembiring lahir di Kuala Sawit, 19 Desember 1989, anak keenam dari 6 (enam) bersaudara dari Ayahnda L. Sembiring dan Alm.Rosdiana Singarimbun.

Pendidikan formal penulis dimulai dari TK GBKP Efrata Medan tahun 1993, SDN 034 Pekanbaru tamat tahun 2001, SMP Santa Maria Pekanbaru tamat tahun 2004, SMAN 10 Pekanbaru tamat tahun 2007, S-1 FKM USU tamat tahun 2011, dan penulis menempuh pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat minat studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri (MKLI) Fakultas Keseharan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis saat ini bekerja sebagai city facilitator di Padang lawas utara sebagai konsultan sanitasi pemukiman.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 6

1.4.Hipotesis ... 6

1.5.Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1.Pestisida ... 8

2.1.1. Pengertian Pestisida ... 8

2.1.2. Penggolongan Pestisida ... 9

2.1.3. Aplikasi Pestisida ... 24

2.1.4. Jalan Masuk Pestisida ... 32

2.1.5. Pencampuran Pestisida ... 32

2.1.6. Pertimbangan Cuaca dalam Penentuan Saat Aplikasi ... 34

2.1.7. Gejala Keracunan dan cara Mengatasinya ... 36

2.2. Tanaman Kelapa Sawit ... 42

2.3. Pemeriksaan Cholinesterase dalam Darah ... 43

2.4. Perilaku ... 47

2.4.1. Bentuk-bentuk Perilaku ... 47

2.4.2. Domain Perilaku ... 48

2.5. Landasan Teori ... 51

2.6. Kerangka Konsep ... 53

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 54

3.1.Jenis Penelitian ... 54

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54

3.3. Populasi dan Sampel ... 54

3.3.1. Populasi ... 54


(14)

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 55

3.4.1. Data Primer ... 55

3.4.2. Data Sekunder ... 55

3.5. Definisi Operasional ... 55

3.6. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 56

3.6.1. Uji Validitas ... 57

3.6.2. Uji Reliabilitas ... 57

3.7. Metode Pengukuran ... 58

3.7.1. Pengukuran Variabel Dependen ... 58

3.7.2. Pengukuran Variabel Independen ... 58

3.7.3. Pemeriksaan Aktivitas Cholinesterase ... 60

3.8. Metode Analisis Data ... 63

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 65

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 65

4.2 Gambaran Karakteristik Responden ... 66

4.3 Gambaran Perilaku Responden ... 68

4.4 Gambaran Kadar Cholinesterase dalam Darah Penyemprot ... 75

4.5 Analisis Hubungan Karakteristik Responden dengan Kadar Cholinesterase dalam Darah Penyemprot Gulma ... 75

4.6 Analisis Perilaku Karakteristik Responden dengan Kadar Cholinesterase dalam Darah Penyemprot Gulma ... 79

4.7 Pengaruh Karakteristik dan Perilaku Aplikasi Herbisida terhadap Kadar Cholinesterase dalam Darah Penyemprot Gulma ... 81

BAB 5. PEMBAHASAN ... 82

5.1 Gambaran Karakteristik Aplikasi Herbisida yang Berhubungan terhadap Kadar Cholinesterase dalam Darah Penyemprot ... 82

5.2 Gambaran Perilaku Aplikasi Herbisida yang Berhubungan terhadap Kadar Cholinesterase dalam Darah Penyemprot ... 87

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

6.1 Kesimpulan ... 92

6.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di PTPN V Pekanbaru

Tahun 2014 ... 66 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di PTPN V

Pekanbaru Tahun 2014... 67 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di PTPN V

Pekanbaru Tahun 2014... 67 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja di PTPN V

Pekanbaru Tahun 2014... 68 4.5 Karakteristik Responden BerdasarkanLama Menyemprot di PTPN V

Pekanbaru Tahun 2014... 68 4.6 Perilaku Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Aplikasi

Herbisida di PTPN V PekanbaruTahun 2014 ... 70 4.7 Perilaku Responden Berdasarkan Pengategorian Pengetahuan di PTPN

V Pekanbaru Tahun 2014 ... 70 4.8 Perilaku Responden BerdasarkanSikap tentang Aplikasi Herbisida di

PTPN V Pekanbaru Tahun 2014 ... 70 4.9 Perilaku Responden Berdasarkan Pengategorian Sikap di PTPN V

Pekanbaru Tahun 2014... 72 4.10 Perilaku Responden Berdasarkan Tindakan tentang Aplikasi Herbisida

di PTPN V Pekanbaru Tahun 2014 ... 73 4.11 Perilaku Responden Berdasarkan Pengategorian Tindakan di PTPN V

Pekanbaru Tahun 2014... 74 4.12 Kadar Cholinesterase Responden di PTPN V Pekanbaru Tahun 2014 ... 75 4.13 Analisis Hubungan Umur Responden dengan Kadar Cholinesterase


(16)

4.14 Analisis Hubungan Jenis Kelamin Responden dengan Kadar Cholinesterase dalam Darah Penyemprot Gulma di PTPN V Tahun 2014 ... 76 4.15 Analisis Hubungan Pendidikan Responden dengan Kadar

Cholinesterase dalamDarahPenyemprot Gulma di PTPN V Tahun 2014 ... 77 4.16 Analisis Hubungan Masa Kerja Responden dengan Kadar

Cholinesterase dalam Darah Penyemprot Gulma di PTPN V Tahun 2014 ... 77 4.17 Analisis Hubungan Lama Menyemprot Responden dengan Kadar

Cholinesterase dalam Darah Penyemprot Gulma di PTPN V Tahun 2014 ... 78 4.18 Analisis Hubungan Pengetahuan Responden dengan Kadar

Cholinesterase dalam Darah Penyemprot Gulma di PTPN V Tahun 2014 ... 79 4.19 Analisis Hubungan Sikap Responden dengan Kadar Cholinesterase

dalam Darah Penyemprot Gulma di PTPN V Tahun 2014 ... 80 4.20 Analisis Hubungan Tindakan Responden dengan Kadar

Cholinesterase dalam Darah Penyemprot Gulma di PTPN V Tahun 2014 ... 80


(17)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Cara Kerja Insektisida ... 14

2.2. Klasifikasi Fungisida ... 17

2.3. Klasifikasi Herbisida ... 23

2.4. Kerangka Teori Kadar Cholinesterase dalam Darah ... 51


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Surat Persetujuan Mengikuti Penelitian ... 96

2. Kuesioner Penelitian ... 97

3. Tabel Kadar Cholinesterase dalam Darah Penyemprot Gulma di PTPN V Pekanbaru Tahun 2014 ... 103

4. Hasil Analisi Data ... 104

5. Dokumentasi Penelitian ... 124


(19)

ABSTRAK

Pestisida merupakan suatu substansi kimia yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama. Pestisida juga digunakan sebagai pilihan utama untuk memberantas organisme pengganggu, sebab pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi, penggunaannya mudah dan hasilnya cepat diketahui. Namun bila aplikasinya kurang bijaksana dapat membawa dampak pada pengguna, hama sasaran, maupun lingkungan yang sangat berbahaya.

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh karakteristik (usia, lama jam kerja, masa kerja,pendidikan) dan perilaku aplikasi herbisida (pengetahuan, sikap dan tindakan) terhadap kadar cholinesterase pada penyemprot gulma di PTPN V Pekanbaru tahun 2014.

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada Februari - Juli 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah semua petugas penyemprot gulma di kebun Sei Pagar PTPN V Pekanbaru sebanyak 30 orang dan sampel seluruh dari populasi. Analisa data uji menggunakan uji Exact - Fisher.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan jenis kelamin terhadap kadar cholinesterase pada penyemprot gulma di PTPN V Pekanbaru tahun 2014.

Diharapkan bagi PTPN V Pekanbaru khususnya Kebun Sei Pagar agar lebih sering melakukan pelatihan dan penyuluhan untuk penyemprot gulma. Diharapkan kepada penyemprot gulma agar lebih sadar lagi dalam penggunaan APD.


(20)

ABSTRACT

Pesticide is a chemical substance that is used to control a variety of pests. Pesticides are also used as the primary option to eradicate the organism, because the pesticide has a high killing power, easy to use and fast results are known. However, if the application is unwise to have an impact on the user, the target pest, as well as a very dangerous environment.

The purpose ofthis study was to determine the effect of the characteristics (age, long working hours, job tenure, education) and herbicide application behavior (knowledge, attitudes, and actions) against cholinesterase levels in spraying weeds in PTPN V Pekanbaru 2014.

This research is analytic study with cross sectional approach. The research was conducted in February – July 2014.Population in this study were all officers spraying weeds in Kebun Sei Pagar PTPN V Pekanbaru sample of 30 people and the whole of the population. Analysis ofthe test data Exact - Fisher.

The results showed no effect of working life, knowledge, attitudes and actions toward cholinesterase levels in spraying weeds in PTPN V Pekanbaru 2014. Knowledge is the most dominant variable in affecting the level of cholinesterase on spraying weeds in PTPN V Pekanbaru 2014.

Expected for PTPN V Pekanbaru especially kebun Sei Pagar to be more frequent training and education for spraying weeds. It is expected to be more conscious of weed sprayi g again in the use of APD.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.5. Latar Belakang

Pestisida merupakan suatu substansi kimia yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama. Pengunaan pestisida dapat menurunkan populasi Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Petani merasakan manfaat menggunakan pestisida seperti panen yang baik sehingga petani menggantungkan harapan yang besar terhadap perstisida. Keterbatasan petani menyebabkan pestisida merupakan cara andalan menurunkan populasi OPT(Asnawati,2010).

Penggunaan pestisida yang berlebihan menyebabkan matinya musuh alami hama. Kematian musuh alami dan terjadinya resistensi hama terhadap pestisida menurunkan efektivitas pestisida sehingga penggunaan pestisida pun meningkat. Data Biro Pusat Statistik menunjukan, di Indonesia pada tahun 1977 penggunaan pestisida pada padi kurang dari 1,5 kg/ha dan pada tahun 1987 hampir 4,5 kg/ha. Terjadilah lingkaran setan kenaikan penggunaan pestisida, kenaikan laju resistensi hama, kenaikan laju kematian musuh alami, kenaikan penggunaan pestisida dan seterusnya (Soemarwoto,2007).

Pestisida juga digunakan sebagai pilihan utama untuk memberantas organisme, sebab pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi, penggunaannya mudah dan hasilnya cepat diketahui. Namun bila aplikasinya kurang bijaksana dapat membawa


(22)

dampak pada pengguna, hama sasaran, maupun lingkungan yang sangat berbahaya (Wudianto,2007).

Pestisida adalah zat racun. Tingkat keracunannya bagi manusia berbeda – beda. Misalnya, tingkat keracunan DDT, lindane, heptaklor dan toxaphene adalah sedang, dieldrin, aldrin,endosulfan, dan PCP adalah tinggi dan endrin sangat toksik. Diantara golongan fosfat organic phorate, mevinphos dan parathion sangat toksik, diklorvos, klorfenvinfos dan metilparation tingkat keracunannya tinggi serta diazinon sedang (Soemarwoto,2007).

Pestisida bersifat racun, maka pestisida haruslah diperlakukan hati – hati.Namun keteledoran banyak terjadi. Para penyemprot menyemprot tanpa memperhatikan arah angin. Mereka umumnya tidak terlindungi dengan baik. Tangannya, lengannya, badannya, dan kakinya basah oleh semprotan pestisida. Masker pun jarang mereka menggunakannya. Karena itu para penyemprot menghadapi resiko besar menderita keracunan. Penyimpanan pestisida oleh petani sering dilakukan dengan tidak aman, antara lain, di tempat yang mudah dicapai anak- anak, pestisida berupa tepug disimpan dalam kantong plastic dan yang cair dalam botol yang menyerupai botol minyak goreng tanpa diberi tanda atau label. Bungkusan pestisida di buang kesembarang tempat, termasuk di selokan atau sungai. Botol da kaleng bekas kemasan pestisida sering dipakai lagi untuk keperluan rumah tangga, antara lain, untuk menyimpan makanan dan air (Soemarwoto, 2007).

Dampak dan patofisiologi keracunan pestisida tergantung jenis dan sifat pestisida tersebut. Misalnya, golongan organoklorin dapat menganggu fungsi susunan


(23)

syaraf pusat. Golongan karbamat dan organofosfat menimbulkan gangguan susunan syaraf pusat dan perifer, melalui mekanisme ikatan cholinesterase, dan lain – lain. Berdasarkan penelitian (Achmadi, 1985) diketahui bahwa di bawah ini merupakan kelompok resiko tinggi sebagai pengguna pestisida organofosfat dan karbamat mereka antara lain : penderita anemia, penderita noctural hemoglobulinuria, wanita, asthenis, dan secara congenital tidak memiliki cholinesterase dalam darahnya (Achmadi, 2012).

Menurut Budiyono, dkk (2005) pada petani penyemprot melon di Desa Jati Gembol, Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi, sebagian besar petani penyemprot melon memakai alat pelindung diri yaitu sebesar 31 orang (70,45%). Lama menyemprot melon yang masih di bawah batas normal sebanyak 30 orang (68,19%). Petani penyemprot melon yang tidak merokok waktu menyemprot melon sebesar 26 orang (59,09%). Petani penyemprot melon yang sempat makan dan minum waktu istirahat menyemprot melon 20 orang (45,45%), lainnya 24 orang (54,55%) tidak sempat makan dan minum. Lama menjadi petani melon yang ≥ 6 tahun sebanyak 30 orang (68,19%).Tingkat keracunan pestisida pada petani penyemprot melon : keracunan 35 orang (79,55%), normal 9 orang (20,45%).

Berdasarkan hasil penelitian Afriyanto (2008), pada petani penyemprot cabe di Desa Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang, hasil penelitian menunjukan dari pemeriksaan darah petani didapatkan petani yang keracunan berat sebanyak 13 orang (26%). Petani yang memiliki kadar cholinesterase berpotensi keracunan (keracunan ringan) sebanyak 37 orang (74%).


(24)

Pada petani sayuran penyemprot pestisida di kelurahan Campung Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus Lampung, hasil penelitian menunjukan proporsi kejadian keracunan yang tinggi, yaitu 100% dengan 71,4% keracunan ringan dan 28,6% keracunan sedang. Persentase faktor risiko yang tinggi ditemukan pada petani yang tidak memiliki kebiasaan memakai masker (78,6%) pada saat menyemprot, tidak memiliki kebiasaan memakai sarung tangan (80,4%) saat menggunakan pestisida, dan kebiasaan mengonsumsi sayuran hasil pertanian setempat (100%) (Nika, 2009).

Pada penelitian Raini, dkk (2004), pada petani penyemprot pestisida organofosfat di Kecamatan Pacet, Jawa barat, hasil penelitian menunjukkan pada kelompok perlakuan (istirahat), terdapat 15 subyek (37,50%) dengan keracunan sedang (62,50%) dan 25 subyek (67,57%) dengan keracunan ringan (75%). Sedangkan 3 subyek yang mengalami keracunan sedang drop out, karena tidak istirahat, pada awal perlakuan terdapat 12 subyek keracunan sedang (32,43%) dan 25 subyek dengan keracunan ringan (67,57%). Setelah satu minggu istirahat terdapat 5 subyek mengalami perubahan dari keracunan sedang menjadi normal, 7 subyek dengan keracunan sedang menjadi ringan, 18 subyek mengalami perubahan dari keracunan ringan menjadi normal, 6 subyek dengan keracunan ringan mengalami kenaikan cholinesterase menjadi normal, dan cholinesterasenya rata – rata 82,77% ± 2,87. Pada kelompok perlakuan terdapat 35 subyek (94,59%) mengalami kenaikan cholinesterase menjadi normal.


(25)

Berdasarkan penelitian Asri (2009), hasil penelitian menunjukkan pendidikan responden, tidak tamat sekolah dasar yaitu sebanyak 32 responden (66,7%), tamat SD sebanyak 9 orang (18,8%) dan tamat SMP sebanyak 7 orang (14,6%). Berdasarkan tingkat pengetahuan responden tergolong baik sebanyak 17 responden (35,4%) dan yang tergolong buruk sebanyak 31 responden (64,6%). Berdasarkan lama kerja, lama kerja responden 0 sampai dengan 12 bulan sebanyak 8 responden (16,6%) dan responden yang lama kerja lebih dari 12 bulan sebanyak 40 responden (83,3%). Berdasarkan pemakaian APD lengkap dengan kategori baik sebanyak 0 orang (0%) dan responden memakai APD tidak lengkap dengan kategori buruk sebanyak 48 orang (100%). Berdasarkan kadar cholinesterase dalam darah, kadar cholinesterase dalam darah kurang dari 75% sebanyak 33 orang (68,7%) dan responden kadar cholinesterase dalam darah 75 – 100% sebesar 15 orang (31,3%).

Menurut Prijanto (2009), pada keluarga petani hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang, hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan usia, ada 47 orang tergolong usia muda (68,1%) dan 22 orang tergolong usia tua (31,9%). Berdasarkan tingkat pengetahuan, 52 orang (75,36%) mempunyai pengetahuan yang kurang baik tentang pestisida dan pengelolaannya dan 17 orang (24,64%) mempunyai pengetahuan baik tentang pestisida dan pengelolaannya. Berdasarkan kejadian keracunan pestisida, hasil dari pemeriksaan cholinesterase dalam darah sebagian besar istri petani yaitu 49 orang (71,02%) mengalami keracunan pestisida baik ringan, sedang dan berat dan 20 orang(28,98%) menunjukkan tidak terjadi keracunan atau normal.


(26)

Penggunaan pestisida oleh penyemprot gulma di PTPN V kebun sei pagar ditemukan ada beberapa orang yang tidak memakai APD secara lengkap dan ada juga yang merokok sewaktu penyemprotan.

1.6. Perumusan Masalah

Penggunaan pestisida oleh penyemprot sehari – hari tidak memperhatikan aturan. Seperti halnya yang ditemukan peneliti pada survey awal bahwa ada beberapa penyemprot tidak memakai alat pelindung diri. Kondisi ini dapat meningkatkan faktor resiko terjadinya keracunan pestisida sehingga dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu : apakah ada pengaruh karakteristik dan perilaku aplikasi herbisida terhadap cholinestrase pada penyemprot gulma di PTPN V Pekanbaru tahun 2014.

1.7. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh karakteristik (usia, lama jam kerja, masa kerja,pendidikan) dan perilaku aplikasi herbisida (pengetahuan, sikap dan tindakan) terhadap cholinesterase pada penyemprot gulma di PTPN V Pekanbaru tahun 2014.

1.8. Hipotesis

Ada pengaruh karakteristik (usia, lama jam kerja, masa kerja pendidikan) dan perilaku aplikasi herbisida (pengetahuan,sikap dan tindakan) terhadap cholinesterase pada penyemprot gulma di PTPN V Pekanbaru tahun 2014.


(27)

1.6. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberi masukan pada penyemprot gulma dan PTPN V Pekanbaru tentang bahaya pestisida.

2. Memberi masukan kepada penyemprot gulma dan PTPN V Pekanbaru terkait mengenai penurunan cholinesterase akibat penggunaan pestisida yang tidak aman.

3. Mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dan menambah pengetahuan bagi penulis.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pestisida

2.1.1. Pengertian Pestisida

Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama dalam arti luas (jazat pengganggu) (Triharso, 2004). Pestisida (inggris: pesticide) secara harfiah berarti pembunuh hama (pest : hama ; cide : membunuh). Menurut Peraturan Pemerintah No.7/1973, pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk (Untung, 2007):

1. Memberantas atau mencegah hama – hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian – bagian tanaman, atau hasil – hasil pertanian;

2. Memberantas rerumputan;

3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;

4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian – bagian tanaman tidak termasuk pupuk;

5. Memberantas atau mencegah hama – hama luar pada hewan – hewan piaraan dan ternak;

6. Memberantas atau mencegah hama – hama air;

7. Memberantas atau mencegah binatang – binatang dan jasad – jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan alat – alat pengangkutan;


(29)

8. Mengendalikan atau mencegah binatang – binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi, dengan penggunaan pada tanaman, air atau tanah.

Menurut The United States Enviromental Pesticide Control Act, pestisida adalah sebagai berikut (Djojosumarto, 2003).

1. Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang mengerat, nematode, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama, kecuali virus, bakteri, atau jasad renik lainnya yang terdapat pada manusia dan binatang.

2. Semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman.

2.1.2. Penggolongan Pestisida

2.1.2.1. Penggolongan Pestisida Berdasarkan Cara Pembuatannya

Berdasarkan cara pembuatannya, pestisida dapat digolongkan ke dalam pestisida yang langsung dibuat dari bahan – bahan secara alamiah (akar tuba, tembakau,bunga matahari) dan pestisida sintetik (golongan organofosfat, golongan karbamat, organoklorin dan piretroid).

2.1.2.2. Penggolongan Pestisida Berdasarkan Tujuan Penggunaannya

Berdasarkan tujuan penggunaannya, pestisida dapat digolongkan ke dalam: a. Insektisida, digunakan untuk memberantas serangga.


(30)

c. Herbisida, digunakan untuk memberantas semak – semak dan tanaman pengganggu.

d. Fungisida, digunakan untuk memberantas jamur.

e. Bakterisida, digunakan untuk memberantas bakteri (Sartono, 2002) 2.1.2.3. Penggolongan Pestisida Berdasarkan Cara Kerjanya

Penggolongan Pestisida berdasarkan cara kerja (Djojosumarto, 2003) yaitu: 1. Insektisida

Menurut “cara kerja” atau gerakannya pada tanaman setelah diaplikasikan, insektisida secara kasar dibedakan menjadi tiga macam sebagai berikut:

a. Insektisida Sistemik

Insektisida sistemik diserap oleh organ – organ tanaman, baik lewat akar, batang atau daun. Selanjutnya, insektisida sistemik tersebut mengikuti gerakan cairan tanaman dan ditrasportasikan ke bagian – bagian tanaman lainnya, baik ke atas (akropetal) atau ke bawah (basipetal), termasuk tunas yang baru tumbuh. Contoh insektisida sistemik adalah furatiokarb, fosfamidon, isolan, karbofuran, dan monokrotofos.

b. Insektisida Nonsistemik

Insektisida nonsistemik setelah diaplikasikan (misalnya disemprotkan) pada tanaman sasarantidak diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel di bagian luar tanaman. Insektisida nonsistemik sering disebut insektisida kontak. Namun, istilah itu sebenarnya kurang begitu tepat. Istilah kontak lebih tepat digunakan bagi cara kerja insektisida yang berhubungan dengan cara masuknya ke


(31)

dalam tubuh serangga. Bagian terbesar insektisida yang dijual di pasaran Indonesia dewasa ini adalah insektisida nonsistemik. Contohnya, diosksikarb, diazinon, diklorvos, profenofos, dan quinalfos.

c. Insektisida Sistemik Lokal

Insektisida sistemik lokal adalah kelompok insektisida yang dapat diserap oleh jaringan tanaman (umumnya daun), tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya. Termasuk kategori ini adalah insektisida yang berdaya kerja translaminar atau insektisida yang mempunyai daya penetrasi ke dalam jaringan tanaman. Beberapa contoh diantaranya adalah dimetan, furatiokarb, pyrolan, dan profenofos.

Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut.

a. Racun Lambung (Racun Perut, Stomach Poison)

Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison) adalah insektisida – insektisida yang membunuh serangga sasaran bila insektisida tersebut masuk ke dalam organ pecernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan. Selanjutnya, insektisida tersebut dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat sasaran mematikan (misalnya ke susuna syaraf serangga). Oleh karena itu, serangga harus terlebih dahulu memakan tanaman yang sudah disemprotkan dengan insektisida dalam jumlah yang cukup untuk membunuhnya. Insektisida yang benar – benar murni racun perut tidak terlalu banyak. Kebanyakan insektisida mempunyai efek ganda, yakni sebagai racun perut dan racun kontak, hanya ada perbedaan diantara keduanya.


(32)

b. Racun Kontak

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan mati bila bersinggungan (kontak langsung) dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut. Beberapa insektisida yang kuat sifat racun kontaknya antara lain diklorfos dan pirimifos metal.

c. Racun Pernafasan

Racun pernafasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernafasan. Serangga hama akan mati apabila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas, atau bila wujud asalnya padat atau cair, yang segera berubah atau menghasilkan gas da diaplikasikan sebagai fumigansia, misalnya metil bromida, aluminium fosfida, dsb. Ada pula insektisida, baik racun kontak atau racun perut, yang mempunyai efek sebagai fumigansia, misalnya diafentiuron.

Menurut cara mengklasifikasikan mode of action insektisida, dibagi dalam beberapa cara sebagai berikut:

a. Racun Fisik (Misalnya : Minyak Bumi dan Debu Inert)

Racun fisik membunuh serangga dengan cara yang tidak khas. Misalnya minyak bumi dan debu inert dapat menutupi lubang –lubang pernapasan serangga, sehingga serangga mati lemas karena kekurangan oksigen. Minyak bumi dapat menutupi permukaan air, sehingga jentik – jentik nyamuk tidak bisa mengambil udara dan mati karena kekurangan oksigen. Debu yang higroskopis (misalnya bubuk


(33)

karbon) dapat membunuh serangga karena debu yang menempel di kulit serangga menyerap cairan dari tubuh serangga secara berlebihan.

b. Racun Protoplasma

c. Racun protoplasma adalah logam berat, asam, dan sebagainya. d. Penghambat Metabolisme

Insektisida penghambat metabolisme adalah sebagai berikut:

1. Racun pernapasan, misalnya HCN, H2S, rotenone, dan fumigansia lainnya. 2. Penghambat mixed function oxidase.

3. Penghambat metabolisme amina : klordimefon. 4. Penghambat sintesa khitin : lufenuron, dsb. 5. Peniru hormon : juvenile hormone, dsb. 6. Racun syaraf (neurotoksin)

7. Peniru Hormon

Insektisida peniru hormon adalah metoprene. 8. Racun Perut


(34)

Adapun klasifikasi dari insektisida dapat diliat dari gambar 2.1:

Gambar 2.1 Cara Kerja Insektisida (Djojosumarto, 2005) INSEKTISIDA

Cara kerja/ gerakan pada tanaman

nonsistemik

sistemik

Cara masuk ke dalam tubuh

Sistemik lokal (tranlaminar, penetrasi)

Racun protoplasma

Penghambat metabolisme :

• Penghambat khitin • Racun

pernapasan Racun fisik Racun perut Racun pernafasan

Racun perut

Racun kontak


(35)

2. Fungisida

Menurut cara kerjanya, didalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasi fungisida dibagi menjadi sebagai berikut (Djojosumarto,2003):

a. Fungisida Nonsistemik (Fungisida Kontak, Fungisida Residual Proktektif)

Fungisida nonsistemik tidak dapat diserap oleh jaringan tanaman. Fungisida hanya membentuk lapisan penghalang di permukaan tanaman (umumnya daun) tempat fungsida disemprotkan. Fungisida ini berfungsi mencegah infeksi cendawan dengan menghambat perkecambahan spora atau miselia jamur yang menempel di permukaan (daun) tanaman. Contoh fungisida kontak adalah kaptan, maneb, zineb,mankozeb,zineb,ziram,kaptafol,dan probineb.

b. Fungisida Sistemik

Fungisida sistemik diabsorbsi oleh organ – organ tanaman da ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya lewat aliran cairan tanaman. Kebanyakan fungisida sistemik didistribusikan ke atas, yakni akar ke daun (akropetal). Beberapa fungisida sistemik juga dapat bergerak ke bawah, yakni dari dalam ke akar (basipetal). Contoh fungisida sistemik adalah benomil, difenokonazol, karbendazim, metalaksil, propikonazol, dan triadimefon.

c. Fungisida Sistemik Lokal

Fungisida sistemik lokal diabsorbsi oleh jaringan tanaman, tetapi tidak ditransformasikan ke bagian tanaman, contohnya simoksanil. Fungisida mengendalikan atau mematikan cendawan dengan beberapa cara, antara lain dengan merusak dinding sel, mengganggu pembelahan sel, mempengaruhi permeabilitas


(36)

membrane sel, dan menghambat kerja enzim tertentu yang menghambat proses metabolisme cendawan.

Menurut banyaknya “lokasi” aktivitas fungisida dalam sistem biologi cendawan, fungisida dapat dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut:

a. Multisite Inhibitor

Multisite inhibitor adalah fungisida yang bekerja menghambat beberapa proses metabolism cendawan. Sifatnya yang multisite inhibitor ini membuat fungisida tersebut tidak mudah atau kurang menimbulkan masalah resistensi cendawan. Contoh multisite inhibitor adalah maneb, mankozeb,zineb,probineb, ziram, dan thiram.

b. Monosite Inhibitor

Monosite inhibitor disebut juga sebagai site specific, yakni fungisida yang bekerja dengan menghambat sintesis protein atau hanya menghambat respirasi. Sifatnya yang hanya bekerja di satu tempat ini, fungisida monosite inhibitor umumnya berspektrum sempit dan mudah menimbulkan resistensi. Contoh monosite inhibitor adalah metalaksil, oksadisil, dan benalaksil.


(37)

Adapun klasifikasi dari fungisida dapat diliat dari gambar 2.2:

Gambar 2.2 Klasifikasi Fungisida (Djojosumarto, 2005) Fungisida

Nonsistemik (kontak) Umumnya multisite inhibitor,

berspektrum luas

Aplikasi proktektif

sistemik

Umumnya monosite inhibitor, berspektrum sempit

Sistemik lokal

Aplikasi proktektif,

kuratif, eradikatif

Merusak dinding sel

Mempengaruhi pembelahan

Mempengaruhi permeabilitas membran sel


(38)

3. Herbisida

Herbisida adalah bahan kimia yang dapat menghentikan pertumbuhan gulma sementara atau seterusnya bila diperlakukan pada ukuran yang tepat. dengan kata lain jenis dan kadar racun bahan kimia suatu herbisida menentukan arti daripada herbisida itu sendiri (Moenandir, 1990).

Racun tanaman atau herbisida adalah zat kimia yang dengan bersentuhan dengan tanaman menyebabkan matinya tanaman yang bersangkutan. Zat kimia yang biasa dipergunakan sebagai racun tanaman ialah amonium sulfamat, dalapon, fenoksi – asetat (phenoxy – acetate) dan derivatenya, derivat karbamat, dan lain – lain. Racun – racun tanaman tersebut daya racunnya rendah, sehingga tidak begitu menimbulkan persoalan. Lain halnya racun tanaman seperti maleik hidrazid yang menimbulkan kerusakan kepada susunan saraf pusat, natrium klorat yang menyebabkan methemoglobinemi dan depresi saraf pusat, pentaklorfenol yang merangsang metabolisme tubuh sehingga terjadi hipertemi (suhu meninggi) dan kerusakan sel pada tempat terjadinya kontak, dan aminotriazol yang merupakan karsinogen pada hewan percobaan. Selain itu racun tanaman yang berbahaya tersebut mengakibatkan dermatosis yang sangat berat (Su’makmur,2009).

Herbisida yang diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian dan jenis tumbuhan. Pada dosis yang lebih rendah, herbisida akan membunuh tumbuhan tertentu dan tidak merusak tumbuhan yang lainnya (Sembodo, 2010).

Herbisida adalah pestisida yang paling banyak digunakan di Amerika dan menduduki urutan penggunaan nomor dua di Indonesia. Termasuk didalamnya


(39)

berbagai jenis ikatan kimia, seperti karbamat, phenol, triazines, aniline, asam amino dan lain - lain (Soemirat, 2003).

Karena herbisida bersifat efektif, selektif dan sistemik, maka dengan cepat petani menerimanya sebagai sarana pengendali gulma. Pada tahun 1940, industriawan mulai tertarik melihat efektivitas dan potensi ekonomi penggunaan herbisida tersebut. Pada masa – masa selanjutnya, tahun 1940 sebagai tonggak perkembangan herbisida modern, yaitu suatu herbisida yang aktif dalam jumlah sedikit sehingga memiliki potensi ekonomi yang baik (Sembodo, 2010).

Dalam ilmu gulma, tumbuhan pengganggu sering dikelompokan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut(Djojosumarto, 2003).

1. Gulma dari kelompok rumput (grasses, grass weeds), yakni semua gulma yang termasuk dalam familia Gramineae (Poaceae). Contoh gulma kelompok rumput adalah alang – alang (Imperata cylindrica), rumput jajagoan / tuton (Echinochloa crusgali, E. colona), rumput paitan (Paspalum conjugatum), dan rumput gerinting (Digitaria sp.).

2. Gulma dari kelompok teki (sedges), yakni semua gulma yang termasuk ke dalam familia teki – tekian (Cyperaceae), misalnya teki (Cyperus rotundus), Cyperus difformis, Cyperus iria, dan Scirpus juncoides.

3. Gulma berdaun lebar, yakni semua gulma yang tidak termasuk ke dalam kelompok rumput ataupun teki. Contohnya adalah Ageratum sp., Boereria sp., Monochoria sp., dan Eupatorium sp..


(40)

4. Kecuali tiga kelompok diatas, sementara pakar gulma masih menambahkan satu kelompok gulma lagi, yakni kelompok pakis – pakisan (fern).

Secara tradisional, herbisida dibagi menjadi tiga kelompok sebagai berikut: 1. Herbisida yang aktif untuk mengedalikan gulma dati kelompok rumput, misalnya

alaktor, butaklor, dan ametrin.

2. Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma berdaun lebar (dan pakis), misalnya 2,4-D, MCPA.

3. Herbisida aktif untuk semua kelompok gulma yang disebut sebagai herbisida nonselektif. Herbisida jenis ini mampu membunuh semua tumbuhan hijau (termasuk tanaman pokok), misalnya glifosat,glufosinat, dan paraquat.

Menurut sasaran herbisida diaplikasikan, herbisida dibagi sebagai berikut: 1. Herbisida tanah (soil acting herbicides), yakni herbisida yang aktif di tanah dan

bekerja dengan menghambat perkecambahan gulma. Contoh herbisida tanah adalah herbisida kelompok urea (diuron, linuron, metabromuron), triazin (atrazin, ametrin), karbamat (asulan, tiobenkarb), kloroasetanilida (alaktor, butaklor,metolaktor,pretilaktor) dan urasil (bromasil). Soil acting herbicides umumnya bersifat sistemik.

2. Herbisida yang aktif pada gulma yang sudah tumbuh. Herbisida jenis ini dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok sebagai berikut:

a. Herbisida kontak, yakni herbisida yang membunuh jaringan gulma yang terkena langsung oleh herbisida tersebut. Herbisida ini tidak ditranslokasikan di dalam jaringan gulma ke bagian jaringan lainnya. Herbisida ini hanya


(41)

mengendalikan bagian gulma yang berada diatas tanah. Contohnya adalah propanil, paraquat,dan diquat.

b. Herbisida yang ditranslokasikan ke seluruh bagian gulma (sistemik) yang disebut pula sebagai translocated herbicides. Herbisida ini mampu membunuh jaringan gulma yang ada di bawah tanah (rimpang, umbi). Contoh herbisida ini adalah 2,4 – D, glifosat.

3. Di samping kedua kelompok utama herbsida diatas, masih ada pula herbisida tanah yang aktif terhadap gulma yang baru tumbuh, misalnya beberapa herbisida dari kelompok urea dan triazin.

Berdasarkan cara dan saat penggunaannya, herbisida dibagi menjadi sebagai berikut (Djojosumarto,2005):

1. Herbisida tanah (soil acting herbicides) diaplikasikan pada tanah sebelum gulma tumbuh. Herbisida ini disebut pula sebagai herbisida pra tumbuh (pre emergence herbicides).

2. Herbisida yang aktif pada gulma yang sudah tumbuh diaplikasikan laha yang sudah ada gulmanya. Herbisida ini disebut pula sebagai herbisida pasca tumbuh (post emergence herbicides).

3. Herbisida pasca tumbuh awal disebut pula sebagai early post emergence herbicide.

Berdasarkan efek biokimia, herbisida dibagi menjadi sebagai berikut (Djojosumarto, 2005):


(42)

1. Herbisida yang mempengaruhi respirasi gulma: dinoseb (nitrofenol), bromoksinil, dan toksinil (hidroksibenzonitril).

2. Herbisida yang mempengaruhi proses fotosintesis gulma :

a. Intervesi aliran elektron : bromoksinil (hidroksibenzinitril), propanil (anilid), asulam, fenfedifam (karbamat), ametrin, simazin, metribuzin, sianazin (triazin), klorbromuron, diuron, dan linuron(urea).

b. Penghambat sintesis karotenoid : kelompok aminotriazol. c. Akseptor elektron dalam fotosintesa.

3. Herbisida penghambat perkecambahan:

a. Penghambat mikrotubula: trifuralin (dinitroanilid), asulam, barban, klorprofam (karbamat).

b. Penghambat perkecambahan yang mekanisme kerjanya belum jelas: alaktor, butaklor, metoklor, dan propaklor (kloroasetanilida).

4. Herbisida yang mempunyai efek terhadap sintesis asam amino, misalnya glifosat (organofosfat), klorsulfuron, sulfimeturon (sulfonilurea), imazapir, dan imazaquin (imidazolin).

5. Herbisida yang mempengaruhi metabolisme lipida : dalapon(asam alifatik), molinat, dan tiobenkarb (tiokarbamat).

6. Herbisida yang berkerja sebagai hormone, misalnya 2,4 –D, diklorprop, MCPA, MCPB (asam ariloksialkanoik), dikamba, dan pikloram (asam arilkarbolik).


(43)

Adapun klasifikasi dari herbisida dapat dilihat dari gambar 2.3

Gambar 2.3 Klasifikasi Herbisida (Djojosumarto, 2005) Herbisida

Gulma sasaran

Mode of action Bidang sasaran

Saat aplikasi

Herbisida yang kuat terhadap golongan rumput Herbisida yang kuat terhadap

gulma kelompok daun lebar Herbisida nonselektif Herbisida tanah (soil acting)

Herbisida yang aktif pada gulma yang sudah tumbuh

Herbisida kontak Herbisida sistemik Pra tumbuh

Pasca tumbuh Early postemergence

Penghambat respirasi Penghambat fotosintesis

Penghambat perkecambahan Penghambat sintesis

asam amino Bersifat hormon


(44)

2.1.3. Aplikasi Pestisida

Ada beberapa istilah dalam aplikasi pestisida yang harus diketahui. (Wudianto,1997).

a. Cairan Semprot

Bentuk pestisida yang telah diencerkan atau dilarutkan di dalam air sesuai dengan kepekatan yang dikehendaki disebut cairan semprot. Cara pembuatannya adalah sebagai berikut:

1. Sejumlah air sesuai takaran dimasukkan dalam wadah atau tangki alat semprot 2. Campurkan pestisida dalam jumlah tertentu agar nantinya terbentuk konsentrasi

yang diinginkan.

3. Aduk dengan kayu sampai merata. b. Konsentrasi

Konsentrasi adalah tingkat kepekatan cairan semprot. Konsetrasi dinyatakan dalam ml/l atau g/l, misalnya konsentrasi 2 ml insektisida/ liter air.

c. Dosis

Banyaknya insektisida yang digunakan per satuan luas areal disebut dosis, g/m2, kg/ha, l/ha.

d. Volume Semprot

Cairan semprot yang digunakan per luasan areal disebut volume semprot. Bila dalam kemasan atau brosur pestisida terdapat petunjuk penggunaan dosis 0,5 l/ha dengan volume larutan 400 l air/ha, maka konsentrasi formulasi 500/400 = 1,25 ml/l.


(45)

Cara aplikasi pestisida adalah sebagai berikut (Wudianto, 1997). a. Cara semprotan (high volume method)

Cara semprotan paling sering digunakan. Alat yang diperlukan penyemprot atau sprayer. Formulasi pestisida yang diaplikasikan dengan penyemprotan adalah EC, WP, SP, F, SL, WSC, EW, dan AS. Sebelum disemprotkan formulasi ini dicampur dulu dengan air.

Sewaktu mempersiapkan pestisida yang akan disemprotkan, pilihlah tempat yang sirkulasi udaranya lancar. Di tempat tertutup, pestisida yang berdaya racun tinggi terlebih mudah menguap, dapat mengakibatkan keracunan melalui pernapasan.

Dalam melakukan penyemprotan perhatikan hal – hal berikut.

1. Pilih volume alat semprot sesuai dengan luas areal yang akan disemprot. Alat semprot bervolume kecil untuk areal yang luas, tentu kurang tepat karena pekerja harus sering mengisi.

2. Gunakan alat pengaman, berupa masker penutup hidung dan mulut, kaos tangan¸ sepatu boot, dan jaket atau baju berlengan panjang.

3. Waktu yang paling baik untuk penyemprotan adalah pada waktu terjadi aliran udara naik (thermik) yaitu antara pukul 08.00 – 11.00 WIB atau sore hari pukul 15.00 – 18.00 WIB.

4. Jangan melakukan penyemprotan disaat angin kencang karena banyak pestisida yang tidak mengenai sasaran. Juga jangan menyemprot melawan arah angin, karena cairan semprot bisa mengenai orang yang menyemprot.


(46)

5. Penyemprotan yang dilakukan saat hujan turun akan membuang tenaga dan sia – sia.

6. Jangan makan dan minum atau merokok pada saat melakukan penyemprotan. 7. Alat penyemprot segera dibersihkan setelah selesai digunakan. Air bekas cucian

sebaiknya dibuang ke lokasi yang jauh dari sumber air dan sungai.

8. Penyemprot segera mandi dengan bersih menggunakan sabun dan pakaian yang digunakan segera dicuci.

b. Cara Hembusan

Cara hembusan dilakukan pada pestisida yang berbentuk tepung hembus (dust = D). alat yang digunakan adalah alat penghembus (duster). Aplikasi formulasi ini hanya untuk dalam gudang.

c. Pengabutan

Cara pengabutan hampir sama dengan penyemprotan. Hanya bedanya pengabutan menggunakan volume yang lebih rendah dibandingkan penyemprotan. Cairan semprot yang digunakan dalam pengabutan bisa langsung berupa cairan tanpa harus diencerkan lebih dulu.

d. Penaburan Granula

Pestisida yang diformulasikan dalam bentuk butiran atau granula bisa diaplikasikan dengan beberapa cara sesuai kondisinya, yaitu:

1. Disebarkan langsung disekitar perakaran tanaman, 2. Di lubang tanam,


(47)

4. Dicampur dengan media tanam untuk budidaya dalam pot. e. Pengocoran

Cara ini sangat tepat untuk aplikasi pestisida sistemik berformulasi cairan untuk mengendalikan nematoda, gulma, dan cendawan yang menyerang leher akar. Untuk aplikasi ini diperlukan botol atau wadah lain yang bertutup, atau bisa juga gembor.

f. Penyuntikan

Alat penyuntik tanah digunakan untuk menyebarkan nematisida ke dalam tanah. Untuk lahan yang terbatas luasnya dan juga bagi tanaman yang ditanam dalam barisan – barisan guludan yang jarak antar guludannnya kurang dari 60 cm, pilih cara penyuntikan pada seluruh petak.

g. Pengumpanan

Pengumpanan bisa diterapkan untuk pengendalian tikus, ulat tanah, siput dan bekicot. Untuk pengumpanan tikus ada 2 macam rodentisida, yaitu ada yang perlu dicampur dulu dengan umpan dan ada yang langsuvg dapat diumpankan. Jenis umpan yang bisa digunakan sebagai campuran yaitu singkong, ubi jalar, beras, jagung, ikan asin, dan sebagainya.

h. Fumigasi untuk sterilisasi tanah

Bahan fumigasi atau fumigan bisa berupa cairan ataupun butiran. Maksud diadakannnya fumigasi adalah memberantas nematoda, fungi, dan serangga tanah yang dapat menghancurkan pertumbuhan tanaman.


(48)

i. Perlakuan Benih

Beberapa hama dan penyakit menyerang sewaktu tanaman masih muda. Sebagai misal lalat bibit dan lalat pucuk yang bersembunyi dalam batang tanaman kedelai. Hama seperti ini sulit dikendalikan. Untuk itu serangganya bisa dicegah dengan perlakuan benih. Cara aplikasinya taburkan pestisida yang memang diperuntukkan perlakuan benih (misalnya Confidor 70 WS) ke dalam kantung plastik. Masukkan benih kedelai ke dalamnya dan kocok sehingga benih terselimuti pestisida. Selanjutnya benih siap ditanam.

j. Dioleskan

Batang tanaman yang terinfeksi, misalnya terserang jamur upas, bisa langsung diolesi pestisida pada bagian yang terserang. Pestisida yang telah berbentuk cairan bisa langsung dioleskan, sedang yang berbentuk serbuk perlu ditambah air sehingga berbentuk pasta.

Pada pekerjaan yang menggunakan pestisida telah ada ketentuan yang merupakan pedoman dan petunjuk bagaimana mencegah keracunan pestisida sebagai berikut (Su’makmur,2009):

1. Semua pestisida adalah racun, tetapi bahayanya dapat diperkecil bila diketahui cara – cara bekerja dengan aman agar tidak mengganggu kesehatan ;

2. Bahaya pestisida terhadap pekerja lapangan ialah:

a. Pada waktu memindahkan pestisida dari wadah (tempat) yang besar kepada wadah yang lebih kecil untuk diangkat dari gudang ke tempat bekerja (waktu memindahkan);


(49)

b. Pada waktu mempersiapkan larutan atau campuran sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan;

c. Pada waktu dan selama menyemprot;

d. Kontaminasi karena kecelakaan, yang dapat terjadi pada setiap tingkat pekerjaan tersebut di atas (waktu memindah – mindahkan, bongkar muat, peredaran dan transportasi, penyimpanan, pengaduk, menyemprot atau pemakaian pestisida lainnya).

3. Mengingat hal – hal tersebut di atas, maka perlu mendapat perhatian intensif: a. Pekerja yang bekerja dengan pestisida harus diberitahu akan bahaya yang

dihadapinya atau mungkin terjadi dan menerima serta memperhatikan pedoman dan petunjuk tentang cara bekerja yang aman sehingga pestisida tidak menganggu kesehatan;

b. Harus ada pengawasan teknis dan media yang cukup;

c. Harus tersedia fasilitas untuk PPPK (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) mengingat efek keracunan pestisida yang dapat berbahaya kepada para pekerja. Bila dipakai pestisida golongan organosfosfor atau karbamat, maka harus tersedia atropin, baik dalam bentuk tablet, maupun untuk disuntikkan. Untuk itu perlu adanya seorang pengawas yang terlatih;

4. Penyemprot diharuskan memakai tutup kepala atau masker yang tidak tembus pestisida, dan alat perlindungan keselamatan tersebut dicuci dengan baik secara berkala;


(50)

5. Pekerja yang mendapat cedera atau iritasi kulit pada tempat yang mungkin terkena pestisida, dalam hal ini yang bersangkutan tidak mungkin terkena pestisida, karena keadaan seperti itu akan mempermudah masuknya pestisida tersebut ke dalam tubuh;

6. Fasilitas (termasuk sabun) untuk mencuci kulit atau mandi dan mencuci pakaian harus tersedia cukup. Mandi setelah menyemprot merupakan keharusan yang perlu mendapat pengawasan;

7. Pekerja tidak boleh bekerja dengan pestisida lebih dari 4 – 5 jam dalam satu hari kerja, bila aplikasi dari pestisida oleh pekerja yang sama berlangsung dari hari ke hari (kontinyu dan berulang kali) dan waktu yang lama;

8. Harus dipakai pakaian kerja yang khusus dan tersendiri; pakaian kerja demikian harus diganti dan dicuci setiap hari; bila pestisida yang dipakai golongan klorhidrokarbon, maka sekali – kali harus dibilas dengan kerosen; sedangkan untuk organofosfor perlu dicuci dengan sabun;

9. Disamping memperhatikan keadaan lainnya, pekerja tidak boleh merokok, minum atau makan sebelum mencuci tangan dengan bersih memakai sabun dan air;

10. Bahaya terbesar terdapat waktu bekerja dengan konsentrat, karenanya perlu diperhatikan kententuan – ketentuan berikut:

a. Dalam mempersiapkan konsentrat dari bubuk dispersi dalam air, harus dipakai bak pencampur yang dalam, serta alat pengaduk yang cukup


(51)

panjangnya untuk mencegah percikan; dan dapat bekerja sambil berdiri. Demikian pula untuk mencairkan pasta yang padat;

b. Mengisi bak pencampur harus sedemikian, sehingga bahaya percikan dapat ditiadakan atau hanya terjadi seminim mungkin;

c. Pekerja selain memakai alat pelindung seperti pada penyemprot, harus pula memakai skort dan sarung tangan yang tidak dapat tembus pestisida;

d. Memindahkan konsentrat dari satu tempat atau wadah ke tempat yang lain harus memakai alat yang cukup panjang;

e. Konsentrat cair harus ditempatkan dalam wadah yang cukup kuat, tidak mudah rusak di waktu dalam pengangkutan dan ditutup rapat.

11. Alat – alat penyemprot harus memenuhi ketentuan – ketentuan keselamatan kerja;

12. Semua wadah pestisida harus mempunyai etiket yang memenuhi syarat, mudah dibaca dan dimengerti baik oleh pekerja maupun pengawas;

13. Harus dipenuhi ketentuan tentang wadah pestisida yang telah kosong atau hampir kosong, yaitu:

a. Wadah harus dikembalikan ke gudang selanjutnya dibakar atau dirusak dan kemudian dikubur;

b. Wadah dapat pula didekontaminsikan dengan memenuhi persyaratan tertentu; 14. Sedapat mungkin diupayakan, agar terhadap tenaga kerja pertanian yang


(52)

mempergunakan pestisida organofosfat dilakukan setiap bulan sekali pemeriksaan kesehatan berkala.

2.1.4 Jalan Masuk Pestisida

Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit (dermal), pernafasan (inhalasi) atau mulut (oral). Pestisida akan segera diabsorpsi jika kontak melalui kulit atau mata. Absorpsi ini akan terus berlangsung selama pestisida masih ada pada kulit. Kecepatan absorpsi berbeda pada tiap bagian tubuh. Perpindahan residu pestisida dan suatu bagian tubuh ke bagian lain sangat mudah. Jika hal ini terjadi maka akan menambah potensi keracunan. Residu dapat pindah dari tangan ke dahi yang berkeringat atau daerah genital. Pada daerah ini kecepatan absorpsi sangat tinggi sehingga dapat lebih berbahaya dari pada tertelan. Paparan melalui oral dapat berakibat serius, luka berat atau bahkan kematian jika tertelan. Pestisida dapat tertelan karena kecelakaan, kelalaian atau dengan sengaja (Raini,2007).

2.1.5 Pencampuran Pestisida

1. Pencampuran pestisida yang boleh dilakukan

Pencampuran pestisida dalam aplikasinya boleh dilakukan apabila:

a. Sasarannya berbeda. Misalnya, pada suatu pertanaman di saat bersamaan didapati penyakit dan hama. Tentu akan lebih rasional jika kita mencampur fungsida(untuk penyakit) dengan insektisida (untuk hama) dalam sekali penyemprotan daripada mengaplikasikan fungsida dan insektisida sendiri – sendiri.


(53)

b. Pestisida yang dicampurkan tidak menimbulkan efek buruk. Misalnya, tidak menggumpal dan tidak “membakar” tanaman. Karena banyaknya pestisida yang beredar saat ini, maka sangat sulit untuk membuat daftar pestisida yang dapat dicampur atau tidak dapat dicampur. Petani pengguna pestisida harus melakukan percobaan kecil terlebih dahulu sebelum suatu campuran aplikasi diaplikasikan secara luas.

c. Pencampuran dilakukan untuk menimbulkan sinergisme atau memperkuat efikasi pestisida tersebut. Misalnya, insektisida A mempunyai efikasi 40% dan insektisida B mempunyai efikasi 30%. Bila insektisida A + B dicampur dan efikasinya menjadi 90 %, maka campuran ini disebut sinergist. Bila insektisida A dicampur dengan insektisida B, maka efikasinya hanya 70 %. Campuran insektisida ini bukan suatu sinergisme, tetapi penjumlahan biasa.

d. Pencampuran, khususnya pada fungisida atau herbisida, dapat dilakukan untuk memperluas spectrum pengendaliannya.

e. Pencampuran juga boleh dilakukan bila bertujuan untuk memecahkan OPT yang sudah resisten atau untuk mencegah/menunda resistensi.

2. Pencampuran yang tidak dianjurkan

Pencampuran pestisida dalam aplikasinya tidak dianjurkan apabila:

a. Sasarannya sama. Bila untuk mengendalikan hama Spodoptera litura dapat digunakan insektisida A atau insektisida B, maka kita harus memilih salah satu, bukan mencampurnya.


(54)

b. Bahan aktifnya sama. Bila fungisida A berbahan aktif x dan fungisida B mengandung bahan aktif x pula, maka tidak ada gunanya mencampur keduanya. c. Pencampuran itu menimbulkan efek buruk. Misalnya, fototoksik (meracuni

tanaman), antagonism (efikasinya menurun), penggumpalan, dan sebagainya. d. Dikhawatirkan akan menimbulkan cross resistance (resistensi silang). Jika

hama disemprot dengan satu macam insektisida (misalnya insektisida X) terus menerus, maka lama kelamaan hama tersebut akan kebal terhadap insektisida X. Bila hama disemprot terus menerus dengan campuran insektisida X dan Y, maka lama kelamaan hama tersebut akan kebal terhadap insektisida X dan Y, dan mungkin juga terhadap insektisida lainnya.

e. Pencampuran bertujuan untuk memperluas spektrum pengendalian tanpa mengetahui secara spesifik serangga hama yang hendak dikendalikan.

f. Pencampuran membahayakan keselamatan kerja. Setiap pestisida memerlukan tindakan medis yang mungkin tidak sama bila terjadi keracunan.

2.1.6 Pertimbangan Cuaca dalam Penentuan Saat Aplikasi

Faktor – faktor cuaca yang penting untuk dipertimbangkan adalah sebagai berikut. (Djojosumarto, 2003)

a. Gerakan Udara

Gerakan udara mencakup gerakan udara ke arah samping (horizontal) yang sehari – hari disebut angin, dan gerakan udara ke atas (vertikal) atau termal. Angin yang bertiup pelan sangat diperlukan pada aplikasi insektisida dan fungisida untuk


(55)

membantu droplet semprotan ke bagian – bagian yang sulit dijangkau oleh semprotan langsung. Misalnya, bagian dalam kanopi daun dan bagian bawah helain daun.

Hindari penyemprotan tidak ada angin sama sekali, droplet yang disemprotkan akan segera jatuh lurus ke bawah sesudah lepas dari dorongan tekanan sprayer.

Penyemprotan juga jangan dilakukan saat angin kencang, karena berakibat pestisida yang diaplikasikan tidak seluruhnya mengenai bidang sasaran sehingga recovery penyemprotan rendah, distribusi droplet tidak merata, banyak drift (droplet halus yang keluar dari bidang sasaran) yang dapat mencemari lingkungan nontarget. b. Presipitasi

Penyemprotan jangan dilakukan jika hari hujan atau diperkirakan akan hujan. Penyemprotan yang segera diikuti oleh hujan akan mengakibatkan pestisida (terutama insektisida, fungisida, dan herbisida pasca – tumbuh) tercuci, sehingga efikasi berkurang. Kecuali efikasi berkurang, pestisida yang tercuci akan mencemari lingkungan.

c. Kelembaban Udara

Di sebagian besar wilayah Indonesia, kelembaban udara umumnya tidak menjadi hambatan bagi aplikasi pestisida, terutama untuk penyemprotan di darat. Akan tetapi, di daerah beriklim kering atau di musim kemarau yang ekstrem, kelembaban dapat turun hingga kurang dari 30 %. Bila udara kering, droplet semprotan dari formulasi pestisida yang dalam aplikasinya di campur air (water based formulation), terutama yang sangat halus, akan mudah menguap dan hilang tidak mengenai sasaran.


(56)

d. Suhu Udara

Suhu udara memengaruhi udara ke atas (termal atau termik) dan penguapan. Ketika udara sangat panas dan tidak ada angin, udara cenderung bergerak ke atas, sehingga droplet yang sangat halus juga bertambah. Bekerja saat udara sangat panas juga tidak nyaman, keringat banyak keluar, dan kita cenderung lebih sering menyeka wajah untuk mengeringkannya. Tindakan ini dapat mengakibatkan kontaminasi wajah oleh pestisida, karena saat menyemprot tangan (atau sarung tangan) dan lengan baju kerja sudah terkontaminasi pestisida.

2.1.7 Gejala Keracunan dan Cara Mengatasinya 2.1.7.1 Gejala Keracunan

Setiap golongan bahan aktif yang dikandung pestisida menimbulkan gejala keracunan yang berbeda – beda. Namun, ada pula gejala yang ditimbulkan mirip, misalnya gejala keracunan pestisida karbamat sama dengan keracunan golongan organofosfat (Wudianto,1997).

Gejala keracunan berdasarkan golongan dibedakan menjadi berikut (Wudianto,1997).

a. Golongan Organofosfat

Bahan Aktif : sebagian besar bahan aktif golongan ini sudah dilarang beredar di Indonesia, misalnya diazinon, fention, fenitrotion, fentoat, klorpirifos, kuinalfos, dan malation. Sedangkan bahan aktif lainnnya masih diizikan. Bahan aktif dari golongan ini cukup banyak digunakan beberapa jenis pestisida. Contoh nama


(57)

formulasi yang menggunakan bahan aktif golongan organofosfat adalah :

- Herbisida : Scout 180/22 AS, Polaris 240 AS, Roundup 75 WSG - Fungisida : Kasumiron 25/1 WP, Afugan 300 EC, Rizolex 50 WP - Insektisida : Curacron 500 EC, Voltage 560 EC, Tokuthion 500 E.

Pestisida ini masuk dalam tubuh melalui mulut, kulit atau pernapasan.

Gejala Keracunan: timbul gerakan otot – otot tertentu, penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak berkeringat, air liur banyak keluar, mual, pusing, kejang – kejang, muntah – muntah, detak jantung menjadi cepat, mencret, sesak napas, otot tidak bisa digerakkan dan akhirnya pingsan.

b. Golongan Organoklor

Bahan aktif: beberapa bahan aktif golongan ini juga telah dilarang penggunaannya di Indonesia, sebagai missal diedrin, endosulfan, dan klordan. Nama formulasi yang beredar di Indonesia adalah herbisida Garlon 480 EC dan fungisida Akofol 50 WP. Cara kerja racun ini dengan memengaruhi system syaraf pusat.

Gejala keracunan: sakit kepala, pusing, mual, muntah – muntah, mencret, badan lemah, gugup, gemetar, kejang – kejang dan kesadaran hilang.


(58)

c. Golongan karbamat

Bahan aktif: yang termasuk golongan ini antara lai karbaril dan metomil yang telah dilarang penggunaannya. Namun, masih banyak formulasi pestisida berbahan aktif lain dari golongan karbamat. Sebagai contoh :

- Fungisida Previcur – N, Topsin 500 F, dan Enpil 670 EC - Insektisida Curaterr 3 G, Dicarzol 25 SP.

Bahan aktif ini bila masuk dalam tubuh akan menghambat enzim cholinesterase, seperti halnya golongan organofosfat.

Gejala keracunan: sama dengan ditimbulkan oleh pestisida organofosfat, hanya saja berlangsung lebih singkat karena golongan ini cepat terurai dalam tubuh.

d. Golongan/ Senyawa Bipiridilium

Bahan aktif: yang termasuk golongan ini antara lain : paraquat diklorida yang terkandung dalam herbisida Gramoxone S*, Gramoxone*, Herbatop 276 AS, dan Para-Col*.

Gejala keracunan: 1 – 3 jam setelah pestisida masuk dalam tubuh baru timbul sakit perut, mual, muntah, dan diare ; 2 – 3 hari kemudian akan terjadi kerusakan ginjal yang ditandai dengan albunuria, proteinnura, haematuria, dan peningkatan kretainin lever, serta kerusakan pada paru – paru akan terjadi antara 3 – 24 hari berikutnya.


(59)

e. Golongan Arsen

Bahan aktif: yang termasuk golongan ini antara lain: arsen pentoksida, kemirin, dan arsen pentoksida dehidrat yang umumnya digunakan untuk insektisida pengendali rayap kayu dan rayap tanah serta fungisida pevgendali jamur kayu.

Umumnya masuk dalam tubuh melalui mulut, walaupun bisa juga terserap kulit dan terisap pernapasan.

Gejala keracunan: tingkat akut akan terasa nyeri pada perut, muntah, dan diare, sedangkan keracunan semi akut ditandai dengan sakit kepala dan banyak keluar ludah.

f. Golongan Antikoagulan

Bahan aktif: yang termasuk golongan ini antara lain : brodifakum (Klerat RM – B, Petrokum 0,005 RMB, Phyton 0,005 RMB), difasinon (Diphacin 110, Dekabit 0,025 B, Yasodion 0,005 B), kumatetralil (Racumin, Tikumin 0,0375RB) bromadioloe (Ramortal 0,005 RB, Petrolone 0,005 B), dan kumaklor yang merupakan bahan aktif rodentisida.

Gejala keracunan: nyeri punggung, lambung dan usus, muntah – muntah, pendarahan hidung dan gusi, kulit berbintik – bintik merah, air seni dan tinja berdarah, lebam di sekitar lutut, siku, dan pantat, serta kerusakan ginjal.


(60)

2.1.7.2 Cara Mengatasi Keracunan Pestisida

Hentikan segera kegiatan menggunakan pestisida setelah tubuh terasa kurang enak, misalnya pusing, mual, kulit panas dan gatal, serta mata berkunang – kunang. Langkah – langkah pertolongan cepat perlu dilakukan (Wudianto,1997).

a. Bila pestisida masuk mulut dan penderita sadar

1. Muntahkan penderita dengan mengorek dinding belakang tenggorokan dengan jari atau alat lain yang bersih atau memberinya minum air hangat yang dicampur 1 sendok makan garam. Pemuntahan dilakukan sampai keluar cairan bening.

2. Jangan beri susu atau minuman dan makanan yang lemak bila teracuni golongan klorhidrokarbon.

3. Beri minum susu atau putih telur dalam air bila yang tertelan bahan korosif. Bila keduanya tidak ada, dapat diberi air putih.

4. Bila penderita kejang jangan dilakukan pemuntahan. Baringkan dan beri bantal di bawah kepala penderita. Buka kancing baju di sekitar leher agar pernapasan lancar.

b. Apabila pestisida terisap

1. Bawa ke tempat terbuka berudara segar bila penderita mengisap debu, bubuk, uap, atau butir – butir semprotan.

2. Longgarkan pakaian dan baringkan dengan dagu terangkat agar bisa bernapas bebas.


(61)

3. Gerakkan tangannya naik turun agar penderita bisa menghirup udara segar secara maksimal.

4. Hubungi segera petugas kesehatan. c. Apabila mengenai mata

Segera cuci mata dengan air bersih yang banyak secara terus menerus selama 15 menit. Tutup mata dengan kapas steril.

d. Bila tertelan dan penderita tidak sadar

1. Usahakan saluran pernapasan tidak tersumbat. Bersihkan hidung dari lender atau muntahan dan bersihkan mulut dan air liur, lendir, sisa makanan, dan lepaskan gigi palsu.

2. Baringkan penderita dengan posisi tengkurap dan kepala menghadap ke samping.

3. Bila penderita berhenti bernapas lakukan pernapasan buatan. Namun, bukan pernapasan dari mulut ke mulut agar penolong tidak keracunan.

4. Bawa ke balai pengobatan terdekat. e. Bila penderita kejang

Longgarkan pakaian di sekitar leher, taruh bantal di bawah kepala, lepaskan gigi palsu, dan berilah ganjal di antara gigi agar bibir dan lidah tidak tergigit

f. Bila mengenai kulit

1. Bersihkan kulit yang terkena dengan air mengalir dan sabun sampai bersih. 2. Jangan oleskan bahan apapun ke kulit yang terkena, terlebih yang


(62)

2.1.7.3 Mencegah Keracunan

Tindakan pencegahan lebih penting daripada pengobatan. Untuk itu waspada dalam penyimpanan dan pembuangan sisa atau bekas kemasan pestisida adalah tindakan yang paling tepat (Wudianto, 1997).

1. Tempat menyimpan pestisida

Tempat penyimpanan bisa berupa almari atau peti khusus atau bisa juga ruangan khusus yang tidak mudah dijangkau anak – anak atau hewan peliharaan. Usahakan tempat pestisida mempunyai ventilasi yang cukup, tidak terkena matahari langsung, dan tidak terkena air hujan agar pestisida tidak rusak.

2. Mengelola wadah pestisida

Pestisida harus tetap tersimpan dalam wadah atau bungkus aslinya yang memuat label atau keterangan mengenai penggunaannya dan petunjuk keamanannya. Wadah tidak bocor dan tertutup rapat. Bila kena uap air atau zat asam, pestisida bisa rusak dan tidak efektif lagi.

2.2. Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit tergolong tanaman kuat. Walaupun begitu tanaman ini juga tidak luput dari serangan hama dan penyakit, baik yang kurang maupun yang membahayakan. Sebagian besar hama yang menyerang adalah golongan insektisida atau serangga. Tetapi ada beberapa jenis hewan dari kelompok mamalia yang bisa menyebabkan kerugian tidak sedikit pada perkebunan kelapa sawit. Sedangkan


(63)

penyakit yang menyerang kelapa sawit, antara lain jamur, bakteri dan virus (Satyawibawa dkk, 1992).

Tindakan pemberantasan/ pencegahan dari hama dan penyakit pada prinsipnya dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut.

1. Secara fisik/mekanis

Beberapa usaha yang dapat dilakukan antara lain pengambilan/ pengumpulan hama dan penyakit secara fisik/ mekanis, pembongkaran dan pembakaran tanaman yang terserang, pembersihan kebun, gropyokan, dan lain – lain.

2. Secara Biologis

Dengan menggunakan binatang / organisme lain sebagai musuhnya, yaitu: - Parasit : makhluk hidup / organisme yang hidupnya tergantung pada makhluk

hidup/ organisme lain, seperti hama, serangga, binatang perusak, dan

- Predator : makhluk hidup / organisme pemakan hama atau binatang lain yang merugikan.

3. Secara Khemis

Usaha pemberantasan dengan menggunakan bahan kimia yang berupa pestisida, antara lain fungisida, bakterisida, nematisida, akarisida, dan lain – lain.

2.3. Pemeriksaan Cholinesterase dalam Darah

Pemeriksaan cholinesterase digunakan untuk monitoring keracunan pestisida golongan organofosfat atau karbamat. Aktivitas cholinesterase adalah jumlah enzim


(64)

cholinesterase aktif didalam plasma dan sel darah merah, yang dapat digunakan sebagai indikator keracunan pestisida organofosfat. Fungsi dari enzim Cholinesterase adalah mengatur bekerjanya saraf. Bila enzim yang berada di dalam darah tersebut maka kerja sarafnya terganggu. Untuk dapat mengevaluasi dengan baik, nilai dasar pasien sebelum paparan seharusnya telah diperiksa terlebih dahulu. Keadaan klinis yang dapat mengindikasi pemeriksaan yaitu paparan pestisida dengan gejala terutama miosis, penglihatan kabur, kelemahan otot, twitching dan fasciculation, bradikardi, nausea, diare, mual banyak mengeluarkan air liur, berkeringat edem paru, aritmia dan kejang. Pestisida golongan organosfosfat dan karbamat memiliki aktivitas antikolinesterase seperti halnya fisostigmin,neostigmin,piridostibmin,distimigmin, ester asam fosfat, ester tiofosfat dan karbamat. Cara kerja semua jenis pestisida organofosfat sama yaitu menghambat penyaluran impula syaraf dengan cara mengikat cholinesterase, sehingga tidak terjadi hidrolisis asetilkolin (Asri,2009).

Hambatan ini dapat terjadi beberapa jam sampai beberapa minggu tergantung dari jenis anti cholinesterasenya. Hambatan oleh turunan karbamat hanya bekerja beberapa jam dan bersifat reversible. Hambatan yang bersifat reversibel dapat disebabkan oleh turunan ester asam phosfat yang dapat merusak cholinesterase dan perbaikan baru timbul setelah tubuh mensistesis kembali cholinesterase (Asri,2009).

Aktivitas cholinesterase dalam darah dari orang yang diuji dinyatakan sebagai suatu persentase dari aktivitas cholinesterase dalam darah normal. Berdasarkan pada hasil pembacaan yang didapat, penentuan tingkat keracunan adalah sebagai berikut (Depkes RI,1992):


(65)

1. 75% - 100% dari normal

Pada tahap ini tidak ada tindakan, tapi perlu diuji ulang dalam waktu dekat. Kelompok ini termasuk dalam kategori normal.

2. > 50% - <75% dari normal

Pada angka di atas telah terjadi keracunan, jika penderita ini lemah agar disarankan untuk istirahat (tidak kontak) dengan pestisida selama 2 minggu, kemudian uji ulang sampai mencapai kesembuhan. Kelompok ini termasuk dalam kategori keracunan ringan.

3. >25% - 50% dari normal

Over exposure yang sangat serius, ulangi pengujian. Jika benar istirahatkan dari semua pekerjaan yang berkenan dengan pestisida. Kelompok ini termasuk dalam kategori keracunan sedang.

4. 0% - 25% dari normal

Over exposure yang sangat serius dan berbahaya, perlu diuji ulang dan yang bersangkutan harus diistirahatkan dari semua pekerjaan dan perlu segera dirujuk kepada pemeriksaan medis. Kelompok ini termasuk dalam kategori keracunan berat.

Klasifikasi tingkat keracunan berdasarkan persentase cholinesterase dalam darah menurut Suma’mur (1987), antara lain sebagai berikut :

1. Aktivitas cholinesterase dalam darah antara 76% -100% belum dianggap suatu keracunan sehingga tenaga kerja masih dapat terus bekerja dan dilakukan pemeriksaan ulangan di waktu yang dekat.


(66)

2. Aktivitas cholinesterase dalam darah antara 51% – 75% kemungkinan ada keracunan sehingga tenaga kerja perlu melakukan pemeriksaan kesehatan ulang dan bila telah dipastikan, maka tenaga kerja tersebut masih boleh bekerja selama dua minggu. Kemudian dilakukan pemeriksaan kesehatan ulang.

3. Aktivitas cholinesterase dalam darah antara 26% – 50%, dapat diartikan telah terjadi keracunan yang gawat, jika diyakini tenaga kerja tersebut tidak boleh bekerja dengan pestisida dari golongan apapun juga. Tenaga kerja tersebut harus mendapat pemeriksaan dan pengobatan dari dokter bila terlihat tanda - tanda ia sakit.

4. Aktivitas cholinesterase dalam darah pada kadar 0 % – 25 %, telah terjadi keracunan sangat gawat sehingga tenaga kerja tidak boleh bekerja dan harus menjalani perawatan dan pengobatan dokter.

Sedangkan berdasarkan prodia, Wanita tidak hamil, tidak minum obat kontrasepsi, usia 16-40 tahun : 4.300-11.200 U/L; Wanita hamil atau minum obat kontrasepsi, usia 18-40 tahun : 3.600-9.100 U/L; Perempuan > 40 tahun, laki-laki, anak-anak : 5.300-12.900 U/L 5.300-12.900 U/L dianggap normal.

2.4. Perilaku

Perilaku dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang


(67)

sangat luas antara lain bekerja, berjalan, berbicara, tertawa, menangis, dan sebagainya. Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoadmodjo, 2003).

Perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi oleh faktor-faktor baik dari dalam atau dari luar subjek. Faktor yang menentukan atau membentuk perilaku disebut determinan. Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan peilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan antara lain teori Green.

2.4.1. Bentuk – bentuk Perilaku

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoadmodjo, 2003):

a. Perilaku Tertutup (covert behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

b. Perilaku Terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain. Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau


(68)

rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat bergantung pada karakteristik atau faktor – faktor lain dari orang yang bersangkutan. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni (Notoadmodjo,2003):

a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

2.4.2. Domain Perilaku 1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.

Untuk mengukur pengetahuan ini dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden (Notoadmodjo,2003).

2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya


(69)

kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu dalam kehidupan. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesedian untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan dan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung, secara langsung dapat dinyatakan pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek, secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan – pertanyaan hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden (Notoadmodjo,2003).

3. Tindakan

Setelah sesorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia dapat melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktek (practice) kesehatan atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan.

Pengukuran tindakan dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoadmodjo,2003).


(70)

2.5. Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini mengacu pada konsep teori simpul bahwa adanya pestisida dalam darah dapat disebabkan oleh empat simpul yang mencakup (Achmadi,2012):

1. Simpul 1, yaitu sumber penyakit yaitu komponen lingkungan berupa bahan kimia yang dapat menimbulkan gangguan melalui kontak langsung, terhirup, dan melalui perantara seperti kelompok bahan kimia yaitu pestisida.

2. Simpul 2, yaitu media transmisi penyakit berupa komponen lingkungan yaitu udara, air, makanan. Media transmisi tidak ada memiliki potensi penyakit kalau ada didalamnya tidak mengandung bibit penyakit atau agent penyakit.

3. Simpul 3, yaitu perilaku pemajanan (behavior exposure). Agent penyakit masuk ke dalam tubuh melalui satu proses yang disebut hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan pekerja yang perilakunya dapat diukur dalam konsep yang disebut perilaku pemajanan (behavioural exposure). Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit. Agent penyakit masuk melalui jalur pernafasan, pencernaan dan kulit.

4. Simpul 4, yaitu kejadian penyakit adalah bukti nyata atau outcome hubungan interaktif antara pekerja dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan.


(1)

Pengetahuan * Kadar Cholinesterase dalam darah

Crosstab

Kadar Cholinesterase dalam darah

Total Normal Tidak Normal

Pengetahuan Baik Count 14 3 17

Expected Count 14.7 2.3 17.0 % within Pengetahuan 82.4% 17.6% 100.0% Kurang

Baik

Count 12 1 13

Expected Count 11.3 1.7 13.0 % within Pengetahuan 92.3% 7.7% 100.0%

Total Count 26 4 30

Expected Count 26.0 4.0 30.0 % within Pengetahuan 86.7% 13.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .632a 1 .427

Continuity Correctionb .064 1 .800 Likelihood Ratio .666 1 .415

Fisher's Exact Test .613 .409

Linear-by-Linear Association .611 1 .435 N of Valid Cases 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.73. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper Odds Ratio for Pengetahuan

(Baik / Kurang Baik)

.389 .036 4.248

For cohort Kadar

Cholinesterase dalam darah = Normal

.892 .681 1.169

For cohort Kadar

Cholinesterase dalam darah = Tidak Normal

2.294 .269 19.594


(2)

Sikap * Kadar Cholinesterase dalam darah

Crosstab

Kadar Cholinesterase dalam darah

Total Normal Tidak Normal

Sikap Baik Count 14 2 16

Expected Count 13.9 2.1 16.0 % within Sikap 87.5% 12.5% 100.0%

Kurang Baik Count 12 2 14

Expected Count 12.1 1.9 14.0 % within Sikap 85.7% 14.3% 100.0%

Total Count 26 4 30

Expected Count 26.0 4.0 30.0 % within Sikap 86.7% 13.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .021a 1 .886

Continuity Correctionb .000 1 1.000 Likelihood Ratio .021 1 .886

Fisher's Exact Test 1.000 .648

Linear-by-Linear Association .020 1 .888 N of Valid Cases 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.87. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper Odds Ratio for Sikap (Baik /

Kurang Baik)

1.167 .142 9.586

For cohort Kadar

Cholinesterase dalam darah = Normal

1.021 .769 1.355

For cohort Kadar

Cholinesterase dalam darah = Tidak Normal

.875 .141 5.422


(3)

Tindakan * Kadar Cholinesterase dalam darah

Crosstab

Kadar Cholinesterase dalam darah

Total Normal Tidak Normal

Tindakan Baik Count 15 2 17

Expected Count 14.7 2.3 17.0 % within Tindakan 88.2% 11.8% 100.0%

Kurang Baik Count 11 2 13

Expected Count 11.3 1.7 13.0 % within Tindakan 84.6% 15.4% 100.0%

Total Count 26 4 30

Expected Count 26.0 4.0 30.0 % within Tindakan 86.7% 13.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .084a 1 .773

Continuity Correctionb .000 1 1.000 Likelihood Ratio .083 1 .773

Fisher's Exact Test 1.000 .591

Linear-by-Linear Association .081 1 .776 N of Valid Cases 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.73. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper Odds Ratio for Tindakan (Baik

/ Kurang Baik)

1.364 .166 11.233

For cohort Kadar

Cholinesterase dalam darah = Normal

1.043 .781 1.393

For cohort Kadar

Cholinesterase dalam darah = Tidak Normal

.765 .124 4.730


(4)

Lampiran 5

DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 1. Pada Saat Pengambilan Darah Responden


(5)

Gambar 3. Penyemprot yang Memakai APD Lengkap


(6)

Gambar 5. Tempat Penyimpanan APD