commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat signifikan dalam sebuah kehidupan berbangsa. Pendidikan merupakan kunci untuk memanfatkan,
memperoleh bahkan untuk menciptakan serta untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang tujuan akhirnya melahirkan orang-orang yang berpendidikan
yang mampu mengolah, menciptakan dalam penggunaan ilmu pengetahuan tersebut. Pendidikan juga merupakan salah satu parameter untuk mengukur
kemajuan suatu bangsa. Semakin maju suatu bangsa, akan ditandai dengan semakin baik pula penyelenggaraan pendidikannya. Namun, pendidikan di
Indonesia hingga saat ini masih menimbun berbagai masalah meskipun telah berganti birokrat dan orde pemerintahan. Permasalahan pendidikan di Indonesia
dari tahun ke tahun merupakan permasalahan klasik baik menyangkut kualitas pendidikan, infrastruktur pendidikan, daya jangkau masyarakat, budi pekerti siswa
serta minimnya minat belajar siswa. Hasil survey dunia terhadap bangsa Indonesia, berdasarkan data IMD
Institute for Management Development tahun 2009, daya saing Indonesia berada pada posisi 42 dari 56 negara, yang mengalami peningkatan dari tahun 2008
peringkat 51 dan pada tahun 2007 peringkat 54. Peningkatan yang terjadi hanya pada indikator kinerja ekonomi economic performance, efisiensi
pemerintah government efficiency, dan efisiensi bisnis bussiness efficiency sedangkan indikator infrastruktur menunjukkan penurunan. Hal ini menunjukkan
bahwa infrastruktur yang ada didalamnya antara lain mencakup infrastruktur sains dan infrastruktur teknologi belum dapat memberikan konstribusi yang signifikan
dalam peningkatan daya saing Nasional. Daya saing Indonesia masih berada dibawah bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti
Singapura, Malaysia, dan Thailand seperti terlihat pada tabel 1.1 Adawiah, 2010: 5-6:
commit to user 2
Tabel 1.1 Daya Saing Indonesia Dibandingkan dengan Negara ASEAN
Country World
Competitive Yearbook
2009 Global
Competitive Report 2010
137 negara Knowledge
economy index 2009
146 negara Competitive
Industrial Performance
122 negara Singapura
3 3
19 1
Malaysia 18
26 48
16 Thailand
26 38
63 25
Indonesia 42
44 103
42 Filipine
43 85
89 30
Vietnam na
59 100
69 Senada dengan survei yang dilakukan IMD Institute for Management
Development, hasil survei PISA Programme for International Student Assessment yang dilakukan oleh OECD tahun 2009 dilakukan tiap tiga tahun
sekali, Indonesia menempati peringkat terbawah dari 65 negara di dunia untuk semua katagori. Tes komprehensif dilakukan melalui pengukuran beberapa
katagori yaitu kemampuan mathematics, reading, science dan problem solving. Hasil perolehan skor Indonesia disajikan dalam tabel 1.2 PISA, 2010 : 15 :
Tabel 1.2 Skor Indonesia Berdasar Survei PISA oleh OECD Negara
Mathematics Scale
Reading Scale Science Scale
Shanghai-Cina 600 1
556 1 575 1
Singapura 562 2
526 5 542 4
Thailand 419 50
421 50 425 49
Indonesia 371 61
402 57 383 60
commit to user 3
Wajah pendidikan di tingkat daerah, khususnya untuk Kabupaten Sukoharjo, berdasarkan hasil Ujian Nasional UN tahun 2010, yang diikuti oleh
8.313 siswa menengah atas yang terdiri dari 3.521 siswa SMA, 455 siswa MA, dan 4.337 siswa SMK, dari jumlah tersebut terdapat 513 siswa yang dinyatakan
tidak lulus Ujian Nasional. Hal yang lebih memprihatinkan, yaitu sebanyak 20 SMA
sekabupaten Sukoharjo,
tidak ada
sekolah yang
meluluskan 100 siswanya, sedangkan untuk SMK dari total 25 SMK, hanya 8 SMK yang
berhasil meluluskan 100 siswanya. Tingkat kelulusan pada tahun 2010 mencapai 96,6 yang lebih rendah bila dibandingkan tahun 2009 yang tingkat
kelulusan mencapai 97,76 . Khusus untuk SMK, tingkat kelulusan tahun 2009 lalu mencapai 94,60 sedangkan pada tahun 2010 mencapai 97,79 . sumber:
http:www.jatengprov.go.id?document_srl=6039 Fakta di atas menunjukkan bahwa pendidikan sangat perlu mendapatkan
perhatian dan penanganan yang lebih baik dari pemerintah maupun lembaga- lembaga pendidikan terkait. Hal pertama yang perlu dilakukan perubahan tentu
saja dari faktor guru sebagai guru yang berperan langsung terhadap anak didiknya. Jika kualitas seorang guru rendah, maka hal mustahil akan tercipta siswa-siswa
yang berkualitas. Di Indonesia, untuk menjadi seorang guru tentunya persaingan yang dihadapai tidak seketat bila dibandingkan dengan persaingan masuk ke
Fakultas kedokteran. Lulusan sekolah menengah atas yang “jempolan” tentunya
akan lebih memilih jurusan Kedokteran, Teknik Ekonomi dan sebagainya. Maka dapat dipastikan, sebagian besar mereka yang masuk Ilmu pendidikan merupakan
“sisa” yang tidak mampu bersaing di jurusan “elit” tersebut. Tentunya dapat dipastikan bahwa kualitas calon guru memiliki kualitas yang rendah. Hal ini
tentunya juga akan berdampak terhadap bagaimana kualitas mengajar yang akan dilakukan guru tersebut di kelas.
Dalam proses belajar mengajar masih nampak adanya penerapan banking sistem, dalam artian bahwa siswa dianggap sebagai
“save-deposite-box” dimana
guru mentransfer bahan ajar kepada siswa dan sewaktu-waktu jika itu diperlukan maka akan diambil dan dipergunakan. Jadi siswa hanya menampung
commit to user 4
apa yang disampaikan guru tanpa mencoba untuk berpikir lebih jauh tentang apa yang diterimanya. Proses belajar mengajar seharusnya dapat mengakomodasi
segala perbedaan serta mampu yang memberikan kesempatan pada setiap siswa untuk mengembangkan potensi dirinya sendiri agar tercapai proses dan hasil
belajar siswa yang maksimal, bukan menjadi seperti pabrik penghasil manusia yang tidak peka dan fleksibel terhadap perkembangan jaman.
Kondisi ini lebih diperparah dengan adanya sistem Ujian Nasional, yang menentukan kelulusan siswa dalam menempuh belajarnya selama tiga tahun. Hal
ini menuntut seorang guru untuk mampu menciptakan siswa yang mampu lulus Ujian Nasional, bukan siswa yang mampu bersaing dalam hal ilmu pengetahuan
dan teknologi. Akhirnya pembelajaran yang dilakukan hanya intens untuk mencapai kelulusan siswa yang menyimpang dari tujuan dan fungsi pendidikan
nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, yang berbunyi:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa,
bertujuan untuk
berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang bertanggungjawab.Depdiknas, 2003: 8
Sejak tahun 2004 telah diterapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK dan kini telah berubah menjadi kurikulum 2006 yaitu Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan KTSP, yang menggunakan paradigma pembelajaran konstruktivisme dalam kegiatan pembelajaran. Esensi dari teori konstruktivisme
adalah ide atau gagasan bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi yang kompleks ke situasi lain dan apabila dikehendaki informasi
itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini pelajaran harus dikemas menjadi proses mengkontruksi, bukan menerima pengetahuan. Dalam proses
pembelajarannya harus diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa Student Center bukan berpusat pada guru Teacher Center.
commit to user 5
Proses belajar-mengajar di sekolah meliputi setiap mata pelajaran yang salah satunya ialah pelajaran Fisika, yang termasuk dalam Ilmu Pengetahuan
Alam IPA. Fisika meliputi tiga karakteristik, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah. Produk merupakan kumpulan pengetahuan. Proses dalam Fisika berkaitan
dengan keterampilan untuk mendapat pengetahuan. Dalam melakukan proses tersebut dibutuhkan adanya sikap ilmiah. Pemahaman atau penguasaan materi
dalam Fisika dituntut meliputi tiga ranah kemampuan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Untuk menyikapi hal tersebut, Para guru Fisika IPA dituntut untuk
dapat menemukan suatu cara memfasilitasi siswa secara efektif dan efisien sehingga mampu memberikan pemahaman kepada siswa tentang alam sekitar
namun tetap dilakukan melalui proses pembelajaran yang aktif dan menyenangkan karena guru mempunyai pengaruh yang dominan terhadap kualitas
proses dan hasil pembelajaran. . Kualitas pendidikan di Indonesia yang rendah juga diakibatkan oleh
motivasi belajar siswa yang rendah. Motivasi belajar tentunya akan sangat berpengaruh terhadap prestasi dan keberhasilan siswa dalam belajar. Motivasi
belajar yang tumbuh dalam diri siswa akan mendorong munculnya optimisme yang tinggi dalam mencapai keberhasilan belajar sehingga siswa memilki
kekuatan dan keuletan untuk melakukan aktivitas tertentu. Motivasi tersebut juga akan membuat siswa tertarik untuk selalu belajar, meskipun berada di luar kelas
atau diluar jam sekolah. Motivasi belajar siswa sangat bergantung pada banyak hal salah satunya adalah faktor dari proses pembelajaran yang menjenuhkan dan
kurang menarik. Selain itu motivasi belajar seorang siswa juga dipengaruhi oleh lingkungan belajar yang salah satunya adalah proses belajar yang menarik dan
menyenangkan. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan seorang guru dalam mengajar
adalah metode pembelajaran yang akan dilakukan. Ketepatan metode pembelajaran yang digunakan dapat meningkatkan minat belajar siswa terhadap
mata pelajaran Fisika yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi pula hasil belajar Fisika siswa. Tentu saja metode yang digunakan tetap harus
mempertimbangkan keterlibatan dan mampu membangkitkan keaktifan siswa
commit to user 6
dalam proses pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran yang dapat dilakukan adalah metode diskusi-resitasi. Dengan kolaborasi dua metode tersebut,
yaitu diskusi dan metode resitasi diharapkan kelemahan yang ada dalam kedua metode tersebut dapat diminimalisir. Tentunya metode diskusi-resitasi tetap
mengedepankan peran serta keaktifan siswa. Akan tetapi, realita yang ada sekarang ini, dalam proses pembelajaran
Fisika hanya bersifat “mentranfer” pengetahuan kepada siswa bukan mengkontruksi pemikiran siswa menjadi pengetahuannya sendiri. Peran serta
seorang guru untuk mengembangkan metode yang tepat sehingga proses pembelajaran menjadi menarik dan mampu membangkitkan motivasi belajar
siswa masih sangat rendah sekali. Penggunaan media pembelajaran hanya berupa media power point yang notabene masih bersifat memindahkan papan tulis ke
dalam media komputer saja dan belum mampu dikemas secara menarik. Kegiatan diskusi ataupun pemberian resitasi kepada siswa masih belum dilakukan secara
optimal. Kegiatan diskusi masih jarang dilakukan dan belum dilakukan secara optimal, bahkan terkadang kegiatan diskusi dilakukan oleh siswa secara
menyeluruh tanpa ada peran serta guru. Pemberian resitasi pun juga belum dilakukan secara tepat. Resitasi yang
diberikan masih sekedar tugas pekerjaan rumah yang hanya berupa tugas untuk mengerjakan soal, yang terkadang tingkat soalnya pun rumit dalam jumlah soal
yang banyak. Tentunya hal ini terkadang menjadi beban bagi siswa itu sendiri. Sehingga mata pelajaran Fisika masih merupakan momok dan hanya terlihat
sebagai teori dan rumus belaka. Tentu saja hal ini akan berdampak pada minat siswa dalam belajar dan memberikan persepsi bahwa Fisika itu sulit, membuat
pusing dan menjenuhkan. Pada akhirnya, semuanya akan mengarah kepada motivasi belajar siswa yang rendah. Rendahnya motivasi siswa dalam belajar,
tentunya juga akan membuat rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Maka dari itu, terdapat suatu keterkaitan antara pendekatan
pembelajaran, proses pembelajaran dan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar atau secara umum kualitas pendidikan Indonesia.
commit to user 7
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis mengadakan penelitian untuk mengetahui pengaruh pembelajaran Fisika dengan pendekatan konstruktivisme
melalui penerapan metode diskusi-resitasi baik secara individual maupun berkelompok, khususnya terhadap kemampuan kognitif siswa yang ditinjau dari
tingkat motivasi belajar pada siswa. Oleh karena itu, penulis mengambil judul penelitian
”PENGARUH PENGGUNAAN
PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
MELALUI METODE
DISKUSI –RESITASI
TERHADAP KEMAMPUAN KOGNITIF FISIKA PADA MATERI KALOR SMA DITINJAU DARI MOTI
VASI BELAJAR SISWA”
B. Identifikasi Masalah