4
Berdasarkan penelitian terdahulu atas mekanisme good corporate governance dan konvergensi IFRS maka dapat disimpulkan terdapat research gap
yang terjadi. Peneliti memilih perusahaan BUMN untuk dijadikan sampel karena perusahaan BUMN merupakan perusahaan yang sebagian besar sahammnya
dimiliki oleh pemerintah
,
diharapkan dapat menunjukkan penerapan good corporate governance dan konvergensi IFRS yang baik, sehingga diharapkan
dapat mengurangi praktik manajemen laba earnings management. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kustina 2012 kementerian BUMN sebagai stakeholder
utama BUMN sangat mempengaruhi bagaimana proses implementasi PSAK baru ini dalam perusahaan.
Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Good Corporate Governance dan Konvergensi
IFRS Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan BUMN yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2013”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan penjelasan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dirumuskanlah masalah yang yang menjadi dasar dalam
penyusunan skripsi, yaitu: “apakah good corporate governance, dan konvergensi IFRS berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap manajemen laba pada
perusahaan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Good corporate governance, dan
5
konvergensi IFRS berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap manajemen laba pada perusahaan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
1.4.1 Manfaat Teoitis
Penelitian dilakukan sebagai upaya dalam mendukung pengembangan ilmu akuntansi secara umum, serta pengembangan ilmu yang berkaitan dengan
good corporate governance dan konvergensi IFRS. 1.4.2
Manfaat Praktis 1. Bagi Manajemen Perusahaan
Penelitian yang dilakukan dapat menjadi masukan yang digunakan oleh pihak manajemen sebagai bahan referensi dalam rangka menetapkan kebijakan dan
pelaksanaan strategi serta dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kegiatan operasional perusahaan.
2. Bagi Investor Bagi investor penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat sebagai bahan
pertimbangan untuk pengambilan keputusan investasi. 3. Bagi Peneliti
Penelitian yang dilakukan dapat menjadi bahan kajian dan menambah wawasan serta pengetahuan peneliti tentang pengaruh penerapan good
corporate governance dan konvergensi IFRS.
6
4. Bagi Akademisi Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat menambah bukti empiris dari
penelitian-penelitian sebelumnya mengenai good corporate governance, dan konvergensi IFRS serta dapat dijadikan referensi dalam mengadakan
penelitian lebih lanjut tentang masalah yang sama dan dapat diterapkan di masa yang akan datang.
5. Bagi Masyarakat Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan sebagi bahan pertimbangan
dalam rangka menilai tingkat kesehatan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan
agency theory
Adanya peralihan dalam lingkungan bisnis mengakibatkan perusahaan yang dulunya hanya dimiliki satu orang yaitu manajer-pemilik owner-manager
sekarang menjadi perusahaan yang kepemilikannya tersebar dengan pemegang saham yang dimiliki oleh berbagai kalangan. Peralihan ini mengakibatkan
terjadinya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan, dimana kepemilikan berada pada tangan para pemegang saham sedangkan pengelolaan berada pada
tangan tim manajemen. Hubungan keagenan ini sebagai suatu kontrak di mana satu atau lebih pihak principal memberikan tugas kepada pihak lain agen untuk
melaksanakan jasa dan pendelegasian wewenang dalam pengambilan keputusan, hubungan inilah yang dinamakan teori keagenan.
Pemisahan dalam teori keagenan ini menandakan pemilik tidak lagi terlibat dalam pengelolaan perusahaan karena telah dialihkan kepada agen. Pihak
principal hanya bertindak sebagai pengawas dengan memonitor kinerja perusahaan melalui laporan yang diberikan oleh agen. Agency theory yang
dikembangkan oleh Michael Johnson, professor dari Harvard dalam Emirzon, 2007 memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai agen bagi pemegang
saham akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham.
8
Hal inilah yang nantinya akan menimbulkan permasalahan keagenan. Adanya posisi, fungsi, kepentingan, dan latar belakang principal dan agen yang
berbeda dan saling bertolak belakang, namun saling membutuhkan, mau tidak mau dalam praktiknya akan menimbulkan pertentangan, saling tarik menarik
kepentingan dan pengaruh antara satu dengan yang lain Emirzon, 2007. Hal ini mengakibatkan terjadinya penyimpangan dalam pelaporan kepada principal akibat
adanya keinginan untuk memenuhi tujuan pribadi seperti ingin memaksimumkan utilitasnya, yang memungkinkan agen tidak selalu berbuat terbaik bagi principal,
sehingga muncul masalah keagenan. Masalah keagenan ini dapat terlihat dalam aktivitas manajemen laba yang muncul pada laporan keuangan perusahaan akibat
adanya asymmetric information. Asymmetric information adalah informasi yang tidak seimbang yang
disebabkan adanya distribusi informasi yang tidak sama antara principal dan agen yang berakibat dapat menimbulkan dua permasalahan yang disebabkan adanya
kesulitan principal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan- tindakan agen. Menurut Jansen dan Meckling yang dikutip dalam Emirzon 2007,
permasalahan yang dimaksud adalah : a. Moral hazard, yaitu permasalahan muncul jika agen tidak melaksanakan
hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja. b. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana principal tidak dapat
mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai
sebuah kelalaian dalam tugas.
9
Pada prinsipnya teori keagenan menjelaskan bagaimana menyelesaikan konflik kepentingan antara para pihak dan stakeholder dalam kegiatan bisnis yang
berdampak merugikan Emirzon, 2007. Untuk menghindarkan konflik, kerugian, diperlukan prinsip-prinsip dasar pengelolaan perusahaan yang baik atau good
corporate governance.
2.1.2 Teori Sinyal Signaling Theory
Konsep teori sinyal dan asimetri informasi sangat berkaitan erat dimana teori asimetri informasi terjadi ketika pihak-pihak yang berkaitan dengan
perusahaan tidak mempunyai informasi yang sama mengenai prospek dan risiko perusahaan. Pihak tertentu mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan
dengan pihak lainnya. Manajer biasanya mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak luar seperti investor sehingga terjadi asimetri
informasi antara manajer dan investor. Investor yang merasa mempunyai informasi sedikit, akan berusaha menginterpretasikan perilaku manajer.
Perilaku manajer dalam hal menentukan struktur modal bisa dianggap sebagai sinyal oleh pihak luar investor. Kurangnya informasi pihak luar
mengenai perusahaan menyebabkan mereka melindungi diri dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan. Menurut Mamduh 2004 menyatakan
bahwa “perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan mengurangi informasi asimetri. Upaya untuk mengurangi informasi asimetri adalah dengan
memberikan sinyal pada pihak luar termasuk investor”. Teori sinyal mengemukakan bagaimana seharusnya sebuah perusahaan
memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa
10
informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi
lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain. Informasi berupa pengungkapan tanggung jawab sosial yang dipublikasikan
diharapkan dapat menjadi sinyal positif yang dapat diberikan perusahaan guna menarik minat para investor untuk berinvestasi karena melalui pengungkapan
tanggung jawab sosial tersebut diperlihatkan bahwa perusahaan telah menunjukkan suatu pertanggung jawaban terhadap lingkungan sekitar dimana ia
beroperasi.
2.1.3 Manajemen Laba 2.1.3.1 Definisi Manajemen Laba
Manajemen laba earning management menurut Schipper dalam Wild, et al. 2008 didefinisi sebagai intervensi manajemen dengan sengaja dalam proses
penentuan laba, biasanya untuk memenuhi tujuan pribadi. Terlebih lagi, manajemen sebagai pengelola perusahaan memiliki informasi tentang perusahaan
lebih cepat, lebih banyak, dan lebih valid daripada pemegang saham asymmetric information sehingga memungkinkan manajemen melakukan praktek akuntansi
dengan berorientasi pada angka laba, yang dapat menciptakan kesan prestasi tertentu.
Scott 2009 membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik
manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak
utang dan political costs Oportunistic Earning Management. Kedua, dengan
11
memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting Efficient Earning Management, dimana manajemen laba memberi manajer suatu
fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat
dalam kontrak.
2.1.3.2 Insentif Manajemen Laba
Banyak alasan melakukan manajemen laba, termasuk meningkatkan kompensasi manajer yang terkait dengan laba yang dilaporkan, meningkatkan
harga saham, dan usaha mendapatkan subsidi pemerintah. Dalam Wild, et al. 2008 dipaparkan sejumlah insentif utama untuk melakukan manajemen laba
adalah sebagai berikut. a. Insentif perjanjian.
Banyak perjanjian yang menggunakan angka akuntansi. Misalnya perjanjian kompensasi manajer biasanya mencakup bonus berdasarkan laba. Perjanjian
bonus biasanya memiliki batas atas dan bawah, artinya manajer tidak mendapat bonus jika laba lebih rendah dari batas bawah dan tidak
mendapatkan bonus saat laba lebih tinggi dari batas atas. Hal ini berarti manajer memiliki insentif untuk meningkatkan atau mengurangi laba
berdasarkan tingkat laba yang belum diubah terkait dengan batas atas dan bawah.
b. Dampak harga saham Potensi dampak harga saham misalnya manajer dapat meningkatkan laba
untuk menaikkan harga saham perusahaan sementara sepanjang satu kejadian
12
tertentu seperti merger yang akan dilakukan atau penawaran surat berharga, atau rencana menjual saham atau melaksanakan opsi. Manajer juga
melakukan perataan laba untuk menurunkan persepsi pasar akan risiko dan menurunkan biaya modal.
c. Insentif lain. Terdapat beberapa alasan manajemen laba lainnya. Laba seringkali
diturunkan untuk menghindari biaya politik dan penelitian yang dilakukan badan pemerintah. Selain itu, perusahaan dapat menurunkan laba untuk
memperoleh keuntungan dari pemerintah, misalnya subsidi atau proteksi dari persaingan asing. Perusahaan juga menurunkan laba untuk mengelakkan
permintaan serikat buruh. Salah satu insentif lain adalah perubahan manajemen yang sering menyebabkan big bath karena beberapa alasan.
Pertama, melemparkan kesalahan pada manajer yang berwenang. Kedua, sebagai tanda bahwa manajer baru harus membuat keputusan tegas untuk
memperbaiki perusahaan. Ketiga, dan yang terpenting, yaitu memberikan kemungkinan dilakukannya peningkatan laba di masa depan.
2.1.3.3 Strategi Pelaksanaan Manajemen Laba
Dalam pelaksanaan aktivitas manajemen laba, manajemen memiliki beberapa strategi dalam melaksanakan praktek ini. Dalam Wild, et al. 2008,
dijelaskan tiga jenis strategi manajemen laba yaitu : a. Meningkatkan laba increasing income
Cara ini dilakukan dengan meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode kini untuk membuat perusahaan dipandang lebih baik. Peningkatan laba juga
13
dimungkinkan selama beberapa periode. Pada skenario pertumbuhan, akrual pembalik lebih kecil dibandingkan akrual kini sehingga dapat meningkatkan
laba. Kasus yang terjadi adalah perusahaan dapat melaporkan laba yang lebih tinggi berdasarkan manajemen laba yang agresif sepanjang periode waktu
yang panjang. Selain itu, perusahaan dapat melakukan manajemen untuk meningkatkan laba selama beberapa tahun dan kemudian membalik akrual
sekaligus pada satu saat pembebanan. Pembebanan satu saat ini sering kali dilaporkan “di bawah laba bersih” below the line sehingga dipandang tidak
terlalu relevan. b. Mandi besar big bath
Strategi big bath dilakukan melalui penghapusan sebanyak mungkin pada satu periode. Periode yang dipilih biasanya periode dengan kinerja yang
buruk seringkali pada masa resesi dimana perusahaan lain juga melaporkan laba yang buruk atau peristiwa saat terjadi satu kejadian yang tidak biasa
seperti perubahan manajemen, merger, atau restrukturisasi. Strategi ini juga seringkali dilakukan setelah strategi peningkatan laba pada periode
sebelumnya. Karena sifat big bath yang tidak biasa dan tidak berulang, pemakai cenderung tidak memperhatikan dampak keuangannya. Hal ini
memberikan kesempatan untuk menghapus semua hal buruk di masa lalu dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan laba di masa depan.
c. Perataan laba Income smoothing Perataan laba merupakan bentuk umum manajemen laba. Pada strategi ini,
manajer meningkatkan atau menurunkan laba yang dilaporkan untuk
14
mengurangi fluktuasinya. Perataan laba juga mencakup tidak melaporkan bagian laba pada periode baik dengan menciptakan cadangan atau “bank”
laba dan kemudian melaporkan laba ini saat periode buruk. Banyak perusahaan menggunakan bentuk manajemen laba ini.
Praktek manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen ini dapat diminimumkan melalui suatu mekanisme monitoring untuk menyelaraskan
ketidaksejajaran kepentingan pemilik dan manajemen. Mekanisme yang dianggap dapat digunakan untuk membatasi tindakan tersebut adalah mekanisme good
corporate governance.
2.1.3.4 Pengukuran Manajemen Laba
Dechow et al 1995 telah mengevaluasi beberapa model untuk mendeteksi dan mengukur manajemen laba berdasarkan akrual. Berbagai model tersebut
adalah : 1. Model Healy
Healy 1985 menguji manajemen laba dengan membandingkan rata-rata total akrual diskala dengan lag total aset antara variabel yang merupakan bagian
manajemen laba. Model Healy dirumuskan sebagai berikut : ���
�
= ��
�
� dimana :
NDA = estimasi nondiscretionary accrual TA = total akrual yang diskala dengan lag total aset
15
T = t merupakan tahun subscript untuk tahun-tahun yang termasuk dalam periode estimasi
τ = tahun subscript yang menunjukkan suatu tahun dalam periode berjalan.
2. Model DeAngelo DeAngelo 1986 menguji manajemen laba dengan memperhitungkan
perbedaan pertama dalam total akrual, serta mengasumsikan bahwa perbedaan pertama mempunyai suatu nilai ekspektasi nol di bawah hipotesis
nol yaitu tidak adanya manajemen laba. Nondiscretionary accrual berdasarkan model DeAngelo dirumuskan sebagai berikut:
NDAt=TAt-1 3. Model Jones
Model Jones 1991 berusaha untuk mengontrol dampak perubahan ekonomi perusahaan terhadap nondiscretionary accrual. Model Jones untuk
nondiscretionary accrual dirumuskan sebagai berikut : NDAt = α11At-1 + α 2ΔREVt+ α 3PPEt
dimana : ΔREVt= pendapatan tahun t dikurangi pendapatan tahun t-1 yang diskala oleh
total aset pada tahun t-1 PPEt = peralatan dan properti pabrik tahun t yang diskala dengan total aset
pada tahun t-1 At-1 = total aset pada t-1
α 1, α 2, α 3 = parameter spesifik perusahaan
16
4. Model Industri Model industri berasumsi bahwa variasi-variasi yang terdapat dalam faktor-
faktor penentu nondiscretionary accrual biasa terjadi pada perusahaan- perusahaan dalam industri yang sama. Model industri untuk nondiscretionary
accrual dirumuskan sebagai berikut : NDA t = γ 1 + γ 2 median t TAt
dimana : median t TAt = nilai median dari total akrual yang diskala dengan lag aset
untuk semua perusahaan non sample, yang sama dengan 2 digit kode SIC. γ 1, γ 1 = parameter spesifik perusahaan
5. Model Jones yang Dimodifikasi Model Jones yang dimodifikasi oleh Dechow, Sloan, dan Sweeney 1995
dirancang untuk mengurangi kecenderungan terjadinya kesalahan model Jones, ketika discretionary diterapkan pada pendapatan. Perubahan
pendapatan disesuaikan dengan perubahan piutang, karena dalam pendapatan atas penjualan sudah tentu ada yang berasal dari penjualan secara
kredit.Pengurangan terhadap nilai piutang untuk menunjukkan bahwa pendapatan yang diterima benar-benar merupakan pendapatan bersih
Dechow et al, 1995. Seperti yang dilakukan Jones 1991, perhitungan dilakukan dengan :
a. Mengukur total accrual dengan menggunakan model Jones yang dimodifikasi.
17
Total Accrual TAC = laba bersih setelah pajak net income – arus kas operasi cash flow from operating
b. Menghitung nilai accruals yang diestimasi dengan persamaan regresi OLS Ordinary Least Square:
TAC
t
A
t-1
= α
1
1 A
t-1
+ α
2
ΔREV
t
- ΔREC
t
A
t-1
+ α
3
PPE
t
A
t-1
+e Dimana
TAC
t
: total accruals perusahaan i pada periode t A
t-1
: total aset untuk sampel perusahaan i pada akhit tahun t-1 REV
t
: perubahan pendapatan perusahaan i dari tahun t-1 ke tahun t REC
t
: perubahan piutang perusahaan i dari tahun t-1 ke tahun t PPE
t
:aktiva tetap perusahaan tahun t c. Menghitung nondiscretionary accruals model NDA adalah sebagai
berikut: NDAt = α
1
1 A
t-1
+ α
2
ΔREV
t
- ΔREC
t
A
t-1
+ α
3
PPE
t
A
t-1
Dimana NDAt : nondiscretionary accruals pada tahun t
α : fitted coefficient yang diperoleh dari hasil regresi pada perhitungan total accruals
d. Menghitung discretionary accruals DACt : TAC
t
A
t-1
- NDA
t
Dimana DACt : discretionary accruals perusahaan i pada periode t
18
2.1.4 Good Corporate Governance
2.1.4.1 Definisi Good Corporate Governance
Good corporate governance merupakan suatu aturan sistem dan seperangkat aturan mengenai pengelolaan perusahaan yang perlu diterapkan pada
setiap perusahaan dan mengatur hubungan antara pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Good corporate gorvernance dimaksudkan untuk mengatur
hubungan-hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan ini dalam rangka mencapai tujuan perusahaan dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan
signifikan dalam strategi perusahaan dan untuk memastikan bahwa kesalahan- kesalahan yang terjadi dapat di perbaiki dengan segera.
Menurut Cadbury 1922 dalam Agoes dan Ardana, 2013, “Good corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan
antara pemegang saham, pengurus pengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal
lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka”. Good corporate governance adalah sistem dan struktur untuk mengelola
perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai pemegang saham stakeholder’s value serta mengalokasikan berbagai pihak yang berkepentingan dengan
perusahaan seperti kreditor, supplier, asosiasi usaha, konsumen, pekerja, pemerintah dan masyarakat luas Tangkilisan, 2003.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa good corporate governance merupakan suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis
tentang peran dewan komisaris, dewan direksi, pemegang saham, dan para
19
stakeholder lainnya untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang
dengan tetap memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya. Pelaksanaan good corporate governance dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan cara
meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh dewan komisaris dengan keputusan-keputusan yang menguntungkan diri sendiri
dan umumnya good corporate governance dapat meningkatkan kepercayaan investor.
2.1.4.2 Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
Komitmen dari seluruh jajaran pengurus perusahaan hingga pegawai yang terendah untuk melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam good corporate
governance merupakan faktor penentu terlaksananya good corporate governance dalam perusahaan, maka dari itu seluruh karyawan wajib untuk menjunjung tinggi
prinsip good corporate governance. National Committee on Governance 2006 dalam Agoes dan Ardana, 2013 mengemukakan lima prinsip good gorporate
governance yaitu: Transparansi Transparancy, Akuntabilitas Accountability, Tanggung jawab Responsibility, Independensi Independency dan Kesetaraan
Fairness. 1. Transparansi Transparancy
Transparansi adalah adanya pengungkapan suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, dan jelas serta dapat dibandingkan dengan keadaan yang
menyangkut tentang keuangan, pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan. Perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan
20
mudah dipahami untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lain.
2. Akuntabilitas Accountability Akuntabilitas dimaksudkan sebagai prinsip dimana para pengelola
berkewajiban untuk membina sistem akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Akuntabilitas
menekankan pada pentingnya penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian kekuasaan antara dewan komisaris, dewan direksi,
dan pemegang saham yang meliputi monitoring, evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak sesuai
dengan kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain, agar perusahaan mampu
mempertanggung jawabkan kinerjanya secara jelas dan transparan kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi tersebut, karena akuntabilitas
merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3. Tanggung jawab Responsibility Prinsip Tanggung jawab adalah prinsip di mana para pengelola wajib
memberikan pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam mengelola perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai wujud kepercayaan
yang diberikan kepadanya. Prinsip ini menunjukkan adanya kesesuaian
21
kepatuhan di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat seta peraturan perundangan yang berlaku. Prinsip ini diwujudkan
dengan kesadaran bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang, menyadari akan adanya tanggung jawab sosial,
menghindari penyalahgunaan wewenang kekuasaan, menjadi profesional dan menjunjung etika dan memelihara bisnis yang kuat.
4. Independensi Independency Prinsip Independesi atau kemandirian merupakan prinsip yang mengatur
tentang pengelolaan perusahaan secara profesional tanpa pengaruhtekanan dari pihak manapun. Upaya melancarkan asas good corporate governance
dilakukan dengan mengelola perusahaan secara independen sehingga masing- masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat
diintervensi oleh pihak lain. Independensi diperlukan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul oleh para
pemegang saham mayoritas. Mekanisme ini menuntut adanya rentang kekuasaan antara komposisi komite dalam komisaris, dan pihak luar seperti
auditor. Keputusan yang dibuat dan proses yang terjadi harus objektif tidak dipengaruhi oleh kekuatan pihak-pihak tertentu.
5. Kesetaraan Fairness Prinsip kesetaraan Fairness merupakan prinsip perlakuan yang adil bagi
seluruh pemegang saham. Keadilan yang diberikan merupakan perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang
saham minoritas dan pemegang saham asing dari kecurangan, dan kesalahan
22
perilaku insider. Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan
kesetaraan dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya.
2.1.4.3 Manfaat dan Tujuan Good Corporate Governance
Menurut Gunarsih 2003 dalam Hardikasari, 2011 “esensi corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau
pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap shareholder dan pemakai kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan
peraturan yang berlaku”. Good corporate governance dapat memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif.
Beberapa manfaat penerapan good corporate governance adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan
dengan lebih baik, serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders, 2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga
dapat lebih meningkatkan nilai perusahaan corparate value, 3. Mengurangi agency cost, yaitu biaya yang harus ditanggung pemegang
saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen, 4. Meningkatkan nilai saham perusahaan sehingga dapat meningkatkan citra
perusahaan kepada publik lebih luas dalam jangka panjang, 5. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di
Indonesia.
23
Tujuan good corporate governance adalah sebagai berikut : 1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham,
2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholder non pemegang saham,
3. Meningkatkan nilai perusahaan dan pemegang saham, 4. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dewan pengurus atau board of
directors dan manajemen perusahaan, 5. Meningkatkan mutu hubungan board of directors dengan manajemen senior
perusahaan.
2.1.4.4 Implementasi Good Corporate Governance
Implementasi terhadap prinsip-prinsip good corporate governance di Indonesia telah diatur dalam beberapa undang-undang dan peraturan. Peraturan
dan undang-undang berupaya untuk mendorong berbagai perusahaan untuk melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance dalam melakukan
kegiatan operasional perusahaan tersebut. Dalam Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117M-MBU2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan
Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara, menekankan kewajiban bagi BUMN untuk menerapkan good corporate
governance secara konsisten dan atau menjadikan prinsip-prinsip good corporate governance sebagai landasan operasionalnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan
24
kepentingan stakeholders lainnya, dan berlandaskan peraturan perundang- undangan dan nilai-nilai etika.
Pelaksanaan prinsip Transparansi Transparancy dilakukan agar perusahaan senantiasa menjaga dan meningkatkan pengungkapan suatu informasi
yang terbuka, tepat waktu, dan jelas serta dapat dibandingkan dengan keadaan yang menyangkut tentang keuangan dan informasi non keuangan. Akuntabilitas
Accountablity dengan menekankan pentingnya penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian kekuasaan antara komisaris, direksi, dan
pemegang saham yang meliputi monitoring, evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak sesuai dengan
kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Tanggung jawab Responsibility untuk menunjukkan adanya kesesuaian kepatuhan di
dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat seta peraturan perundangan yang berlaku.
Independensi Independency dilakukan agar perusahaan dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi
dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain serta untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul oleh para pemegang saham
mayoritas. Pelaksanaan kesetaraan Fairness dilakukan agar perusahaan
senantiasa memberikan perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing dari
kecurangan, dan kesalahan perilaku insider. Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dilakukan agar menghasilkan kinerja yang efektif dan
25
efisien dalam suatu perusahaan. Menghasilkan kinerja yang efektif dan efisien dibutuhkan suatu bentuk komitmen dan kesadaran penuh dari seluruh jajaran
organ perusahaan untuk menjalankan kegiatan perusahaan berdasarkan sistem tata kelola perusahaan yang baik.
2.1.5 Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional adalah jumlah persentase hak suara yang dimiliki oleh institusi Beiner et al dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007.
Kemampuan manajer perusahaan untuk mengelola laba secara oportunistik dapat dibatasi oleh efektivitas pengawasan oleh para shareholder khususnya investor
institusional. Kepemilikan institusional diukur sebagai persentase saham yang dimiliki
oleh lembaga yang diungkapkan dalam laporan keuangan tahunan. Adanya kepemilikan saham institusional dalam perusahaan dapat membantu untuk
meningkatkan pembiayaan jangka panjang dengan biaya yang menguntungkan. Para investor institusional bertindak sebagai sumber utang jangka panjang karena
mereka bersedia memberi pinjaman kepada perusahaan yang membutuhkan dana. Para investor institusional dapat berfungsi sebagai perangkat pemantauan yang
efektif atas keputusan-keputusan strategis perusahaan. Melalui mekanisme kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan
sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba. Kepemilikan institusional
memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif.
26
2.1.6 Komite Audit
Keberadaan komite audit melalui surat edaran Bapepam Nomor SE03PM2002. Dalam pelaksanaan tugasnya komite audit mempunyai fungsi
membantu dewan komisaris untuk:
1. Meningkatkan kualitas laporan keuangan, 2. Menciptakan kedisiplinan dan pengendalian yang dapat mengurangi
kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan. 3. Meningkatkan efektivitas fungsi internal audit maupun eksternal audit.
4. Mengindentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris. Komite audit mempunyai peran yang penting dan strategis dalam hal
memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan, menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai serta dilaksanakannya
good corporate governance. Dengan berjalannya fungsi komite audit secara efektif, maka control terhadap perusahaan akan lebih baik sehingga konflik
keagenan yang terjadi akibat keinginan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan sendiri dapat diminimalisasi.
2.1.7 Dewan Komisaris Independen
Pengertian komisaris menurut Emirzon dalam Wulandari 2013 adalah lembaga yang bertugas mengawasi atau mengontrol jalannya perusahaan yang
dipimpin oleh dewan direksi. Pembentukan Komisaris Independen ini didasarkan oleh keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap pemegang
saham minoritas dalam PT terbuka dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik good corporate governance perusahaan tercatat wajib
27
memiliki Komisaris Independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham Pengendali.
Proporsi dewan komisaris independen dalam mekanisme good corporate governance berperan penting tidak hanya melihat kepentingan pemilik tetapi juga
kepentingan perusahaan secara umum. Karakteristik dewan komisaris khususnya komposisi dewan komisaris independen dapat menjadi suatu mekanisme yang
menentukan tindakan manajemen laba. Dewan komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan
yang good corporate governance. Jika fungsi independensi dewan direksi cenderung lemah, maka ada kecenderungan terjadinya moral hazard yang
dilakukan oleh para direktur perusahaan untuk kepentingannya melalui pemilikan
perkiraan-perkiraan akrual yang berdampak pada manajemen laba. 2.1.8 Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris merupakan mekanisme penggendalian intern tertinggi yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen punjak.
Berdasarkan Bursa Efek Jakarta BEJ Nomor: Kep-315BEJ06 2000 dalam sari, 2010 “mengharuskan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk
memiliki dewan komisaris yang memonitor perusahaan agar tercipta Good Corporate Governance di Indonesia”. Artinya Dewan Komisaris merupakan
organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta
memastikan bahwa perusahaan telah melaksanakan GCG.
28
Ukuran dewan komisaris yang dimaksud disini adalah banyaknya jumlah anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Ukuran dewan komisaris
menentukan tingkat keefektifan pemantauan kinerja perusahaan. Menurut Chtourou 2001 dalam Sari, 2010 “jumlah dewan yang semakin besar maka
mekanisme monitoring manajemen perusahaan akan semakin baik”. 2.1.9 Ukuran Dewan Direksi
Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek maupun
jangka panjang. Dewan direksi juga merupakan salah satu indikator dalam pelaksanaan good corporate governance yang bertugas dan bertanggungjawab
untuk menjalankan manajemen perusahaan.
2.1.10 Konvergensi IFRS
International Financial Reporting Standards IFRS adalah standar, interpretasi dan kerangka kerja dalam rangka Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan yang diadopsi oleh International Accounting Standards Board IASB. Banyak standar membentuk bagian dari IFRS. Sebelumnya IFRS ini lebih dikenal
dengan nama International Accounting Standards IAS Lestari, 2012. Seperti yang diungkapkan dalam Media Akuntansi 2005
Pangabean,2007 dalam Wardhani 2009 IFRS telah diterapkan oleh sejumlah negara di dunia, dengan tingkat adopsi yang berbeda-beda. Adopsi IFRS dapat
dilakukan dalam lima tingkatan, yaitu: 1. Full adoption, dimana suatu negara mengadopsi seluruh produk IFRS dan
menerjemahkannya secara word by word.
29
2. Adapted, dimana suatu Negara mengadopsi seluruh IFRS tetapi disesuaikan dengan kondisi suatu negara.
3. Piecemeal, dimana suatu negara mengadopsi sebagian nomor IFRS yaitu nomor standar tertentu dan memilih paragraf tertentu saja.
4. Referenced, dimana suatu negara menjadikan IFRS sebagai referensi dalam pembentukan standar yang dibuat sendiri oleh badan pembuat standar.
5. Not adoption at all, dimana suatu negara sama sekali tidak mengadopsi IFRS. Lestari 2012 menyebutkan manfaat adopsi IFRS adalah sebagai berikut:
a. Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan Standar Akuntansi Keuangan yang dikenal secara internasional enhance
comparability. b. Meningkatkan arus investasi global melalui transparansi.
c. Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global.
d. Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan. e. Meningkatkan kualitas laporan keuangan, dengan antara lain, mengurangi
kesempatan untuk melakukan earning management. Kustina 2012 menyatakan konvergensi IFRS dilakukan melalui tiga
tahapan, yaitu: 1. Tahap adopsi 2008 - 2011 yang meliputi adopsi seluruh IFRS ke PSAK,
persiapan infrastruktur yang diperlukan, evaluasi dan kelola dampak adopsi terhadap PSAK yang berlaku.
30
2. Tahap persiapan akhir 2011 yaitu penyelesaian infrastruktur yang diperlukan.
3. Tahap implementasi 2012 yaitu penerapan pertama kali PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS dan evaluasi dampak penerapan PSAK
secara komprehensif. Berdasarkan roadmap tersebut maka Indonesia telah memasuki tahap
persiapan akhir di tahun 2011 setelah sebelumnya melalui tahap adopsi 2008 – 2010. Berikut ini Tabel perkembangan konvergensi PSAK ke IFRS:
Tabel 2.1 Perkembangan Konvergensi PSAK Ke IFRS
Tahap Adopsi 2008 – 2010
Tahap Persiapan Akhir 2011
Tahap Implementasi
2012
Adopsi seluruh IFRS ke PSAK
Penyelesaian persiapan infrastruktur yang
diperlukan Penerapan PSAK
berbasis IFRS secara bertahap
Persiapan infrastruktur yang diperlukan
Penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis
IFRS Evaluasi dampak
penerapan PSAK secara komprehensif
Evaluasi dan kelola dampak adopsi terhadap
PSAK yang berlaku
Kustina 2012 juga menyebutkan bahwa Perusahaan BUMN sebagai perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik dipersyaratkan oleh regulasi untuk
menyusun laporan keuangan berdasarkan standar, serta untuk dapat mengimplementasikan IFRS perusahaan harus menyiapkan sumber daya manusia
31
dan dana yang cukup untuk melakukan pemutakhiran sistem dan SOP yang saat ini telah ada.
Komitmen pimpinan perusahaan juga diperlukan untuk mendukung proses implementasi IFRS tersebut. Besarnya komitmen pimpinan terkadang dipengaruhi
oleh kepedulian stakeholder pengguna laporan keuangan. Kementerian BUMN sebagai stakeholder utama BUMN sangat mempengaruhi bagaimana proses
implementasi PSAK baru ini dalam perusahaan. Secara garis besar Kustina 2012 membagi dampak konvergensi IFRS
menjadi empat bagian, yaitu: 1. Dampak IFRS pada sistem akuntansi
Adanya peningkatan penggunaan nilai wajar fair value, adanya penggunaan ” judgment” karena karakteristik IFRS yang lebih berbasis prinsip principle
based sedangkan PSAK merupakan rule based, dan penggunaan persyaratan pengungkapan yang akan lebih banyak, baik kualitatif maupun kuantitatif.
2. Dampak IFRS pada sistem informasi perusahaan Hal ini disebkan karena dengan konvergensi IFRS menyebabkan perbedaan
standar yang signifikan antara IFRS dan standar yang berlaku sebelumnya. 3. Dampak IFRS pada sumber daya manusia pada perusahaan
Penerapan IFRS membutuhkan sumber daya profesional yang memiliki kemampuan untuk melakukan judgment dalam menggunakan standar IFRS,
baik dalam hal mempersiapkan laporan keuangan maupun dalam hal pengauditan.
32
4. Dampak IFRS pada sistem organisasi perusahaan Penerapan IFRS tidak hanya mengubah cara organisasi membuat laporan
keuangan, namun juga mengubah bagaimana perusahaan menjalankan bisnisnya. Diperlukan pengendalian internal khususnya yang terkait dengan
pelaporan keuangan agar perusahaan dapat memnuhi semua persyaratan yang ditetapkan.
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian ini juga pernah di angkat sebagai topik penelitian oleh beberapa peneliti sebelumnya. Maka peneliti juga diharuskan untuk mempelajari penelitian-
penelitian terdahulu atau sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan Ningsaptiti pada tahun 2010 dengan judul “Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Mekanisme Good Corporate
Governance Terhadap Manajemen Laba”, dengan manajemen laba sebagai variabel dependen dan variabel independen terdiri dari ukuran perusahaan,
konsentrasi kepemilikan, dewan komisaris, spesialisasi industri KAP, komite audit. Penelitian ini dilakukan dengan sampel 37 perusahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI periode 2006-2008. Hasil dari penelitian ini menunjukkan ukuran perusahaan, konsentrasi kepemilikan, dan spesialisasi industri KAP berpengaruh
signifikan secara parsial terhadap manajemen laba, sedangkan dewan komisaris dan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba.
Selanjutnya pada penelitian Suryani 2010 “Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen Laba pada
33
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI” . Penelitian ini mengambil 55 sampel dari 137 populasi perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun
2004 sampai dengan tahun 2008. Variabel dependen dari penelitian ini adalah manajemen laba dan variabel independen yang digunakan adalah kepemilikan
intitusional, kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, komposisi dewan komisaris, komite audit dan ukuran perusahaan. Dari penelitian ini disimpulkan
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan berpengaruh negative signifikan terhadap manajemen laba sedangkan komite
audit dan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Pada penelitian Ujianto Pramuka 2007 dengan judul “Mekanisme
Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan”. Disimpulkan kepemilikan institusional dan jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh
signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan dan proporsi dewan komisaris berpengaruh positif
signifikan. Secara bersama-sama variabel berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
Pada penelitian yang dilakukan Herawaty dan Guna 2010 dengan judul “Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance, Independensi Auditor,
Kualitas Audit, dan Faktor Lainnya Terhadap Manajemen Laba” disimpulkan bahwa laverage, kualita audit, dan profitabilitas berpengaruh terhadap
manaejemen laba. Sedangkan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komite audit, komisaris independen, independensi auditor dan ukuran perusahaan
tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
34
Cahyati pada tahun 2011 dalam jurnal akuntansi keuangan volume 1 No.2, januari 2011 dengan judul “Peluang Manajemen Laba Pasca Konvergensi IFRS”
menyimpulkan bahwa secara teoritis konvergensi IFRS diharapkan mengurangi manajemen laba yang dilakukan perusahaan karena standar IFRS yang berbasis
prinsip, lebih condong pada penggunaan nilai wajar, dan pengungkapan yang lebih banyak dan rinci diharapkan dapat mengurangi manajemen laba.
Penelitian Winayu pada tahun 2013 dengan judul “Manajemen Laba Sesudah dan Sebelum Konvergensi IFRS”, pada penelitian ini menunjukkan
bahwa ada perbedaan manajemen laba sebelum dan sesudah IFRS diterapkan. Pada penelitian Marsono 2013 yang berjudul “Analisis Komparasi Kualitas
Informasi Akuntansi Sebelum dan Sesudah Pengadopsian Penuh IFRS di Indonesia” disimpulkan bahwa kualitas akuntansi sebelum dan sesudah
pengadopsian penuh IFRS menunjukkan tidak adanya perbedaan ini disebabkan oleh faktor infrastruktur. Infrastruktur disini meliputi DSAK Dewan Standar
Akuntansi Keuangan sebagai financial accounting standard setter di Indonesia, kondisi peraturan perundang-undangan yang belum tentu sinkron dengan IFRS
serta kurang siapnya sumber daya manusia dan dunia pendidikan di Indonesia. Penelitian oleh Rudra pada tahun 2012 dengan judul “Does IFRS
Influence Earnings Management? Evidence From India” juga menyimpulkan bahwa penerapan IFRS tidak menjamin akan kualitas laporan keuangan.
Penelitian Widyawati dan Angraita 2013 yang berjudul “Pengaruh Konvergensi IFRS Efektif Tahun 2011, Kompleksitas Akuntansi, dan Probitabilitas
Kebangkrutan Perusahaan Terhadap Timeliness dan Manajemen Laba”
35
menyimpulkan Konvergensi IFRS dalam PSAK yang efektif di tahun 2011 memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap tingkat manajemen laba,
kompleksitas akuntansi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat manajemen laba , dan perusahaan dengan status probabilitas kebangkrutan memiliki pengaruh
negatif signifikan terhadap tingkat manajemen laba. Penelitian Trisanti 2012 “The Effect of IFRS Adoption on Income
Smoothing Practices by Indonesian Listed Firms” menyimpulkan bahwa perataan laba pada perusahaan yang terdaftar di BEI telah berkurang sejak diterapkannya
IFRS. Trisanti juga menyebutkan bahwa regulator dan pembuat standar di Indonesia harus menyadari bahwa tantangan besar tidak hanya untuk
mengeluarkan standar dan peraturan tetapi untuk memastikan bahwa mereka dapat dengan baik disosialisasikan, diimplementasikan dan diawasi.
Penelitian Rusmin dalam Jurnal bisnis dan akuntansi 2011 dengan judul “Internal Governance Monitoring and Earnings Quality”, disimpulkan bahwa
komisaris independen berpengaruh negatif signifikan terhadap kualitas laba. Selanjutnya pada penelitian Fidio, Ibikunle, dan Oba 2013 dengan judul
“Corporate governance Mechanism and reported Earnings Quality in Listed Nigerian Insurance Firm” juga disimpulkan komisaris independen, dewan
komisaris dan komite audit berpengaruh negatif terhadap kualitas laba. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah
penelitian terdahulu menggunakan komponen good corporate governance sebagai variabel independen dan manajemen laba sebagai variabel dependen, dan
konvergensi IFRS sebagai variabel independen dan manajemen laba sebagai
36
variabel dependen sementara pada penelitian ini peneliti mengggunakan komponen good corporate governance dan konvergensi IFRS sebagai variabel
independen dan manajemen laba sebagai variabel dependen. Selain itu perusahaan yang dijadikan sampel pada penelitian sebelumnya
adalah perusahaan manufaktur, perusahaan perbankan, perusahaan asuransi, sedangkan pada penelitian ini peneliti menggunakan perusahaan BUMN sebagai
sampel penelitian. Perusahaan BUMN sebagai perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah diharapkan dapat menunjukkan penerapan good corporate governance
dan konvergensi IFRS yang baik, sehingga diharapkan dapat mengurangi praktik manajemen laba earnings management.
Berikut ini disajikan table penelitian terdahulu:
Table 2.2 Penelitian terdahulu
No. Nama Peneliti dan Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Hasil Penelitian
1. Ningsaptiti 2010
“Anallisis Pengaruh Ukuran Perusahaan
dan Mekanisme Good Corporate
Governance Terhadap Manajemen Laba”
Dependen: 1. Manajemen
laba Independen:
1. Ukuran perusahaan
2. Konsentrasi kepemilikan
3. Dewan komisaris
4. Spesialisasi industri KAP
5. Komite audit Ukuran perusahaan,
konsentrasi kepemilikan, dan spesialisasi industri KAP
berpengaruh signifikan secara parsial terhadap
manajemen laba, sedangkan dewan komisaris dan komite
audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
manajemen laba.
2. Suryani 2010
“Mekanisme Good Corporate
Governance dan Ukuran Perusahaan
Terhadap Manajemen Dependen:
1. Manajemen laba
Independen: 1. Kepemilikan
institusional Kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan
berpengaruh negatif signifikan secara parsial
terhadap manajemen laba,
37
Laba pada Perusahaan Manufaktur yang
Terdaftar di BEI” 2. Kepemilikan
manajerial 3. Ukuran dewan
komisaris 4. Komposisi
dewan komisaris
5. Komite audit 6. Ukuran
perusahaan sedangkan komite audit dan
komisaris independen tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba.
3. Ujiyanto Pramuka
2007 “Mekanisme
Corporate Governance,
Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan”
Dependen: 1. Manajemen
Laba Independen:
1. Kepemilikan Institusional
2. Kepemilikan Manajerial
3. Dewan Komisaris
Independen 4. Ukuran
Dewan Komisaris
Kepemilikan institusional dan jumlah dewan komisaris
tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba,
sedangkan kepemilikan manajerial berpengaruh
negatif signifikan dan proporsi dewan komisaris
independen berpengaruh positif signifikan. Secara
bersama-sama variabel berpengaruh signifikan
terhadap manajemen laba.
4. Herawaty I Guna
2010 “Pengaruh
Mekanisme Good Corporate
Governance, Independensi Auditor,
Kualitas Audit dan Faktor Lainnya
Terhadap Manajemen Laba”
Dependen: 1. Manajemen
laba Independen:
1. Kepemilikan institusional
2. Kepemilikan manajemen
3. Komite audit 4. Komisaris
independen 5. Kualitas audit
6. Leverage 7. Profitabilitas
8. Ukuran
perusahaan Leverage, kualitas audit, dan
profitabilitas berpengaruh terhadap manajemen laba,
sedangkan kepemilikan institusional, kepemilikan
manajemen, komite audit, komisaris independen,
independensi dan ukuran perusahaan tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba.
5. Cahyati 2011
“Peluang Manajemen Laba Pasca
Konvergensi IFRS” Dependen:
1. Manajemen Laba
Independen: 1. Konvergensi
IFRS Secara teoritis menyimpulkan
standar IFRS yang berbasis prinsip, lebih condong pada
penggunaan nilai wajar, dan pengungkapan yang lebih
banyak dan rinci diharapkan
38
dapat mengurangi manajemen laba. Jadi secara
teoritis konvergensi IFRS diharapkan mengurangi
manajemen laba yang dilakukan perusahaan.
6. Winayu 2013
“Manajemen Laba Sesudah dan Sebelum
Konvergensi IFRS” Dependen:
1. Manajemen Laba
Independen: 1. Konvergensi
IFRS Hasil pengujian yang
dilakukan pada perusahaan selain bank dan lembaga
keuangan menunjukkan ada beda manajemen laba
sebelum dan sesudah IFRS diterapkan, namun
mengindikasikan tidak membuat praktik manajemen
laba berkurang.
7. Marsono 2013
“Analisis Komparasi Kualitas Informasi
Akuntansi Sebelum dan Sesudah
Pengadopsian Penuh IFRS di Indonesia”
Dependen: 1. Kualitas
informasi manajemen
laba, pengakuan
kerugian tepat waktu, dan
metrics niali akuntansi.
Independen: 1. Konvergensi
IFRS Tidak ada perbedaan kualitas
informasi sesudah dan sebelum pengadopsian IFRS,
hal ini disebabkan faktor infrastruktur yang belum
memadai.
8. Rudra 2012
“Does IFRS Influence Earnings
Management? Evidence From India”
Dependen : 1. Manajemen
Laba Independen:
1. Pengadopsian IFRS
Variabel kontrol: 1. Laverage
2. Ukuran
Perusahaan 3. Kepemilikan
Investor Asing 4. Market-to-
book ratio Penerapan IFRS tidak
menjamin akan kualitas laporan keuangan.
Perusahaan dengan market- to-book ratio yang tinggi
cenderung melakukan praktik manajemen laba, laverage ,
ukuran perusahaan dan kepemilikan investor asing
tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
39
9. Widyawati
Angraita 2013 “Pengaruh
Konvergensi IFRS Efektif Tahun 2011,
Kompleksitas Akuntansi, dan
Profitabilitas Kebangkrutan
Perusahaan Terhadap Timeliness dan
Manajemen Laba” Dependen:
1. Audit delay 2. Report delay
3. Manajemen
laba 4. Konvergensi
IFRS 5. Komplesitas
akuntansi 6. Profitabilitas
kebangkrutan Kontrol:
1. Ukuran perusahaan
2. Ukuran KAP 3. Arus kas
operasi 4. Pertumbuhan
penjualan Konvergensi IFRS,
kompleksitas akuntansi, profitabilitas kebangkrutan,
secara parsial berpengaruh positif signifikan terhadap
audit delay dan report delay. Konvergensi IFRS dan
profitabilitas kebangkrutan berpengaruh negatif
signifikan terhadap manajemen laba. Sedangkan
komplesitas akuntansi tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba.
10. Trisanti 2012 “The Effect of IFRS
Adoption on Income Smoothing Practices
by Indonesian Listed Firm”
Dependen : 1. Perataan laba
Independen: 1. Konvergensi
IFRS 2. Ukuran
perusahaan 3. Debt financing
Perataan laba pada perusahaan yang terdaftar di
BEI telah berkurang sejak diterapkannya IFRS.
Ukuran perusahaan berpegaruh signifikan
terhadap perataan laba, Debt financing beprpengaruh
signifikan terhadap perataan laba.
11. Rusmin 2011 “Internal Governance
Monitoring and Earnings Quality”
Dependen: 1. Kualitas Laba
Independen: 1. Komisaris
independen 2. Karakteristik
komite audit 3. Ukuran komite
audit 4. Komite audit
independen Komisaris independen
berpengaruh negatif signifikan terhadap kualitas
laba. Karakteristik komite audit dan komite audit
independen tidak berpengaruh terhadap
kualitas laba. Secara simultan variabel independen
berpengaruh terhadap kualitas laba.
12. Fidio, Ibikunle, Oba 2013
“Corporate governance
Mechanism and Dependen:
1. Kualitas Laba Independen:
1. Dewan
komisaris Komite audit independen dan
auditor eksternal berpengaruh positif terhadap kualitas laba.
Dewan komisaris, komisaris independen, komite audit,
40
Kepemilikan Institusional X1
Komisaris Independen X3
Ukuran Dewan Komisaris X4
Ukuran Dewan Direksi X5
reported Earnings Quality in Listed
Nigerian Insurance Firm”
2. Komisaris independen
3. Komite audit independen
4. Komite audit 5. Auditor
eksternal 6. Ukuran
perusahaan dan ukuran perusahaan
berperngaruh negatif secara persial terhadpa manajemen
laba.
2.3 Kerangka Konseptual dan Hipotesis