Shighat Akad Sahnya Pernikahan Menurut Fiqh
sekiranya ikatan lahir batin itu tidak bahagia, atau pernikahan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
41
Tidak hanya sampai disitu saja, selanjutnya pada pasal 2 ayat 1 dan 2 dinyatakan pula sebagai berikut:
42
Ayat 1 “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing- masing Agamanya dan kepercayaannya itu.”
Ayat 2 “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang- undangan yang berlaku.”
Sesuai dengan pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pernikahan yang telah dilakukan harus dicatatkan. Selanjutnya berdasarkan
pasal tersebut, pencatatan pernikahan bukanlah merupakan syarat yang menentukan sahnya suatu pernikahan. Sekalipun demikian, jika kita perhatikan
dengan seksama penjelasan umum dari undang-undang perkawinan yang menyebutkan, “Dan disamping itu, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang- undangan yang berlaku” serta ketentuan pasal 2 ayat 2 dan
pasal 10 ayat 1 PP Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari undang-undang tersebut, dapat disimpulkan bahwa sekalipun bukan
41
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 53
42
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Keluarga, Cet. 1, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993 h. 32
merupakan syarat sahnya suatu pernikahan, pencatatan memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu pernikahan.
43
Hal ini karena pencatatan merupakan syarat diakui atau tidaknya suatu pernikahan oleh negara dan ini membawa banyak konsekuensi hukum bagi yang
bersangkutan. Selanjutnya, dikatakan dalam penjelasan umum UUP bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa
yang penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat keterangan, dan suatu akta yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
44
Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip
dan memberikan landasan hukum pernikahan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
45
Jika melihat dan membaca pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975, akan memperoleh kesan bahwa babak final dari pelangsungan pernikahan terjadi di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah, dan pegawai tersebutlah yang memberikan keabsahan kepada pernikahan. Oleh karena itu, pencatatan dinilai sangatlah
43
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 56
44
Ibid h. 56-57
45
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 54