Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Islam

pernikahan sirri yang sudah dikenal di masyarakat. Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh atau hukum Islam. Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di Instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang- undangan. 12 Imam Abu Hanifah dan Imam Asy- Syafi’I berpendapat bahwa nikah sirri adalah pelaksanaan akad nikah yang tidak disaksikan oleh saksi yang persyaratannya tidak cukup atau tidak sesuai dengan yang telah disepakati jumhur fuqaha, misalnya saksi terdiri dari satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. 13 Menurut A. Zuhdi Muhdlor, nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan di luar pengetahuan petugas resmi PPNKepala KUA, karenanya pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama, sehingga suami istri tersebut tidak memiliki surat nikah yang sah. 14 Menurut terminologi fiqh Maliki, nikah sirri adalah nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jama’ahnya, sekalipun keluarga setempat. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abdil Barr, yang mengutip 12 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet- 2, Jakarta: eLSAS, 2008 h. 147 13 Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy- Syafi’i, al-Umm, Beirut: al-Ilmiyah, 1993 juz V. h. 35-36 14 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan Nikah, Talak, Ceraidan Rujuk, cet- 1, Jakarta: Al-Bayan, 1994 h. 22 perkataan Abu Umar mengenai Nikah Sirri menurut Imam Malik dan Sahabatnya, yakni: لل اأ ما ل ج ل وهشال ملهيلعل و يل أل وهشالم ت سيل أ لهبل صقيلاملك لوح اعلال ت لرستالىا 15 . Madzhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri. Nikahnya dapat dibatalkan dan kedua pelakunya bisa dikenakan hukuman had dera atau rajam, jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi. Demikian juga Madzhab Syafi’i dan Hanafi tidak membolehkan nikah sirri. Menurut Madzhab Hambali, nikah yang telah dilangsungkan m enurut ketentuan syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh. 16 Istilah sirri sebenarnya berarti sesuatu yang bersifat rahasia atau tertutup. Namun dalam perkembangan kemudian, dikalangan umum ada beberapa persepsiasumsi yang memaknai perkawinan sirri sebagai berikut: a. Pernikahan sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa menggunakan wali atau saksi yang dibenarkan oleh syariat Islam. Para ulama madzhabsepakat 15 Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Abdul Barr An-Namiri, Al-Istidzkar, Beirut: Daar Al- Kitab Al-Ulumiyyah, 2000 Cet-1, Pentahqiq: Salim Muhammad Atho dan Ali Maudh, Juz V, h. 470 16 DR. H. M. Quzwini M.Ag, Perkawinan Siri dalam Perspektif Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diakses dari http:kalsel.kemenag.go.idfilefileJurnalcsdq1384098941.pdf , 22 April 2014 bahwa pernikahan yang semacam ini adalah jelas pernikahan yang tidak sah dan bahkan disamakan dengan perzinahan. b. Pernikahan sirri yakni pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki- laki dan seorang perempuan tanpa melibatkan petugas pencatatan perkawinan atau dapat juga dikatakan tidak dicatat oleh petugas pencatat sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 17

2. Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia

Pernikahan adalah suatu proses hukum, sehingga hal-hal atau tindakan yang muncul akibat pernikahan merupakan tindakan hukum yang mendapat perlindungan secara hukum. 18 Menurut M. Daud Ali, salah seorang ahli hukum Indonesia, mengemukakan bahwa nikah sirri merupakan nikah bermasalah, sebab menurutnya nikah itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sesuatu yang disembunyikan, biasanya mengandung atau menyimpan masalah. Di Indonesia, nikah yang tidak bermasalah adalah nikah yang dilakukan menurut hukum Islam 17 Ibid 18 Syukri Fathudin AW dan Vita Fitria, Problematika Nikah Sirri, dikutip dari http:staff.uny.ac.idsitesdefaultfilesproblematika20nikah20sirri2020syukri- vita20UNY.pdf,13April 2014 seperti disebutkan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dicatat, menurut ayat 2 dalam pasal yang sama. 19 Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah nikah di bawah tangan nikah sirri dan semacamnya dan juga tidak mengaturnya secara khusus dalam sebuah peraturan. Istilah nikah sirri muncul setelah diundangkannya Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam kedua peraturan tersebut dijelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. 20 Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. ” Selanjutnya Pasal 2 ayat2 dikatakan bahwa: ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. ” Ketentuan dari Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974 19 DR. H. M. Quzwini M.Ag, Perkawinan Siri dalam Perspektif Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diakses dari http:kalsel.kemenag.go.idfilefileJurnalcsdq1384098941.pdf , 22 April 2014 20 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan Perundang- Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001. h. 131 tentang perkawinan. Adapun aturan mengenai tata cara perkawinan dan pencatatannya, diatur dalam Pasal 10, 11, 12 dan 13 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ayat 2 disebutkan: “Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya ”. Ayat 3 “Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi ”. Adapun mengenai aturan pencatatan perkawinan dijelaskan dalam Pasal 11 yang pada intinya adalah apabila akta perkawinan sudah ditandatangani, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Sedangkan dalam Pasal 12 mengatur tentang hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan di dalam Pasal 13 dijelaskan lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 3 dikatakan: 1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan yang akan dilangsungkan. 2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. 3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Dengan demikian pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam Undang- Undang Perkawinan hanya diatur satu ayat, namun masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Maka, tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan. 21

B. Akibat Hukum dari Pernikahan Sirri

Menurut hukum Islam, akibat hukum dari suatu pernikahan yang sah antara lain sebagai berikut: 22 1. Menjadi halal melakukan hubungan seksual dan bersenang-senang antara suami istri. 2. Mahar mas kawin yang diberikan menjadi milik sang istri. 3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami istri, suami menjadi kepala rumah tangga dan istri menjadi ibu rumah tangga. 4. Anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan itu menjadi anak yang sah. 21 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004 h. 123 22 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 h. 49

Dokumen yang terkait

Praktek Nikah Tahlil (Studi Pada Desa Suka Jaya Kecamatan Muko-Muko Bathin Vii, Kabupaten Bungo, Jambi)

2 41 74

Praktek nikah wisata di Puncak Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor (Jawa Barat) di tinjau dari hukum islam

1 27 102

Pengaruh Nikah Di Bawah Tangan Terhadapa Psikologis Istri Dan Anak (Studi Kasus Di Kelurahan Cinere Depok)

1 11 0

Penetapan permohonan dispensasi nikah tahun 2012-2014 (studi pada pengadilan agama rengat provinsi Riau)

0 10 0

Itsbat nikah akibat pernikahan di bawah tangan bagi pasangan menikah di bawah umur (studi analisis penetapan pengadilan agama Cibinong Nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn)

4 22 105

Praktik pemberian dispensasi nikah (studi penetapan pengadilan agama Tigarakasa Kabupaten Tangerang tahun 2013)

0 9 0

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR DILIHAT DARI SEGI Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Permohonan Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Dilihat Dari Segi Manfaat Dan Mudharot (Studi Kasus Pengadilan Agama Surakarta

0 2 19

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS DISPENSASI PERMOHONAN NIKAH Tinjauan Yuridis Dispensasi Permohonan Nikah Bagi Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Wonogiri).

0 2 12

NASKAH PUBLIKASI TINJAUAN YURIDIS DISPENSASI PERMOHONAN NIKAH Tinjauan Yuridis Dispensasi Permohonan Nikah Bagi Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Wonogiri).

0 1 17

PERWALIAN ANAK HASIL NIKAH SIRRI( Studi Kasus di Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang)

0 0 90