Bab kedua membahas penikahan menurut fiqh dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimulai dengan pengertian pernikahan dan dasar hukum pernikahan. Kemudian berlanjut kepada pembahasan lebih rinci
mengenai penjelasan sah nya pernikahan menurut perspektif fiqh dan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta penjelasan
mengenai cakap hokum dan batasan umur seseorang.
Bab ketiga membahas mengenai nikah sirri dan dispensasi nikah. Di dalamnya
menjelaskan pengertian nikah sirri, akibat hukum dari melakukan nikah sirri. Serta dispensasi nikah.
Bab keempat membahas tentang analisa mengenai praktek nikah nikah sirri
dengan alasan dibawah umur yang terjadi di Desa Sukamaju, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Termasuk didalamnya profil
umum desa Sukamaju, kedudukan masalah yang terjadi serta analisa penulis terhadap permasalahan.
Bab kelima
adalah Penutup, dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis
lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut
berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.
BAB II PERNIKAHAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Nikah kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti Hukum ialah
„aqad perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang laki-laki dan perempuan.
1
Pernikahan berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syariat dikenal dengan akad
nikah.
2
Nikah, menurut bahasa adalah
عم لا
dan
ّ مضلا
yang artinya kumpul.
3
Kata nikah berasal dari bahasa arab
اكن
yang merupakan masdar atau asal kata kerja
كن.
Sinonimnya
جوزت
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan perkawinan. Kata nikah telah dibakukan menjadi bahasa Indonesia. Oleh
karena itu, kata pernikahan dipergunakan dalam berbagai upacara perkawinan.
4
1
Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Ed. Rev, Jakarta: Ind.Hill-Co, 1990 h. 1
2
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, Cet-1, Penerjemah Abdul Hayyie al- Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011 h. 38
3
M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Ed. 1, cet. 3, Jakarta: Rajawali Pers, 2013 h. 7
4
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Cet-1. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011 h. 10
Kata nikah berarti al-dhammu wattadaakhul bertindih dan memasukkan. Menurut istilah ilmu fiqh, nikah berarti suatu akad perjanjian yang mengandung
kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafazh nikah atau tazwij.
5
Secara syariat, nikah berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh,
mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.
6
Nikah atau jima ’, atau al-wath’, artinya bersetubuh atau bersenggama.
Nikah adalah akad yang mengandung pembolehan untuk berhubungan seks. Dengan demikian, menikahi perempuan makna hakikatnya menggauli istri atau
munakahat, artinya saling menggauli.
7
Atau bisa juga diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki untuk
bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan lelaki.
8
Maksudnya, pengaruh akad ini bagi laki-laki adalah memberi hak kepemilikan secara khusus, maka lelaki lain tidak boleh memilikinya. Sedangkan
5
Ibid
6
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, h. 39
7
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 10
8
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, h. 39