mendukung tuntutan itu kecuali atas dasar kesadaran mantan suaminya dengan jalan musyawarah dengan para kerabat dekatnya.
C. Dispensasi Nikah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dispensasi berarti pengecualian dari peraturan umum untuk suatu keadaan khusus, pembebasan dari suatu
kewajiban atau larangan. Dalam hal ini dispensasi biasanya dibenarkan apa-apa yang biasanya dilarang oleh pembuat Undang-undang. Sedangkan menurut C.S.T
Kansil dan Christine S.T Kansil, dispensasi adalah penetapan yang sifatnya diklaratoir, yang menyatakan bahwa suatu ketentuan Undang-undang memang
tidak berlaku bagi kasus yang diajukan oleh seorang pemohon.
29
Dikatakan juga oleh Subekti dan Tjitrosubono, dispensasi artinya penyimpangan atau
pengecualian dari suatu perintah.
30
Dispensasi nikah itu sendiri mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat 2:
“Dalam Hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi nikah ke Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun wanita.” Yang dimaksud Pengadilan disini adalah Pengadilan Agama bagi mereka
yang beragama Islam tentunya sesuai dengan kewenangan dan kompetensi Peradilan Agama.
29
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Kamus Istilah Aneka Ilmu, cet- 2, Jakarta: Surya Multi Grafika, 2001 h. 52
30
Subekti, dkk, Kamus Hukum, cet- 4, Jakarta: Pramita, 1979 h. 40
Dalam penjelasan umu Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan sebagai berikut: Prinsip Undang-undang ini
bahwa calon suamiistri itu harus siap jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Dari sisi lain, perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Terbukti bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batasan umur seseorang yang menikah pada usia yang lebih matang atau usia yang lebih tinggi.
31
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada aturan hukum yang menjelaskan batasan minimal usia bagi para pelaku nikah
di bawah umur, sehingga dalam hal ini Hakim mempunyai Ijtihad atau pertimbangan hukum sendiri untuk bisa memutuskan perkara permohonan nikah
di bawah umur, dan Hakim mempunyai wewenang penuh untuk mengabulkan sebuah permohonan baik mengabulkan maupun menolak sebuah permohonan
penetapan nikah di bawah umur tersebut.
32
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam hal ini menyimpulkan pendapat bahwa hal ini menjadi suatu kelemahan terhadap
31
K. Wancik Saleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976 h. 30
32
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Jakarta: Kencana, 2007 h. 136