Bergesernya Kedudukan Hak Ulayat di Areal Perkebunan Sumatera Utara

5. Humas : • Membuat selebaran atas izin ketua • Menyampaikan surat-surat yang ditandatangani ketua • Memberi informasi kepada anggota • Menerima keputusan surat masuk keluar 6. Peralatan : • Siap menyediakan perlengkapan • Memberikan keterangan kepada ketua bahwa semua telah siap untuk dilaksanakan 7. Informasi dakwah : • Mencari figur ustad untuk ceramah dan melaporkan kepada ketua • Memberitahukan honor ustazah ketua ataupun bendahara • Siap dipanggil pengurus untuk kepentingan organisasi

4.3 Bergesernya Kedudukan Hak Ulayat di Areal Perkebunan Sumatera Utara

Di Sumatera Utara khususnya di areal PTPN II dan PTPN III, sejak zaman pemerintahan kesultanan hukum adat yang menyangkut mengenai hak atas tanah atau yang disebut sebagai hak ulayat, hidup dan berkembang dalam masyarakat adat. Masyarakat adat Sumatera Utara pada mulanya mengenal cara bertani berpindah-pindah atau yang disebut sebagai berladang reba. Masyarakat bebas membuka hutan, bercocok tanam dan memungut hasil hutan. Masuknya pengusaha perkebunan Belanda ke Sumatera Utara yang mendapatkan tanah dengan hak sewa jangka panjang dari sultan. Keadaan ini mulai menggeser kedudukan hak ulayat, karena tanah hak ulayat mereka telah disewakan oleh sultan kepada pihak perkebunan. Tanah yang biasa dipergunakan oleh masyarakat untuk berladang, bertani dan memungut hasil hutan ketika itu telah menjadi perkebunan. Kemudian masyarakat mengenal cara bertani menetap diatas tanah jaluran yang disediakan oleh pihak onderneming dan dijamin dalam akte konsesi. Pelaksanaan pembagian tanah jaluran telah menimbulkan konflik antara masyarakat dan pihak onderneming, karena pihak onderneming tidak menaati ketentuan dari akte konsensi. Mereka membagikan tanah jaluran kepada pihak pendatang dan buruh perkebunan. Masyarakat penunggu yang berhak atas tanah jaluran menjadi resah dan sejak saat itu pula terjadi konflik dan kedudukan hak ulayat semakin meipis. Sementara itu sultan tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi hak ulayat masyarakat bahkan sultan dan para kerabatnya ikut berkoalisi dengan pihak onderneming dalam rangka memanfaatkan tanah jaluran. Sampai tahun 1933 keluarlah Undang-Undang Hak Erfacht yang mulai berlaku efektif pada tahun 1937, dengan menghapuskan hak ulayat diatas tanah hak erfach dan memberikan hak kontrol sepenuhnya kepada perkebunan tanpa ada tanah jaluran. Pada saat ini kedudukan hak ulayat di Kesultanan Deli telah kehilangan makna dan menimbulkan protes dari kalangan rakyat penunggu. Pada tahun 1942 kedudukan hak ulayat telah menjadi termajinalisasikan, karena Pemerintah Militer Jepang telah menyuruh rakyat untuk menggarap tanah perkebunan termaksud rakyat pendatang dan bekas buruh perkebunan. Konflik mengenai hak ulayat ini terus berlangsung dan tidak dapat diselesaikan secara tuntas,sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Mentri AgrariaKepala BPN No.5 tahun 1999, Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Menurut Pemda Tingkat I Sumatera Utara, Peraturan Mentri Agraria Kepala BPN No.5 tahun 1999, seyogiyanya dapat dijadikan sebagai dasartoalk ukur untuk berbuat sesuatu dalam penyelesaian masalah tanah hak ulayat khususnya di Sumatera Utara. Konsenkuensi dari pernyataan ini berarti bahwa, apabila di areal PTPN dalam kenyataannya masih terdapat hak ulayat,maka kepada masyarakat adanya harus diberikan recognitie dan apabila HGU dari PTPN itu sudah berakhir maka untuk memperpanjang harus terlebih dahulu dimusyawarahkan kepada masyarakat setempat, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Begitu juga sebaliknya jika dalam kenyataan hak ulayat sudah tidak ada lagi, maka pemerintah harus menolak dengan tegas segala bentuk gugatan masyarakat yang mengatasnamakan hak ulayat. Dalam praktek pemerintah banyak memberikan hak pada pengusaha perkebunan besar dimana areal hak guna usaha tersebut diberikan diatas hak ulayat masyarakat yang pelaksanaannya tidak sesuai dengan prosedur yang diatur oleh UUPA dan Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN No. 5 tahun 1999, yakni masarakat hukum yang bersangkutan tidak didengar pendapatnya dan tidak diberi recognitie. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan keadilan dan kepastian hukum. Menurut Aristoteles, pada dasarnya dalam masyarakat harus dijamin adanya keseimbangan mengenai hak dan kewajiban dan tanggung jawab dan mengoreksi setiap ketidakseimbangan dalam komunitas dengan pemulihan kesamaan dalam hal apapun yang ada sebelum kekeliruan berlangsung. Syafruddin:2005

4.4 Profil Informan