Gerakan Para Buruh di Indonesia

tepikat oleh manfaat tersebut dan sumber daya penunjang lainnya. Nanang Martono : 2011 Pespektif Mobilisasi Sumber Daya melihat bahwa masalah dan ketegangan sosial itu sebagai sesuatu yang nyaris melekat didalam masyarakat. Kenyataan bahwa ketidakpuasan seringkali tidak menimbulkan gerakan sosial dan tidak pada tempatnya bila kita menganggap bahwa ketidakpuasan selalu menghasilkan protes. Karena itu, perspektif mobilisasi sumber daya mengajukan tesis baru bahwa organisasi-organisasi gerakan memberikan struktur mobilisasi yang sangat krusial bagi aksi kolektif dalam bentuk apapun. Dengan kata lain, pendekatan ini menyatakan bahwa gerakan sosial muncul sebagai konsekuensi dari bersatunya para aktor dalam cara-cara yang rasional, mengikuti kepentingan-kepentingan mereka, dan adanya peran sentral organisasi dan para kader dan pemimpin profesional untuk memobilisasi sumber daya pada mereka. KSPPM:2008

2.2 Gerakan Para Buruh di Indonesia

Gerakan buruh pasca Soeharto memang telah menyita banyak perhatian masyarakat, termasuk para pengamat. Jika diamati lebih dekat, sebagian besar pemerhati buruh sebenarnya memiliki gambaran suram terhadap gerakan buruh Indonesia. Pertama, sebagian pengamat berargumen bahwa pasca Soeharto, buruh bukanlah kelompok yang solid. Sebagai warisan dari otoritarianisme brutal Soeharto, buruh dilihat terlalu terpecah-pecah dan tidak bisa mendesakkan kepentingannya sebagai kelompok. Buruh tidak memiliki rasa kebersamaan sebagai kelompok dan buruh seringkali justru lebih memperhatikan gaya hidup konsumtifnya sendiri. Kedua, organisasi buruh dianggap tetap lemah meskipun telah lahir peraturan yang menyediakan payung bagi lahirnya berbagai serikat buruh. Bukannya membantu lahirnya organisasi buruh yang independen, peraturan seperti itu justru dianggap sebagai pemecah belah gerakan buruh. Kecenderungan ketiga dalam studi perburuhan sebelumnya adalah dengan menunjukkan kegagalan kelompok buruh dalam pertarungan pemilu. Bagi kelompok pengamat ini, buruh dianggap gagal menancapkan pengaruh politiknya pasca Soeharto. Berbeda dengan pandangan pengamat sebelumnya, tulisan ini berupaya menunjukkan bahwa di tengah himpitan pasar kerja fleksibel, kaum buruh masih tetap gencar melakukan perlawanan melalui aksi-aksi jalanan yang mereka gelar. Menguasai jalan-jalan raya, menduduki kantor-kantor publik, menutup jalan tol, memblokade kawasan industri, merupakan berbagai aksi jalanan yang kian banyak dilakukan buruh. Aksi jalanan nampaknya mulai dipilih buruh sebagai reaksi mereka atas kebebalan penguasa yang dirasa makin terabaikan terhadap nasib buruh. Menurut Muhtar Habibi, 2013. dalam jurnal http : jurnalsospol .fisipol .ugm. ac.idindex. php jsparticleview265, tentang Gerakan buruh pasca Soeharto Pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru, gerakan buruh ternyata memiliki permasalahan kelas ketika proses industrialisasi telah merasuk ke dalam individu buruh itu sendiri khususnya paska jatuhnya pemerintah Orde Baru. Perjuangan serikat pekerja di Indonesia telah mengalami pergeseran dari isu-isu kesejahteraan menjadi perjuangan eksistensial yang hanya sekadar mempertahankan pekerjaannya sendiri. Problem lainnya adalah rendahnya kesadaran berorganisasi di kalangan buruh dan ini terkait dengan warisan depolitisasi Orde Baru yang cukup lama. Pada saat itu hampir semua sektor di depolitisasi, termasuk sektor buruh sehingga para buruh cenderung menghindari persoalan-persoalan politik yang konkret. Meskipun kebebasan untuk membentuk organisasi telah diatur dalam undang-undang, namun bukan berarti dengan serta merta diiringi oleh kemampuan untuk menata pengorganisasian buruh. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya institusi buruh, sejak jatuhnya pemerintah Orde Baru diantaranya adalah tingkat pengangguran yang tinggi sebagai akibat dari krisis ekonomi memberikan pengaruh negatif. Di sisi lain, warisan subordinasi, tekanan dan kontrol yang ketat selama Orde Baru, telah menyebabkan kelas pekerja hanya memiliki sedikit keterampilan dan kemampuan berorganisasi. Kondisi di atas akhirnya menjebak para aktivis buruh untuk terlibat hanya pada persoalan-persoalan spesifik buruh semata. Mereka hanya sibuk dengan urusan-urusan sektoralnya saja dan jarang terlibat dalam persoalan- persoalan kebangsaan yang lebih luas. Sehingga, kebebasan berorganisasi yang dimiliki oleh kaum buruh tidak diiringi dengan penguatannya sebagai kekuatan sosial dan politik dan tetap berada pada posisi yang lemah. Untuk merespon perubahan sisten ekonomi-politik, serikat buruh perlu menata ulang berbagai aspek gerakan. Beragam latar belakang sejarah harus dijadikan sebagai cermin saja untuk tidak mengulangi sejarah kelam buruh. Menurut Muryanto Amin, 2011. Dalam jurnal http:repository.usu.ac.idbitstream123456789467811Jurnal Politeia - Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf, tentang fragmentasi gerakan buruh di Indonesia pasca orde baru Gerakan buruh Indonesia telah sampai pada tahap politieke toestand, yakni sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat. Secara keseluruhan gerakan buruh Indonesia lima tahun terakhir memang bertumbuh pesat. Bahkan, di Asia, Indonesia mendapat pengakuan sebagai yang berkembang pesat. Prestasi mereka mendorong perbaikan jaminan sosial nasional, perbaikan upah minimum, menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional adalah pencapaian bagus. Sayangnya keberhasilan ini belakangan mulai memudar akibat berlanjutnya fragmentasi organisasi buruh. Hampir semua serikat buruh mengalami perpecahan akibat kegagalan mengelola konflik internal organisasi, mengedepankan egoisme, dan menjauh dari pusaran penyatuan gerakan sentrifugal. Yang paling dibutuhkan kini adalah menyatukan kekuatan suara buruh, selanjutnya mengirim pesan tegas kepada elite politik bangsa agar sungguh-sungguh memperbaiki nasib buruh Indonesia termasuk buruh migran. Selagi momentum sedang berpihak kepada Indonesia, pemimpin buruh harus segera berbenah. Pada masa Orde Lama saja pemimpin buruh Indonesia diperhitungkan dalam kancah internasional karena jadi pelaku utama yang melahirkan wadah serikat buruh internasional. Selanjutnya, penguatan kapasitas pengurus sampai di level rata-rata pemimpin buruh dunia lainnya. Pemimpin buruh tak hanya diperlukan untuk perjuangan domestik, tetapi juga internasionalis, mengingat hampir semua ide, bentuk hubungan kerja, dan sistem ekonomi yang merugikan buruh berasal dari kapitalis internasional. academia.eduKondisi_Buruh_di_Indonesia

2.3 Teori Konflik dalam Gerakan Sosial