Dari Kebaktian Sosial Hingga Reaktualisasi Pemikiran Islam
A. Dari Kebaktian Sosial Hingga Reaktualisasi Pemikiran Islam
Memasuki tahun 1966 pihak pengurus pusat IMM telah mengadakan peningkatan aktivis putri IMM yang bernama Up Grading Immawati. 1 Dari penataran ini muncul gagasan untuk membentuk wadah keputrian bagi aktivis putri IMM yang bernama Korps Immawati. Pada era ini gerakan terkenal IMM adalah “ turun ke bawah” ( Turba ) dengan membentuk lembaga kekaryaan seperti Korps Kesehatan dan Korps Seni-Budaya. Korps Kesehatan IMM sering mengadakan program pos klinik kesehatan masyarakat, lomba
bayi sehat dan khitanan massal. 2 Perihal ini disebabkan terdapat aktivis IMM yang studi di Fakultas Kedokteran UGM seperti Sudibyo Markoes dan Mohammad Arif sehingga mendapat akses pengetahuan dalam setiap pengadaan kegiatan kesehatan masyarakat.
1 Farid Fathoni, Kelahiran Yang Dipersoalkan : Dua Puluh Enam Tahun IMM 1964-1990 ( Surabaya: Bina Ilmu,1990), hlm. 166.
2 Wawancara Sudibyo Markoes, 4 Desember 2012, Pkl 14:03 WIB. Di Hotel Grand Kemang, Jakarta.
Kemudian Korps Seni Budaya dengan ketua Syamsu Udaya pernah mengadakan pagelaran seni kolaborasi dengan Teater Muslim milik pengusaha produsen Tempe yaitu Pedro Sudjono di Gedung
Bhakti Jalan Yudonegaran. 3 Koprs Seni Budaya IMM menampilkan paduan suara ( vocal group ) sebagai pembukaan lalu disusul dengan pertunjukan drama dan teaternya. Agenda ini dalam momen penyambutan anggota baru.
Pada era ini anggota IMM bukan berasal dari basis kampus melainkan masih berasal dari basis kampung, dengan tingkat kecamatan disebut kelompok. Di Yogyakarta misalnya yang termasyhur adalah IMM Kelompok Gondomanan dan IMM Kelompok Pakualaman. Sedangkan dikampus IMM hanya memiliki lembaga perwakilan semisal jika di Yogyakarta seperti Perwakilan IMM UGM
dan Perwakilan IMM IAIN. 4
Lalu yang terjadi di HMI IAIN Yogyakarta era 1966 adalah sering mengadakan apel massa di Alun-Alun Utara dalam
3 Wawancara Syamsu Udaya Nurdin, 20 Oktober 2012, Pkl 09:35 WIB. Di Kediamannya Perum Griya Kencana Permai, Blok D2,
N0.13, Sedayu, Yogyakarta.
4 Wawancara Rosyad Sholeh, 9 Oktober 2012, Pkl 10:00 WIB. Di Kantor Badan Pembina Harian ( BPH ), Rektorat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jalan Lingkar Barat Ringroad Tamantirto Kasihan Bantul.
penyambutan anggota baru. 5 Rangkaian agenda apel ini disusul dengan jalan rute panjang secara bersama ( long march ) hingga menuju Klaten. Dari Klaten naik kereta api menuju Solo kemudian kembali ke Klaten dengan angkutan truk dan terakhir jalan kaki kembali menuju Yogya. Para anggota HMI disuruh mengenakan topi kukusan yang terbuat dari bambu kemudian dicat warna hijau
bertuliskan HMI dengan meneriakkan yel-yel ala HMI. Ketika masa ini anggota HMI masih terdaftar tiap rayon yakni dengan basis kecamatan seperti rayon Gondomanan yang diikuti Susilaningsih.
Pada era 1966 ini moda transportasi dalam mobilitas pergerakan mahasiswa menurut Syamsu Udaya dan Susilaningsih adalah menggunakan sepeda kayuh dengan model berbentuk hewan unta sehingga dijuluki dalam bahasa Jawa dikenal sepeda ontho. Jika beramai-ramai atau secara bersama dalam jumlah banyak, mereka menyewa truk atau mobil kap terbuka atau dikenal mobil pick-up.
Antara tahun 1967 hingga akhir tahun 1971 terdapat diskusi jaringan aktivis HMI Yogyakarta yang bernama Lingkaran Diskusi Limited Group yang dibimbing oleh Mukti Ali. Seorang doktor Ilmu
5 Wawancara Susilaningsih Kuntowijoyo, 29 September 2012, Pkl 10:49 WIB. Di Kantor Dosen PAI, Fakultas Tarbiyah, Jalan Laksda Adisucipto Sapen IAIN SUKA Yogyakarta.
Perbandingan Agama IAIN Yogyakarta. Forum diskusi ini diadakan setiap Jumat sore di rumah dinas Mukti Ali. Yakni didalam Komplek
IAIN Sunan Kalijaga Demangan. 6 Penggiat utama dari diskusi ini adalah Ahmad Wahib yang mendokumentasikan kesimpulan berbagai diskusi Limited Group melalui pikiran-pikirannya yang dituangkan melalui catatan hariannya. Ahmad Wahib adalah aktivis HMI Fakultas Ilmu Pasti dan Alam ( FIPA ) UGM. Ia berasal dari Sampang Madura dan tinggal di asrama mahasiswa Realino Katolik.
Selain Ahmad Wahib terdapat penggiat-penggiat HMI Yogyakarta seperti Dawam Rahardjo dari HMI Fakultas Ekonomi UGM dan Djohan Effendi dari HMI Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga. Mereka bertiga sering berdiskusi dengan mengundang para akademisi, wartawan, seniman dan senior HMI seperti Syu’bah Asa, Saifullah Mahyudin, Kuntowijoyo, Rendra, Muin Umar, Kamal
Muchtar, Simuh, dan Wadjiz Anwar. 7 Sedangkan para senior HMI seperti Deliar Noer, Nono Makarim, Lafran Pane, Pranarka, Sutrisno Hadi, Sudjito, dan Karkono. Karena sering mengundang tokoh-tokoh
6 Mukti Ali , “ Kata Pengantar: Ahmad Wahib : Anak Muda Yang Bergulat Dalam Pencarian” dalam Catatan Harian Ahmad Wahib: Pergolakan Pemikiran Islam, Djohan Effendi & Ismed Natsir (ed ) (Jakarta: LP3ES, 1981 ), hlm. 1.
7 Ibid.
akademisi maka mereka mendapat akses untuk mengundang para peneliti asing seperti Boland, Bakker, Niels Mulder, dan James
Peacock. 8 Pada forum diskusi terbatas ini yang dibincangkan adalah masalah kebudayaan, keagamaan, teologi, ideologi, politik, dan institusi-institusi masyarakat yang berpengaruh di Indonesia. Diskusi ini adalah forum bebas, kritis, dan reflektif sehingga tidak heran jika Wahib menulis refleksi atau renungan permasalahan masyarakat dalam catatan hariannya terutama di tahun 1966 hingga
1973. 9 Pada era 1967-1968 forum ini mendalami wacana-wacana sekularisasi, modernisasi, dan westernisasi. Wahib menyebutkan pasca Gestapu yakni pikiran aktivis HMI Yogyakarta memasuki sikap kritis yang punya ide bahwa wacana modernisasi dianggap perlu dalam Islam. Dengan begitu para pimpinan HMI Jawa Tengah dan Yogyakarta terpecah menjadi dua antara yang kontra modernisasi maupun yang pro modernisasi. Pada saat itu Dawam tidak setuju dengan wacana tersebut sedangkan Djohan dan Manshur Hamid
8 Ibid, hlm. 2.
9 Djohan Effendi & Ismed Natsir ( ed ) , Catatan Harian Ahmad Wahib: Pergolakan Pemikiran Islam (Jakarta: LP3ES, 1981 ), hlm. 13-
adalah yang setuju perihal tersebut. Wahib menilai Djohan dan Manshur lebih liberal daripada Dawam, Sularso dan Djoko yang
menempati staf PB HMI. 10 Djoko dan Sularso adalah mantan pengurus HMI Yogyakarta yang diangkat menjadi staf PB HMI perlu mondar-mandir Jakarta-Yogya karena masih kuliah di Yogyakarta. 11 Kedua orang ini jika tiba di Yogyakarta selalu mengadakan diskusi- diskusi. 12 Pertengahan tahun 1967 Djohan Effendi menjadi pemantik diskusi berjudul “ Islam Bukan Ideologi”. 13 Ia menulis paper diskusi tersebut bersama penggiat pusat IMM yang juga aktivis HMI seperti Amien Rais dan Mochamad Arief. Paper Djohan tersebut telah dibawa Sularso ke Jakarta, Dawam juga bilang bahwa terdapat kesimpulan
baru tentang Islam. 14 Menurut Wahib, awal tahun 1968 konsep diskusi terbatas ( limited group ) sudah mulai hilang karena pesertanya dari berbagai kalangan termasuk dari non-muslim. Dan
10 Ahmad Wahib, Catatan Harian Ahmad Wahib: Pergolakan Pemikiran Islam, Djohan Effendi & Ismed Natsir (ed). (Jakarta: LP3ES, 1981 ), hlm. 149.
11 Ibid.
12 Ibid.
13 Ibid, hlm. 150.
14 Ibid.
hubungan HMI Yogyakarta dengan HMI Jateng mulai membaik karena pewacanaannya telah diterima beberapa pimpinan. Ketika bulan Oktober 1967 Wahib diundang sebagai pengisi training
organisasi Islam yang tergabung dalam Amal Muslimin DIY. 15 Dia menyampaikan perihal wacana Islam bukan ideologi, serentak memicu reaksi kontroversi dari para peserta kemudian langsung dijembatani oleh Mukti Ali sebagai pembina.
Wacana “Modernisasi” mulai diterima oleh PB HMI Jakarta pada pertengahan 1967, berkat Sularso dan Djoko yang mondar- mandir Jakarta-Yogyakarta. Tetapi Wahib diberi prasaran oleh PB
HMI Jakarta supaya jangan menggunakan kata “ modernisasi”. 16 Semenjak itu, Wahib memikirkan bahwa wacana sekularisasi sebuah keharusan sedangkan wacana sekularisasi-westernisasi adalah
kekhawatiran. 17 Sementara itu, pada tahun yang sama Djohan terlihat jatuh cinta kepada Sholichah. Seorang aktivis Korps-HMI- Wati ( KOHATI ) bagian Keputrian yang tinggal di Purwokerto. Namun sikap Djohan menjadi pendiam jika bertemu dengan Sholichah. Meski surat-menyurat dengan alasan terdapat acara HMI di
15 Ibid.
16 Ibid, hlm. 151.
17 Ibid.
Kaliurang. 18 Menurut Sholichah, Djohan termasuk tipe pria yang rumit membedakan antara surat cinta dengan nota pemberitahuan HMI.
Berdasar souvernir kenang-kenangan Kohati yang berbentuk plakat bendera mungil. Beberapa souvernir ini dikoleksi Siti Hadiroh ialah aktivis putri Kohati HMI di Fakultas Sastra UGM era 1968 hingga 1969. Bahwa Kohati Cabang Yogyakarta telah mengadakan serangkaian kegiatan penataran tentang keputrian HMI. Dimulai dari penataran “Senior Course” pada tanggal 4 sampai 12 Mei tahun 1968 di daerah Kraguman Klaten. Lalu tanggal 9 hingga 13 September tahun 1968 Kohati mengadakan peningkatan ( upgrading ) sekretariat dan reuni mantan sekretaris di daerah Mlangi. Kemudian tanggal 24 sampai 29 April tahun 1969 upgrading kesekretariatan Kohati di daerah Berbah.
Akhir tahun 1967 hingga 1969 terdapat perbedaan faksi dalam tubuh HMI selain Masyumi. Antara PB HMI Jakarta yang lebih cenderung ke PNI dan HMI Cabang Yogyakarta yang cenderung PSI. Perihal itu masing-masing ada alasannya. PB HMI tidak suka dengan PSI disebabkan ketakutan terhadap nilai-nilai sekular dan
18 Ahmad Gaus, Sang Pelintas Batas : Biografi Djohan Effendi ( Jakarta: Kompas-ICRP, 2009 ) hlm. 83-84.
westernisasi sedangkan HMI Yogyakarta lebih tertarik PSI karena model pengkaderannya berorientasi menuju pengembangan rasio. 19 Pada tahap berikutnya PB HMI menilai HMI Cabang Yogyakarta bahwa tidak punya akar rumput atau basis massa HMI Yogyakarta sangat sedikit. Maka dari itu, Djohan dan Manshur selalu menyebarkan perlunya sedikit personil tetapi kreatif ( creative minority ) untuk menentang penilaian PB HMI Jakarta. Menurut Wahib, pada masa ini HMI mempunyai dua kutub yaitu antara kutub Yogyakarta dengan kutub Jakarta. Jakarta dengan representasi figur Nurcholish beserta koalisi yang mendukungnya yaitu grup Bandung seperti Endang dan Saifuddin karena tulisan “Islamisme” ala Nurcholish sedangkan HMI Cabang Yogyakarta dengan figur Djohan dan Manshur karena wacana sekularisasi dan westernisasi. Pada akhirnya diskursus wacana di HMI Yogyakarta perlahan ke HMI Jakarta. Hingga Nurcholish sebagai ketua PB HMI menyatakan “ jalur
19 Nurcholish Madjid diamati Wahib sebagai pribadi yang tidak suka dengan PSI. Ia lebih dekat dengan faksi Sukiman-Yusuf
Wibisono yaitu tokoh Masyumi yang dekat dengan PNI. Ia tidak suka dengan PSI karena Natsir-Roem-Sjafruddin yang beraliran sosial- demokrat.Bahkan Nurcholish pernah menulis artikel “ Tiada Maaf Bagi Mereka Yang Pernah Bekerjasama dengan PSI “. Lihat dalam Ahmad Wahib, op.cit, hlm. 159-160.
Jakarta-Yogya adalah jalur ide sedangkan jalur Jakarta-Bandung
adalah jalur politik”. 20
Pada bulan Februari tahun 1969, Djohan mulai terbuka dan formal perihal sekularisasi dalam penataran kader HMI di Kaliurang sehingga ia banyak mendapat kecaman dari para peserta. 21 Pada saat itu Dawam belum menunjukkan sikap setuju perihal sekularisasi. Djohan menjadi pemantik dalam sebuah front pertentangan pendapat. Sejak masa perkaderan tersebut, Wahib dan Djohan menjadi lawan bagi aktivis HMI yang menentang westernisasi- sekularisasi. Kedua aktivis ini bahkan dianggap tidak berhak menjadi kader HMI oleh Salman Karim, Imaddudin, dan Endang yaitu
kelompok HMI Bandung. 22 Anggapan tersebut membuat Wahib menjadi kecewa hingga suatu saat menulis catatannya dengan judul “ Sikap Dasar Kaum Intelektual Islam” sambil menulis puisi dalam
catatan hariannya tertanggal 14 Agustus 1969. 23
20 Ibid, hlm. 160.
21 Ibid. hlm. 151.
22 Ibid. hlm. 28.
23 Bait-bait puisi Ahmad Wahib terdapat pada lampiran. ibid, hlm. 34.
Pada telaah catatan Wahib berikutnya adalah menarik dikarenakan sebelum Wahib keluar dari keanggotaan HMI, selain ia punya kebiasaan menulis renungan problematika umat Islam dan HMI. Setidak-tidaknya dari tiga catatan ini yang dimaksud editor sebagai “ Catatan Pergolakan Pemikiran Islam” atau reaktualisasi pemikiran Islam dengan judul-judul catatan sebagai berikut : “ Diam- diam Kita Menganut Sekularisme”, “ Nilai-nilai Lama dan Baru”, “ Haruskah Aku Memusuhi Mereka Yang Bukan Islam Dan Sampai
Hatikah Tuhan Memasukkan Mereka ke Dalam Neraka ?”. 24 Pada catatan Wahib tertanggal 30 September 1969. Ia dan Djohan menyatakan keluar dari keanggotaan HMI. Wahib pun memberikan sebuah memo yang berjudul “ Memorandum
Pembaharuan dan Kekaderan”. 25 Harapan terakhir Wahib adalah bahwa pimpinan HMI tidak perlu memikirkan dia dan Djohan keluar dari HMI akan tetapi memikirkan penyebab dua orang aktivis ini
keluar dari organisasi. 26
Menurut Chumaidi bahwa keluarnya Wahib dan kawan-kawan karena Nurcholish telah menetapkan dua periode untuk tetap
24 Catatan pemikiran Ahmad Wahib . ibid, hlm. 37-39.
25 Ibid. hlm. 44.
26 Ibid. hlm. 45.
menjadi ketua umum HMI pada kepengurusannya sehingga menurut penilaian Wahib dan kawan-kawan perihal tersebut dapat memupus
kaderisasi Jawa Tengah dan Yogyakarta. 27 Perihal ini menurut Chumaidi disebabkan Badan Koordinasi HMI Jawa Tengah dan HMI Cabang Yogyakarta telah mencalonkan Tawangalun sebagai Ketua PB HMI dari periode kedua Nurcholish sesungguhnya menjadi giliran Tawangalun.