Gerakan Mahasiswa Islam Menjelang Orde Baru
A. Gerakan Mahasiswa Islam Menjelang Orde Baru
Pada tahun 1960, Soekarno menyatakan harmonisasi Nasionalisme yang diwakili oleh partainya. Lalu kemenangan politik Islam pihak tradisional yang diwakili PNU dan Komunisme yang diwakili PKI. Harmonisasi politik nasional tersebut dikenal dengan akronim Nasakom. Sementara itu PSI dan Masyumi dilarang oleh
Soekarno karena keterlibatan oknum mereka dalam PRRI. 1 Rasa kekhawatiran Soekarno berbuntut menuduh siapa saja yang aktif dalam PSI maupun Masyumi dianggap terlibat PRRI. Salah seorang ketua HMI Cabang Jakarta yakni Firdaus Wajdi menjadi korban tuduhan tersebut. Karena ia dianggap sebagai Firdaus AN
yang dahulu mantan pimpinan Masyumi. 2 Sulastomo sebagai ketua PB HMI tahun 1963 melayangkan surat klarifikasi atas tuduhan tersebut kepada Soekarno melalui Roeslan Abdulgani yang saat itu menjabat Menteri Koordinasi Perhubungan Rakyat.
1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 ( Jakarta: Serambi,2004), hlm. 529-530.
2 Arsip Nasional Republik Indonesia. “ Kehadapan PJM Presiden Bapak Ir. H. Soekarno di Istana Negara”, PB HMI Djl. Diponegoro 16 Djakarta 1963, Koleksi Roeslan Abdulgani.
Pada tanggal 10 Oktober tahun 1963, terjadi polemik ketegangan antara Islam tradisional dengan Islam modernis. Polemik tersebut terkenal dengan NU-isasi dua IAIN Yogyakarta dan Jakarta. Polemik inilah yang menyebabkan konflik pertama antara HMI dengan PMII hingga kedua pengurus melontarkan surat penyataan. Awal perselisihannya ketika K.H. Saifuddin Zuhri yang menjabat menteri agama dari fraksi PNU telah mengangkat Profesor Soenarjo sebagai rektor IAIN Yogyakarta. Ia seorang akademisi Ilmu Hukum namun tidak ahli dan tidak punya kualifikasi dalam bidang ilmu agama. Soenarjo juga tercatat sebagai fungsionaris Partai NU artinya
mempunyai jabatan ganda. 3 Dan beberapa Ulama NU yang tidak
profesional dalam lingkungan akademik IAIN. 4
Ketegangan terjadi ketika pembacaan laporan tahunan rektor, tiba-tiba pengurus Dewan Mahasiswa IAIN merebut alat pengeras suara dan mengecam tindakan NU-isasi dalam Departemen Agama
3 Arsip Nasional Republik Indonesia. “ Permohonan Normalisasi IAIN Jogja”, Korps Dosen IAIN Sunan Kalidjaga 28 Oktober 1963, Koleksi Roeslan Abdulgani Lampiran Surat Pernyataan PB HMI.
4 Arsip Nasional Republik Indonesia. “ Permohonan Normalisasi IAIN Jogja”, Korps Dosen IAIN Sunan Kalidjaga 28 Oktober 1963, Koleksi Roeslan Abdulgani Lampiran Surat Pernyataan PB HMI.
beserta institusi dibawahnya seperti IAIN. 5 Menurut dokumentasi Fauzan Alfas, pengurus Dewan tersebut adalah aktivis HMI lalu salah seorang anggota PMII juga dipukul.
Sedangkan di Jakarta telah terjadi pada tanggal 17 Oktober 1963, antara pukul 10.00-11.00. Sekitar 500 mahasiswa melakukan unjuk rasa atas nama Komite Mayoritas Mahasiswa IAIN. Mereka mempunyai tuntutan “ IAIN adalah aset Nasional”,“Bukan milik
golongan/partai”, dan “NU-isasi di Depag adalah Kontra-Revolusi”. 6 Lalu mereka menemui rektor Sunardjo beserta dekan-dekannya. Mendengar pergerakan seperti itu, Menteri Syaifuddin Zuhri
memberikan respon sebagai berikut : 7
“Pada saat itu sekelompok mahasiswa IAIN melancarkan kampanye anti NU. Sangat disayangkan sekali, bahwa sebagian besar dari mereka anggota HMI. Dan jika mahasiswa IAIN dari kelompok PMII bangkit membela NU, hal itu bisa dimengerti”
Jika meneliti polemik ini dengan perbandingan arsip yang dikoleksi Roeslan Abdulgani maka HMI dan PMII masing-masing
5 Fauzan Alfas, PMII Dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan ( Jakarta: PB-PMII,2004), hlm. 38.
6 Ibid, hlm. 40.
7 Ibid.
mempunyai argumen dan keputusan tersendiri. Secara kronologis, PMII lebih awal menyampaikan surat pernyataan tertanggal 10 Oktober 1963 dan disahkan ketua Pengurus dan sekretaris satu Cabang PMII Yogyakarta pada saat itu yakni Achmadi Anwar dan
Hamdani Yusuf. 8 Beberapa argumen dan keputusan PMII berikut :
1. Pemukulan mahasiswa IAIN yang menjadi anggota PMII IAIN
2. Bahwa IAIN bukan milik satu golongan
3. Menuntut agar yang berwajib mengambil atas tindakan tersebut
4. Menuntut agar diambil tindakan tegas terhadap golongan atau oknum yang mendalangi peristiwa tersebut
5. Menuntut dibubarkannya Dewan Mahasiswa IAIN periode 1963-1965
6. Mendukung sepenuhnya Rektor IAIN dan Jabatan Menteri Agama
Lalu tanggal 28 Oktober 1963 Pengurus Besar HMI dengan pengesahan Sulastomo dan Mar’ie Mohammad sebagai ketua umum
8 Arsip Nasional Republik Indonesia. “ Pimpinan Tjabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Djl. Djogonegoro 11- Jogjakarta”, Koleksi Arsip Roeslan Abdulgani No. 1091.
dan sekjen PB HMI memberi penjelasan sikap PB HMI terhadap masalah IAIN Yogyakarta dan Ciputat Jakarta sebagai berikut : 9
1. PB HMI telah mengirim komisi penyelidikan fakta ( Fact Finding Commission ) meliputi ketua dan sekjen untuk memperoleh data dan keterangan data selengkapnya
2. Komisi ini telah menemui : pengurus komisariat dan cabang HMI, Korps Dosen, Pimpinan IAIN Yogyakarta, dan Dewan
Kurator
Kemudian berdasar Komisi yang dibentuk PB HMI tersebut mempunyai beberapa pernyataan sebagai berikut :
1. Pengurus Cabang HMI Yogyakarta tidak tahu dan tidak ikut tanggung jawab mengenai peristiwa tersebut
2. Bahwa peristiwa tersebut benar-benar dilakukan mahasiswa IAIN. Yang diorganisir dan merupakan tanggung jawab dari Dewan Mahasiswa IAIN
9 Arsip Nasional Republik Indonesia. “ Pendjelasan Sikap PB HMI Tentang Masalah I.A.I.N Al-Djami’ah Jogjakarta dan Tjiputat Djakarta”, Koleksi Arsip Roeslan Abdulgani No. 1195.
3. Memang diakui secara kebetulan dalam peristiwa tersebut. Telah terlibat beberapa anggota HMI diluar sepengetahuan dan tanggung jawab Pengurus HMI Cabang Yogyakarta
4. Hal ini terbukti dengan tidak adanya pemberitahuan sama sekali mengenai pelaksanaan peristiwa tersebut. Baik kepada pengurus Cabang Yogyakarta maupun kepada PB HMI
5. Peristiwa yang terjadi di IAIN Ciputat Jakarta pada kamis pagi tanggal 17 Oktober 1963 baru diketahui pada sore hari.
Dan masalah tersebut benar-benar masalah internal IAIN
6. PB HMI telah mengeluarkan pernyataan sebelumnya yakni pada tanggal 23 Oktober 1963. Dengan menyatakan : PB HMI tidak dapat membenarkan anggota-anggota HMI yang secara sadar takut bertanggungjawab dalam perencanaan/ pelaksanaan peristiwa-peristiwa tersebut. Hal ini menyangkut keanggotaan dan intern organisasi HMI. PB HMI telah menginstruksikan kepada pengurus Cabang- Cabang setempat untuk tindakan sesuai dengan ketentuan dan prosedur AD/ART HMI
Akan tetapi, dalam surat pernyataan PB HMI telah ditemukan lampiran dari Korps Dosen IAIN tentang permohonan normalisasi
IAIN Yogyakarta pada tanggal 28 Oktober 1963. 10 Permohonan para dosen adalah membebaskan Profesor Soenarjo dari tugasnya karena tidak memenuhi syarat-syarat mental dan ilmiah dalam memimpin IAIN.
Pertama, pencopotan jabatan rektor Soenarjo menurut para dosen mempunyai argumen sebagai berikut :
1. Tidak mengerti dan faham masalah-masalah agama Islam
2. Mempunyai double fungsi. Ia sebagai rektor IAIN juga sebagai fungsionaris PNU yang ditugaskan di IAIN
3. Memimpin IAIN secara otokrasi dan NU-sentris
4. Mengangkat dirinya sebagai Lembaga Tafsir dengan motif komersil bukan dari segi ilmiah sebab dia tidak tahu apa- apa tentang Ilmu Tafsir
5. Karena manipulasi beras terhadap pencatutan nama mahasiswa ia harus masuk NU
Kedua, Kyai NU yang tidak cocok mengajar dengan peraturan IAIN adalah sebagai berikut : Anwar Musadad, Husein Jahja, dan Dimjati Karim. Mereka tidak sesuai karena kedatangan mereka
10 Ibid. Lampiran PB HMI.
mengajar tidak teratur, tidak punya pengalaman sekolah di Perguruan Tinggi, dan tidak ilmiah.
Beranjak pada surutnya Demokrasi Terpimpin menjelang era Orde Baru adalah masa peralihan kekuasaan yang selalu didambakan oleh angkatan 66 dengan harapan terciptanya kesejahteraan rakyat lebih mapan. Namun itu bagaikan impian semata ketika keinginan setiap pemimpin berbeda-beda. Menurut pengamatan Francis Raillon, masa akhir Demokrasi Terpimpin dan menjelang Orde Baru telah semarak dengan radikalisasi kampus. Terutama pada kalangan mahasiswa telah terjadi radikalisasi politik yakni pertengahan tahun 60-an dan disisi lain terjadi peristiwa-
peristiwa akhir tahun 65 dan awal tahun 66. 11 Tahun-tahun itu mahasiswa keluar dari permukaan dan beraksi dalam pentas politik bersamaan dengan peralihan kekuasaan kepada kalangan militer. 12 Masih pada rujukan yang sama yakni berkaitan dengan keterangan Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan yang dikutip Harsya Bachtiar bahwa antara tahun-tahun 50 dan 60-
11 Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia : Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974 (Jakarta:
LP3ES,1989), hlm. 8.
12 Ibid. hlm. 9.
an perguruan tinggi di Indonesia telah mengalami ledakan jumlah mahasiswa. Apabila rentang tahun 1946 hingga 1947 terdaftar 387 mahasiswa maka di tahun 1965 terdapat 280 ribu mahasiswa. Mulanya perkembangan perguruan tinggi negeri dari tahun 60-an berjumlah 37.760, lalu meningkat pada tahun 1963 berjumlah
50.000 kemudian tahun 1964 berjumlah 100.000. 13 Belum lagi ditambah perguruan tinggi swasta yang memenuhi izin pemerintah ataupun sekolah tinggi dan institut kejuruan yang dinaungi berbagai dinas kementerian. Maka pada tahun 1965 telah diperkirakan
280.000 mahasiswa. 14
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia benar- benar membutuhkan tahapan pendidikan tinggi. Lalu jika sebelum tahun 1955 perguruan tinggi hanya mampu mencetak sedikit kaum intelektual Indonesia dan mempunyai pikiran sendiri dalam berpolitik, maka sesudah Pemilihan Umum 1955 para elit partai melihat adanya peluang dalam status kemahasiswaan hingga perguruan tinggi saat itu berubah menjadi panggung politik. Pada masa itu mahasiswa juga membutuhkan kepentingan dan artikulasi
13 Ibid.
14 Ibid.
politik karena pada umumnya berasal dari kalangan menengah ke bawah. Akhirnya secara sistemik, partai politik menindaklanjuti peluang ini dengan membentuk organisasi kemahasiswaan yang
berafiliasi pada mereka. 15
Pada era 60-an ada dua sisi yang menonjol. Mengapa para mahasiswa mengikuti organisasi kemahasiswaan lalu kemudian berpolitik. Jawaban pertama adalah sisi keprihatinan harkat sosial- ekonomi yang saat itu buruk. Kedua, adalah sisi beberapa solusi ideologi yang selalu menawarkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pada masa itu, rakyat Indonesia telah mengalami berbagai macam dialektika ideologi disertai dengan gesekannya seperti : Sosialisme, Komunisme, Pan-Islamisme, Marhaenisme, Liberalisme, Sekularisme, Kapitalisme, Materialisme, Eksistensialisme dan tentu saja Pragmatisme.
Berbagai macam ideologi tersebut juga menjadi prinsip keluarga-keluarga di Indonesia yang melahirkan golongan-golongan kemasyarakatan. Pada saat itu keluarga-keluarga di Indonesia
mempunyai tipologi identitas priyayi, santri, dan abangan. 16 Ketiga
15 Ibid.
16 Clifford Geertz. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa Terj. Aswab Machasin ( Jakarta: Pustaka Jaya,1981). Tipologi ini diperjelas oleh Robert Hefner dengan menyatakan konstruksi 16 Clifford Geertz. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa Terj. Aswab Machasin ( Jakarta: Pustaka Jaya,1981). Tipologi ini diperjelas oleh Robert Hefner dengan menyatakan konstruksi
mahasiswa. 18 Jika keluarganya berasal dari kalangan marhaen atau simpatisan PNI secara langsung si anak yang berstatus sebagai mahasiswa aktif dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (
pemikiran politik dengan mengingatkan tipologi yang dinamis bukan tipologi yang statis. Ricklefs bahkan lebih mengerti asal-usulnya dengan menyatakan varian keagamaan lebih dahulu disebut misionaris Hathorn ( 1857 ) dan Poenson ( 1883 ). Mereka menyebut putihan untuk santri dan abangan. Penelitian Antropologi tersebut telah dikerjakan era 1950an. Berdasarkan penelusuran Bayu Wahyono. “Clifford Geertz, Masyarakat Jawa, Kecelek” dalam Makalah Seminar Great Thinkers, Sekolah Pascasarjana UGM 13 Desember 2012, hlm. 1-2.
17 Menurut penelusuran Mark Woodward tipologi tersebut berdasarkan Ideal Types ala Max Weber. Ia membaca sistem klasifikasi turunan dengan afiliasi sebagai berikut : 1) Santri : ‘True Muslim’, Merchants, Masyumi 2 ) Abangan : ‘Animist’, peasant, proletariat, PKI 3) Priyayi : ‘ Hindu-Buddhist’, Officials, PNI. Lihat dalam Mark Woodward . “Clifford Geertz: Santri-Abangan-Priyayi” dalam Great Thinkers Power Point, Sekolah Pascasarjana UGM 13 Desember 2012, hlm. 6.
18 Tahun-tahun 1960-1965 terdapat perbedaan mencolok tentang ideologi yakni antara abangan dengan santri. Lihat M.C. Ricklefs, op.cit, hlm. 566.
GMNI ), Jika keluarga berasal dari kalangan Komunis maka masuk CGMI, Jika keluarga berasal dari Islam santri maka langsung masuk
HMI, dan begitu seterusnya. 19 Dan pada era 60-an mahasiswa masing-masing mencari identitas golongannya di kampus melalui pilihan organisasi mahasiswa hingga organisasi ekstra-universiter menjadi sangat populer. Maka pengaruh kultural seperti ini dapat disebut politik identitas ideologi.
Kondisi sosial-ekonomi yang buruk juga menjadi alasan utama, mengapa mahasiswa melakukan hal-hal yang radikal di kampus. Dan masalah ini pun diakui Raillon yang mengutip dari Stephen Douglas. Bahwasanya kesulitan ekonomi seperti kenaikan biaya kebutuhan mahasiswa seperti sewa asrama ( kos ), biaya pengobatan, tarif angkutan umum, harga buku, biaya kuliah, biaya ujian, dan biaya hidup keseharian membawa pengaruh besar dalam kehidupan
mahasiswa. 20 Hal ini dijelaskan lebih detail oleh catatan Mochtar Lubis yakni pada tanggal 24 November 1965 pemerintah menaikkan harga bensin dari Rp 4,00 tiap liter Rp 250,00 kemudian pada tanggal berikutnya
19 Wawancara Amien Rais, 23 September 2012, Pkl 18:10 WIB. Di Joglo Kediamannya, Pandean, Condong Catur Sleman Yogyakarta.
20 Francois Raillon, op.cit, hlm. 11.
harga beras di Sarinah menjadi Rp 1.750,00. 21 Masa itu pemerintah terkena inflasi nasional. Lalu imbasnya terhadap kehidupan mahasiswa yakni menurut catatan Soe Hok Gie tanggal 7 Januari 1966 bahwa ketika itu bahan pembicaraan mahasiswa tentang
kenaikan tarif bus yang semula Rp 200,00 menjadi Rp 1.000,00. 22 Menurut Gie, Jakarta pada masa itu menjadi kacau ( chaos ). Karena Soebandrio dan Chairul mengeluarkan kebijakan moneter baru melalui devaluasi rupiah. Yakni dengan menarik peredaran
Rp10.000,00 dan Rp 5.000,00 lalu dipotong 10 persen. 23 Ditambah tidak adanya sarana bank di pedesaan maka terjadi kepanikan yang imbasnya terjadi kemacetan distribusi menuju Jakarta. Terutama nasib petani yang kebanyakan memiliki uang sepuluh ribu. Dan masyarakat perkotaan Jakarta juga panik karena barang-barang telah habis diserbu. Maka secara langsung harga
barang naik hingga semuanya sistem satu rupiah. 24 Menurut Gie,
21 Mochtar Lubis, Catatan Subversif (Jakarta: Sinar Harapan,1980), hlm. 399.
22 Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran (Jakarta: LP3ES,1983), hlm. 159.
23 Ibid. hlm. 167.
24 Ibid. hlm. 168.
krisis ini benar-benar dimanfaatkan oleh PKI yang mengambil untung dari peristiwa-perisriwa tersebut.
Maka secara sistemik, yang telah terjadi di Yogyakarta pada tahun-tahun tersebut juga sama. Menurut keterangan Amien Rais bahwa kenaikan harga sebungkus nasi gudeg hingga Rp 500,00
karena beras sulit didapatkan. 25 Ia menambahkan pengalamannya, ketika itu mahasiswa yang mampu membawa beras sebanyak 15 Kg dari desanya ke asrama ( kos ) telah dianggap luar biasa. Menurut dia, keadaan mahasiswa di Yogyakarta pada masa itu memang serba prihatin baik secara penampilan maupun keuangan. Dan ia juga menuturkan bahwasanya pendapatan Indonesia per kapita pada masa itu hanya pada kisaran 80 $ hingga 100 $ setiap tahun.
Karena kondisi sosial-ekonomi yang begitu buruk maka para aktivis mahasiswa telah mempunyai pemikiran kritis terhadap pemerintahan Soekarno. Janji-janji presiden tentang kemerdekaan sejati dianggap kontradiktif terhadap kenyataan kehidupan sehari-
hari. 26 Pada akhirnya kalangan aktivis mahasiswa menyatakan
25 Wawancara Amien Rais, 23 September 2012, Pkl 18:10 WIB. Di Joglo Kediamannya, Pandean, Condong Catur Sleman Yogyakarta.
26 Francois Raillon, op.cit, hlm. 12.
menjadi juru bicara rakyat atas nama kondisi sosial-ekonomi yang buruk.