diajukan oleh penggugat maupun rekonvensi yang diajukan para tergugat.
2. Putusan Hakim
1.
Dalam Eksepsi: a.
Mengabulkan Eksepsi dari Tergugat III; b.
Menyatakan gugatan Penggugat premature.
2.
Dalam provisi :
a.
Menyatakan tuntutan provisi dari Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima.
3.
Dalam pokok perkara :
a.
Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima Niet onvankelijk verklaard.
4.
Dalam konvensi :
a.
Menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima Niet onvankelijk verklaard.
5.
Dalam rekonvensi:
a.
Menyatakan gugatan Penggugat dalam .RekonpensiTergugat III dalam Konpensi tidak dapat diterima Niet onvankelijk verklard.
6.
Dalam konvensi dan rekonvensi:
a.
Menghukum Penggugat
dalam KonpensiTergugat
dalam Rekonpensi untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam
perkara ini yang ditaksir sebesar Rp. 722.000,00 tujuh ratus dua puluh dua ribu rupiah.
C. Analisis Putusan
Majelis Hakim pada Putusan Nomor: 329 Pdt.G 2012 PN.Jkt.Tim memiliki satu pertimbangan utama dalam menjatuhkan putusannya, yaitu:
1. Menyatakan bahwa sebelum Penggugat mengajukan gugatan terhadap
Para Tergugat dalam perkara a quo seharusnya Penggugat harus terlebih dahulu mengadukan kasus tersebut ke MKDKI untuk menilai apakah
tindakan Tergugat III telah lalai dalam memberikan pelayanan medis. Pada pertimbangan yang pertama hakim pada intinya mengatakan
bahwa hakim tidak berwenang dalam menentukan seorang dokter telah melakukan malapraktik karena pelanggaran terhadap disiplin kedokteran
merupakan kewenangan MKDKI. Sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya, bahwa pada pertimbangan ini hakim menginterpretasikan
ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Konsil Nomor 4 Tahun 2011 tentang disiplin profesional dokter dan dokter gigi yang menyebutkan bahwa
“Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia MKDKI adalah merupakan
lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran
dan kedokteran gigi dan menetapan sanksi. ” Menurut kepada ketentuan
tersebut maka hakim memutus bahwa gugatan penggugat premature dan tidak dapat diterima karena seharusnya penggugat melakukan gugatan terlebih
dahulu ke MKDKI. Setelah para tergugat dinyatakan bersalah oleh MKDKI barulah gugatan tersebut dapat diajukan ke pengadilan negeri.
Apabila melihat yurispudensi yang ada, pada putusan Mahkamah Agung Nomor: 515 PK Pdt 2011 yang memutus sengketa antara Pitra
Azmirla dan Damitra Almira selaku keluarga dari pasien dengan Rumah Sakit Pondok Indah bersama ke 6 enam dokter yang mendiagnosis danatau
mengobati pasien
dalam pengangkatan
tumor ovarium
sehingga menyebabkan pasien meninggal. Pada pertimbangannya hakim melihat
bahwa hasil diagnosis CT-Scan yang dilakukan ke 6 enam dokter tadi menyatakan bahwa pasien menderita tumor jinak dan setelah pengobatan
kondisi pasien terus menurun. Selanjutnya pihak keluarga pasien melakukan CT-Scan di rumah sakit lain dan mendapatkan hasil diagnosis yang berbeda
yakni pasien mengalami kanker ganas. Karena terlambatnya penanganan kanker ganas tersebut mengakibatkan pasien meninggal. Hakim menilai
apabila diagnosis dokter Rumah Sakit Pondok Indah tidak salah maka pasien dapat diselamatkan karena akan diobati dengan pengobatan untuk kanker
ganas dan bukan tumor jinak. Para dokter yang tidak teliti dalam melakukan diagnosis tersebut diputus oleh hakim telah melakukan perbuatan melawan
hukum dalam medis malapraktik medis. Dalam yurispudensi ini hakim tidak menyatakan gugatan penggugat premature meskipun tidak didasari oleh
putusan MKDKI. Hakim mendasarkan putusannya pada hasil diagnosis CT- Scan dan persangkaan terhadap pasal 1365 KUH Perdata.
Menurut penulis pada Putusan Nomor: 329 Pdt.G 2012 PN.Jkt.Tim terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dalam
pertimbangan hukum yang menyatakan gugatan penggugat premature karena
hakim tidak berhak menentukan suatu dokter telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum dalam medis melainkkan MKDKI. Pendapat
penulis juga didasarkan pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 66 ayat 1 yang menyebutkan bahwa
“Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat
mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
” Selanjutnya dalam ayat 3 disebutkan pengaduan “Sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghilangkan hak
setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang danatau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
” Hal ini juga senada dengan yurisprudensi putusan 287PDT.G2011P.JKT.PST
yakni mengenai gugatan malapraktik medis yang diajukan orang tua pasien karena anaknya berinisial ND diduga telah menjadi korban malapraktek
medis oleh 7 tujuhdokter di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo RSCM. Pada pertimbangannya orang tua korban selaku penggugat telah mengajukan
pengaduan ke MKDKI tekait kasus malapraktek medis yang di alami ND, kemudian dibalas dengan oleh MKDKI dengan surat MKDKI nomor:
250UMKDKIII2011 yang menjelaskan bahwa meskipun MKDKI belum memutus apakah ke 7 tujuh dokter yang melakukan pembedahan tanpa
persetujuan penggugat informed consent adalah perbuatan malapraktek medis. Hal tersebut tidak menghilangkan hak penggugat untuk mengajukan
gugatan ke pengadilan baik seara pidana maupun perdata. Dalam