yurisprudensi tersebut jelas bahwa ada atau tidaknya suatu putusan MKDKI yang menyatakan seorang dokter telah melakukan malapraktek medis, korban
atau keluarganya tetap bisa menggugat dokter tersebut ke pengadilan negeri. Penulis berpendapat seharusnya hakim dalam perkara nomor: 329 Pdt.G
2012 PN.Jkt.Tim menolak eksepsi dari para tergugat dan melanjutnya kasus tersebut sampai pada pokok perkara.
D. Pertanggungjawaban Dokter terhadap Malapraktik Medis
Untuk melihat bagaimana pertanggungjawaban dokter terhadap malapraktik medis, maka harus di lihat terlebih dahulu apakah para tergugat
telah melakukan malapraktik medis atau tidak dengan menganalisis alasan dari tuntutan penggugat yang pada pokoknya sebagai berikut :
1. Kelalaian dalam penanganan medis yang dilakukan oleh dokter karena
setelah melakukan kateterisasi pemeriksaan untuk melihat apakah ada kelainan pada jantung dengan membuat lubang kecil pada pembuluh
darah, penyedotan darah beku, pemasangan ring jantung dan alat pacu jantung terhadap pasien justru kondisi pasien semakin memburuk dan
mengakibatkan kematian; 2.
Rekam medis yang diberikan oleh tergugat I tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269MENKESperIII2008;
3. Pelanggaran pada Pasal 77 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran yang dilakukan oleh tergugat III dan tergugat II karena menghadirkan perwakilan untuk melakukan pertemuan
dengan pihak penggugat bukan merupakan karyawan atau pegawai dari tergugat I dan tergugat II;
4. Dokter yang menangani pasien di Rumah Sakit Primier tidak memiliki
surat izin praktik. Pada poin pertama, para tergugat membantah tuduhan penggugat
karena dokter sebelum melakukan tindakan telah mendapat persetujuan dari pasien informed consent. Dokter dalam hal ini telah melakukan usaha yang
sebaik-baiknya namun dokter tidak dapat menjanjikan hasil yaitu berupa kesembuhan sehingga perbuatan dokter dianggap sebagai risiko medis.
Namun, para tergugat tidak membantah alasan penggugat bahwasanya setelah dilakukan pengobatan terhadap pasien yaitu kateterisasi dan pemasangan ring
pada jantung tetapi pasien mengalami serangan jantung lalu diobati kembali dengan pemasangan ring tambahan, penyedotan darah beku dan pemasangan
alat pompa jantung, namun kondisi pasien semakin menurun sehingga dokter menyarankan kepada keluarga pasien untuk membawa pasien ke Rumah Sakit
Harapan Kita karena merupakan rumah sakit khusus jantung sehingga memiliki fasilitas yang lengkap. Pasien mengalami serangan jantung kedua
sebelum dipindahkan dan meninggal. Di dalam Pasal 51 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 jo
Pasal 58 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 disebutkan bahwa “Dokter wajib merujuk penerima pelayanan kesehatan ke tenaga kesehatan
lain yang mempunyai keahlian dan kemampuan yang lebih baik apabila tidak mampu dalam hal pemeriksaan dan pengobatan pasien.
” Seharusnya, dokter
Harmani Kalim setelah melakukan pemeriksaan dengan kateterisasi dan tidak sanggup untuk mengobatinya langsung merujuk ke Rumah Sakit Harapan
Kita yang lebih lengkap fasilitasnya bukan mencoba untuk mengobati pasien sampai 2 dua kali namun justru mengakibatkan kondisi pasien memburuk
lalu pada akhirnya baru merujuk pasien ke rumah sakit lain yang memadai. Kedua, penggugat mendalilkan bahwa isi rekam medis tidak sesuai
dengan Pasal 3 ayat 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 MENKES PER III 2008 yaitu isi rekam medis yang lengkap dan bukan berupa
ringkasan. Dalam jawaban tergugat mendalilkan Pasal 12 Ayat 3 dan 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 MENKES PER III 2008 yang
pada pokonya menyebutkan bahwa isi rekam medis yang dapat diberi, dicatat atau dicopy oleh pasien adalah dalam bentuk ringkasan medis.
Penulis menganggap alasan tergugat sangat mendasar karena dalam hal ini penggugat meminta untuk mendapatkan isi rekam medis secara
lengkap sedangkan yang didapat hanya berupa ringkasan medis yang berisi diagnosa masuk, diagnosa keluar, jenis tindakanoperasi, ringkasan saat
masuk, ringkasan perawatan, dan ringkasan keluar. Dalam undang-undang tidak dijelaskan mengenai format baku dalam ringkasan medis sehingga apa
yang telah di lakukan tergugat telah sesuai dengan undang-undang. Ketiga, dalam jawaban tergugat mendalilkan bahwa isi dari Pasal 77
Undang-Undang Praktik Kedokteran pada pokoknya menyebutkan “Setiap
orang dapat dipidana apabila dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau tanda registrasi dokter gigi danatau surat izin
praktik ”. Perwakilan yang dikirim oleh para tergugat untuk melakukan
perdamaian dengan pihak penggugat adalah resmi. Menurut penulis tuntutan yang diajukan penggugat disini tidak jelas
karena Pasal 77 Undang-Undang Praktik Kedokteran merupakan larangan bagi seseorang yang berpura-pura sebagai dokter resmi dalam rangka
mengobati pasien dan bukan dalam proses penyelesaian masalah secara kekeluargaaan. Karena dalam proses penyelesaian masalah secara
kekeluargaan para tergugat dapat mengirim perwakilannya siapapun orangnya baik afiliasi dari tergugat I dan tergugat II serta dokter Karmani Halim selaku
tergugat III maupun kuasanya yang dibuktikan dengan surat kuasa. Keempat, dalam jawaban tergugat terkait dengan dokter Harmani
Kalim pada saat mengobati pasien surat izin praktiknya sudah habis masa berlakunya dan belum diperpanjang didasarkan pada Pasal 38 ayat 2
Undang-Undang Praktik Kedokteran juncto Pasal 14 Ayat 1 Permenkes Nomor 2052 mengatur tentang pemberlakuan Surat Izin Praktik selanjutnya
disebut sebagai “SIP” dan Surat Tanda Registarasi selanjutnya disebut sebagai “STR” yang menyebutkan bahwa SIP berlaku sepanjang STR masih
berlaku dan tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Kemudian
berdasarkan tanggal 12 September 2011 tentang Legalitas Izin Praktik Bagi Dokter Gigi Yang Dalam Proses Registrasi Ulang SE Menkes, menyatakan