Pertanggungjawaban Hukum Dokter Terhadap Malapraktik Medis (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor 329/Pdt.G/2012/Pn.Jkt.Tim)

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh Sukarno Putra NIM 1112048000051

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S

P R O G R A M S T U D I ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2016 M, x + 71 halaman.

Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Pertanggungjawaban Dokter Terhadap Malapraktik Medis dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim. Dari permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui tentang pertanggungjawaban dokter yang dapat digugat pasien korban malapraktik dengan menelaah Kitab Undang Hukum Perdata, Undang Perlindungan Konsumen, dan Undang-undang lain yang terkait. Serta bertujuan untuk melihat apakah hakim dalam memutus perkara malapraktik telah sesuai atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan melihat pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 329/Pdt.G.2012/PN.Jkt.Tim sebagai bahan pertimbangan analisis atas permasalahan yang akan diteliti.

Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian yuridis normatif

dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),

pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case

approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim yaitu sengketa antara Erwina Indarti dan Prihasto Wibowo (Penggugat) melawan RS Primier Jatinegara, Ramsay Health Care Indonesia dan Prof. Harmani Kalim SpJp(K) (Tergugat).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban dokter terhadap pasien korban malapraktik medis dalam bentuk ganti rugi masih belum ditegakkan dengan baik. Hal itu disimpulkan dari pertimbangan dan putusan hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim yang dinilai tidak tepat. Karena itu hakim dalam memutus harus melihat peraturan perundang-undangan secara keseluruhan. Eksepsi yang diajukan oleh para Tergugat seharusnya ditolak dan para Tergugat yang telah melanggar kewajiban dokter dalam peraturan perundang-undangan harus memberikan ganti rugi kepada Penggugat selaku pasien.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban dokter, malapraktik medis,

perlindungan konsumen.

Pembimbing : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Ahmad Bahtiar, M.Hum.


(6)

vi

Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang hanya dengan hidayah dan

nikmat-Nyalah skripsi berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PETUGAS

PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP MALAPRAKTIK MEDIS (Analisis

Putusan Pengadilan Negeri Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim)” dapat diselesaikan

dengan baik. Penelitian ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Salawat dan salam semoga tetap selalu tercurahkan pada Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabatnya.

Tidak mudah bagi penulis untuk membuat karya seperti ini dikarenakan berbagai keterbatasan yang dimiliki, namun hal ini penulis jadikan sebagai motivasi rangkaian pengalaman hidup yang berharga. Selesainya penelitian ini tidak terlepas elaborasi keilmuan yang penulis dapatkan dari kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat :

1. Dr. Asep Saepudin Djahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN


(7)

vii

berupa saran dan masukan material terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.

3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., dan Ahmad Bahtiar, M.Hum., selaku dosen

pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan saran, arahan, masukan, dan bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

khususnya Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas.

5. Kedua Orang Tua tercinta yaitu Drs. Muhammad Rudy, M.B.A., dan Liliana

yang selalu mendoakan, mencintai, memberi dukungan baik moral maupun material kepada penulis serta menjadi motivasi penulis sekaligus menjadi inspirasi dalam kehidupan penulis.

6. Kakak dan Adik penulis yaitu Nurlaila, S.Ked., Muhammad Rafky

Satriansyah, dan Muhammad Ridwan yang telah memberikan semangat dan dukungan baik moral maupun material kepada penulis hingga dapat terselesaikannya skripsi ini.


(8)

viii

8. Semua pihak yang telah berkontribusi dalam pengerjaan skripsi ini baik secara

moral maupun material.

Akhir kata penulis berharap semoga segala bentuk kontribusi tersebut akan menjadi amal baik di sisi Allah Swt.

Wassalamualikum Wr. Wb.

Jakarta, 30 September 2016


(9)

ix

JUDUL SKRPSI ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Tinjauan Kajian (Review) Terdahulu ... 7

E. Metode Penelitian ... . 8

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI ... 13

A. Pengertian Malapraktik Medis ... 13

B. Syarat dan Unsur Malapraktik Medis ... 15

C. Hak Pasien dan Kewajiban Dokter..... 17


(10)

x

BAB III TINJAUAN UMUM PERTANGGUNGJAWABAN

DOKTER TERHADAP MALAPRAKTIK MEDIS ... 28

A. Pertanggungjawaban Dokter terhadap Malapraktik

Medis Ditinjau dari Hukum Perdata ... 28

B. Pertanggungjawaban Dokter terhadap Malapraktik

Medis Ditinjau dari Hukum Perlindungan Konsumen ... 35

C. Pertanggungjawaban Dokter terhadap Malapraktik

Medis Ditinjau dari Hukum Praktik Kedokteran ... 37

D. Pertanggungjawaban Dokter terhadap Malapraktik

Medis Ditinjau dari Hukum Pidana ... 39

E. Pertanggungjawaban Institusi Pemberi Layanan

Kesehatan terhadap Malapraktik Medis...40

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PETUGAS

PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP

MALAPRAKTIK MEDIS (Analisis Putusan Pengadilan

Negeri Nomor 329/ Pdt.G/ 2012/ PN.Jkt.Tim) ... 43 A. Posisi Kasus ... 43


(11)

xi

BAB V PENUTUP ... 66 A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan. Tanpa hidup yang sehat, hidup manusia menjadi tanpa arti, sebab dalam keadaan sakit, manusia tidak bisa melakukan kegiatan

sehari-hari dengan baik atau seperti keadaan yang normal.1 Kesehatan juga

merupakan hak asasi manusia yang sangat mendasar dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan dalam kegiatan berbangsa dan bernegara karena merupakan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 dan sila ke-5 Pancasila.

Pemerintah selaku pemangku kepentingan (stakeholder) yang

berwenang dalam penyelenggaraan, pengawasan, dan regulasi di bidang kesehatan harus menjamin kesehatan setiap warganya dengan menyusun

regulasi-regulasi untuk menciptakan sistem kesehatan nasional.

Pemerintah melalui sistem kesehatan nasional, berupaya

menyelenggarakan kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dan dapat diterima serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat luas,

guna mencapai derajat kesehatan yang optimal. 2 Seringkali terjadi

malapraktik medis di Indonesia yang menimbulkan kerugian besar bagi

1

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju, 2001), h. 35.

2 Bahder Johan Nasution,

Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta: Rineke Cipta, 2005), h. 2.


(13)

pasien sehingga pemerintah harus melakukan upaya-upaya dalam melindungi pasien. Upaya preventif dari pemerintah terhadap malapraktik medis dengan membentuk Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang merupakan bagian dari hukum kesehatan, ditujukan agar hak-hak pasien lebih dapat dilindungi oleh undang-undang. Hukum kedokteran tersebut bertumpu pada dua hak asasi

manusia, yaitu hak atas pemeliharaan kesehatan (the right to healthcare)

dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determination

atau zelf-bechikkingsrecht).3Sedangkan upaya koersif pemerintah adalah dengan menghukum dokter untuk bertanggungjawab terhadap pasien apabila terbukti melakukan malapraktik baik melalui pengadilan maupun jalur lain yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Dokter merupakan ujung tombak untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Masyarakat sebagai pasien mempercayakan fisik bahkan jiwanya kepada dokter dengan harapan penyakitnya dapat disembuhkan. Namun, sebagai manusia biasa dokter juga memiliki kekurangan dan dapat membuat kesalahan. Kesalahan tersebut diakibatkan oleh kesalahan (professional misconduct) atau ketidakcakapan yang tidak dapat diterima (unreasonable lack of skill) yang diukur dengan ukuran yang terdapat pada tingkat keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikan pada setiap situasi dan kondisi di dalam komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan keahlian rata-rata atau dikenal

3 Hermien Hadiati Koeswadji,

Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), h.6.


(14)

dengan sebutan malapraktik.4 Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada 182 kasus kelalaian medis atau malapraktik yang terbukti dilakukan dokter di

seluruh Indonesia.5 Data malapraktik medis yang terjadi menunjukkan

lemahnya pengawasan praktik kedokteran di Indonesia.

Ketika malapraktik terjadi, sering timbul dua anggapan yang bertentangan, yaitu pada pihak korban yang dalam hal ini merupakan masyarakat awam yang memunculkan isu adanya dugaan malapraktik (ketidakprofesionalan dokter dalam menjalankan profesinya), sedangkan dari pihak dokter dan tempat pelayanan kesehatan meyakini bahwa hal tersebut bukanlah malapraktik karena pelayanan yang diberikan sesuai standar yang mengacu pada peraturan perundang-undangan, kode etik

kedokteran Indonesia (KODEKI). 6 Bahkan, minimnya pengetahuan

masyarakat mengenai ilmu kedokteran terkadang membuat mereka tidak sadar bahwa telah menjadi korban malapraktik.

Pada dasarnya kesalahan atau kelalaian dokter (malapraktik medis) dalam melaksanakan profesi medis, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan. Akibat kesalahan atau kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat merugikan. Selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter juga menimbulkan

4

Cecep Triwibowo, Etika Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), h.262.

5“G Wi iso o,

Sampai Akhir 2012 Terjadi 8 Kasus Malapraktek”, artikel di akses pada 22 Januari 2016 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2013/03/25/058469172/sampai-akhir-2012-terjadi-182-kasus-malpraktek.

6 Jusuf Hanafian dan Amri Amir,

Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008), h. 14.


(15)

kerugian pada pasien.7 Kerugian-kerugian yang dialami oleh masyarakat selaku konsumen timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen (rumah sakit dan dokter) dengan konsumen (pasien), maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan produsen. 8 Kerugian tersebut berupa bertambah parahnya

penyakit pasien, cacat bahkan hingga kematian.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya di tulis KUH Perdata) mengatur mengenai pertanggungjawaban yang dapat digugat oleh pasien terhadap dokter yang diduga melakukan malapraktik baik dari segi wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Selain itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha termasuk di bidang jasa pelayanan kesehatan. Konsumen jasa pelayanan kesehatan (pasien) yang merasa rugikan oleh pelaku usaha (dokter) dapat menggugat pertanggungjawabannya yang diatur dalam pasal khusus pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Rumah sakit sebagai penyelenggara kesehatan juga tidak dapat dipisahkan dalam masalah pertanggungjawaban dokter karena sudah menjadi kewajiban rumah sakit menjamin pelayanan yang diberikan oleh dokter secara optimal. Oleh karena itu, penting bagi pasien untuk mengetahui

7

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta: Rineke Cipta, 2005), h. 5.

8 Advendi Simanggungsong dan Elsi Kartika Sari,

Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), h. 159.


(16)

pertanggungjawaban apa saja yang dapat dimintakan atau digugat apabila dokter diduga melakukan malapraktik medis.

Kasus yang penulis akan bahas ini tentang Dokter Harmani Kalim selaku dokter di rumah sakit Primier Jatinegara yang melakukan praktik dengan surat izin praktik dokter yang telah habis masa berlakunya serta melanggar kewajiban dokter dengan tidak merujuk pasien Waludjo Sedjati ketika tidak mampu melakukan pengobatan kepada pasien hingga akhirnya menyebabkan kematian. Institusi pemberi layanan kesehatan juga bertanggung jawab terhadap dokter dibawah pengawasannya. Berdasarkan permasalahan itu, maka penulis membuat skripsi yang berjudul

“Pertanggungjawaban Hukum Dokter Terhadap Malapraktik Medis (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor 329/Pdt.G/2012/PN. Jkt.Tim).

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Mengingat penelitian tentang pertanggungjawaban dokter terhadap malapraktik medis sangat luas, oleh karena itu peneliti membatasi pembahasan penelitian hanya pada pertanggungjawaban dokter terhadap malapraktik medis dengan melihat peraturan perundang-undangan yang berlaku mengacu pada putusan Pengadilan Negeri Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim.

2. Perumusan Masalah


(17)

telah dipaparkan, dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana analisis terhadap putusan hakim dalam Putusan

Pengadilan Negeri Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim ?

b. Bagaimana pertanggungjawaban dokter dalam Putusan Pengadilan

Negeri Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana analisis terhadap putusan hakim

dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor

329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim;

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban dokter dalam Putusan

Pengadilan Negeri Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim.

2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Manfaat Teoretis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai apa yang dimaksud dengan malapraktik medis dan pertanggungjawaban dokter yang dapat di gugat oleh pasien.

b. Manfaat Praktis


(18)

masukan bagi para pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan untuk memahami pertanggungjawaban dokter yang dapat di gugat oleh pasien untuk mengembalikan hak-haknya.

D. Tinjauan Kajian (Review) Terdahulu

Skripsi mengenai, “Perlindungan Hukum bagi Pasien Korban

Malpraktek (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Jakata Barat Nomor

287/Pdt.G/2011)” oleh Verina Pradita Agusti, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Skripsi ini membahas sengketa malapraktik dengan meganalisis putusan nomor: Putusan Pengadilan Negeri Jakata Barat Nomor 287/Pdt.G/2011. Dalam skripsi ini, penulis memiliki beberapa pembeda dengan skripsi sebelumnya. Pertama, penulis menitikberatkan penelitian terhadap pertanggungjawaban dokter dan rumah sakit yang dapat digugat pasien dalam malapraktik medis. Kedua, peraturan yang penulis gunakan lebih lengkap. Ketiga, putusan yang dipergunakan adalah Putusan Pengadilan

Negeri Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim. Keempat, penulis

menganalisis terkait metode penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memutus perkara.

Skripsi mengenai, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Malpraktik Medik Yang Dilakukan Oleh Dokter Di Kota Makassar” oleh

M Firmansyah Pradana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar. Skripsi ini membahas sengketa malapraktik dengan studi lapangan terhadap dokter di Makassar dari segi pidana. Perbedaan


(19)

penelitian ini dengan penulis lakukan berada pada pembahasan sengketa malapraktik dari segi hukum perdata dan perlindungan konsumen serta

objek penelitian yakni Putusan Pengadilan Negeri Nomor

329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim.

Buku mengenai, “Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter” oleh Oemar Seno Adji, penerbit Airlangga, Jakarta. Buku ini membahas teori kode etik kedokteran dan pertanggungjawaban pidana dalam malapraktik medis. Dalam skripsi penulis memiliki pembeda dengan buku tersebut. Penulis membahas pertanggungjawaban perdata dan perlindungan konsumen dalam malapraktik medis.

Jurnal ilmiah mengenai, “Pertanggungjawaban Pidana Oleh Dokter

Yang Melakukan Tindak Malpraktek” oleh Sandy Vatar Simanjuntak,

Fakultas Hukum, Univesitas Atmajaya, Yogyakarta. Jurnal ilmiah ini membahas pertanggungjawaban pidana oleh dokter yang melakukan malapraktik medis. Perbedaan penelitian ini dengan penulis lakukan berada pada pembahasan mengenai pertanggugjawaban dari segi hukum perdata dan perlindungan konsumen oleh dokter yang melakukan malapraktik medis yang tidak dibahas dalam penelitian ini.

E. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang


(20)

bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan

jalan menganalisanya.9 Dalam analisa ini yang menjadi objek analisis

adalah putusan pengadilan negeri.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan

yang berlaku di masyakarat.10

2. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuan-ketentuan perundangan-undangan yang berlaku dan

mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat11. Bahan hukum

primer dalam penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Negeri Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang

9 Soerjono Soekanto,

Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI, 1986), h. 43.

10

Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesiam 1979), h.18.

11 Soerjono Soekanto.,

Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h.52.


(21)

Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Peraturan Konsil Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Disiplin; Profesional Dokter dan Dokter Gigi, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis, Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.HK/MENKES/1920/IX/2011 Tentang Legalitas Izin Praktik Bagi Dokter/Dokter Gigi Yang Dalam Proses Registrasi Ulang.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

c. Bahan Non-Hukum (Tersier)

Bahan non-hukum (tersier) adalah bahan di luar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non-hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi, Filsafat atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.

Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk


(22)

3. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber non-hukum yang telah didapatkan itu kemudian dikumpulkan berdasarkan rumusan masalah dan diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya.

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat

umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.12

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun

2012”. Adapun perinciannya sebagai berikut :

Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian, dan

sistematika penulisan;

Bab kedua berisi tetang landasan teori yang meliputi pengertian

12

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang, Bayumedia Publishing, Cet-II 2006). h. 393


(23)

malapratik medis, syarat dan usnur malapraktik medis, hak pasien dan

kewajiban dokter, standar profesi dan standar prosedur, informed consent,

transaksi terapeutik dan risiko medis.

Bab ketiga berisi tentang tinjauan umum pertanggungjawaban dokter terhadap malapraktik medis yang meliputi pertanggungjawaban

dokter terhadap malapraktik ditinjau dari hukum perdata,

pertanggungjawaban dokter terhadap malapraktik medis ditinjau dari hukum pidana, pertanggungjawaban dokter terhadap malapraktik ditinjau dari hukum perlindungan konsumen, pertanggungjawaban dokter terhadap

malapraktik ditinjau dari hukum praktik kedokteran dan

pertanggungjawaban penyelenggaran kesehatan terhadap malapraktik medis;

Bab keempat berisi tentang analisis pertanggungjawaban hukum dokter terhadap malapraktik medis (analisis putusan Pengadilan Negeri Nomor 329/ Pdt.G/ 2012/ PN.Jkt.Tim yang meliputi posisi kasus, pertimbangan dan putusan hakim, analisis putusan, pertanggungjawaban dokter terhadap malapraktik medis;

Bab kelima berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian serta memberikan masukan berupa saran-saran terhadap penerapan pertanggungjawaban dokter terhadap malapraktik medis.


(24)

13

A. Pengertian Malapraktik Medis

Malapraktik berasal dari kata “mala” artinya salah atau tidak semestinya, sedangkan praktik adalah proses penanganan pasien dari seorang profesional yang sesuai dengan prosedur kerja yang telah

ditentukan oleh kelompok profesinya.1 Secara harfiah, istilah malapraktik

(malpractice/malapraxis) artinya praktik yang buruk (bad practice),

praktik yang jelek.2The term malpractice has a broad connotation and is

employed generally to designate bad practice, sometimes called malapraxis, in the treatment of a patient,3 yang artinya adalah istilah malapraktik mempunyai sebuah konotasi yang luas dan umumnya digunakan untuk menunjuk praktik yang buruk, kadang-kadang disebut malapraxis, dalam pengobatan seorang pasien. Malapraktik diartikan sebagai suatu penyimpangan dalam menjalankan suatu profesi yang dapat terjadi pada profesi apa pun, seperti profesi advokat dan akuntan.

Dalam dunia kedokteran, penyimpangan dalam menjalankan

profesi dokter dikenal dengan malapraktik medis (medical malpractice).

Pengertian istilah malapraktik medis menurut World Medical Association,

medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the

1 Soekidjo Notoatmodjo,

Etika & Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 167

2

Hermin Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998), h.123

3 Emanuel Hayt,

Legal Aspects of Medical Record, (Illi ois: Physi ia s’ Re ord Co pa y,


(25)

standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient, yang artinya malapraktik medis melibatkan kegagalan dokter memenuhi standar perawatan untuk pengobatan kondisi pasien, atau kurangnya keterampilan, atau kelalaian dalam memberikan pelayanan

kepada pasien, yang merupakan penyebab langsung dari cedera pasien.

Di dalam buku “Malpraktik Kedokteran” oleh Adami Chazawi

dijelaskan mengenai standar umum dalam menilai malapraktik medis. Standar umum menyangkut tiga aspek sebagai satu kesatuan untuk melihat kelakuan malpraktik kedokteran dari sudut hukum yang dapat membentuk pertanggungjawaban hukum, yakni sikap batin pembuat, aspek perlakuan

medis, dan aspek akibat perlakuan.4 Sikap batin pembuat yang dimaksud

adalah apakah seorang dokter yang terbukti melakukan malapraktik medis

dilakukan secara sengaja (dolus) atau kelalaian (negligence). Aspek

perlakuan medis adalah perlakuan yang meliputi pemeriksaan, cara pemeriksaan, alat yang dipakai pada pemeriksaan, wujud perlakuan terapi, maupun perlakuan untuk menghindari kerugian dari salah diagnosis terapi apakah perlakuan medis tersebut telah sesuai dengan standar profesi kedokteran, standar prosedur operasional, kode etik kedokteran (KODEKI) dan kebutuhan medis pasien. Aspek akibat perlakuan merupakan akibat yang merugikan pasien, baik secara fisik, mental maupun nyawa pasien. Munir Fuadi merinci akibat malapraktik kedokteran yang salah tindak, rasa

4


(26)

sakit, luka, cacat, kematian, kerusakan pada tubuh, jiwa, atau kerugian lain

yang diderita oleh pasien selama proses perawatan.5

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan malapraktik medis adalah dokter atau orang yang ada dibawah perintahnya dengan sengaja atau kelalaian melakukan perbuatan dalam praktik kedokteran pada pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur, prinsip-prinsip profesional kedokteran, atau dengan

melanggar hukum karena tanpa informed consent, atau di luar informed

consent, tanpa surat izin praktik atau tanpa surat tanda register, tidak

sesuai dengan kebutuhan medis pasien dengan menimbulkan (causal

verband) kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, mental, dan atau nyawa pasien sehingga menimbulkan pertanggungjawaban hukum bagi dokter.

B. Syarat dan Unsur Malapraktik Medis 1. Syarat Malapraktik Medis

Selain adanya kerguian yang diderita pasien, terdapat syarat-syarat yang menjadi penyebab timbulnya malapraktik kedokteran sehingga dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum ialah

sebagai berikut:6

a. Dilanggarnya standar profesi kedokteran;

b. Dilanggarnya standar prosedur operasional;

c. Dilanggarnya informed consent;

5

Munir Fuadi, Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), h. 2

6


(27)

d. Dilanggarnya rahasia dokter;

e. Dilanggarnya kewajiban-kewajiban dokter;

f. Dilanggarnya prinsip-prinsip profesional kedokteran atau

kebiasaan yang wajar di bidang kedokteran;

g. Dilanggarnya nilai etika dan kesusilaan umum;

h. Praktik dokter tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien;

i. Dilanggarnya hak-hak pasien.

2. Unsur-unsur Malapraktik Medis

Suatu perbuatan atau sikap dokter dianggap suatu

kelalaian/malapraktik apabila memenuhi empat unsur dibawah ini,

yaitu:7

a. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu

tindakan medis atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu;

b. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut; c. Damage atau kerugian yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh

pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan;

d. Direct causa reliationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya

7 Budi Sampurna, dkk,

Bioetik dan Hukum Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Dwipar, 2007), h. 92


(28)

merupakan penyebab aktif (proximate cause).

Unsur-unsur yang telah dijelaskan bersifat kumulatif, artinya penyimpangan dokter tidak dapat disebut malapraktik apabila tidak memenuhi ke empat unsur. Dalam gugatan ganti rugi terhadap malapraktik medis, apabila salah satu unsur diantaranya tidak dapat dibuktikan maka gugatan tersebut dinilai tidak cukup bukti.

C. Hak Pasien dan Kewajiban Dokter 1. Hak Pasien

Pengaturan mengenai hak-hak pasien diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan kode etik kedokteran. Pasien sebagai seorang konsumen jasa pelayanan kesehatan memiliki hak yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu:8

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan

barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang

dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

8 Janus Sidabalok,

Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandun: PT Citra Aditya Bakti, 2014), h. 32-33


(29)

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyebutkan mengenai hak-hak pasien yaitu:

a. Setiap orang berhak atas kesehatan;

b. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses

atas sumber daya di bidang kesehatan;

c. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan

kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau;

d. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab

menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya;

e. Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi

pencapaian derajat kesehatan;

f. Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi

tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab;

g. Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data

kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Pengaturan mengenai hak pasien diatur lebih lanjut di dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, yaitu:

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

d. Menolak tindakan medis; dan

e. Mendapatkan isi rekam medis.

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), telah

juga dirumuskan ketenttuan tentang hak-hak pasien sebagai berikut:9

a. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati

secara wajar;

b. Hak memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai

dengan standar profesi kedokteran;

c. Hak memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari

9


(30)

dokter yang mengobatinya;

d. Hak memperoleh penjelasan diagnosis dan terapi yang

direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik;

e. Hak memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan

diikutinya;

f. Hak menolak atau menerima keikutsertaanya dalam riset

kedokteran;

g. Hak dirujuk kepada dokter spesialis apabila diperlukan dan

dikembalikan kepada dokter yang merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau tindak lanjut;

h. Hak kerahasiaan dan rekam medisnya atas hak pribadi;

i. Hak berhubungan dengan keluarga, penasihat atau rohaniwan dan

lain-lainnya yang diperlukan selama perawatan;

j. Hak memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap,

obat, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Rontgen,

Ultrasonografi (USG), CT-Scan, Magnetic Resonance Immaging

(MRI), dan sebagainya.

2. Kewajiban Dokter

Sama seperti hak-hak pasien, kewajiban dokter juga diatur di beberapa peraturan perundang-undangan dan kode etik kedokteran. Dokter dalam hal ini dokter dikatakan sebagai pelaku usaha karena menyediakan jasa pelayanan kesehatan kepada pasien (konsumen). Oleh karena itu, dokter memiliki kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau


(31)

dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Di dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran diatur mengenai kewajiban dokter, yaitu:

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai

keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,

bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,

kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran atau kedokteran gigi.

Pengaturan mengenai kewajiban dokter diatur lebih lanjut di dalam Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, yaitu:

a. Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi,

standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan penerima pelayanan kesehatan;

b. Memperoleh persetujuan dari penerima pelayanan kesehatan atau

keluarganya atas tindakan yang akan diberikan;

c. Menjaga kerahasiaan kesehatan penerima pelayanan kesehatan;

d. Membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokmen tentang

pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan

e. Merujuk penerima pelayanan kesehatan ke tenaga kesehatan lain

yang mempunyai kompetensi dan kewenangan yang sesuai. Kewajiban dokter juga diatur dalam Pasal 14, 15, 16 dan 17 KODEKI, yang berbunyi:


(32)

a. Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/ keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu;

b. Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar

senantiasa dapat berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam beribadat dan atau penyelesaian masalah pribadi lainnya;

c. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang

diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu

wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

D. Standar Profesi dan Standar Prosedur

Dalam Pasal 51 Huruf a Undang-Undang Praktik Kedokteran jo Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang Kesehatan, mewajibkan dokter untuk mengikuti standar profesi dan standar prosedur operasional dalam

menjalankan profesinya.10 Salah satu cara untuk membuktikan apakah

suatu perbuatan dokter termasuk dalam kategori malapraktik dilihat dari apakah tindakan-tindakan dokter tersebut tidak memenuhi standar profesi dan standar proesedur operasional kedokteran.

Leenen dan van der Mijn ahli hukum kesehatan Belanda berpendapat bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga

kesehatan perlu berpegang pada tiga ukuran umum, yaitu:11

1. Kewenangan;

2. Kemampuan rata-rata; dan

10

Adami Chazawi, Malapraktik Kedokteran, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 28

11 Wila Chandrawila Supriadi,

Hukum Kedokteran, (Bandung: CV Mandar Maju, 2001), h. 52


(33)

3. Ketelitian yang umum.

Penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Praktik Kedokteran menerangkan bahwa standar profesi medis adalah batasan kemampuan (knowledge, skill, and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.

Leenen menjelaskan tentang standar profesi kedokteran sebagai berikut :

1. Berbuat secara telilit/seksama;

2. Sesuai ukuran ilmu medis;

3. Kemampuan rata-rata dibanding kategori keahian medis yang sama;

4. Situasi dan kondisi yang sama;

5. Sarana upaya yang sebanding dengan tujuan konkrit tindakan

perbuatan tersebut.12

Disamping standar profesi yang harus diturut dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan, Pasal 50 Undang-Undang Praktik Kedokteran juga menyebutkan standar prosedur operasional. Pengertian standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan

12 Budiya to, “ta dar Profesi , Artikel diakses pada 4 Juli 6 dari


(34)

kesehatan (hospital) berdasarkan standar profesi.13

E. Informed Consent

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan

terhadap pasien.14Informed consent sangatlah penting mengingat tidak ada

yang dapat menduga hasil akhir dari pelayanan kedokteran. Dalam

informed consent, dokter menjelaskan mengenai diagnosis penyakit pasien, terapi yang akan di lakukan serta risiko-risikonya. Pasien secara bebas dapat menolak atau menyetujui terapi tersebut.

Dengan persetujuan informed consent oleh pasien secara tidak

langsung telah memberikan persetujuan kepada dokter untuk dilakukan terapi kedokteran dengan segala risikonya. Apabila dalam terapi kedokteran tersebut menimbulkan kerugian kepada pasien seperti luka, cacat dan meninggal maka dokter tidak dapat dituntut selama memenuhi standar profesi dan standar prosedur karena termasuk dalam kategori risiko medis.

Informasi dan penjelasan dalam informed consent dianggap cukup,

apabila telah mencakup beberapa hal dibawah ini, yaitu :15

1. Tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang akan dilakukan;

13

Adami Chazawi, Malapraktik Kedokteran, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 35

14

Budi Sampurna, dkk, Bioetik dan Hukum Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Dwipar, 2007), h. 79

15


(35)

2. Tata cara tindakan medis yang akan dilakukan;

3. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;

4. Alternatif tindakan medis lain yang tersedia serta risikonya

masing-masing;

5. Prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut dilakukan;

6. Diagnosis.

Undang-Undang Praktik Kedokteran menentukan persetujuan pasien dapat diberikan secara tertulis atau lisan, namun dalam praktik

informed consent dapat dilakukan secara diam, sikap pasrah.16 Persetujuan tertulis menjadi mutlak terhadap praktik kedokteran yang memiliki risiko tinggi. Namun, dalam kondisi tertentu seperti keadaan darurat, pasien tidak sadarkan diri dan dibawah pengampuan maka persetujuannya dapat ditunda sampai pasien sadar atau meminta persetujuan kepada keluarga pasien.

F. Transaksi Terapeutik

Menurut seorang pakar hukum H.H. Koeswadji, transaksi

terapeutik adalah perjanjian (verbintenis) untuk mencari atau menentukan

terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter dan tenaga kesehatan. Sedangkan menurut Veronica Komalawati, transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan

16 Veronika Komalawati,

Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), h.110


(36)

keterampilan tertentu dibidang kedokteran.17

Didasarkan mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 434/MEN.KES/X/1983 Tentang Berlakunya Kode Etik

Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, maka yang di maksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana percaya, serta senantiasa diliputi

oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.18 Hubungan

yang didasarkan kepercayaan jarang diwujudkan dalam bentuk kontrak tertulis.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313 menyebutkan, suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengikatan diri antara pasien dengan dokter diawal dengan persetujuan pasien terhadap pengobatan atau terapi yang ditawarkan dokter dalam rangka

penyembuhan (informed consent).

Perikatan hukum dokter dengan pasien termasuk suatu jenis

perikatan hukum yang disebut inspanningverbintenis19atau perikatan

usaha.20 Artinya, suatu bentuk perikatan yang isi prestasinya adalah salah

17

Cecep Triwibowo, Etika Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), h.62

18 Cecep Triwibowo,

Etika Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), h.62

19

Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaaban Pidana Dokter, (Jakarta: Erlangga, 1991), h.109

20 Marjanne Termorhuizen,

Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Jambatan, 1999), h.181


(37)

satu pihak (dokter) maka harus berbuat sesuatu secara maksimal dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya kepada pihak lain (pasien).

Kewajiban pokok seorang dokter terhadap pasiennya adalah inspanning,

yakni suatu usaha keras dari dokter tersebut yang harus dijalankan dan

yang diperlukan untuk menyembuhkan kesehatan dari pasien.21

Transaksi terapeutik antara dokter dan pasien bukan termasuk

perjanjian resultaats karena objek perjanjian bukan hasil pelayanan medis

oleh dokter, tetapi tingkah laku atau perlakuan pelayanan medis yang di

lakukan dokter. Dokter tidak mampu menjamin hasil akhir.22

G. Risiko Medis

Perlu dibedakan antara malapraktik medis dengan risiko medis pada tindakan/pelayanan medis. Risiko medis merupakan suatu cedera yang terjadi dalam suatu tindakan medis, yang tidak dapat dibayangkan/diperkirakan sebelumnhya dan bukan sebagai akibat dari kekurangcakapan di pihak dokter melainkan sebuah takdir, dan dokter

tidak betanggungjawab secara hukum.23

Suatu perbuatan dokter yang dikategorikan risiko medis adalah apabila dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur dan/atau standar pelayanan medis yang baik namun tetap terjadi cedera pada pasien yang di luar dugaan.

21

Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaaban Pidana Dokter, (Jakarta: Erlangga, 1991), h.109

22 Bahar Azwar,

Sang Dokter, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2002), h.50

23


(38)

Keadaan semacam ini seharusnya disebut dengan risiko medis, dan risiko ini terkadang dimaknai oleh pihak-pihak diluar profesi

kedokteran sebagai medical malpractice. Untuk katagori risiko medis

ini, dokter tidak bisa langsung disalahkan karena apa yang dilakukan sudah sesuai dengan standar profesi. Sedangkan untuk

medical malpractice itu sendiri adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar profesi medis dan etika kedokteran dalam menjalankan profesinya. Untuk ini dokter dapat diminta pertanggungjawabannya baik secara pidana, perdata, perlindungan konsumen, maupun kode etik.


(39)

28

A. Pertanggungjawaban Dokter terhadap Malapraktik Medis Ditinjau dari Hukum Perdata

Dari sudut hukum perdata, hubungan hukum dokter – pasien berada

dalam suatu perikatan hukum (verbintenis).1 Perikatan artinya hal yang

mengikat subjek hukum yang satu terhadap subjek hukum yang lain.2

Perikatan tadi melahirkan hak dan kewajiban kepada dokter dan pasien yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak. Disamping melahirkan hak dan kewajiban para pihak, hubungan hukum dokter-pasien juga membentuk petanggungjawaban hukum masing-masing. Bagi pihak

dokter, prestasi berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam hal ini (in

casu) tidak berbuat salah atau keliru dalam perlakuan medis yang semata

ditujukan bagi kepentingan kesehatan pasien adalah kewajiban hukum yang sangat mendasar dalam perjanjian dokter-pasien (perjanjian terapeutik) yang dalam Pasal 39 Undang-Undang Praktik Kedokteran

disebut sebagai kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien.3

Dilihat dari sumber lahirnya perikatan, ada dua kelompok perikatan hukum, kelompok pertama ialah perikatan yang lahir oleh suatu

1

Adami Chazawi, Malapraktik Kedokteran, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 41

2 Abdulkadir Muhamad,

Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1982),h. 5

3


(40)

kesepakatan dan kedua ialah perikatan yang lahir oleh undang-undang. Hubungan hukum dokter-pasien berada dalam kedua jenis perikatan hukum tersebut. Bentuk perlindungan hukum terhadap korban malapraktik oleh dokter yang diatur dalam KUH Perdata, yaitu berupa pengaturan pertanggungjawaban dokter yang melakukan malapraktik untuk memberikan ganti rugi kepada korban malpraktek atas kerugian yang timbul karena : a. Tidak ditepatinya perjanjian terapeutik yang telah disepakati oleh dokter atau wanprestasi (cidera janji), yaitu berdasarkan Pasal 1243 KUH Perdata. b. Perbuatan melawan hukum, yaitu berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. c. Kelalaian atau ketidakhati-hatian dalam berbuat atau bertindak, yaitu berdasarkan Pasal 1366 KUH Perdata. d. Melalaikan kewajiban berdasarkan Pasal 1367 Ayat (3) KUH Perdata. Pelanggaran kewajiban hukum dokter dalam perikatan hukum karena kesepakatan (perjanjian terapeutik) membawa suatu keadaan wanprestasi. Pelanggaran suatu kewajiban hukum atas kewajiban hukum dokter karena undang-undang membawa suatu keadaan

perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).4 Penjelasan mengenai

malapraktik kedokteran karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dari segi perdata adalah sebagai berikut:

1. Wanprestasi dalam Malapraktik Kedokteran

Hubungan dokter dengan pasien selalu diawali dengan transaksi terapeutik, yaitu dokter berjanji untuk melakukan upaya

4


(41)

yang maksimal dengan ukuran tidak menyimpang dari standar profesi medis dan standar prosedur operasional dalam menyembuhkan pasien.

Wanprestasi (wanprestatie) dalam arti harfiah adalah prestasi

yang buruk5 yang pada dasarnya melanggar isi/kesepakatan dalam

suatu perjanjian/kontrak oleh salah satu pihak. Bentuk nyata

pelanggaran perjanjian ada 4 macam yakni sebagai berikut: 6

a. Tidak memberikan prestasi sama sekali sebagaimana yang

diperjanjikan;

b. Memberikan prestasi tidak sebagaimana mestinya tidak sesuai

kualitas atau kuantitas dengan yang diperjanjikan;

c. Memberikan prestasi tetapi sudah terlambat tidak tepat waktu

sebagaimana yang diperjanjikan;

d. Memberikan prestasi yang lain dari yang diperjanjikan semula.

Wanprestasi dokter yang paling dekat pada bentuk pelanggaran kewajiban pada poin b dan d. Dokter telah memberikan prestasi berupa pelayanan medis pada pasien tetapi tidak sebagaimana mestinya, yakni melanggar standar profesi medis atau standar prosedur termasuk dalam wanprestasi poin b. Dokter yang memberikan prestasi tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien

adalah wanspretasi poin d.7

Selain melanggar isi perjanjian, dalam wanprestasi juga harus

5

Subekti, HukumPerjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 1985), h. 45

6 Subekti,

HukumPerjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 1985), h. 45

7


(42)

terkandung unsur kerugian yang diakibatkan dari malapraktik

kedokteran secara causal verband (akibat langsung). Setelah terbukti

adanya kerugian, baru pada bagaimana wujud perlakuan medis yang dilakukan oleh dokter, baik pada saat pemeriksaan untuk mendapatkan fakta-fakta medis untuk menarik diagnosis dan menjalankan terapi sampai pada perlakuan-perlakuan setelah terapi dijalankan.

Dokter yang terbukti melakukan wanprestasi dalam

malapraktik medis dapat diminta pertanggungjawabannya lewat gugatan wanprestasi. Pertanggungjawaban tersebut diatur dalam pasal 1243 KUH Perdata yakni dokter harus memberikan penggantian biaya dan kerugian. Biaya adalah segala bentuk pengeluaran pasien seperti biaya berobat, biaya perjalanan dan biaya perawatan. Kerugian merupakan pengurangan fungsi atau kehilangan sesuatu seperti tangan pasien yang cacat sehingga tidak bisa bekerja.

Tuntutan atas dasar wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum tidak begitu saja dapat ditukar-tukar. Wanprestasi menuntut adanya suatu perjanjian antara pasien dan dokter. Sebaliknya pada perbuatan melanggar hukum, biasanya penggugat dan tergugat baru pertama kali bertemu ini tidak berarti bahwa apabila kedua belah pihak telah mengadakan perjanjian dan kemudian timbul kecelakaan lalu mereka hanya dapat menuntut atas dasar wanprestasi saja. Karena dapat terjadi, dalam kejadian tidak terpenuhinya suatu kewajiban kontrak medis


(43)

juga menimbulkan suatu perbuatan melanggar hukum atau dengan kata lain wanprestasi mungkin terjadi pada waktu yang sama menimbulkan juga suatu perbuatan melanggar hukum.

Secara teori malapraktik medis dapat dituntut melalui gugatan wanprestasi. Namun, pada praktiknya tuntutan malapraktik medis diajukan dengan gugatan perbuatan melawan hukum. Hal ini dikarenakan objek yang diperjanjikan di dalam perjanjian terapeutik merupakan usaha dokter yang sebaik-baiknya dalam menyembuhkan pasien dengan tolak ukur standar profesi dan standar prosedur. Berbeda apabila dokter memberikan janji atas perbaikan kondisi atau kesembuhan pasien. Standar profesi sendiri merupakan bentuk perikatan yang lahir dari undang-undang yang pelanggarannya dianggap perbuatan melawan hukum. Karena tolak ukur dari perjanjian terapeutik umumnya merupakan undang-undang maka pada tataran praktik malapraktik medis digugat dengan dasar perbuatan melawan hukum dan bukan dengan wanprestasi.

2. Perbuatan Melawan Hukum dalam Malapraktik Kedokteran

Dalam Pasal 1353 KUH Perdata disebutkan perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, muncul dan suatu perbuatan yang sah atau dan perbuatan melawan hukum. Maksud dari pasal tersebut adalah perikatan yang berdasarkan undang-undang timbul dari perbuatan seseorang yang sesuai maupun bertentangan dengan undang-undang.


(44)

Syarat bagi seseorang untuk dapat dikatakann telah

melakukan perbuatan melawan hukum adalah :8

a. Adanya perbuatan (daad) yang termasuk klasifikasi perbuatan

melawan hukum;

b. Adanya kesalahan si pembuat;

c. Adaya akibat kerugian (schade);

d. Adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian (oorzakelijk

verband atau causal verband) orang lain.

Di dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran jo Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan diatur mengenai kewajiban dokter mengatur tentang kewajiban dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar prosedur, etika perofesi, dan kebutuhan medis pasien. Apabila seorang dokter melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut maka dikatakan telah melanggar perikatan yang lahir dari undang-undang dan melakukan perbuatan melawan hukum.

Dalam Pasal 1366 KUH Perdata dijelaskan bahwa seorang dokter juga harus bertanggung jawab tidak terbatas hanya pada perbuatannya saja melainkan juga kerugian yang disebabkan akibat kelalaiannya atau kesalahannya.

Seorang dokter yang terbukti melakukan malapraktik medis

8


(45)

dapat dimintakan pertanggungjawabannya melalui gugatan perbuatan melawan hukum. Pertanggungjawaban dokter medis yang melakukan malapraktik medis dari segi perbuatan melawan hukum dijelaskan dalam Pasal 1365, 1370, 1371 KUH Perdata yaitu mewajibkan dokter yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti

biaya pengobatan dan melakukan penggantian kerugian tersebut.9

Kerugian atau damages dapat diklasifikasikan sebagai berikut:10

a. Kerugian immaterial (general damages, non pecuniary loses);

b. Kerugian materil (special damages, pecuniary loses) :

(1) Kerugian akibat kehilangan kesempatan;

(2) Kerugian nyata :

(a) Biaya yang telah dikeluarkan hingga saat penggugatan;

(b) Biaya yang akan dikeluarkan sesudah saat penggugatan.

Dalam hal yang melakukan tindakan medis adalah seorang perawat/suster, dokter tetap harus bertanggungjawab atas segala kerugian yang timbul apabila perawat/suster melakukan tindakan medis berdasarkan perintah dokter tersebut. Hal ini berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata yaitu seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggunggannya.

9

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), h.346

10 Budi Sampurna, dkk,

Bioetik dan Hukum Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Dwipar, 2007), h. 101


(46)

B. Pertanggungjawaban Dokter terhadap Malapraktik Medis Ditinjau dari Hukum Perlindungan Konsumen

Hubungan antara dokter dan pasien juga termasuk dalam hukum perlindungan konsumen. Konsumen adalah pemakai, pengguna atau pemanfaat barang dan atau jasa, baik untuk diri sendiri maupun

keluarga dan makhluk lain.11 Barang dan jasa adalah setiap benda

berwujud atau tidak, bergerak atau tetap, untuk diperdagangkan, dipakai,

digunakan atau dimanfaatkan. 12 Pelaku usaha adalah setiap orang

perseorangan atau badan usaha, baik sendiri maupun bersama-sama

melakukan kegiatan usaha. 13 Dari tiga pengertian di atas dapat

disimpulkan bahwa pasien dalam hal ini merupakan konsumen, pelaku usaha adalah dokter dan jasa merupakan usaha untuk menyembuhkan

pasien. Selain itu, Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.756/MEN.KES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi Perdagangan dan Jasa di Bidang Kesehatan, menyatakan bahwa jasa layanan kesehatan termasuk bisnis. Bahkan, World Trade Organisation (WTO) memasukkan rumah sakit, dokter, bidan maupun perawat sebagai pelaku usaha.14

Paradigma jasa kesehatan saat ini sudah mulai bergeser kearah konsumeristik. Sifat konsumeristik ini terlihat dari pelayanan dari semula

11

AZ. Nasution, dkk, Liku-Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Kosumen, (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 2011), h. 1

12

AZ. Nasution, dkk, Liku-Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Kosumen, (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 2011), h. 1

13

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), h. 23

14 Artikel di akses pada 2 Agustus 2016 dari


(47)

bersifat sosial menjadi bersifat komersial dimana masyarakat harus membayar biaya yang cukup tinggi untuk upaya kesehatannya. 15 Pergeseran ini mengakibatkan para dokter hanya mencari keuntungan semata sehingga dalam melakukan praktik kedokteran seringkali melupakan hak-hak pasien, standar prosedur dan standar operasional dan kewajiban-kewajiban dokter yang harusnya di junjung tinggi. Masyarakat harus sadar akan hak-hak mereka yang dilanggar karena negara telah melakukan upaya preventif dengan membuat undang-undang untuk melindungi hak konsumen.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kerugian yang diderita korban malapraktik sebagai konsumen jasa akibat tindakan medis yang dilakukan oleh dokter sebagi pelaku usaha jasa dapat dituntut dengan sejumlah ganti rugi. Ganti kerugian yang dapat dimintakan oleh korban malapraktik menurut Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat berupa pengembalian uang penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dapat disimpulkan bahwa bentuk perlindungan hukum terhadap korban malapraktik yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu berupa pengaturan pertanggungjawaban dokter untuk memberikan ganti rugi

15 Safitri Hariyani,

Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, (Jakarta: Diadit Media, 2005), h. 50


(48)

kepada korban malapraktik selaku konsumen, sebagai akibat adanya kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatannya atau malapraktik yang di lakukan oleh dokter selaku pelaku usaha.

Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, pertanggungjawabannya dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di

tempat kedudukan konsumen.16

C. Pertanggungjawaban Dokter terhadap Malapraktik Medis Ditinjau dari Hukum Praktik Kedokteran

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mengatakan, bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Dalam penjelasannya tidak disebutkan dengan jelas ke badan apa mediasi itu akan diselesaikan, namun Undang-Undang Praktik Kedokteran mengamanatkan terbentuknya lembaga penyelesaian disiplin dokter yang kemudian dikenal dengan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).17 MKDKI bukan lembaga mediasi, dalam konteks mediasi penyelesaian sengketa, namun MKDKI adalah lembaga Negara yang berwenang untuk

16

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan KonsumenDi Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), h.146

17 Michael Daniel Mangkey,

Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dalam Memberikan Pelayanan Medis, (Manado: Sam Ratulangi University, 2014), h. 18-19


(49)

menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter atau dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan menetapkan sanksi bagi dokter atau dokter gigi yang dinyatakan bersalah.18

Jika sidang pemeriksaan disiplin dokter atau dokter gigi selesai maka majelis pemeriksa disiplin (MPD) akan menetapkan keputusan terhadap teradu. Keputusan tersebut dapat berupa19 :

1. Dinyatakan tidak melakukan pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi;

2. Pemberian sanksi disiplin, berupa :

a. Peringatan tertulis;

b. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan, yang dapat dilakukan dalam bentuk :

1) Reedukasi formal di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang terakreditasi;

2) Reedukasi nonformal yang dilakukan dibawah supervise dokter atau dokter gigi tertentu di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang terakreditasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan jejaringnya, atau fasilitas pelayanan kesehatan lain yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.

18

Eka Julianta J Wahjoepramono, Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik, (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012), 301

19 Eka Julianta J Wahjoepramono,

Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik, (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012), 301


(50)

c. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP yang bersifat : 1) Sementara paling lama 1 (satu) tahun;

2) Tetap atau selamanya;

3) Pembatasan tindakan asuhan medis tertentu pada suatu area ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran.

3. Apabila terbukti melakukan pelanggaran disiplin, maka setelah keputusan dokter atau dokter gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan MKDKI kepada Ketua MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau diterimanya keputusan tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung keberatannya;20

4. Dalam hal menjamin netralitas MKDKI, Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran, disebutkan bahwa MKDKI terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit dan 3 (tiga) orang sarjana hukum20. Sehingga tidak dikhawatirkan lagi pihak dokter akan membela rekan sejawatnya.

D. Pertanggungjawaban Dokter terhadap Malapraktik Medis Ditinjau dari Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur mengenai pertanggungjawaban dokter jika terjadi malapraktik medis, pengaturan ini

20 Eka Julianta J Wahjoepramono,

Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik, (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012), h. 317


(51)

dapat di temukan dalam beberapa pasal yaitu:21

1. Pasal 359 KUHP, yakni apabila seorang dokter karena kesalahannya

menyebabkan kematian pada pasiennya maka di hukum pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun;

2. Pasal 360 KUHP, yakni apabila dokter karena kesalahannya

mengakibatkan pasien mengalami luka berat maka di hukum pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana kurungan 1 (satu) tahun. Apabila seorang dokter menyebabkan luka-luka sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu maka di hukum pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan;

3. Pasal 361 KUHP, jika seseorang melakukan perbuatan dalam pasal 359

dan 360 KUHP dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian dalam hal ini adalah jabatan dokter, maka hukuman pidana ditambah sepertiga.

E. Pertanggungjawaban Penyelenggara Kesehatan terhadap Malapraktik Medis

Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga

kesehatan dirumah sakit.22 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009

21

Budi Sampurna, dkk, Bioetik dan Hukum Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Dwipar, 2007), h. 95-96

22 Cecep Triwibowo,

Etika Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), h.231-232


(52)

Tentang Pengaturan Penyelenggaraan Rumah Sakit, bertujuan untuk: 4. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;

5. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;

6. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit;

7. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

Suatu rumah sakit mempunyai empat bidang tanggung jawab, yaitu:23

1. Tanggung jawab terhadap personalia, hal ini berdasarkan hubungan

majikan dengan karyawan. Hubungan ini, dahulu bersifat universal dan negara kita sampai kini masih berlaku berdasarkan KUH Perdata Pasal 1367. Di dalam tanggung jawab ini termasuk seluruh karyawan yang bekerja di rumah sakit;

2. Tanggung jawab profesional terhadap mutu pengobatan atau

perawatan, hal ini berarti bahwa tingkat pemberian pelayanan kesehatan baik oleh dokter maupun oleh perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus berdasarkan ukuran standar profesi. Dengan demikian, maka secara yuridis rumah sakit bertanggung jawab

apabila ada pemberian pelayanan “cure and care” yang tidak lazim

atau dibawah standar;

3. Tanggung jawab terhadap sarana dan peralatan, didalam bidang

tanggung jawab ini termasuk peralatan dasar rumah sakit, peralatan medis dan lain-lain. Hal yang terpenting adalah bahwa perlatan tersebut selalu harus berada didalam keadaan aman dan siap pakai pada setiap saat;

23


(53)

4. Tanggung jawab terhadap keamanan bangunan dan perawatannya, sepeti bangunan roboh, genteng jatuh, sampai mencederai orang, lantainya sangat licin sehingga sampai ada pengunjung yang jatuh. Hal ini diatur dalam 1369 KUH Perdata tentang tanggung jawab pemilik terhadap gedung

Penyelenggara kesehatan yakni rumah sakit erat kaitannya dengan setiap perbuatan yang dilakukan oleh dokter di rumah sakit

tersebut. Rumah sakit dibebani seluruh tanggungjawab (responsibility)

untuk memastikan bahwa pelayanan medis di rumah sakit tersebut dapat terselenggara dengan baik dan bahwa mutu pelayanan medis yang

diberikan dapat dipertanggungjawabkan (accountable). 24 Dalam Pasal 46

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit disebutkan

“Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian

yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di

Rumah Sakit.” Oleh karena itu, pada praktiknya apabila seorang dokter

terbukti melakukan malapraktik maka kerugian yang ditimbulkan oleh dokter tersebut juga dibebankan kepada rumah sakit tempatnya bekerja secara tanggung renteng.

24 Budi Sampurna, dkk,

Bioetik dan Hukum Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Dwipar, 2007), h. 146


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

dan Dokter Gigi terdiri dari 28 bentuk, dimana bentuk dari pelanggaran Disiplin Profesional Doter dan Dokter Gigi tersebut antara lain berupa :

a. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten;

b. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi yang sesuai;

c. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut;

d. Tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien;

e. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran;

f. Melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat, wali, atau pengampunya;

g. Berpraktik dengan menggunakan surat tanda registrasi, surat izin praktik, dan/atau sertifikasi kompetensi yang tidak sah atau berpraktik tanpa memiliki surat izin praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Menimbang, bahwa setelah Majelis mencermati materi surat gugatan Penggugat dapat Majelis simpulkan bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara a quo adalah perihal adanya dugaan kelalaian yang dilakukan oleh Tergugat III dalam kapasitasnya sebagai dokter di Rumah Sakit Premier Jatinegara yang telah melakukan tindakan medis terhadap seorang pasien yang bernama Waluyo Sedjati yang mengakibatkan meninggalnya Almarhum Waluyo Sedjati, yang mana menurut Majelis untuk menilai apakah Tergugat III dalam kapasitasnya selaku dokter telah melakukan kelaian dalam melakukan tindakan medis terhadap pasien yang ditanganinya tersebut adalah menjadi kewenangan dari MKDKI, sehungan dengan hal tersebut maka sebelum Penggugat mengajukan gugatan terhadap Para Tergugat dalam perkara a quo seharusnya Penggugat harus terlebih dahulu mengadukan kasus tersebut ke MKDKI untuk menilai apakah tindakan Tergugat III dalam memberikan pelayanan medis

79

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

terhadap Almarhum Waluyo Sedjati tersebut merupakan kelaian medis atau bukan;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka materi eksepsi dari Tergugat III khususnya pada point 4 yang menyatakan gugatan Penggugat prematur menurut Majelis cukup beralasan dan oleh karena patut untuk dikabulkan;

Menimbang, bahwa oleh karena materi eksepsi dari Tergugat III cukup beralasan dan patut untuk dikabulkan, maka Majelis tidak perlu lagi mempertimbangkan materi eksepsi para Tergugat yang selebihnya;

DALAM PROVISI :

Menimbang, bahwa Penggugat dalam gugatannya ada mengajukan tuntutan provisi, dimana tuntutan provisi yang dimohonkan oleh Penggugat tersebut pada pokoknya meminta agar Para Tergugat dihukum untuk membayar kepada Penggugat sejumlah Rp.1.819.000.000,- (satu miliar delapan ratus sembilan belas juta rupiah) dan USD 1,500,000 (satu juta lima ratus dollar Amerika) secara tunai dan sekaligus, meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi dalam perkara a quo;

Menimbang, bahwa oleh karena materi eksepsi dari Tergugat III pada point 4 cukup beralasan dan patut dikabulkan, maka Majelis tidak perlu lagi mempertimbangkan tuntutan provisi yang dimohonkan oleh Penggugat tersebut di atas, sehubungan dengan hal tersebut maka tuntutan provisi dari Penggugat tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima;

DALAM POKOK PERKARA :

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana telah diuraikan dalam duduk perkara di atas;

Menimbang, bahwa untuk memperkuat dalil-dalil gugatannya Penggugat di persidangan telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda P-1 s/d. P-6, sedangkan Tergugat I dan Tergugat II untuk memperkuat dalil-dalil sangkalannya di persidangan telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda T-1 s/d. T-19 dan untuk Tergugat III di persidangan telah mengajukan bukti surat

80

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

yang diberi tanda T.III-1 s/d. T.III-25 dan selain mengajukan bukti-bukti surat Para Tergugat di persidangan telah pula mengajukan 1 (satu) orang saksi Ahli yang bernama Dr. M. NASSER, SpKK, Doktor of Law dan 2 (dua) orang saksi yaitu saksi Ade Firmansyah Sugiharto dan saksi C.E. Sutjirahayu, yang mana bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak tersebut selengkapnya sebagaimana yang telah diuraikan dalam duduk perkara di atas;

Menimbang, bahwa sebagaimana yang telah Majelis pertimbangkan dalam eksepsi telah ternyata bahwa eksepsi dari Tergugat III pada point 4 cukup beralasan dan patut untuk dikabulkan, sehubungan dengan hal tersebut maka Majelis tidak perlu lagi mempertimbangkan materi pokok perkara dan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak tersebut di atas;

Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi dari Tergugat III pada point 4 patut untuk dikabulkan maka gugatan Penggugat haruslah dinyatakan tidak dapat diterima;

DALAM REKONPENSI :

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat dalam Rekonpensi (Penggugat d.r.)/Tergugat III dalam Konpensi adalah sebagaimana telah diuraikan dalam duduk perkara di atas;

Menimbang, bahwa hal-hal yang telah Majelis pertimbangkan dalam Konpensi dianggap pula telah dipertimbangkan dalam Rekonpensi;

Menimbang, bahwa sebagaimana yang telah Majelis pertimbangkan dalam Konpensi bahwa gugatan Tergugat d.r./Penggugat d.k. telah dinyatakan tidak diterima;

Menimbang, bahwa oleh karena gugatan dalam Rekonpensi yang diajukan oleh para Penggugat d.r./Tergugat III d.k. tersebut didasarkan pada gugatan dalam Konpensi yang diajukan oleh Tergugat d.r./Penggugat d.k., yang mana oleh karena gugatan dalam Konpensi yang diajukan oleh Tergugat d.r./ Penggugat d.k. telah dinyatakan tidak dapat diterima, maka berpedoman kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. (putusan Mahkamah Agung RI Nomor 913 K/Pdt/1995 tertanggal 15 Januari 1998 yang berpendapat bahwa berdasarkan dokrin maupun yurisprudensi serta praktek peradilan standar hukum acara yang menggariskan sesuai dengan sifat assesoir yang melekat pada gugatan rekonpensi dan intervensi terhadap gugatan Konpensi, maka

81

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

apabila gugatan Konpensi dinyatakan tidak dapat diterima dengan sendirinya gugatan Rekonpensi dan Intervensi pun harus dinyatakan tidak dapat diterima), dengan demikian maka berdasarkan pertimbangan tersebut maka gugatan Penggugat d.r./Tergugat III d.k. harus pula dinyatakan tidak dapat diterima;

Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat d.r./Tergugat III d.k. dinyatakan tidak dapat diterima, maka Majelis tidak perlu lagi mempertimbangkan materi eksepsi dan materi pokok perkara dalam gugatan dalam rekonpensi lebih lanjut;

DALAM KONPENSI DAN REKONPENSI :

Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal yang telah Majelis pertimbangkan Dalam Konpensi telah ternyata bahwa gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, demikian pula Dalam Rekonpensi telah ternyata bahwa gugatan Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat III dalam Konpensi telah pula dinyatakan tidak dapat diterima, maka Majelis memandang cukup adil apabila terhadap biaya perkara yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada pihak Penggugat dalam Konpensi/Tergugat dalam Rekonpensi yang besarnya sebagaimana yang akan disebutkan dalam amar putusan di bawah ini;

M E N G A D I L I :

DALAM KONPENSI :

DALAM EKSEPSI :

• Mengabulkan Eksepsi dari Tergugat III;

• Menyatakan gugatan Penggugat prematur;

DALAM PROVISI :

• Menyatakan tuntutan provisi dari Penggugat dinyatakan tidak dapat

diterima;

DALAM POKOK PERKARA :

• Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet onvankelijk

verklaard);

DALAM KONVENSI :

82

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

• Menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (Niet

onvankelijk verklaard);

DALAM REKONPENSI :

• Menyatakan gugatan Penggugat dalam .Rekonpensi/Tergugat III dalam

Konpensi tidak dapat diterima (Niet onvankelijk verklard);

DALAM KONPENSI DAN REKONPENSI :

• Menghukum Penggugat dalam Konpensi/Tergugat dalam Rekonpensi

untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini yang ditaksir sebesar Rp. 722.000,- ( tujuh ratus dua puluh dua ribu

rupiah),-Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada hari Senin, tanggal 24 Juni 2013 oleh Kami : SUHARDJONO,SH.M.Hum., sebagai Hakim Ketua, EDY SUBROTO, SH.,MH dan KASWANTO,SH.MH., masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal 1 Juli 2013 oleh SUHARDJONO,SH.M.Hum, sebagai Hakim Ketua, didampingi EDY SUBROTO, SH.,MH dan KASWANTO,SH.MH., dengan dibantu oleh SUHARNI, SH., sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Negeri tersebut dihadiri oleh Kuasa Penggugat serta KuasaTergugat.

HAKIM-HAKIM ANGGOTA HAKIM KETUA,

EDY SUBROTO, SH.,MH SUHARDJONO,SH.M.hum.

KASWANTO,SH.MH.

PANITERA PENGGANTI,

83

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

SUHARNI,SH

Biaya-biaya :

1. Pendaftaran ………… Rp.

30.000,-2. Biaya Proses………… “

75.000,-3. Biaya panggilan ……. “

600.000,-4. Meterai………... “

12.000,-5. Redaksi………. “ 12.000,-5.000,- +

Jumlah………Rp.722.000,-84

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

2 54 90

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Peranan Dokter Dalam Pembuktian Perkara Pidana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan)

1 57 110

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

Penerapan Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Terhadap Beberapa Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Medan)

0 47 117

Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Makamah Agaung Nomor 365 K/Pid/2012)

4 78 145

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek Dagang Asing di Indonesia (Analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor:69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.)

1 16 0

Hak-Hak Isteri Pasca Cerai Talak Raj'i (Analisis Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)

0 32 143

Analisis Putusan Pengadilan Tentang Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi (Studi Kasus Putusan Nomor 35/Pdt.G/2012/PN.YK dan Putusan Nomor 42/Pdt.G/2012/PN.YK)

1 9 63

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Trafficking) (Analisis Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor 03/Pid.B/2012/Pn.Sbg Dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/Pn.Sbg)

0 1 27