2. Tata cara tindakan medis yang akan dilakukan;
3. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
4. Alternatif tindakan medis lain yang tersedia serta risikonya masing-
masing; 5.
Prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut dilakukan; 6.
Diagnosis. Undang-Undang Praktik Kedokteran menentukan persetujuan
pasien dapat diberikan secara tertulis atau lisan, namun dalam praktik informed consent dapat dilakukan secara diam, sikap pasrah.
16
Persetujuan tertulis menjadi mutlak terhadap praktik kedokteran yang memiliki risiko
tinggi. Namun, dalam kondisi tertentu seperti keadaan darurat, pasien tidak sadarkan diri dan dibawah pengampuan maka persetujuannya dapat
ditunda sampai pasien sadar atau meminta persetujuan kepada keluarga pasien.
F. Transaksi Terapeutik
Menurut seorang pakar hukum H.H. Koeswadji, transaksi terapeutik adalah perjanjian verbintenis untuk mencari atau menentukan
terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter dan tenaga kesehatan. Sedangkan menurut Veronica Komalawati, transaksi terapeutik adalah
hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan
16
Veronika Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002, h.110
keterampilan tertentu dibidang kedokteran.
17
Didasarkan mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 434MEN.KESX1983
Tentang Berlakunya
Kode Etik
Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, maka yang di maksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan
penderita yang dilakukan dalam suasana percaya, serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.
18
Hubungan yang didasarkan kepercayaan jarang diwujudkan dalam bentuk kontrak
tertulis. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata Pasal 1313
menyebutkan, suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengikatan
diri antara pasien dengan dokter diawal dengan persetujuan pasien terhadap pengobatan atau terapi yang ditawarkan dokter dalam rangka
penyembuhan informed consent. Perikatan hukum dokter dengan pasien termasuk suatu jenis
perikatan hukum yang disebut inspanningverbintenis
19
atau perikatan usaha.
20
Artinya, suatu bentuk perikatan yang isi prestasinya adalah salah
17
Cecep Triwibowo, Etika Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Nuha Medika, 2014, h.62
18
Cecep Triwibowo, Etika Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Nuha Medika, 2014, h.62
19
Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaaban Pidana Dokter, Jakarta: Erlangga, 1991, h.109
20
Marjanne Termorhuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Jambatan, 1999, h.181
satu pihak dokter maka harus berbuat sesuatu secara maksimal dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya kepada pihak lain pasien.
Kewajiban pokok seorang dokter terhadap pasiennya adalah inspanning, yakni suatu usaha keras dari dokter tersebut yang harus dijalankan dan
yang diperlukan untuk menyembuhkan kesehatan dari pasien.
21
Transaksi terapeutik antara dokter dan pasien bukan termasuk perjanjian resultaats karena objek perjanjian bukan hasil pelayanan medis
oleh dokter, tetapi tingkah laku atau perlakuan pelayanan medis yang di lakukan dokter. Dokter tidak mampu menjamin hasil akhir.
22
G. Risiko Medis
Perlu dibedakan antara malapraktik medis dengan risiko medis pada tindakanpelayanan medis. Risiko medis merupakan suatu cedera
yang terjadi dalam suatu tindakan medis, yang tidak dapat dibayangkandiperkirakan sebelumnhya dan bukan sebagai akibat dari
kekurangcakapan di pihak dokter melainkan sebuah takdir, dan dokter tidak betanggungjawab secara hukum.
23
Suatu perbuatan dokter yang dikategorikan risiko medis adalah apabila dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar
profesi atau standar prosedur danatau standar pelayanan medis yang baik namun tetap terjadi cedera pada pasien yang di luar dugaan.
21
Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaaban Pidana Dokter, Jakarta: Erlangga, 1991, h.109
22
Bahar Azwar, Sang Dokter, Jakarta: Kesaint Blanc, 2002, h.50
23
Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013, h. 122