Kondisi dan Potensi Perikanan Tangkap

38

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi dan Potensi Perikanan Tangkap

Di Kab. HSU, pada umumnya nelayan penangkap ikan merangkap sebagai petani, tergantung dari ketersediaan sumber daya alam. Pada saat musim hujan mereka melakukan kegiatan menangkap ikan dan pada musim kemarau mereka bertani. Kegiatan pertanian yang dilakukan meliputi sawah dan tanaman palawija. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan penggunaan lahan landuse eksisting untuk sawah dan rawa pada musim hujan dan musim kemarau di Kab. HSU dan perbandingan persentasenya dibandingkan dengan luas seluruh wilayah kabupaten 89.270 ha. Penggunaan lahan pada musim hujan dan musim kemarau dapat dilihat pada Tabel 10, Gambar 10-12. Tabel 10 Perbandingan Penggunaan Lahan Sawah dan Rawa di Kab. HSU Tahun 2010 Musim Hujan dan Tahun 2011 Musim Kemarau Musim Hujan Musim Kemarau Perubahan Lahan No. Kelas Penggunaan Lahan Luas ha Persentase Luas ha Persentase Luas ha Persentase 1. Sawah 24.014 26,9 28.388 31,8 4.374 4,9 2. Rawa 10.355 11,6 9.998 11,2 357 0,4 Sumber : Khairah 2011 Dari Tabel 10 dapat diketahui penggunaan lahan eksisting pada musim hujan untuk sawah seluas 24.014 ha atau 26,9 dari luas wilayah kabupaten sedangkan pada musim kemarau menjadi 28.388 ha atau mencapai 31,8 dari luas wilayah. Pada musim kemarau, luasan sawah bertambah 4.374 ha atau 4,9. Hal ini terjadi karena pada musim kemarau, daerah yang tidak tergenang air menjadi lebih luas dan dimanfaatkan menjadi areal persawahan. Penggunaan lahan rawa pada musim hujan seluas 10.355 ha atau 11,6 sedangkan pada musim kemarau menjadi 9.998 ha atau 11,2 dari luas wilayah kabupaten. Luasan rawa menjadi berkurang 357 ha atau 0,4 pada musim kemarau. Karena itu, kegiatan perikanan lebih berkembang pada musim hujan, pada saat daerah yang tergenang menjadi lebih luas. Perbandingan kedua penggunaan lahan tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa terjadi perubahan luasan lahan pada masing-masing penggunaan lahan 39 akibat perubahan musim. Perbandingan dilakukan bukan untuk menghitung jumlah luasan lahan yang seharusnya berubah dari kedua penggunaan lahan, karena luas penggunaan lahan yang lain tidak diperhitungkan. Perbandingan hanya untuk menggambarkan adanya perubahan luasan lahan sawah dan rawa. Grafik perbandingan luas penggunaan lahan rawa dan sawah pada musim hujan dan musim kemarau ditunjukkan pada Gambar 10. Gambar 10 Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Sawah dan Rawa Dari grafik di atas menggambarkan perbandingan sawah dan rawa. Dapat diketahui bahwa areal sawah menjadi lebih luas pada musim kemarau berbanding terbalik pada saat musim hujan, arealnya menjadi lebih kecil. Sebaliknya, rawa menjadi lebih luas pada musim hujan dibandingkan pada musim kemarau. Pada musim kemarau, daerah yang tidak tergenang menjadi lebih luas. Areal ini dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian sehingga luasan sawah meningkat karena itu sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani maupun buruh tani. Pada musim hujan daerah yang digenangi air menjadi daerah tangkapan ikan bagi nelayan penangkap yang hidupnya tergantung dengan alam. Jadi mata pencaharian penduduk berhubungan erat dengan kondisi dan potensi alamnya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13. 5000 10000 15000 20000 25000 30000 Sawah Rawa L u as h a Penggunaan Lahan Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Sawah dan Rawa di Kab. HSU Musim Hujan Musim Kemarau 40 Sumber : Khairah, 2011 Sumbe r: K hai rah 2011 Ga mbar 11 P eta Penggu na an La h an Ka b. HSU Ta hun 2010 41 Sumber: Hasil Analisis 2011 Ga mbar 12 P eta Penggu na an La h an Ka b. HSU Ta hun 2011 42 Gambar 13 Keadaan Rawa lebak pada Musim Hujan dan Musim Kemarau Menurut Noor 2007 lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan dipilah dalam istilah watun I, II, III dan IV. Rawa lebak yang mempunyai hidrotopografi lebih tinggi dengan genangan dangkal 50 cm disebut dengan watun I, sementara untuk lahan rawa lebak yang lebih rendah disebut watun II, III dan IV. Watun I dan II dimanfaatkan untuk pertanian sedangkan watun III dan IV dimanfaatkan untuk perikanan. Berkenaan dengan keadaan alami di atas, maka kegiatan 43 perikanan di lahan rawa lebak khususnya kegiatan perikanan tangkap dilakukan pada musim hujan. Perubahan tinggi genangan pada lahan rawa lebak di Indonesia umumnya mencapai kisaran 3-4 meter, sehingga peningkatan muka air genangan pada musim hujan akan memperluas areal wilayah rawa lebak. Laju kenaikan muka air genangan dan besarnya debit air umumnya sukar diprediksi. Perbedaan turun naiknya air pada setiap rawa lebak berbeda-beda, tergantung luas dan kondisi DAS yang meliputnya. Periode genangan ditentukan oleh kondisi lingkungan fisik bentuk wilayah, tipologi lahan dan iklim. Rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah atau agak basah dengan jumlah bulan basah antara 6-7 dan 3-4 bulan kering. Bulan basah merupakan bulan yang mempunyai curah hujan bulanan 200 mm, sedangkan bulan kering adalah bulan yang memiliki curah hujan 100 mm. Musim kemarau secara umum berlangsung antara bulan Juni sampai dengan Oktober sedangkan musim hujan pada bulan November sampai bulan Mei. Adanya pengaruh iklim global menyebabkan ketidakpastian pada penentuan awal musim. Hal ini sangat mempengaruhi kegiatan pertanian yaitu penentuan awal masa tanam padi. Jika musim hujan terlalu cepat datang, maka areal pertanian yang masih belum siap panen akan tergenang air sehingga menimbulkan kerugian bagi petani. Begitu juga sebaliknya, jika musim kemarau terlalu lama maka akan terjadi kekeringan lahan pertanian. Kab. HSU secara umum termasuk wilayah yang beriklim tropis basah tergolong pada golongan tipe B. Pada tahun 2010, terjadi 6 bulan basah dan 3 bulan kering. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret dengan curah hujan 412,82 mm sedangkan yang terendah pada bulan Juli memiliki curah hujan 35 mm BPS, 2011. Iklim dan musim merupakan faktor yang sangat penting bagi usaha pertanian, perikanan, perkebunan dan sektor lainnya. Bagi kehidupan ikan dan biota perairan, kondisi pada musim kemarau dapat menghambat tergantung jenis dan macam ikan. Suhu yang tinggi memerlukan oksigen dalam air dan akibatnya banyak ikan dan biota air yang mengalami kepayahan bahkan kematian karena kekurangan oksigen. Ikan dan biota air khas rawa lebak atau disebut ikan hitam 44 seperti belut, gabus, betok dan lele memiliki kemampuan jelajah yang sangat jauh sehingga ketika masih basah dapat pergi menjauh menghindari kekeringan. Selain itu ikan-ikan hitam mempunyai daya tahan bersembunyi dalam lumpur yang pekat dalam waktu cukup lama sampai berbulan-bulan dan bersifat buas karena dapat membunuh jenis ikan lainnya. Musim hujan merupakan masa berkembang biak ikan sehingga dapat menyediakan stok ikan di rawa lebak. Lahan rawa lebak memiliki peranan yang penting sebagai tempat ikan mencari makan, selain peranannya sebagai tempat pembesaran dan pemijahan ikan. Pada pertengahan musim hujan, banyak ikan sungai yang masuk rawa lebak untuk aktivitas makan dan pemijahan. Fluktuasi air baik kuantitas maupun kualitas yang terlampau besar pada awal musim hujan sering menentukan kehidupan ikan yang dikenal dengan istilah air bangai yang dapat menyebabkan kematian ikan yang cukup tinggi. Air bangai dicirikan oleh perubahan sifat fisik dan kimia air rawa seperti air berwarna hitam kecoklatan dan kadang-kadang berbau busuk, pH menjadi lebih asam dan kadar oksigen terlarut yang rendah, sebaliknya kadar karbon dioksida, kadar sulfur dan ion besi yang tinggi serta padatan tersuspensi tinggi. Kondisi air bangai adalah suatu fenomena akuatik yang spesifik di daerah rawa. Sisa air yang tersimpan di daerah rawa selama musim kemarau kualitasnya telah menurun untuk keperluan kehidupan organisme akuatik. Perubahan ini terjadi akibat proses biologi dan kimia oleh berbagai aspek limnologis dalam ekosistem rawa. Fenomena limnologis terjadi jika curah hujan tidak normal, sehingga jumlah air yang diperlukan untuk menaikkan kualitas air tidak mencukupi, bercampur dengan air bangai. Kondisi ini meluas ke berbagai areal di rawa lebak dan sekitarnya yang merupakan daerah perlindungan ikan-ikan selama musim kemarau, sehingga menjadi daerah “jebakan” yang menimbulkan kematian banyak ikan. Pada saat itu populasi ikan sungai menurun di perairan rawa lebak, tetapi setelah satu atau dua bulan “air bangai” yang berwarna hitam berakhir sehingga banyak ikan sungai yang bermigrasi ke perairan rawa lebak Chairuddin, 1989. Menurut Noor 2007, pada ekosistem rawa lebak lebak umumnya didapati empat vegetasi yaitu: 1 vegetasi di bawah permukaan yang mempunyai akar di 45 dasar perairan, termasuk jenis ini antara lain Hydrilla verticilata, 2 tipe berdaun terapung, misalnya teratai rawa lebak, 3 vegetasi terapung bebas, misalnya eceng gondok dan kayu apu, dan 4 berbagai jenis rumput. Sebagian vegetasi merupakan sumber pakan atau hara bagi ikan dan biota air lainnya. Jenis vegetasi yang hidup di rawa lebak seperti pada Gambar 14. Gambar 14 Vegetasi di Rawa Lebak Kab. HSU Potensi perikanan di perairan rawa lebak diperkirakan tidak kurang dari 100 jenis ikan. Jenis ikan yang adaptif hidup bersifat spesifik lokasi dan cukup beragam tergantung pada keadaan ekologi habitatnya. Jenis-jenis ikan di rawa lebak disebut ikan hitam Gambar 15. Ikan putih yang umum terdapat di perairan sungai atau danau juga dapat ditemukan di rawa sebagai ikan pendatang yang masuk karena banjir atau terikut saat luapan sungai Noor, 2007. Gambar 15 Ikan Toman Channa micropeltes dan Belut Monopterus albus Zeiew Hasil Tangkapan di Rawa Lebak Kegiatan usaha penangkapan ikan di wilayah perairan Kab. HSU didominasi perairan rawa lebak dan sungai. Musim penangkapan dapat berlangsung sepanjang tahun dengan produksi tangkapan yang beragam antara 46 2 –25 kgorang per hari dengan frekuensi penangkapan 4 – 5 kali per minggu. Pada puncak musim tangkapan berlangsung selama 1 satu bulan pada saat menjelang akhir musim hujan dengan produksi 20 – 50 kg per hariorang dengan frekuensi penangkapan 6 – 7 kali per minggu. Produksi perikanan per kecamatan di Kab. HSU pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2010 Ton No Kecamatan Perikanan Tangkap Rawa lebak Perikanan Tangkap Sungai Budidaya Kolam Budidaya Karamba Budidaya Fish Pen Jumlah 1. Danau Panggang 1.953,80 1.191,30 13,73 658,90 6,67 3.824,40 2. Babirik 674,30 411,10 68,64 654,24 28,99 1.837,27 3. Sungai Pandan 388,40 236,80 41,18 66,44 75,12 807,94 4. Amuntai Selatan 1.594,10 972,00 164,73 91,97 31,46 2.854,26 5. Amuntai Tengah 496,40 302,70 343,18 639,14 - 1.781,42 6. Banjang 395,40 241,10 35,69 378,32 15,15 1.065,66 7. Amuntai Utara 356,60 217,40 13,73 10,98 - 598,71 8. Haur Gading 297,50 181,40 274,54 1.123,98 - 1.877,42 9. Sungai Tabukan 252,50 153,90 8,24 16,47 0,08 431,19 10. Paminggir 1.358,70 828,40 32,95 1.157,09 43,24 3.420,38 Jumlah 7.767,70 4.736,10 996,61 4.797,53 200,71 18.498,65 Sumber: Diskan Kab.HSU 2011 Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa Kec. Danau Panggang merupakan kecamatan yang memiliki produksi perikanan tangkap tertinggi sebesar 3.145,1 ton kemudian diikuti Kec. Amuntai Selatan 2.566,1 ton dan Kec. Paminggir 2.187,1 ton. Untuk perikanan budidaya, produksi tertinggi di Kec. Haur Gading sebesar 1.398,52 ton. Disusul oleh Kec. Paminggir 1.233,28 ton dan Kec. Amuntai Tengah 982,32 ton. Berdasarkan peta penggunaan lahan musim hujan, dapat dilihat wilayah- wilayah yang merupakan potensi kegiatan perikanan tangkap seperti pada Gambar 16. Wilayah-wilayah ini ditentukan berdasarkan pada kelas penggunaan lahan berupa rawa lebak, belukar rawa, hutan rawa sekunder dan tubuh air. 47 Ga mbar 16 P eta W il aya h P otensi P erika na n Ta n gka p 48 Dari Tabel 11 dan Gambar 16, dapat diketahui bahwa potensi sumber daya alam merupakan faktor dominan dalam produksi perikanan tangkap. Tiga kecamatan tertinggi produksi perikanan tangkap juga merupakan kecamatan yang memiliki areal rawa lebak yang luas sebagai wilayah potensi perikanan tangkap. Berdasarkan nilai PDRB tahun 2010 atas dasar harga berlaku, sub sektor perikanan memberikan kontribusi senilai Rp.109.949.430.000,00 atau 25 untuk sektor pertanian dan 7,4 untuk PDRB Kab. HSU. Dengan menggunakan analisis LQ, data PDRB per sektor dapat digunakan untuk mengidentifikasi sektor unggulan berdasarkan nilai tambah yang dihasilkan Pribadi et al., 2010. Untuk itu dengan menggunakan data PDRB tahun 2010 atas dasar harga berlaku, maka dapat diidentifikasi sub sektor unggulan pada sektor pertanian per kecamatan seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Nilai Location Quotient LQ Sub Sektor-Sub Sektor pada Sektor Pertanian Per Kecamatan Berdasarkan PDRB Tahun 2010 Atas Dasar Harga Berlaku No. Kecamatan Tanaman Bahan Makanan Horti- kultura Perkebunan Peternakan Perikanan 1. Danau Panggang 0,04 0,80 0,22 0,83 3,02 2. Paminggir 0,00 0,23 0,13 3,04 1,91 3. B a b i r i k 1,36 1,25 0,22 0,76 0,98 4. Sungai Pandan 1,35 0,74 0,20 0,51 0,27 5. Sungai Tabukan 0,84 2,57 0,25 0,35 0,55 6. Amuntai Selatan 1,24 0,10 1,15 1,15 1,23 7. Amuntai Tengah 1,30 0,89 0,70 1,24 0,70 8. B a n j a n g 1,24 1,27 1,06 0,88 0,36 9. Amuntai Utara 1,01 1,20 8,03 1,36 0,60 10. Haur Gading 0,34 1,68 1,38 0,56 1,91 Sumber: BPS 2011b Dari Tabel 12 terlihat bahwa kisaran nilai LQ tanaman bahan makanan berdasarkan nilai PDRB terdapat enam kecamatan yang mempunyai LQ1, yang artinya sub sektor itu merupakan sektor unggulan pada kecamatan tersebut. Sub sektor holtikultura merupakan sektor unggulan di lima kecamatan. Untuk sub sektor perkebunan, di Kec. Amuntai Utara dan tiga kecamatan lainnya menjadi sektor unggulan. Demikian juga sub sektor peternakan menjadi sektor unggulan di empat kecamatan. Terdapat empat kecamatan yang memiliki sektor unggulan sub sektor perikanan. 49 Untuk sub sektor perikanan, empat kecamatan yang memiliki nilai LQ1 yaitu Kec. Danau Panggang, Paminggir, Amuntai Selatan dan Haur Gading merupakan empat kecamatan dengan produksi ikan tertinggi baik dari kegiatan perikanan tangkap maupun budidaya. Kec. Danau Panggang, Paminggir dan Amuntai Selatan merupakan tiga kecamatan yang memiliki produksi perikanan tangkap tertinggi sedangkan Kec. Haur Gading memiliki produksi tertinggi untuk perikanan budidaya.

5.2 Daerah Basis Kegiatan Perikanan Tangkap dan Budidaya