53
Nelayan Pedagang
pengumpul Pedagang
pengecer Konsumen
dari pola II karena konsumen langsung mendapatkan ikan dari nelayan sebagai produsen.
II I
Gambar 19 Pola pemasaran ikan segar hasil tangkapan
5.3 Identifikasi Penyebab Penurunan Produksi Tangkap
Dari perkembangan produksi perikanan tangkap di Kab. HSU menunjukan penurunan 3 pada tahun 2009 dan 0,1 pada tahun 2010, yang diperkirakan
karena penangkapan yang berlebihan overfishing. Produksi perikanan Kab. HSU dapat dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 20.
Tabel 14 Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2006 – 2010
No Kegiatan
Perikanan Tahun Ton
2006 2007
2008 2009
2010 1.
Penangkapan 12.825,4
12.858,0 12.891,2
12.514,7 12.503,8
2. Budidaya
1.077,8 1.314,8
1.344,3 1.413,0
5.994,8 Jumlah
13.903,2 14.172,8
14.235,5 13.927,7
18.498,6
Sumber: Diskan Kab. HSU berbagai tahun
Dari Tabel 14 dan Gambar 20 menunjukkan puncak peningkatan produksi perikanan tangkap terjadi pada tahun 2008 dengan jumlah produksi mencapai
12,825,4 ton atau mengalami kenaikan sebesar 0,3 dari produksi tahun 2007. Namun kegiatan perikanan tangkap cenderung mengalami penurunan produksi
pada dua tahun terakhir yaitu tahun 2009 dan 2010.
54
Gambar 20 Perkembangan Produksi Perikanan Tahun 2006-2010 Dari hasil wawancara dengan nelayan penangkap ikan di Kab. HSU
mengenai keadaan rawa lebak di Kab. HSU dapat diketahui bahwa ukuran ikan yang tertangkap cenderung lebih kecil dari beberapa tahun yang lalu. Ikan
–ikan berukuran besar sudah sangat jarang tertangkap. Begitu juga dengan jenis ikan
yang tertangkap. Ikan belida atau pipih sudah sangat jarang ditemukan. Hal ini memberi asumsi sementara bahwa terjadi overfishing yang menyebabkan
penurunan produksi perikanan tangkap. Overfishing atau penangkapan berlebihan merupakan kondisi dimana tingkat pemanfaatan sumber daya ikan melebihi
batasan yang ditetapkan sehingga dapat menyebabkan penurunan stok deplesi sumber daya ikan.
Berdasarkan keadaan aktual perikanan tangkap di Kab. HSU yang memiliki lahan rawa lebak sebagai potensi perikanan seluas 35.511,2 ha dan RTP tangkap
tahun 2010 sebanyak 8.650 unit, maka rata-rata pemanfaatan lahan rawa lebak per RTP adalah 4,1 ha per unit Diskan Kab.HSU, 2011. Ini menunjukkan masih
besarnya potensi lahan rawa lebak yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan ikan, sehingga mematahkan asumsi terjadinya overfishing. Selain
itu, penggunaan alat tangkap yang masih sederhana dan jumlah yang terbatas tidak
memungkinkan terjadinya
eksploitasi besar-besaran
yang dapat
menyebabkan overfishing. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian kajian stok ikan tahun 2008 di
perairan umum oleh Bappeda Kab. HSU. Dengan membandingkan tingkat tangkapan tahun terakhir tahun 2007 dan MSY, maka stok ikan di Kab. HSU
- 2,000
4,000 6,000
8,000 10,000
12,000 14,000
2006 2007
2008 2009
2010
Pr o
d u
ksi To
n
Tahun
Produksi Perikanan
Tangkap Budidaya
55
berada dalam kondisi underfishing dengan tingkat pemanfaatan sebesar 29,45. Kondisi underfishing berarti tingkat pengusahaan yang rendah, hasil tangkapan
hanya merupakan sebagian kecil dari potensinya. Hasil Tangkapan Maksimum Lestari atau MSY Maximum Sustainable Yield merupakan upaya yang
menghasilkan tangkapan maksimum yang lestari tanpa berdampak pada produktivitas stok jangka panjang yang berada pada angka 436.675,09 ton
pertahun dan bila dirupiahkan sebesar Rp. 3.949.695.913.538,00. Meskipun demikian untuk proses restoking secara alamiah, total produksi pengembangan
yang dicapai harus memenuhi ketentuan Maximum Allowed Yield MAY sebesar 80 dari MSY yaitu 349.340 tonpertahun.
Pemanfaatan potensi perikanan tangkap juga dipengaruhi oleh jumlah RTP nelayan tangkap. Penurunan jumlah RTP dapat menyebabkan penurunan jumlah
produksi karena jumlah hasil tangkapan tiap nelayan relatif tetap bahkan cenderung menurun setiap tahun karena tergantung dari alam. Berbeda dengan
perikanan tangkap, produksi kegiatan perikanan budidaya tergantung pada pembesaran benih yang ditebar dan teknologi yang digunakan. Idealnya, semakin
banyak benih yang ditebar maka semakin tinggi jumlah produksi. Ini dapat dilihat dari perbandingan RTP dan produksi perikanan tangkap dan budidaya
tahun 2006 dan 2010 yang disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Perbandingan RTP dan Produksi Kegiatan Perikanan Tangkap dan
Budidaya Tahun 2006 dan Tahun 2010
No. Kegiatan
Perikanan Tahun 2006
Tahun 2010 RTP unit
Produksi Ton RTP unit
Produksi Ton 1.
Penangkapan 16.472
12.825,4 14.986
12.503,8 2.
Budidaya 1.360
1.077,8 1.464
5.994,8 Sumber: Diskan HSU berbagai tahun
Pada tahun 2006 jumlah RTP tangkap berjumlah 16.472 unit dengan jumlah produksi 12.825,4 ton dan pada tahun 2010 terjadi penurunan RTP tangkapan
menjadi 14.986 unit sehingga produksi tangkap menjadi 12.503,8 ton. Sebaliknya RTP kegiatan perikanan budidaya tahun 2010 meningkat dari tahun 2006. Hal ini
diikuti juga dengan peningkatan jumlah produksi. Pada tahun 2006 dengan RTP sebanyak 1.360 unit menghasilkan produksi sebanyak 1.077,8 ton. Jumlah ini
56
meningkat pada tahun 2010 menjadi 1.464 unit dengan produksi sebanyak 5.994,8 ton.
Berkembangnya kegiatan budidaya disebabkan karena meningkatnya kemampuan modal usaha petani pembudidaya. Berbeda dengan kegiatan
perikanan tangkap yang tergantung dengan hasil alam dan hanya membutuhkan modal sarana penangkapan, kegiatan budidaya memerlukan modal usaha yang
besar sehingga selama ini kurang berkembang. Melalui Usaha Pelayanan Pengembangan Usaha Perikanan UPP-UP sebagai wadah penyaluran dan
pemanfaatan serta penguatan modal dengan mekanisme pinjaman, petani pembudidaya menjadi terbantu dalam hal modal usaha. Adanya kemudahan
dalam memperoleh modal merupakan salah satu penyebab kegiatan budidaya menjadi semakin berkembang. Hal ini juga menjadi daya tarik bagi nelayan
tangkap untuk beralih kegiatan menjadi petani pembudidaya khususnya budidaya karamba atau fish pen yang dapat dilakukan di rawa lebak atau di sungai.
Menurunnya jumlah RTP nelayan penangkap menyebabkan penurunan produksi perikanan tangkap. Ini berarti jumlah RTP mempengaruhi jumlah produksi.
Semakin tinggi jumlah RTP maka semakin tinggi produksi, sebaliknya semakin rendah jumlah RTP maka semakin rendah produksi.
Produksi perikanan juga dipengaruhi alat tangkap yang digunakan. penggunaan alat tangkap yang berbahaya illegal fishing misalnya alat setrum
dan racun menyebabkan kematian benih ikan sehingga menghambat regenerasi stok ikan di wilayah tersebut.
Di Kab. HSU penggunaan alat setrum di beberapa wilayah mulai dikontrol oleh masyarakat setempat. Apabila ada yang melakukan
penyetruman, pelaku ditangkap langsung oleh masyarakat untuk diserahkan ke polisi. Bahkan pemerintah daerah menyediakan hadiah uang tunai bagi yang
dapat menangkap pelaku pengguna setrum atau bahan peledak. Tidak semua wilayah mempunyai kontrol masyarakat yang kuat. Petugas keamanan tidak dapat
setiap waktu mengawasi sehingga masih banyak pelaku penyetruman yang masih bebas beroperasi. Tabel 16 menunjukkan bahwa masih ada pelaku penyetruman
yang tertangkap setiap tahun. Hal ini berarti kegiatan penyetruman masih tetap dilakukan, walaupun diancam dengan tindak pidana hukum.
57
Tabel 16 Jumlah Pelaku Penyetruman yang Tertangkap Tahun 2006 –2010
No. Tahun Pelaku penyetruman
Tertangkaporang Diproses hukum orang
1. 2.
3. 4.
5. 2006
2007 2008
2009 2010
7 6
15 11
6 4
6 15
11 6
Sumber: Dinas Perikanan Kab.Hulu Sungai Utara 2011
Hasil penelitian dari berbagai lokasi lahan rawa lebak di Kalimantan menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan oleh nelayan dalam sepuluh tahun
terakhir dalam setiap tahunnya menurun LP IPB, 2002. Penurunan produktivitas perikanan rawa lebak sangat erat kaitannya dengan kualitas air. Penurunan
kualitas air akan mempengaruhi ketersediaan pakan alami nutrisi bagi ikan dan biota air seperti plankton, bentos, tanaman air dan ikan-ikan kecil atau serangga-
serangga kecil yang menjadi sumber pakan yang tersedia secara alami terhambat perkembangannya dengan menurunnya kualitas air. Kualitas perairan rawa lebak
berubah-ubah setiap tahunnya, tergantung pada kondisi lingkungannya termasuk kerusakan lahan atau hutan di kawasan hulunya.
Berdasarkan hasil pengamatan kondisi kualitas air yang dilakukan oleh Bappeda Kab. HSU pada tahun 2008 di kawasan sampling, maka dapat diketahui
keadaan umum daya dukung lingkungan perairan melalui pendekatan Environmental Quality Index EQI. Hasil perhitungan EQI berdasarkan hasil
pengamatan kualitas air meliputi derajat keasaman pH, total alkalinitas CaCO
3
, Nitrogen Amoniak dan Nitrit NH
3
-N dan NO
2
-N, kadar oksigen terlarut DO, kecerahan dan kedalaman, suhu, COD, BOD, fosfat PO
4
dan padatan tersuspensi TSS.
Penentuan kualitas air dengan EQI dengan menggunakan rumus Canter,1979 dalam Bappeda, 2008:
∑
K = Konstanta PIU = Nilai Parameter Impact Unit
EQI = Nilai EQI dengan maksimum: K x PIU atau 10 x 5 = 50 KA = Nilai Kualitas Air
58
Berdasarkan nilai KA yang diperoleh, maka dapat ditentukan kualitas suatu perairan dengan kriteria seperti pada Tabel 17.
Tabel 17 Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Nilai Kualitas Air KA Kelas Kisaran Nilai KA
Kriteria I
II III
IV V
0,00 – 0,20
0,21 – 0,40
0,41 – 0,60
0,61 – 0,80
0,81 – 1,00
Sangat buruk Buruk
Sedang Baik
Sangat baik
Tabel 18 Hasil Perhitungan Environmental Quality Index EQI Kualitas Air No.
LokasiDesa Kecamatan
KA Kriteria
1. Danau Terate
Banjang 0,37
Buruk 2.
Kayakah Amuntai Selatan
0.40 Buruk
3. Sungai Durait Hulu
Babirik 0,33
Buruk 4.
Kelumpang Dalam Babirik
0,32 Buruk
5. Sungai Papuyu
Babirik 0,36
Buruk 6.
Tampakang Paminggir
0,49 Sedang
7. Pal Batu
Paminggir 0,45
Sedang 8.
Pararain Danau Panggang
0,44 Sedang
9. Nelayan
Sungai Tabukan 0,50
Sedang 10. Palimbangan
Haur Gading 0,49
Sedang 11. Waringin
Haur Gading 0,56
Sedang 12. Pinang Habang
Amuntai Tengah 0,60
Sedang 13. Danau Cermin
Amuntai Tengah 0,50
Sedang Sumber: Bappeda 2008
Keterangan: KA = nilai indeks kualitas air
Kriteria = kriteria kondisi kualitas air secara umum Dari Tabel 18, secara keseluruhan kondisi kualitas lingkungan perairan
berada dalam kriteria sedang hingga buruk. Nilai indeks kualitas air tertinggi terdapat di desa Pinang Habang Amuntai Tengah, sedangkan nilai indeks
kualitas yang terendah terdapat di desa Kalumpang Dalam Babirik. Kondisi kualitas lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh ekosistem di
sekitarnya. Pada lingkungan sungai, kontribusi aktivitas di bagian hulu dan sekitarnya beserta limbah yang dibuang ke badan air akan sangat berpengaruh.
Begitu pula pada lingkungan perairan rawa lebak yang relatif tergenang. Kondisi
59
ini dapat lebih buruk dibandingkan lingkungan perairan sungai, karena rawa lebak yang tergenang kaya akan bahan organik dan sulitnya proses difusi oksigen dari
udara ke badan air. Hasil pengamatan ini mencerminkan kondisi kualitas lingkungan perairan
pada suatu periode pengamatan, ini berarti bahwa musim sangat berpeluang mempengaruhi hasil pengamatan. Pengamatan dilakukan pada saat pergantian
musim antara musim kemarau ke musim hujan. Dalam kondisi ini lingkungan perairan dipengaruhi proses degradasi alamiah yang biasa disebut bangai. Kondisi
kualitas air yang relatif buruk juga merupakan salah satu karakteristik perairan rawa lebak, akibat kondisi tergenang dan kontribusi bahan organik dari
lingkungan rawa lebak. Pengamatan hanya dilakukan pada satu titik waktu dan tidak adanya pemantauan kualitas air secara berkala, belum menggambarkan
kondisi kualitas air secara komprehensif sehingga belum diketahui pengaruhnya secara pasti terhadap penurunan produksi ikan.
Kondisi alamiah lainnya yaitu air bangai. Peristiwa bangai merupakan peristiwa alamiah yang terjadi akibat adanya musim kemarau yang menyebabkan
keringnya sebagian kawasan perairan dan sebagian lagi masih digenangi air meskipun relatif dangkal. Pada lahan yang masih digenangi air dangkal
kandungan oksigen terlarut rendah karena arus dari sungai sangat kecil karena pada sungaipun terjadi pendangkalan. Arus sungai dapat menimbulkan
pengadukkan air sehingga menaikkan kadar oksigen. Pada lahan yang kering ditumbuhi berbagai macam tumbuhan seperti
rerumputan dan tanaman palawija oleh petani. Pada saat awal musim hujan, untuk sementara perairan menjadi subur karena masuknya unsur hara yang terlarut
beserta arus air sungai. Pada saat itu ikan-ikan berdatangan untuk melakukan pemijahan dan lahan tergenang air. Tumbuhan kering yang tadinya hidup lambat
laun akan mati karena terendam air beserta jerami tanaman petani dan terjadilah proses penguraian atau perombakan oleh bakteri atau organisme pengurai
decomposer. Dalam proses tersebut bakteri maupun organisme pengurai memerlukan energi yang besar dengan cara mengkonsumsi oksigen yang besar
pula. Hal ini mengakibatkan oksigen yang terlarut dalam air menjadi berkurang. Besarnya energi yang dikeluarkan menyebabkan peningkatan hasil respirasi yang
60
diikuti oleh peningkatan ekskresi seperti suhu, karbondioksida dan kadar amoniak dalam air sehingga pH menurun yang mengakibatkan air menjadi asam dan
terbentuk senyawa H
2
S yang menimbulkan bau. Pada keadaan ini kualitas air menurun drastis dan pada akhirnya ikan-ikan yang tidak dapat beradaptasi dengan
kondisi air akan mati. Peristiwa berlangsung setiap tahun, sehingga jenis-jenis biota penghuni ekosistem rawa lebak memiliki toleransi yang cukup kuat atas
penurunan kualitas air setempat mampu bertahan hidup. Kondisi alamiah lain yang terjadi di rawa lebak adalah perubahan luasan
lahan akibat perubahan musim yang dapat mempengaruhi luas areal kawasan penangkapan. Musim hujan yang terlalu lama menyebabkan areal yang digenangi
air akan semakin luas. Daerah penyebaran ikan juga semakin luas, sedangkan jangkauan nelayan umumnya terbatas sehingga produksi juga terbatas.
Penggunaan pestisida untuk kegiatan pertanian juga mempengaruhi kualitas perairan dan akhirnya berpengaruh pada produksi perikanan. Kondisi alamiah
yang ada tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan produksi karena ikan rawa lebih toleran terhadap pengaruh air bangai, dan pengaruh pestisida juga
mencakup areal yang tidak terlalu luas. Dari analisis deskriptif tentang penurunan produksi perikanan tangkap,
dapat diketahui penurunan produksi perikanan tangkap yang terjadi di Kab. HSU disebabkan oleh pemanfaatan potensi perikanan yang masih rendah. Berdasarkan
hasil kajian stok ikan yang dilakukan, secara umum stok ikan yang ada di perairan rawa lebak Kab. HSU berada pada kondisi underfishing artinya produksi hasil
tangkapan masih rendah nilainya dibandingkan potensi yang dimiliki. Ini menggambarkan bahwa adanya penurunan produksi perikanan tangkap
disebabkan rendahnya pemanfaatan potensi sumber daya perikanan yang ada. Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan jumlah RTP tangkap, trip penangkapan
yang rendah atau penggunaan alat tangkap yang masih sederhana dan terbatas jumlahnya akibat keterbatasan modal usaha yang dimiliki oleh nelayan.
Keterbatasan ekonomi juga menyebabkan kecenderungan dilakukannya penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang berbahaya dan tidak
selektif demi memperoleh hasil besar sesaat.
61
Untuk meningkatkan produksi tangkapan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya perikanan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara
lain: 1 peningkatan trip penangkapan dan daya jelajah dengan memperhatikan fishing ground dan jenis alat tangkap yang dioperasikan, 2 pemberian bantuan
permodalan, dan 3 penetapan lokasi dan pengelolaan suaka perikanan.
5.4 Identifikasi Kawasan Suaka Perikanan