Kasus double taxation pada PDAM Menang-Mataram Optimalisasi fungsi IMP

Permasalahan masih berlanjut karena setelah dicermati jumlah pelanggan di Kota Mataram merupakan 72 dari jumlah pelanggan PDAM keseluruhan. Pemerintah Kabupaten Lombok Barat merasa keberatan jika masyarakat Kota Mataram yang menggunakan air dari hulu yang merupakan wilayah Kabupaten Lombok Barat tidak menyumbang untuk biaya pelestarian sumber air. Konflik tersebut sempat terjadi beberapa waktu. Penyelesaian konflik yang dilakukan yaitu diadakan musyawarah antar pemerintah daerah dengan difasilitasi oleh IMP. Pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 7 Oktober 2011 tersebut dihadiri oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Lombok Barat dan Sekretaris Daerah Kota Mataram beserta Kepala Bagian Hukum masing-masing daerah. Pada pertemuan itu dihasilkan keputusan bahwa masing-masing daerah akan membiayai pelestarian lingkungan dengan mengalokasikan beberapa persen dari dividen PDAM. Pemerintah Kota Mataram tetap tidak setuju terhadap pemberlakuan tarif jasa lingkungan pada PDAM karena dianggap memberatkan masyarakat.

5.4.2. Kasus double taxation pada PDAM Menang-Mataram

Tarif jasa lingkungan diintegrasikan dengan tagihan pelanggan PDAM Menang-Mataram. Setiap pelanggan akan membayar Rp. 1000,00 untuk dana jasa lingkungan. Dana tersebut masuk ke rekening Pemerintah Daerah Lombok Barat yang kemudian sebesar 75 disalurkan ke IMP untuk pendanaan program konservasi, peningkatan ekonomi dan penguatan kelembagaan di daerah hulu. Permasalahan muncul ketika berdasarkan temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP Denpasar dengan Laporan Hasil Pemeriksaan LHP Nomor : 900PW 2252010 tanggal 12 Oktober 2010 menyebutkan bahwa program jasa lingkungan yang dipungut oleh PDAM telah terjadi double tax. Double tax tersebut terjadi karena PDAM pada dasarnya telah memungut pajak air bawah tanah yang ditetapkan dalam perda sebelumnya yakni Rp. 30,00m 3 . Karena itu, PDAM sebagai juru pungut diminta mengembalikan hasil pungutan retribusi tersebut ke kas daerah. Penyelesaian untuk permasalahan ini belum berhasil ditemukan. Rekomendasi dari penulis perlu adanya pemantauan terhadap pajak air bawah tanah yang dipungut, apakah sampai saat ini telah tersalurkan sesuai dengan peruntukannya. Pajak air bawah tanah tersebut seharusnya diperuntukkan untuk konservasi daerah mata air. Namun berdasarkan pantauan di lapang dana tersebut masuk ke pemerintah daerah dan tidak ada pelaporan secara jelas mengenai penggunaan pajak tersebut. Sedangkan untuk iuran jasa lingkungan sebaiknya dilakukan perbaikan pada peraturan daerah dan dicari mekanisme penarikan jasa lingkungan yang lain. Harapan ke depan iuran jasa lingkungan dan pajak air bawah tanah tersebut dapat dipergunakan untuk kepentingan konservasi daerah hulu.

5.4.3. Optimalisasi fungsi IMP

Keberadaan IMP merupakan stakeholder utama keberlangsungan PJL. Menurut Munawir 2006, keberadaan IMP yang ada saat ini sebagai pengelola dana jasa lingkungan bukan pengelola jasa lingkungan. Pengelolaan jasa lingkungan memiliki pengertian yang lebih luas, sedangkan yang diatur dalam peraturan daerah dan keputusan bupati tersebut hanya pengelolaan pungutan dana dan distribusinya. Menurut responden dari kelompok masyarakat, program yang diberikan membutuhkan pendampingan dari IMP. Pendampingan ini belum bisa diakomodasi oleh IMP. Hal ini dikarenakan jumlah personil yang terbatas. Selain itu personil yang ada juga merangkap jabatan di institusi asal, sehingga memiliki keterbatasan waktu. IMP sebagai pengelola jasa lingkungan seharusnya memiliki kewenangan hingga ke wilayah Kota Mataram, karena pengguna air utama berada di wilayah Kota Mataram. Kondisi saat ini IMP hanya memiliki wewenang di Kabupaten Lombok Barat sesuai dengan surat keputusanSK Bupati yang menjadi landasan hukum IMP. Seharusnya IMP dibentuk menggunakan landasan hukum yang lebih tinggi, seperti pembentukan Forum Komunikasi DAS Cidanau FKDC yang menggunakan SK Gubernur. IMP sebagai pengelola jasa lingkungan seharusnya memiliki divisi kerjasama dan penggalangan dana yang berfungsi dengan baik, sehingga secara pro aktif mencari sumber-sumber dana alternatif untuk jasa lingkungan. Dengan demikian diharapkan mampu menjadi jaminan jangka panjang keberadaan mekanisme PJL di Lombok. Divisi ini juga diharapkan mampu bekerjasama dengan beberapa program yang memiliki kegiatan yang hampir sama di DAS Jangkok. Selama ini dari hasil observasi banyak ditemukan kegiatan penanaman, pembibitan dan pelatihan industri rumah tangga dari lembaga pemerintah, pihak swasta maupun LSM lain. Kegiatan ini akan lebih baik dan memberikan dampak yang besar apabila diintegrasikan dengan kegiatan PJL. Rekomendasi selanjutnya, apabila telah tercapai kerjasama dengan berbagai pihak, maka dibutuhkan suatu kajian mengenai bentuk pemberian imbal jasa yang sesuai kepada masyarakat hulu. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan dari masyarakat hulu tersebut. Implementasi tahun 2011 belum menunjukkan adanya hasil yang signifikan baik untuk tujuan konservasi maupun peningkatan kesejahteraan. Salah satu bentuk kegiatan yang bisa ditempuh untuk mencapai kedua tujuan tersebut adalah penanaman lahan HKm dengan jenis Gaharu Dipokusumo 2011.

5.5 Evaluasi Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan