Kajian Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Penyediaan Sumberdaya Air (Studi Kasus di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat)

(1)

(Studi Kasus di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram,

Nusa Tenggara Barat)

NINI SRIANI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(2)

KAJIAN MEKANISME PEMBAYARAN

JASA LINGKUNGAN PENYEDIAAN SUMBERDAYA AIR

(Studi Kasus di Lombok Barat dan Kota Mataram,

Nusa Tenggara Barat)

NINI SRIANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(3)

Sumberdaya Air (Studi Kasus di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat). Di bawah bimbingan HARYANTO R. PUTRO dan

AGUS PRIYONO.

Mata air di hulu DAS Jangkok merupakan pemasok kebutuhan air bersih bagi masyarakat di wilayah Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram dan sebagian wilayah di Kabupaten Lombok Tengah. Kawasan hutan Sesaot merupakan daerah hulu dari DAS Jangkok. Sebagian besar arealnya telah dikelola oleh masyarakat petani hutan dengan sistem Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pada areal DAS Jangkok tersebut banyak terdapat permasalahan, antara lain terjadi degradasi lahan, terdapat potensi kerusakan aspek biofisik dan aspek kelembagaan kelompok petani hutan, terjadi penurunan jumlah mata air dan debit rata-rata di Sungai Jangkok, longsor, erosi, sedimentasi dan ancaman terjadi krisis air akibat penurunan debit dan peningkatan kebutuhan air. Masyarakat hulu sebagai penyedia jasa dituntut untuk melindungi tutupan lahan sekaligus harus memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat hilir di Kota Mataram memanfaatkan jasa lingkungan berupa air melalui PDAM. Bentuk kepedulian masyarakat hilir terhadap berharganya air, yang seharusnya dijadikan barang ekonomi, dan pembayaranan terhadap masyarakat hulu, yang sudah menjaga kelestarian DAS di daerah tangkapan air, saat ini dikenal sebagai mekanisme pembayaran jasa lingkungan (PJL). Upaya yang ada di Kabupaten Lombok Barat, yang didukung oleh Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lombok Barat No. 4 tahun 2007 tentang pengelolaan jasa lingkungan untuk pemanfaatan air dan objek wisata, tersebut merupakan salah satu bentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan.

Mekanisme pembayaran jasa lingkungan merupakan skema yang baru di Indonesia. Untuk penerapan yang lebih lanjut dibutuhkan pembelajaran meliputi pihak yang terlibat, peran setiap stakeholder, penegakan hukum, peraturan yang ada, dan kesepakatan bersama serta perlu dilihat keberhasilan dari kinerja setiap stakeholder meliputi realita di lapang dan manfaat bagi tiap pihak. Data dikumpulkan melalui metode triangulasi yaitu wawancara, observasi lapang dan penelusuran dokumen. Analisis data menggunakan metode analisis stakeholder dan analisis deskriptif kualitatif.

Stakeholder yang terlibat dalam mekanisme PJL penyediaan sumberdaya air di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram teridentifikasi sebanyak 18 stakeholder. Mekanisme PJL penyediaan sumberdaya air yang ada di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram dikelola oleh IMP dan telah memiliki dasar hukum. Mekanisme PJL penyediaan sumberdaya air di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram termasuk dalam bentuk payments for environmental services (PES) murni dengan memenuhi lima kriteria yaitu transaksi secara sukarela, jasa lingkungan terdefinisi dengan baik, ada pembeli dan penyedia jasa lingkungan, serta penyedia jasa mampu menjamin ketersediaan jasa lingkungan.


(4)

SUMMARY

NINI SRIANI. The Study of Payments for Environmental Services (PES) Mechanism for Water Resources Supply (Case Study at West Lombok District and Mataram City, Nusa Tenggara Barat). Under supervision of HARYANTO R. PUTRO and AGUS PRIYONO.

The springs at the upper Jangkok watersheds are the supplier of clean water for West Lombok District, Mataram City and some areas in Central Lombok District society. Sesaot forest area are the headwaters of Jangkok watershed. Most of their area has been managed by farm-forest society with Community Forest Management system (CFM). There are many problems in Jangkok watershed area, such as land degradation, many potential damage of biophysical aspects and institutional aspects of forest community groups, a decreasing of springs number and the lowering of average water debit at Jangkok river, landsliding, erosion, sedimentation and water crisis threathening as the result of water debit decreases and water demand increases. The upstream society as a service providers had been required to protect the land cover and the same time they are has had their lives on. Downstream society in Mataram City utilizing the environment services of water through PDAM. The downstream society moval for water preciousness, which should be used as economic goods, and payments for the upstream society who preserves watersheds in the catchment area, known as the payment for environmental services (PES) mechanism. An efforts in West Lombok District, supported by local regulation West Lombok District No. 4/2007 about management of environmental services for water utilization and tourism, is a form of payment for environmental services mechanisms.

Payment for environmental services mechanisms was a new scheme in Indonesia. For further application, learning is needed for the involved parties, each stakeholder role, law enforcement, regulations and agreements along with the stakeholder succesfullness at the field. This performances included the field realities and each party benefits. The data had been collected by triangulation method : interview, field observation and documents tracking. Stakeholder analysis method and qualitative descriptive analysis had been used for data analysis.

Stakeholder which are involved in PES mechanism for water resources supply in West Lombok District and Mataram City identified as many as 18 stakeholder. PES mechanisms for water resources supply in West Lombok District and Mataram City managed by IMP and it has a legal basis. It is counted as pure PES. Its fulfill five criteria there are voluntary transaction, well-defined environmental service, a buyer and provider of environmental services, and environmental services provider secures environmental service provision.


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Penyediaan Sumberdaya Air (Studi Kasus di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Maret 2012

Nini Sriani E34070014


(6)

 

Judul Skripsi : Kajian Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Penyediaan Sumberdaya Air (Studi Kasus di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat) Nama : Nini Sriani

NIM : E34070014

Menyetujui,

Pembimbing I,

Ir. Haryanto R. Putro, MS. NIP. 196009281985031004

Pembimbing II,

Ir. Agus Priyono, MS. NIP. 196108121986011001

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 195809151984031003


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul Kajian Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Penyediaan Sumberdaya Air Studi Kasus di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat

disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana bidang kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pelaksanaan penelitian hingga penulisan skripsi ini tak lepas dari bantuan banyak pihak. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna pengembangan skripsi ini. Penulis berharap semoga karya ini bermanfaat, baik bagi penulis maupun pembaca pada umunya.

Bogor, Maret 2012


(8)

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 10 Juli 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Nursalim dan Ibu Samini. Penulis menempuh pendidikan di TK Dharma Wanita (1993-1995), SDN Mojokerep 1 (1995-2001), SMPN 1 Kunjang (2001-2004), dan SMAN 2 Pare (2004-2007). Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis aktif sebagai mahasiswa mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan mengambil minor Arsitektur Lanskap.

Selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor, Penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan antara lain: Agricampus Bycycle Community (Ability), Beastudi Etos Bogor Community (BEB-C), Dewan Keluarga Masjid (DKM) Al-Hurriyah, Forum Silaturahim Mahasiswa (Fosma) ESQ, KPG dan KPF Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan tahun 2008-2009 (Bendahara II). Penulis juga aktif mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Beberapa PKM yang berhasil didanai yaitu PKMK “Pendirian Usaha Jasa Terapi Bekam bagi Civitas Akademika IPB” (didanai tahun 2008) dan PKMM “Perintisan Usaha Konservasi Tumbuhan Obat Langka Pule Pandak (Rauvolfia serpentina Benth.) dengan Teknologi Aeroponik di Kampung Gunung Leutik Ciampea Bogor” (didanai tahun 2011). Pada tahun 2010 penulis mendapatkan medali perunggu dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke XXIII di Bali berkat PKM-GT yang berjudul “Fitpot : Inovasi Kreasi Baru Sistem Pertanian Terintegrasi Multifungsi dengan Konsep Modern untuk Berbagai Jenis Lahan”. Penulis mendapatkan hibah dana dari Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) 2010 untuk usaha Es Krim Madu.

Selama masa kuliah penulis mengikuti praktikum lapang yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Papandayan-Cagar Alam Leuweung Sancang (2009), Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi (2010) dan Praktek Kerja Lapang dan


(9)

Profesi di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi (2011). Kegiatan Lapang yang pernah diikuti yaitu Kegiatan Ekspedisi Kelompok Pemerhati Goa (KPG) Hira-Himakova di Goa Cipereuy, Gunung Walat Sukabumi. Penulis juga terdaftar sebagai asisten Praktikum Dendrologi (2011) dan Fasilitator dalam Kegiatan PESTANI (Pesta Pertanian) di IPB 2011.

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Kajian Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Penyediaan Sumberdaya Air (Studi Kasus di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat) dibawah bimbingan Ir. Haryanto R. Putro, MS. dan Ir. Agus Priyono, MS.


(10)

 

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat dan kesempatan kepada penulis. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan para pengikutnya.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan studi banyak pihak yang telah membantu. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Bapak Ir. Agus Priyono, MS sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, dan arahan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik

2. Bapak Ir. Edje Djamhuri selaku penguji dalam sidang komprehensif, Bapak Dr. Ir. Harnios Arief, M. Sc selaku ketua sidang, Bapak Ir. Edhi Sandra, MSi selaku moderator dalam seminar yang memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini serta Ibu Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, MSc. selaku pembimbing akademik

3. Emak dan Bapak yang tak lelah memberikan cinta kasih, do’a mustajab dan dukungan tiada henti. Pak dhe Imam Mahmudi, Kakak-kakak (Zaenal Fanani dan Umi Mahmudah sekeluarga) dan adikku Ani serta M.Taufiqurrochman AAZ atas bantuan doa, semangat, dukungan dan motivasinya

4. Beastudi Etos Republika dan Eka Tjipta Foundation atas bantuan finansial dan program pengembangan diri yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan

5. Seluruh Dosen dan Staf Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dan Fakultas Kehutanan serta mamang dan bibi yang membantu penulis dalam menempuh pendidikan selama di IPB

6. Ibu Titik Sekeluarga atas bantuan kasih sayang, tempat tinggal, semangat persaudaraan dan rasa kepedulian di Soka 15

7. Seluruh staf di BPDAS Dodokan-Moyosari, SCBFWM, IMP, WWF Nusa Tenggara, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Barat,


(11)

8. PDAM Menang-Mataram, PT Narmada Awet Muda, Konsepsi dan BLHP NTB atas bantuan data dan pendampingan selama penelitian

9. Mbak Yunia Muji, Mas Erwien Kusumawan, Saffa dan Zulfan, serta Bibi Munawaroh atas segala dukungan selama penelitian

10. Keluarga Pak Rahman di Desa Sedau, Keluarga Pak Tirtawan di Batumekar, dan Keluarga (Alm. Pak Ripaah di Desa Suranadi, serta Keluarga Pak Ahmad Mulyadi (Ketua Forum Kawasan) di Desa Sesaot atas bantuan data dan akomodasi selama di lapang

11. Aswan, Nining, Lulu, Andi, Fitri, Jean, Mas Aris, Mba Zi, Mas Bayu, Mas Jimmo, Mas Marsandi dan Mbak Eliza yang telah membantu pengumpulan data dan transportasi selama penelitian

12. Keluarga Besar Etos Bogor khususnya Pendamping dan Blue-G (Fauji, Eko, Nasrul, Uca, Dijah, Desi, Iis dan Indah) atas kebersamaan menimba ilmu, kasih sayang dan rasa kekeluargaan

13. Keluarga Besar Soka : Bu Nah, Mba Sri, Mba Ane, Mba Miftah, Ana, Siska, Supe, Bu Janah atas hari-hari indah layaknya di rumah sendiri

14. Teman-teman PMW Es krim Madu (Windy, Hireng, Atik dan R. Pradipta) atas pengalaman praktek wirausaha kita, semoga kita semua bisa menjadi pengusaha sukses

15. Teman-teman seperjuangan : Neina, Rakhmi, Irvan, Metha, Tiwi, Piyet, Jefri, Irham, Sri Gosleana, Resi,Yaser, Brigita, Risa, Diena, Rahmat dan de Woro, Windu, Bayu serta Retno atas bahan skripsi, saran pendapat dan motivasinya

16. Teman-teman PKL (Ulfa, Emel, Nurul, Akbar, Juli, Putu), Teman-teman PPH (Dira, Fidel, Juli, Wina, Kak Age, Septian,Werdi), Teman-teman PPEH (Nurul, Ana, Surya, Wiwin, Wiwit, Vino), Teman-teman KPG dan KPF atas pengalaman di lapang yang tak terlupakan

17. Keluarga Besar KSHE KOAK 44 atas suka dan duka yang kita lewati bersama

18. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah memberikan arahan, bantuan dan motivasi dalam menempuh pendidikan di IPB.


(12)

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

1.4 Kerangka Pemikiran ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Jasa Lingkungan Penyediaan Air ... 6

2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan ... 7

2.3 Peraturan Perundangan Jasa Lingkungan ... 9

2.4 Penelitian Terdahulu ... 10

2.4.1 Jasa lingkungan di Pulau Lombok ... 10

2.4.2 Implementasi pembayaran jasa lingkungan ... 12

2.4.2.1 Pembayaran jasa lingkungan air di Costa Rica ... 12

2.4.2.1 DAS Cidanau, Banten ... 14

2.4 Analisis Stakeholder ... 16

2.5 Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Lombok Barat ... 17

2.6 Pajak Ganda (Double Taxation) pada PDAM ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 21

3.2 Obyek dan Alat Penelitian ... 21

3.3 Jenis Data... 21

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 22

3.4.1 Studi literatur ... 22

3.4.2 Observasi lapang dan wawancara ... 22


(13)

3.5.1 Analisis keterlibatan stakeholder ... 24

3.5.2 Analisis mekanisme pembayaran jasa lingkungan ... 26

3.5.3 Analisis untuk mengevaluasi mekanisme yang berjalan ... 26

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 28

4.1 Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram ... 28

4.2 DAS Jangkok ... 29

4.2.1 Letak dan luas ... 29

4.2.2 Kondisi geografis ... 29

4.2.3 Curah hujan ... 30

4.2.4 Luas dan tata guna lahan ... 30

4.2.5 Sosial ekonomi penduduk ... 32

4.3 Penyedia (Providers) Jasa Lingkungan ... 32

4.4 Pembeli (Buyers) Jasa Lingkungan ... 34

4.5 Obyek Jasa Lingkungan ... 35

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

5.1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan di Pulau Lombok ... 37

5.2 Analisis Stakeholder ... 41

5.2.1 Identifikasi stakeholder ... 41

5.2.2 Klasifikasi stakeholder ... 42

5.2.2 Peranan stakeholder ... 46

5.3 Perkembangan Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan ... 49

5.3.1 Mekanisme PJL sebelum adanya peraturan daerah ... 49

5.3.2 Mekanisme PJL setelah adanya peraturan daerah ... 51

5.3.2.1 Dasar hukum pelaksanaan kegiatan ... 53

5.3.2.2 Institusi Multipihak (IMP) pengelola jasa lingkungan ... 54

5.3.2.3 Mekanisme pengelolaan jasa lingkungan ... 54

5.3.2.4 Implementasi mekanisme PJL ... 57

5.4 Permasalahan dan Rekomendasi PJL Penyediaan Sumberdaya Air ... 61

5.4.1. Implementasi peraturan daerah ... 61

5.4.2. Kasus double taxation pada PDAM Menang-Mataram ... 62

5.4.3. Optimalisasi fungsi IMP ... 63


(14)

viii   

5.5.1 Transaksi bersifat sukarela ... 64

5.5.2 Jasa lingkungan yang terdefinisi dengan jelas ... 65

5.5.3 Ada penyedia jasa dan pembeli jasa lingkungan ... 65

5.5.4 Penyedia jasa menjamin ketersediaan jasa lingkungan ... 66

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 67

6.1 Kesimpulan ... 67

6.2 Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(15)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Pembayaran jasa lingkungan air di Costa Rica ... 14

2 Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data ... 23

3 Kepentingan (interest) masing-masing stakeholder ... 25

4 Sebaran tipe penggunaan lahan dan luasan di kawasan DAS Jangkok ... 31

5 Nama-nama desa di wilayah hulu DAS Jangkok ... 32

6 Nama-nama lembaga masyarakat lokal di kawasan hulu DAS Jangkok ... 33

7 Beberapa nama mata air yang ada di hulu DAS Jangkok ... 35

8 Sumber air baku PDAM Menang-Mataram ... 36

9 Perkembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Lombok Barat ... 38

10 Stakeholder yang terkait dengan PJL penyediaan sumberdaya air ... 41

11 Penilaian kepentingan, tingkat kepentingan dan pengaruh ... 42


(16)

 

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Bagan kerangka pemikiran penelitian. ... 4

2 Skema pembayaran jasa lingkungan Costa Rica. ... 13

3 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, Banten. ... 15

4 Diagram matriks kepentingan dan pengaruh dari tiap stakeholder. ... 25

5 Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram. ... 28

6 Tingkat kekritisan di DAS Jangkok ... 31

7 Diagram matriks minat dan pengaruh dari tiap stakeholder ... 45

8 Jumlah pelanggan dan potensi pelanggan PDAM Menang Mataram ... 47

9 Skema PJL sebelum adanya Peraturan daerah ... 50

10 Skema PJL hulu-hilir sesuai peraturan daerah ... 52

11 Skema PJL di Lombok Barat dan Mataram. ... 53

12 Struktur kepengurusan institusi multipihak. ... 54

13 Mekanisme pengumpulan dan penyaluran dana jasa lingkungan. ... 55

14 Mekanisme proses pengajuan dan penilaian usulan... 56

15 Implementasi PJL di Dusun Lebah suren, Desa Sedau. ... 58

16 Implementasi PJL di Forum Ranget, Desa Suranadi. ... 59


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 

1 Panduan wawancara untuk Masyarakat ... 74 

2 Panduan wawancara untuk Ketua Kelompok Tani ... 75 

3 Panduan wawancara untuk Swasta... 76 

4 Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat No. 4 Tahun 2007 ... 77 

5 Laporan penggunaan dana IMP 2009-2010 ... 85 


(18)

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isu perubahan iklim global dewasa ini menjadi perhatian sebagian besar negara di dunia. Adanya isu tersebut telah menyadarkan masyarakat dunia mengenai pentingnya menjaga kelestarian alam. Skema-skema untuk pelestarian sumberdaya alam seperti Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), Clean Development Mechanism (CDM), dan Payment for Environmental Services (PES) terus dikembangkan. Salah satu skema tersebut yaitu PES, atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama pembayaran jasa lingkungan (PJL), telah dikembangkan di beberapa negara seperti Costa Rica, Equador, El Salvador, Vietnam (Wunder et al 2005, Pagiola 2003), Mexico, Colombia, Venezuela, South Africa (Pagiola 2003) untuk adaptasi perubahan iklim.

Negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah negara kepulauan. Indonesia merupakan salah satunya karena sebagian besar wilayahnya berupa pulau-pulau kecil. Pulau Lombok merupakan pulau di bagian timur kepulauan Indonesia. Pulau dengan luas 4.738,70 km2 tersebut memiliki diameter 80 km2 dari utara ke selatan dan 70 km2 dari barat ke timur. Karena luas areanya yang relatif kecil maka Pulau Lombok termasuk pulau yang diprediksikan rentan terhadap dampak perubahan iklim. Aspek penting yang mudah terpengaruh terhadap dampak perubahan iklim adalah aspek ketersediaan air. Pulau Lombok memiliki sektor penting di bidang pertanian, perikanan dan pariwisata. Ketiga sektor tersebut sangat membutuhkan air.

Ketersediaan air di Pulau Lombok semakin berkurang dari tahun ke tahun. Pulau Lombok mengalami gejala krisis air berkepanjangan, karena terjadi penurunan debit air dalam kurun waktu 10 tahun (1992-2002). Pada tahun 2003, diketahui 40 % mata air telah hilang akibat perubahan tata guna lahan menjadi pertanian dan kerusakan hutan di sekitar Rinjani (Prasetya et al 2009).

Kota Mataram adalah daerah yang penting karena merupakan ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat. Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat


(19)

termasuk ke dalam wilayah daerah aliran sungai (DAS) Jangkok. Ketersediaan air di Kota Mataram sangat tergantung pada keberadaan mata air di hulu DAS Jangkok yang terletak di Kawasan Sesaot, Kabupaten Lombok Barat. Mata air tersebut ada yang berada di dalam kawasan hutan lindung dan ada pula yang berada di luar kawasan hutan (lahan milik masyarakat). DAS Jangkok digolongkan ke dalam salah satu DAS prioritas dari 22 DAS yang masuk kategori kritis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Departemen Kehutanan (Setiawan et al 2010). Di areal hulu DAS Jangkok banyak terjadi permasalahan, antara lain ilegal logging dan perambahan hutan baik di dalam hutan lindung maupun hutan primer, praktek hutan kemasyarakatan (HKm) yang menyalahi aturan, pembuangan limbah dan sampah ke sungai, serta penggunaan bahan kimia. Hasil temuan Strengthening Community-Based Forest and Watershed Management (SCBFWM) tahun 2010 menyebutkan bahwa tingkat erosi di sungai Jangkok sangat tinggi dengan sedimentasi 773,53 ton setiap ha/tahun dan tekanan penduduk sangat tinggi yaitu tiap kepala keluarga mengelola lahan di hutan lindung seluas 0,5 ha. Dengan tingginya tekanan penduduk, kebutuhan akan penggunaan lahan semakin meningkat baik untuk pemukiman maupun mata pencaharian mereka.Hal ini menyebabkan jasa lingkungan semakin berkurang dan semakin berharga. Jasa yang diberikan petani sekitar hutan melalui penerapan sistem agroforesty dan pengubahan sawah/pekarangan penduduk yang menjadi daerah resapan air dengan penanaman tanaman keras/berkayu patut mendapat mengakuan dan imbalan dari pengguna jasa. Hal ini diperkuat dengan kondisi masyarakat sekitar hutan yang merupakan masyarakat miskin.

Berawal dari kondisi tersebut, timbul inisiasi dari berbagai pihak untuk melibatkan masyarakat hilir/pengguna jasa agar ikut bertanggung jawab dalam pelestarian jasa lingkungan khususnya air di daerah Lombok Barat dan Kota Mataram. Upaya ini mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat berupa disahkannya Peraturan Daerah (Perda) No. 4 tahun 2007 tentang pengelolaan jasa lingkungan untuk pemanfaatan air dan objek wisata di Kabupaten Lombok Barat. Bentuk kepedulian masyarakat hilir terhadap berharganya air, yang seharusnya dijadikan barang ekonomi, dan pembayaranan terhadap masyarakat hulu, yang sudah menjaga kelestarian DAS di daerah


(20)

 

tangkapan air, saat ini dikenal sebagai mekanisme pembayaran jasa lingkungan (PJL). Upaya yang ada di Kabupaten Lombok Barat tersebut merupakan salah satu bentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan ini akan membuka kesempatan bagi masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan konservasi atau kawasan hutan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Peluang ini tidak hanya dari sisi ekonomi tetapi juga dari sisi lain yaitu dengan adanya peningkatan modal sosial dan pengakuan atas hak masyarakat dalam mengelola dan mengakses sumber daya alam (ICRAF 2005).

Mekanisme PJL di Indonesia telah banyak dilakukan, baik melalui kerjasama lembaga-lembaga domestik maupun dengan dorongan dan bantuan lembaga internasional. Meskipun begitu mekanisme ini masih merupakan konsep yang masih baru di Indonesia, dan sebagian besar dalam tahap pengembangan konsep dan uji coba implementasi (Prasetyo et al 2009). Sampai saat ini, belum ada payung hukum yang secara khusus mengatur mekanisme ini. Pelaksanaan program-program yang telah berjalan masih banyak dijumpai masalah dan kendala. Oleh karena itu dibutuhkan kajian dari mekanisme-mekanisme yang telah berjalan untuk pembentukan kebijakan lebih lanjut dengan batasan-batasan aturan yang jelas dan payung hukum tersendiri mengenai mekanisme ini.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui stakeholder yang terlibat dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan air

2. Mengetahui mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air yang berjalan

3. Mengevaluasi mekanismepembayaran jasa lingkungan penyediaan air

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rekomendasi untuk pelaksanaan mekanisme pembayaran jasa lingkungan selanjutnya dan sebagai bahan pertimbangan bagi proses perumusan regulasi, kebijakan dan peraturan perundangan yang lebih lanjut.


(21)

1.4 Kerangka Pemikiran

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran penelitian.

Mata air di hulu DAS Jangkok, NTB merupakan pemasok kebutuhan air bersih masyarakat di wilayah Lombok Barat, kota Mataram dan sebagian wilayah di Lombok Tengah 

Melihat keberhasilan dari kinerja setiap stakeholder :

•Realita di lapang 

•Manfaat bagi tiap pihak  Terjadi degradasi lahan di areal

DAS Jangkok, terdapat potensi kerusakan aspek biofisik dan aspek kelembagaan kelompok petani hutan.

Terjadi longsor, erosi, sedimentasi dan ancaman terjadi krisis air akibat penurunan debit dan peningkatan kebutuhan air.

Organisasi

• Pihak yang terlibat

• Peran setiap stakeholder

• Penegakan hukum

Willingness to Pay (WTP) nilai

pembayaran yang bersedia diberikan oleh masyarakat untuk perbaikan lingkungan hulu

Willingness to Accept (WTA) nilai pembayaran yang bersedia diterima oleh masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan

Dibutuhkan suatu mekanisme untuk :

Mengurangi kerusakan hutan, memperbaiki kualitas dan kuantitas air dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. 

PES (Payments for Environmental Services)

Masyarakat hilir atau Pengguna air dari DAS Jangkok

Norma

• Peraturan yang ada

• Perjanjian yang telah disepakati bersama

Terjadi penurunan jumlah mata air dan debit rata-rata di Sungai Jangkok, DAS Jangkok sebesar 5,6% setiap tahun. Masyarakat hulu di

sekitar Hutan Sesaot merupakan

masyarakat petani hutan yang miskin

Kawasan hutan Sesaot seluas 5.950,18 ha, merupakan daerah hulu dari DAS Jangkok. Sebagian besar arealnya telah dikelola oleh masyarakat petani hutan dengan sistem Hutan Kemasyarakatan (HKm)


(22)

 

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka perlu diketahui beberapa hal diantaranya:

1. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram meliputi hal-hal yang telah disepakati bersama seperti latar belakang, aturan, isi perjanjian, dasar perhitungan nilai imbal jasa dan penegakan aturan (monitoring dan evaluasi, pemberian sanksi, perkembangan, permasalahan dan penyelesaian yang timbul selama pelaksanaan)

2. Pihak-pihak yang terkait dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram dalam hal ketepatan dalam keterlibatan para pihak, sehingga kegiatan yang dilakukan berupa identifikasi para pihak, peranan, tingkat kepentingan dan pengaruh

3. Bagaimana perkembangan yang telah dicapai hingga saat ini. Apakah telah ada manfaat yag terasa oleh masyarakat dan lingkungan, sejauh mana mekanisme ini telah mengakomodasi kepentingan dari stakeholder yang terlibat.

Oleh karena itu dibutuhkan analisis deskriptif melalui metode triangulasi (Bachri 2010) yaitu wawancara, observasi lapang dan penelusuran dokumen untuk mencapai tujuan kesatu dan ketiga. Sedangkan untuk tujuan kedua dilakukan dengan analisis stakeholder.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jasa Lingkungan Penyediaan Air

Jasa lingkungan didefinisikan sebagai jasa yang diberikan oleh fungsi ekosistem alam maupun buatan yang nilai dan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung (tangible) maupun tidak langsung (intangible) oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam rangka membantu memelihara dan/atau meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan (Suprayitno 2008). Ada empat jasa lingkungan yang paling banyak dibayarkan(Landell-Mills dan Porras 2002) yaitu penyerapan karbon, konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan DAS dan keindahan lanskap.

Salah satu bentuk jasa lingkungan yang keberadaannya menyangkut hajat hidup orang banyak adalah air. Pada pengelompokan jasa lingkungan bentuk jasa lingkungan air termasuk ke dalam jasa perlindungan DAS. Dixon dan Easter (1986) menyebutkan bahwa DAS merupakan penyatu ekosistem alami antara wilayah hulu (dari puncak gunung/bukit) dengan wilayah hilir (sampai dengan muara sungai dan wilayah pantai yang masih terpengaruh daratan) melalui siklus/daur hidrologi/air. Daerah hulu yang biasanya berupa kawasan hutan berfungsi sebagai penyedia air bagi masyarakat di sekitar kawasan maupun pengguna air di bagian hilir. Menurut Suprayitno (2008), Pemanfaatan jasa lingkungan air dari maupun di kawasan hutan telah dilakukan tanpa disadari oleh masyarakat, serta telah berlangsung baik secara non komersial (digunakan oleh masyarakat setempat guna keperluan rumah tangga) maupun komersial (perusahaan air minum, perusahaan air minum dalam kemasan, pembangkit listrik/hydro-power, perhotelan, perkebunan, dan lain-lain).

Pemanfaatan air di dalam kawasan hutan ataupun hulu yang berkaitan dengan kelestarian ekosistem kawasan hutan belum diatur dalam regulasi. Sedangkan untuk pemanfaatan air di luar kawasan hutan ataupun hilir telah ada beberapa undang-undang dan peraturan. Beberapa peraturan tersebut umumnya


(24)

 

belum mengakomodir kepentingan bagi pendanaan untuk kepentingan pengelolaan dan kelestarian ekosistem hutan di bagian hulu (Suprayitno 2008).

2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan

Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) merupakan pemberian penghargaan berupa pembayaran, kemudahan dan keringanan kepada pelaku, pengelola, penghasil jasa lingkungan dari suatu kawasan hutan, lahan atau ekosistem (Suprayitno 2008). Pendapat yang lain menyebutkan bahwa PJL adalah suatu transaksi sukarela yang menggambarkan suatu jasa lingkungan yang perlu dilestarikan dengan cara memberikan nilai kepada penerima manfaat jasa lingkungan (Wunder 2005).

Menurut Pagiola (2004) prinsip dari sistem pembayaran jasa lingkungan sangatlah sederhana yaitu kompensasi yang ditentukan oleh pengguna sumberdaya untuk menghasilkan jasa lingkungan yang disediakan lingkungan akan mendorong insentif pengguna sumberdaya untuk melestarikannya. Wunder (2005) menggambarkan lima kriteria yang relatif sederhana untuk prinsip PJL, yaitu: 1) transaksi sukarela, 2) jasa lingkungan yang terdefinisikan dengan baik untuk ditransaksikan, 3) minimal ada satu pembeli, 4) dengan minimal satu penyedia, 5) jika dan hanya jika penyedia jasa lingkungan menjamin penyediaan jasa lingkungan (conditionality).

Menurut Suprayitno (2008) jenis PJL dapat berupa dana kompensasi atau insentif, dana konservasi, dan dana-dana lainnya untuk kepentingan pengelolaan, rehabilitasi, dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan atau ekosistem tertentu. Sementara itu FAO (2003) diacu dalam USAID (2009) membagi ke dalam dua tipe skema pembayaran jasa lingkungan. Tipe pertama yaitu PJL yang berhubungan dengan jasa pasar global atau skala geografi yang sangat luas, bertujuan menggunakan instrumen pasar untuk membayar jasa yang penggunanya tidak terbatas pada tingkat lokal, seperti konservasi keanekaragaman hayati, keindahan alam, penyimpanan karbon dan lain-lain. Tipe kedua yaitu pembayaran jasa lingkungan dirancang untuk mengkompensasi penghasil dengan menggunakan pasar lokal, dimana pengguna umumnya terdefinisi dengan lebih baik dan terbatas pada area geografik tertentu, yang dekat dengan lokasi dimana penyedia melaksanakan kegiatan produktifnya. Karena pengguna dan penyedia


(25)

secara geografik dekat antara satu dengan lainnya, maka biaya transaksi minimal dan aliran informasi menjadi lebih mudah dilakukan oleh pihak yang mengadakan kesepakatan. Sedangkan menurut Wunder terdapat dua bentuk skema PJL yaitu user-financed schemes dan government-financed schemes. User-financed schemes memiliki karakteristik skala kecil, jasa tunggal dan pembeli tunggal, jarang ada tujuan sampingan, serta fokus. Contoh skema ini adalah skema PJL DAS dan skema PJL karbon. Government-financed schemes memiliki karakteristik skala besar, beberapa jasa lingkungan, banyak tujuan (politik), negara bertindak sebagai pembeli dan kurang fokus. Contohskema ini adalah PSA Costa Rica, Mexico dan Agri-envir (Eropa, Amerika, dan Cina). Pembayaran jasa lingkungan dalam bentuk jasa air dalam DAS termasuk dalam kategori tipe pembayaran kedua ini. Mekanisme imbal jasa multifungsi DAS menurut Cahyono dan Purwanto (2006) dapat dikelompokkan dalam 3 bentuk, yaitu:

a. Kesepakatan yang di atur sendiri

Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa, biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari pemerintah. Misalnya, skema ekolabel, sertifikasi, pembelian hak pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran langsung antara pemanfaat jasa DAS yang berada di luar lokasi dengan pemilik lahan yang bertanggungjawab atas ketersediaan jasa multifungsi DAS.

b. Skema pembayaran publik

Pendekatan ini sering digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus menanamkan investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air, persetujuan penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan mekanisme pengawasan, pemantauan dan pelaksanaan regulasi yang bersifat melindungi penyedia jasa dan menerapkan denda bagi pelanggarnya.

c. Skema pasar terbuka

Skema ini jarang diterapkan dan cenderung dapat diterapkan di negara yang sudah maju. Pemerintah dapat mendefinisikan barang atau jasa apa saja dari


(26)

 

multifungi DAS yang dapat diperjual belikan. Selanjutnya dibuat regulasi yang dapat menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka regulasi yang kuat dan penegakan hukum, transparansi, penghitungan secara ilmiah yang akurat dan sistem verifikasi yang terjamin.

Di Indonesia mulai banyak dikembangkan bentuk-bentuk mekanisme imbal jasa lingkungan di beberapa daerah. Hal terpenting dalam skema imbal jasa yang dibuat menurut Setiawan et al (2010) memenuhi empat kriteria yaitu: realistis, kondisional, sukarela dan berpihak pada yang miskin. Sedangkan menurut BSR (2007) ada empat prasyarat keberhasilan PJL yaitu:

1. Jasa lingkungan yang benar-banar dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan, serta adanya kemampuan teknis pengelolaannya

2. Informasi pasar yang mudah dipahami dan mudah diakses siapapun (transparen dan akuntabel)

3. Kerangka hukum yang suportif serta adanya lembaga pengawas yang kredibel

4. Selalu bersedia melakukan perbaikan mekanisme apabila ada

keberatan/kritik.

2.3 Peraturan Perundangan Jasa Lingkungan

Peraturan perundangan yang berhubungan dengan PJL di Indonesia menurut Prasetyo et al (2009) yaitu :

1. UU 23/1997 tentang Lingkungan Hidup, mengatur kewenangan dalam pengelolaan lingkungan

2. UU 41/1999 tentang Kehutanan dan PP 6/2007, mengatur pengelolaan jasa lingkungan

3. UU 7/2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, mengatur jasa lingkungan terkait air

4. Kombinasi ketiga di atas dengan UU 34/2000 dan PP 65/2001 menjadi dasar bagi PJL di Indonesia

5. MPB/CDM juga merupakan PJL, dan diatur pelaksanaannya dalam UU 17/2004

USAID (2007) mengemukakan bahwa kebijakan pengelolaan lingkungan, khususnya yang terkait dengan jasa perlindungan fungsi DAS merupakan


(27)

landasan utama dalam mengembangkan skema pembayaran jasa lingkungan. Kebijakan pengelolaan lingkungan tersebut antara lain:

1. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

3. Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

4. Peraturan Daerah tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan

5. Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep-236/mbu/2003 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan

6. Keputusan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor: 1451 K/10/Mem/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah.

Peraturan daerah mengenai jasa lingkungan terdapat di Kabupaten Lombok Barat yaitu Peraturan Daerah (Perda) No 4 tahun 2007 tentang pengelolaan jasa lingkungan untuk pemanfaatan air dan objek wisata di Kabupaten Lombok Barat (Setiawan et al 2010). Perda Jasa Lingkungan Kabupaten Lombok Barat tersebut mengatur bahwa 75 persen dana jasa lingkungan yang terkumpul akan dikembalikan ke alam untuk mendukung kegiatan konservasi, rehabilitasi dan penguatan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar hutan, sedangkan 25 persen akan dialokasikan bagi pembangunan infrastruktur yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah.

2.4 Penelitian Terdahulu

2.4.1 Jasa lingkungan di Pulau Lombok

Ada beberapa penelitian yang terkait dengan jasa lingkungan di Lombok. Salah satu penelitian tersebut adalah yang dilakukan WWF Nusa Tenggara mengenai nilai ekonomi kawasan Rinjani.Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa nilai kawasan Gunung Rinjani senilai Rp. 5,178,159 triliun. Nilai ini


(28)

 

merupakan nilai kawasan Gunung Rinjani dari nilai sumberdaya air, pariwisata dan hutan jika kawasan ini tetap dilestarikan. Kontribusi bagi air irigasi untuk menunjang pertanian di Pulau Lombok mencapai nilai 5,4 milyar/tahun. Dari sektor pertanian diperoleh nilai benefit sebesar 386 milyar/tahun. Nilai air ini juga diperoleh dari perusahaan air mineral Narmada Awet Muda yang memanfaatkan air langsung dari kawasan Rinjani, yaitu senilai Rp. 1,75 milyar/tahun. Selain itu, kawasan Rinjani juga memberikan kontribusi bagi nilai pariwisata sebesar Rp.286 milyar/tahun (IMP 2009).

Penelitian selanjutnya adalah studi tentang Willingness to Pay (WTP) pelanggan PDAM Menang-Mataram yang bekerjasama dengan LP3ES. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa pelanggan PDAM bersedia membayar sejumlah Rp.1000,00-Rp.5.000,00 untuk dana konservasi daerah hulu. Penelitian mengenai pembayaran jasa lingkungan di Pulau Lombok dan Sumbawa dilakukan oleh Latifah et al (2011) dalam program Climate Change Adaption Project atas kerjasama CSIRO, AUSAID dan Universitas Mataram. Penelitian ini merupakan identifikasi praktek-praktek pembayaran jasa lingkungan yang ada di Pulau Lombok dan Sumbawa yang nantinya dilakukan studi lanjutan untuk menjadikan pembayaran jasa lingkungan sebagai alternatif strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dan penghidupan masyarakat pedesaan. Hasil penelitian ini menyebutkan terdapat enam praktek pembayaran jasa lingkungan. Dari enam praktek tersebut terdapat lima lokasi di Pulau Lombok dan satu lokasi di Pulau Sumbawa. Praktek pembayaran jasa lingkungan tersebut yaitu di Kabupaten Lombok Barat, Desa Lendang Nangka, Desa Salut, Desa Genggelang, Desa Sedau, dan Desa Sabedo.

Penelitian berikutnya adalah penelitian mengenai proses pengembangan Mekanisme PJL di Indonesia oleh LPM Equator (2011). Pada penelitian ini disajikan kondisi eksisting mekanisme PJL di tiga lokasi yakni di Lombok, Lampung dan Kuningan. Penelitian ini menyebutkan belum ada inisiatif PJL di Indonesia yang bisa dikategorikan PJL murni. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa respon masyarakat mengenai PJL di Lombok Barat cukup bervariasi. Ada pihak yang keberatan dengan PJL namun lebih banyak yang setuju dan bersedia untuk membayar lebih. Industri (hotel, restoran dan lain-lain) masih enggan dan


(29)

keberatan dengan adanya pembayaran tersebut, karena mereka merasa telah dibebani oleh pajak dan retribusi. Namun demikian nampaknya masih ada kemungkinan untuk mengembangkan PJL di Lombok Barat melalui tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).

2.4.2 Implementasi pembayaran jasa lingkungan 2.4.2.1 Pembayaran jasa lingkungan air di Costa Rica

Costa Rica menjadi negara perintis pembayaran jasa lingkungan (PJL) di dunia. PJL di Costa Rica mulai dikenal tahun 1997 bersamaan dengan disahkan Undang-Undang Jasa Lingkungan yang mengakui hutan sebagai penyedia jasa lingkungan. Sebelumnya pemerintah Costa Rica telah menetapkan serangkaian kebijakan mengenai tata guna lahan, dan kini peraturan mengenai air masih dalam proses perumusan. Komitmen awal dari pemerintah Costa Rica yaitu mengalokasikan 5% dari pajak bahan bakar untuk membiayai skema PJL (Munawir 2006). Undang-undang Kehutanan nomor 7575 menyebutkan empat jasa lingkungan yang disediakan hutan, yaitu 1) mitigasi terhadap emisi gas rumah kaca, 2) jasa hidrologis termasuk kuantitas dan kualitas air untuk konsumsi, irigasi dan penyediaan energi, 3) konservasi keanekaragaman hayati, 4) penyediaan keindahan bentang alam untuk kepentingan rekreasi dan pariwisata (Pagiola 2005). Dalam hukum tersebut juga untuk menghimpun dana pembiayaan kehutanan nasional untuk pembiayaan Fondo Nacional de Financiamiento Forestal (FONAFIFO) yaitu sebuah lembaga pemerintah yang mengelola program PJL dan mengelola pendapatan dari pajak bahan bakar serta mengelola dana multilateral dan bilateral lainnya. Kegiatan konservasi dan perlindungan ekosistem di Costa Rica pada tingkat nasional difokuskan pada kegiatan konservasi dengan menggunakan dana dari skema PJL sebesar lebih dari 80% (Latifah 2011). Skema pembayaran PJL di Costa Rika lebih rigkasnya dapat dilihat pada gambar 2.


(30)

  Gamb Pada secara adm skema PJL negoisasi listrik dan secara su FONAFIF air namun perusahaa (buyer), se jasa lingk berpartisip rencana y berkelanju praktek-pr pengelolaa lingkunga kesepakata 1 berikut.

ar 2 Skema a skema PJ ministratif L daerah al

dengan FO n satu peru ukarela (M FO semakin n juga peng an tersebut s edangkan m kungan (se pasi pada p

yang dibu utan. Setela raktek sep an hutan y an yang dih

an pembaya

a pembayara JL di Costa

telah diteta liran sungai ONAFIFO. usahaan air Munawir 20 n meningkat gguna air iri sebagai pem masyarakat p

eller) atau program ini uat oleh r ah rencana perti penan yang berkela

hasilkan da aran jasa lin

an jasa ling a Rica besa apkan pada i besarnya p

Hingga tah minum ya 006). Juml t tiap tahun igasi dan p manfaat jas pengguna l penerima i, pemilik l imbawan b

itu disetuju naman tana anjutan lain apat dipero ngkungan ai gkungan Cos arnya pemb a program n

pembayaran hun 2006 te ang menand lah kesepa n, bukan ha erhotelan (P sa lingkung

ahan di hu a insentif

ahan di hu berlisensi ui, pemilik aman kayu n sehingga oleh. Ketera ir di Costa R

sta Rica ( L bayaran pad

nasional. S n ditentukan elah ada em datangani k akatan yan anya perusa Pagiola 200 gan yang m ulu DAS se dari buyer ulu DAS ha untuk pen k lahan haru

u, konserv pembayara angan men Rica ditunju Latifah 2011 da penyedia Sedangkan u

n melalui p mpat perusa kesepakatan

g dicapai ahaan energ

05). Perusa memberi in ebagai pen r. Untuk arus menyia ngelolaan h

us menerap vasi hutan an terhadap ngenai nilai ukkan pada ). a jasa untuk proses ahaan n PJL oleh gi dan haan-sentif nyedia dapat apkan hutan pakan dan p jasa i dan tabel


(31)

Tabel 1 Pembayaran jasa lingkungan air di Costa Rica Perusahaan DAS Area

kontrak (ha) Nilai pembayaran ($/ha/tahun) Keterangan konntrak

Energia Global Rio Volcan Rio San Fernando

2.000 12 tahun1997, diperbaharui

2002

Platanar Rio Platanar 750 15/30 tahun 1999, diperbaharui

2004, Pemilik tanah tanpa sertifikat dimulai tahun 2000 selama 10 tahun.

CNFL Rio Aranjuez

Rio Balsa Lago Cote 4.000 6.000 900 40 40 40 tahun 2000

Florida Ice & Farm

Río Segundo - 45 tahun 2001

Heredia ESPH Río Segundo 1.000 22 tahun 2004

Azucarera El Viejo

Acuífero El Tempisque

550 45 tahun 2004

La Costeña SA Acuífero de Guanacaste

100 45 tahun 2004

Olefinas Acuífero de Guanacaste

40 45 tahun 2004

Exporpac Acuífero de Guanacaste

100 45 tahun 2005

Hidroeléctrica Aguas Zarcas

Río Aguas Zarcas 1.666 30 tahun 2005

Desarrollos Hoteleros Guanacaste

Acuífero de Guanacaste

925 45 tahun 2005

Sumber : Pagiola 2005

2.4.2.1 DAS Cidanau, Banten

Budhi et al. (2008) melakukan penelitian mengenai konsep dan implementasi dari program PJL di DAS Cidanau. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa implementasi PJL di DAS Cidanau dimotivasi oleh gangguan yang merusak daerah tangkapan air dan penggunaan pupuk dan pestisida pada pertanian yang mencemari air. Faktor lain adalah kebutuhan akan ketersediaan air yang diketahui telah mengalami fluktuasi pada beberapa tahun terakhir.

PJL diagggap penting untuk diimplementasikan untuk mengatasi masalah air. Selain itu, banyak perusahaan yang setuju untuk membayar sejumlah kompensasi kepada masyarakat hulu. Namun, implementasi dari program tersebut tidaklah mudah. PT KTI sebagai perusahaan air siap mendanai implementasi tersebut sebagai uji coba PJL. PT KTI mendanai komunitas hulu dari DAS Cidanau untuk menanam pohon dan menggunakan teknik konservasi pada


(32)

 

pertanian mereka. Dalam pelaksanaannya, dibentuk suatu Forum Komunikasi DAS Cidanau atau disingkat FKDC yang beranggotakan unsur masyarakat, pemerintah, LSM, dan swasta. Peran forum komunikasi DAS Cidanau dalam implementasi jasa lingkungan antara lain :

1. Mengelola dana hasil pembayaran jasa lingkungan dari pemanfaat (buyer) jasa untuk rehabilitasi dan konservasi lahan

2. Mendorong pembangunan hutan di lahan milik oleh masyarakat dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan

3. Menggalang dana dari potensial pemanfaat jasa lingkungan DAS Cidanau 4. Mendorong pemerintah untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan di

DAS Cidanau.

Skema PJL yang terjadi di DAS Cidanau lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 3.

Keterangan :

: Komunikasi dan Fasilitasi : MoU dan PES

: Air dan Pembayarannya

Gambar 3 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, Banten (modifikasi dari Budhi et al. 2007).

Implementasi PES telah memberikan beberapa manfaat kepada lingkungan dan kondisi petani yang terlibat dalam proyek. Manfaat tersebut antara lain penurunan praktek illegal logging, pertumbuhan pohon yang baik, pengaplikasian

Kelompok Tani

LP3ES dan Rekonvasi

Bhumi

PDAM

PLN FKDC

Sektor Swasta Industri

PT KTI  


(33)

pertanian berbasis konservasi, sikap petani yang ramah lingkungan dan kondisi ekonomi petani, yang penting untuk keberlanjutan implementasi PES. Namun ditemui beberapa hambatan dimana konsep PES masih sulit untuk diterima sebagai regulasi baru, karena adanya anggapan dari pembuat kebijakan bahwa konsep tersebut telah diakomodasi oleh kebijakan yang telah ada. Kisah sukses dari implementasi PES di DAS Cidanau perlu diambil sebagai pelajaran oleh pemerintah untuk kebijakan lingkungan ke depan.

Implementasi yang sukses oleh PT KTI ditekankan pada aspek pembelajaran dimana hak dan kewajiban tiap stakeholder dapat dikontrol secara transparan. Dengan beberapa improvisasi dan modifikasi, implementasi PES dapat di uji coba pada skala nasional.

2.4 Analisis Stakeholder

Stakeholder adalah keseluruhan aktor atau kelompok yang mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan, dan penerapan sebuah proyek (Groenendijk 2003). Metode analisis stakeholder digunakan untuk mengetahui keterlibatan stakeholder meliputi identifikasi, peranan, fungsi dan pengaruh stakeholder. Analisis stakeholder adalah sebuah proses untuk : 1) menjelaskan aspek sosial dan fenomena alam yang dipengaruhi oleh suatu keputusan atau kegiatan, 2) mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang dipengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh bagian dari fenomena tersebut (bisa termasuk bukan manusia atau kesatuan yang tidak hidup dan generasi mendatang), 3) Untuk mengetahui prioritas individu atau kelompok dalam keterlibatan untuk mengambil keputusan dan kebijakan (Reed et al 2009).

Reed et al (2009) membagi stakeholder berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya menjadi:

1. Key Player, merupakan stakeholder yang paling aktif dalam pengelolaan karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang besar

2. Subject, memiliki kepentingan yang besar tetapi pengaruhnya kecil. Stakeholder ini mungkin memberikan dukungan tetapi memiliki kapasitas yang kecil untuk mengubah keadaan. Stakeholder ini dimungkinkan akan memiliki pengaruh yang jauh lebih besar jika bekerjasama dengan stakeholder lain


(34)

 

3. Context Setter, memberikan pengaruh yang besar, tetapi memiliki kepentingan yang kecil. Stakeholder kategori ini mungkin akan memberikan gangguan yang signifikan terhadap suatu sistem pengelolaan. Sehingga dalam suatu pengelolaan, stakeholder ini harus selalu dipantau dan harus selalu diatur

4. Crowd, merupakan stakeholder dengan kepentingan dan pengaruh yang kecil. stakeholder ini akan memperhatikan segala kegiatan yang dilakukan.

2.5 Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Lombok Barat

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P37/2007, Hutan Kemasyarakatan (HKm) didefinisikan sebagai hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Program ini merupakan langkah strategis dalam pelestarian hutan sekaligus dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar hutan. Tujuan HKm adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup. Diharapkan penyelenggaraan HKm mampu mengembangkan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. HKm dapat diterapkan di kawasan hutan Lindung dan hutan Produksi.

Pemilik izin HKm disebut sebagai Izin Usaha Pemegang Hak Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) yang berada pada hutan lindung. Pemegang IUPHKm berhak mendapat fasilitasi pendampingan dari pemerintah kabupaten, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan kawasan dan memungut hasil hutan bukan kayu. Sedangkan di sisi lain Pemegang IUPHKm berkewajiban melakukan penataan batas areal kerja, menyusun rencana kerja, melakukan penanaman, pemeliharaan dan pengamanan, membayar penyediaan sumberdaya hutan sesuai ketentuan, dan menyampaikan laporan kegiatan pemanfatan hutan kemasyarakatan kepada pemberi izin.

Sejarah hutan lindung sesaot dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Masyarakat Desa Sesaot merupakan pendatang yang berasal dari Kabupaten Lombok Barat dan Mataram (sekarang) serta pendatang dari Karang Asem Bali.


(35)

Mereka pada awalnya didatangkan oleh pemerintah Belanda sebagai pekerja dalam reboisasi hutan tutupan (hutan lindung). Pemerintah Belanda memberikan hak kelola masyarakat dalam bentuk tumpang sari dibawah tegakan pohon kayu-kayuan. Adanya hak pengelolaan tersebut mendorong masyarakat untuk membangun rumah tempat berteduh di luar kawasan hutan tutupan. Adanya insentif yang tinggi dari dalam kawasan hutan merupakan faktor penarik masyarakat luar mendekat dan berdomisili disekitar hutan (Dipokusumo 2011).

Menurut hasil penelitian Khususiyah et al (2010), Pengelolaan hutan Sesaot oleh masyarakat dimulai sejak tahun 1957. Pada tahun tersebut, hutan Sesaot ditanami tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) dan buah-buahan oleh masyarakat setempat sebagai bagian dari program penghijauan. Masyarakat diperkenankan untuk mengelola tanaman tersebut. Pada tahun 1968-1969, masyarakat mulai menanam kopi di bawah tegakan pohon penghijauan tersebut. Agar penanaman kopi ini dikelola dengan baik, pihak kehutanan setempat pada tahun 1972 membentuk Koperasi Rimbawan yang menaungi pengelolaan kopi masyarakat. Penanaman dan pemeliharaan kopi ini juga berlanjut hingga tahun 1984-1985. Luas tanaman kopi di hutan Sesaot di tahun tersebut mencapai 1.662 ha sehingga diusulkan sebagai hutan penyangga kopi. Usulan ini mendapat tanggapan dengan dikeluarkannya SK Gubernur No.140 tanggal 26 Mei 1986 yang juga memuat perjanjian pemeliharaan tanaman kopi di dalam kawasan hutan lindung. Masyarakat yang memelihara tanaman kopi tersebut dibenarkan untuk mendapat setengah dari hasil panen tersebut.

Pengelolaan hutan oleh masyarakat bukan hanya ketika mereka menanam dan memelihara tanaman kopi saja. Pada tahun 1982, dilakukan program penghijauan khususnya di wilayah bekas eks-HPH di hutan Sesaot. Tanaman mahoni, sengon dan lamtoro disertai juga tanaman buah-buahan ditanam melalui mekanisme banjar harian dan tumpangsari. Bahkan masyarakat menanam pisang di antara tanaman buah-buahan.

Pada tahun 1995, dikembangkan uji coba pola HKm di atas hutan tersebut seluas 25 ha. Uji coba tersebut dievaluasi cukup berhasil ditinjau dari aspek konservasi dan ekonomi sehingga diperluas oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Barat menjadi 236 ha. Hingga hari ini, sekitar 3.857 ha hutan Sesaot dikelola oleh


(36)

 

masyarakat dengan pola HKm dimana seluas 185 ha di antaranya telah mendapatkan izin Usaha Pengelolaan HKm (SK Bupati Lombok Barat No. 2130/65/Dishut/2009) berdasarkan pencadangan areal HKm oleh Menteri Kehutanan (Kepmenhut No. 445/Menhut-II/2009). Selebihnya, lahan yang dikelola masyarakat sedang diusulkan untuk mendapatkan izin HKm kepada Menteri Kehutanan (Surat Bupati Lombok Barat No 522/726/Dishut/2010). Sejak tahun 1995 hingga sekarang, 6.000 KK atau 18.000 jiwa di kawasan Sesaot menggantungkan sumber kehidupannya dari pengelolaan kawasan tersebut.

Berdasarkan Dipokusumo (2011), Kelembagaan di HKm hutan Lindung sesaot berupa Forum HKm. Kelembagaan ini berperan sebagai sumber informasi pengelola HKm dan advokasi antara masyarakat dengan pihak luar (termasuk pemerintah). Kelembagaan HKm tersebut belum dapat berfungsi optimal sebagai wadah yang dapat menjembatani penggarap HKm (pesanggem) dengan pihak luar termasuk pemerintah. Berbagai informasi berhenti sampai pada tingkat pengurus kelompok.

Luas HKm Hutan Lindung Sesaot yaitu 211 hektar dengan jumlah petani pengelola sebesar 1.224 KK yang berlokasi di lima dusun yaitu Dusun Bunut Ngengkang (Desa Sesaot) seluas 25 hektar, Dusun Pesuren (Desa Lebah Sempage) seluas 35 hektar, Dusun Kumbi I dan II (Desa Lebah Sempage) seluas 35 hektar, Dusun Lebah Suren (Desa Sedau) seluas 65 hektar dan Dusun Selen Aik (Desa Sedau) seluas 51 hektar. Dengan demikian, total luas lahan HKm mencapai 236 ha (Dipokusumo 2011).

2.6 Pajak Ganda (Double Taxation) pada PDAM

Pajak ganda atau double taxation adalah kondisi dimana wajib pajak dikenai dua atau lebih pajak untuk pendapatan atau modal yang sama. Hal ini terjadi apabila terdapat dua hukum atau peraturan yang tumpang tindih sehingga transaksi, modal, atau pendapatan dikenai pajak di kedua peraturan tersebut. Badan hukum atau perusahaan negara bisa terkena pajak ganda ini, selama badan hukum atau perusahaan negara membayar pajak terhadap laba dan pemegang saham juga dikenai pajak sekali lagi. Pajak ganda juga bisa terjadi apabila penjual dan pembeli dikenai pajak yang sama. Pajak ganda lebih sering terjadi pada transaksi yang melibatkan dua negara (Saunders 2002).


(37)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, pada pasal 1 ayat 1 huruf g dan pasal 2 ayat 2 huruf g dinyatakan bahwa salah satu barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis adalah air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum, sehingga dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak ganda pada PDAM biasa terjadi pada saat pengadaan pipa dan meter air (PERPAMSI 2010). PDAM sudah dikenai PPN atas air bersih. Pengenaan PPN atas Pendapatan Non-air yang jika ditagihkan oleh PDAM kepada pelanggan berarti terjadi pengenaan pajak ganda. Hal ini tentu saja akan menjadi beban tambahan bagi pelanggan PDAM.

Pembiayaan pengolahan sumberdaya air, termasuk pada PDAM, ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumberdaya air agar pelaksanaannya dilakukan secara wajar untuk menjamin keberlanjutan fungsinya. Jenis pembiayaan pengelolaan sumberdaya air meliputi biaya sistem informasi, perencanaan, pelaksanaan kontruksi termasuk didalamnya biaya konservasi sumberdaya air, operasi, pemeliharaan, pemantauan, evaluasi dan biaya pemberdayaan masyarakat (Nugroho 2002 diacudalam Fadillah 2011).

Pendapatan PDAM dihasilkan dari pendapatan penjualan (operasional) dan pendapatan lain-lain, sementara biaya dapat dikelompokkan menjadi biaya langsung dan tidak langsung. Menurut Kusuma (2006), yang termasuk biaya langsung pada proses produksi air PDAM adalah biaya sumber, biaya pengolahan, biaya transmisi, dan biaya distribusi. Sedangkan biaya tidak langsungnya adalah biaya administrsi dan umum yang meliputi biaya pegawai, biaya kantor, biaya penelitian dan pengembangan, biaya instalasi umum, hubungan langganan, biaya pemeliharaan, serta biaya bank (Ardiansyah 2010).


(38)

 

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini secara umum dilaksanakan di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pengambilan data dilaksanakan di beberapa lokasi yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Barat, PDAM Menang-Mataram,WWF Nusa Tenggara, Konsepsi, Desa Sedau, Desa Suranadi dan Desa Batu Mekar serta dinas yang terkait dengan Pengelolaan Jasa Lingkungan (BPDAS Dodokan-Moyosari dan BLHP). Penelitian dilaksanakan pada bulan September-November 2011.

3.2 Obyek dan Alat Penelitian

Obyek penelitian yang dikaji antara lain mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berlaku dan para stakeholder serta peranan masing-masing stakeholder yang terkait dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tape recorder, camera digital, panduan wawancara, serta alat tulis.

3.3 Jenis Data

Jenis data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi lapang dan wawancara dengan stakeholder yang terkait dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air di Lombok Barat dan Mataram, yaitu : kelompok tani di sekitar kawasan Hutan Sesaot (diwakili Kelompok Tani Lebah Suren, Forum Ranget, Kelompok Tani Mule Paice, dan Forum Kawasan), PDAM Menang-Mataram, LSM Konsepsi, WWF Nusa Tenggara dan Dinas Kehutanan (yang tergabung dalam IMP) serta PT Narmada Awet Muda. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran dokumen SOP mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air Lombok Barat dan Mataram yang sedang berjalan, undang-undang terkait,


(39)

buku referensi, jurnal, internet, dan data pendukung lainnya seperti data fluktuasi debit air dan kualitas air serta data kependudukan dari desa terkait.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi literatur, observasi lapang dan wawancara. Metode-metode tersebut akan digunakan secara kombinasi untuk mendapatkan data di semua lokasi penelitian.

3.4.1 Studi literatur

Studi Literatur akan dilakukan melalui penelusuran dokumen perjanjian mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air di Lombok Barat dan Kota Mataram yang sedang berjalan, undang-undang terkait, buku referensi, jurnal, internet, dan data pendukung lainnya yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan sumberdaya air di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram. Data-data tersebut diantaranya :

1. Penelusuran dokumen mengenai peraturan perundangan secara umum maupun secara lokal daerah Lombok Barat dan Kota Mataram mengenai jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air

2. Penelusuran dokumen perjanjian kerjasama antara para pihak penyedia maupun pengguna jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air di Lombok Barat dan Kota Mataram

3. Penelusuran dokumen mengenai kondisi mata air maupun aliran air di DAS Jangkok, Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram

4. Penelusuran dokumen mengenai kondisi sosial dan ekologi masayarakat desa sekitar Hutan Sesaot

5. Penelusuran dokumen terkait lainnya.

3.4.2 Observasi lapang dan wawancara

Observasi lapang dan wawancara dilakukan untuk mengetahui mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, para pihak yang terkait serta peranan para pihak tersebut dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan. Selain itu, observasi lapang dan wawancara juga dilakukan untuk mengetahui perkembangan


(40)

 

melihat perubahan yang terjadi setelah adanya mekanisme pembayaran jasa lingkungan di kawasan tersebut. Wawancara dilakukan secara purposive sampling pada narasumber yang memiliki peranan penting dalam mekanisme pembayaran sumberdaya air tersebut. Selain itu, narasumber yang diwawancarai merupakan pihak yang terlibat dalam perumusan maupun implementasi mekanisme pembayaran sumberdaya air yang berjalan. Narasumber dipilih dengan mempertimbangkan tingkat pengetahuan narasumber terhadap mekanisme pembayaran sumberdaya air yang berjalan (key person). Jenis dan metode pengunpulan data selengkapnya tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data

No. Tujuan Data Sumber Data Metode

Pengumpulan Data 1. Mengetahui stakeholder yang terlibat dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air

Keterlibatan para pihak : -Identifikasi para pihak -Tingkat kepentingan

serta pengaruh para pihak

-Peranan para pihak

•Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lombok Barat

•WWF Nusa

Tenggara

•Konsepsi

•PDAM

Menang-Mataram

•PT Narmada Awet Muda

•SCBFWM

•Kelompok Tani

Penelusuran dokumen, observasi lapang, dan wawancara 2. Mengetahui mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air

Skema PJL di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram :

-Latar Belakang adanya mekanisme PJL -Aturan dan penegakan

aturan mekanisme PJL yang berjalan

-Perkembangan

mekanisme PJL yang dilakukan

-Permasalahan yang

timbul dan penyelesaian yang diambil

•Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lombok Barat

•WWF Nusa

Tenggara

•Konsepsi

•PDAM

Menang-Mataram

•PT Narmada Awet Muda

•SCBFWM

•Kelompok Tani

•Fakultas Pertanian universitas Mataram •LP3ES Penelusuran dokumen, observasi lapang, dan wawancara 3. Mengevaluasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan air -Perundangan

-Rencana Strategis

lembaga -Kondisi mata air

-Kondisi sosial

masyarakat

•IMP

•BPDAS Dodokan-Moyosari

•BLHP

•Forum Kawasan

Penelusuran dokumen, observasi

lapang, dan wawancara


(41)

3.5 Metode Analisis Data

3.5.1 Analisis keterlibatan stakeholder

Analisis terhadap keterlibatan stakeholder dilakukan untuk mengetahui peran dan fungsi dari masing-masing stakeholder. Keterlibatan stakeholder tersebut dianalisis melalui metode analisis stakeholder yang dikemukakan oleh Groenendjik (2003), Reed et al (2009) dan Mayers (2001). Proses indentifikasi stakeholder merupakan proses awal dalam metode ini. Selanjutnya, dilakukan pengklasifikasian stakeholder menjadi stakeholder primer, sekunder, dan eksternal. Pembagian ini dilakukan berdasarkan tingkat keterkaitan stakeholder dengan mekanisme yang ada. Stakeholder primer langsung adalah pihak yang memiliki kepentingan penuh dan menerima keuntungan secara langsung dari berjalannnya suatu proyek. Selebihnya disebut stakeholder primer tak langsung. Sedangkan stakeholder sekunder adalah pihak yang tidak terlibat secara langsung namun menaruh kepentingan pada dampak dari proyek.

Atribut kunci dari masing-masing stakeholder kemudian diidentifikasi dan dianalisis. Atribut yang dimaksud adalah kepentingan (interest), pengaruh (influence) dan nilai penting (importance). Masing-masing stakeholder memiliki atribut yang berbeda dan dianalisis tergantung pada situasi dan tujuan analisis. Kepentingan (interest) terhadap tujuan mekanisme merupakan atribut yang penting untuk diinvestigasi dari stakeholder. Kepentingan ini mendukung tujuan (stakeholder juga menginginkan apa yang coba dicapai oleh mekanisme) atau kebalikannya (tujuan mekanisme bertolak belakang terhadap kepentingan dari stakeholder). Kepentingan merupakan tingkat perlu atau tidaknya suatu pihak dalam sistem. Jika suatu pihak mutlak harus ada maka kepentingannya besar, begitu pula sebaliknya. Pengaruh (influence) adalah kewenangan stakeholder untuk mengontrol keputusan apa yang dibuat, untuk memfasilitasi penerapannya atau untuk menggunakan tekanan yang mempengaruhi mekanisme secara negatif. Pengaruh mungkin saja diartikan sebagai tingkatan orang, kelompok, atau organisasi yang dapat membujuk atau memaksa pihak lain dalam membuat keputusan dan mengikuti beberapa tindakan. Pengaruh juga bisa diartikan sebagai tingkatan besarnya kekuatan dalam mendukung atau menghambat sistem. Kekuatan tersebut dapat berupa hak secara formal dalam hal wewenang sampai


(42)

 

kepada aspek informal yang dimiliki pihak tertentu dalam mempengaruhi pihak lain. Nilai penting (importance) mengindikasikan prioritas yang diberikan untuk memuaskan kebutuhan dan kepentingan stakeholder pada proyek. Oleh karena itu, kepentingan merujuk pada masalah, kebutuhan dan kepentingan stakeholder yang merupakan prioritas dari mekanisme. Atribut-atribut tersebut kemudian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kepentingan (interest) masing-masing stakeholder

Kepentingan Nilai penting Pengaruh

Stakeholder primer Stakeholder 1

...

Stakeholder n

Stakeholder sekunder Stakeholder 1

...

Stakeholder n

Keterangan : Diadaptasi dari Mayers (2001) menurut penilaian dengan tingkatan tertentu secara kualitatif.

Kesuksesan sebuah program atau mekanisme sebagian tergantung dari kebenaran asumsi yang dibuat dari stakeholder yang berbeda, dan resiko yang dihadapi oleh mekanisme. Dengan mengkombinasikan pengaruh dan kepentingan dari tiap stakeholder pada sebuah diagram matriks, asumsi terhadap resiko pada stakeholder dapat teridentifikasi. Posisi dari stakeholder pada kuadran tertentu mengindikasikan resiko relatif yang mungkin ditimbulkan dan potensi koalisi untuk mendukung mekanisme yang ada. Berikut adalah bentuk matriks tersebut (Gambar 4).

High

Importance

Low Influence High

Gambar 4 Diagram matriks kepentingan dan pengaruh dari tiap stakeholder.

A  B  D  C 

stakeholder 2

stakeholder 3 Stakeholder 5

stakeholder 1 Stakeholder 4


(43)

Berdasarkan matriks tersebut, kotak A, B, dan C merupakan stakeholder kunci yang dapat mempengaruhi mekanisme secara signifikan. Implikasi dari masing-masing kotak adalah sebagai berikut :

a) Subject : Stakeholder dengan tingkat kepentingan tinggi terhadap mekanisme tetapi memiliki pengaruh yang rendah. Hal tersebut mengimplikasikan stakeholder tersebut memerlukan inisiatif khusus untuk melindungi kepentingan mereka.

b) Key Player : Stakeholder dengan tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap keberhasilan mekanisme. Untuk membentuk kerjasama efektif dalam mendukung mekanisme, sebaiknya pihak yang terlibat langsung dengan mekanisme membangun hubungan kerja dengan stakeholder ini.

c) Context Setter : Stakeholder yang memiliki pengaruh tinggi tetapi tidak memiliki kepentingan terhadap mekanisme. Stakeholder ini dapat menjadi sumber resiko yang signifikan. Selain itu, dibutuhkan monitoring dan manajemen dengan hati-hati. Stakeholder ini dapat menghentikan mekanisme dan perlu diperhatikan.

d) Crowd : Stakeholder pada kuadran ini memiliki pengaruh dan kepentingan yang rendah terhadap mekanisme. Stakeholder tersebut mungkin memerlukan monitoring dan evaluasi namun dengan prioritas yang rendah. Stakeholder pada kuadran ini bukanlah subyek dari mekanisme yang berlangsung. 3.5.2 Analisis mekanisme pembayaran jasa lingkungan

Analisis deskriptif dilakukan berdasarkan data dari dokumen perjanjian mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang ada dengan tiga jalur analisis data (Miles dan Huberman 1992 dalam Agusta 2003), yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data untuk menyederhanakan data, meringkas, dan menggolongkannya. Penyajian data dapat berupa skema atau bagan alir mekanisme atau teks naratif. Penarikan kesimpulan dengan cara peninjauan ulang data untuk menarik kesimpulan.

3.5.3 Analisis untuk mengevaluasi mekanisme yang berjalan

Evaluasi terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berjalan mengacu pada kriteria pembayaran jasa lingkungan oleh Wunder (2005). Evaluasi


(44)

 

ini bertujuan sebagai bahan untuk menentukan kebijakan lebih lanjut dalam pengelolaan. Evaluasi dilakukan dengan metode triangulasi, yaitu dengan mengecek kesesuaian antara data yang ada di dokumen kesepakatan, pengamatan lapang serta wawancara. Hasil dari ketiga hal tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif.


(45)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram

Kabupaten Lombok Barat dengan luas wilayah 862,62 Km2 atau 86.262 Ha terbagi menjadi 10 kecamatan. Terletak antara 115o46’ sampai dengan 11o28’ Bujur Timur, dan 8o12’ sampai dengan 8o55’ Lintang Selatan (BPS dan Bappeda NTB 2010). Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

• Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lombok Utara (KLU) • Sebelah barat berbatasan dengan Selat Lombok dan Kota Mataram • Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lombok Tengah • Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia

Gambar 5 Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram (Googlemap.com). Mataram selain dikenal sebagai ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Barat juga dikenal sebagai ibu kota Pemda Kota Mataram. Kota Mataram terdiri dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Mataram, Ampenan dan Cakranegara dengan 23 kelurahan dan 247 Lingkungan. Secara geografis wilayah Kota Mataram mempunyai luas wilayah 61,30 km2 dengan batas-batas sebagai berikut :


(46)

 

• Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat • Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat • Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat • Sebelah barat berbatasan dengan Selat Lombok

4.2 DAS Jangkok 4.2.1 Letak dan luas

Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram termasuk ke dalam wilayah DAS Jangkok. DAS Jangkok merupakan DAS yang sangat penting di pulau Lombok. DAS ini berbentuk bulu burung yang mengalir dari hulu Gunung Rinjani dan bermuara di Selat Lombok dengan aliran perenial. Panjang sungai utama DAS Jangkok mencapai 47,22 km, dengan luas mencapai 176,06 Km2. Luas tersebut melewati empat wilayah administratif yakni Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram serta sebagian kecil wilayah Kabupaten Lombok Utara (SCBFWM 2010). Berdasarkan toposekuesnya, dibagi menjadi wilayah bagian hulu, tengah dan hilir. Wilayah bagian hulu berada di kabupaten Lombok tengah dan sebagian di kabupaten Lombok Barat. Wilayah bagian tengah berada di di kabupaten Lombok Barat dan wilayah bagian hilir berada di Kota Mataram.

4.2.2 Kondisi geografis

Jenis tanah yang ada di kawasan DAS Jangkok terdiri dari tiga jenis yakni jenis entosol, alfisol dan inceptisol. Jenis tanah entisol merupakan jenis tanah mineral, dengan tanpa atau sedikit perkembangan. Secara umum terdapat pada topografi berbukit maupun pegunungan dengan kemiringan lereng agak curam hingga curam. Tekstur tanah beraneka dan pada umumnya berpasir. Jenis tanah alfisol merupakan jenis tanah yang telah mengalami perkembangan horizon dan berasal dari batuan kapur keras (Limestone) maupun tuf vulkanis. Solum tanah dangkal hingga sedang dan mempunyai warna coklat hingga merah. Tekstur tanah geluh hingga lempung, struktur gumpal bersudut, konsistensi teguh dan lekat bila basah, pH netral hingga agak basa, kejenuhan basa tinggi, daya absorbsi sedang dan agak peka erosi. Sedangkan jenis tanah inceptisol merupakan jenis tanah


(47)

aluvial yang berkembang pada zona penggenangan. Jenis inceptisol mempunyai sifat drainase jelek.

4.2.3 Curah hujan

Iklim di kawasan Gunung Rinjani (wilayah hulu DAS Jangkok) termasuk tipe iklim C dengan klasifikasi Schmidth Fergusson. Iklim C agak basah dicirikan dalam satu tahun jumlah bulan kering tiga bulan dan bulan basah delapan bulan. Hasil pengukuran curah hujan Badan Meteorologi selaparang Mataram periode tahun 2005-2010 di wilayah Kecamatan Narmada (wilayah Hulu) dan Kecamatan Ampenan (Wilayah Hilir) menunjukkan perbedaan tingkat curah hujan masing-masing lokasi. Hasil perhitungan pada tahun 2010 menunjukkan hasil yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, biasanya curah hujan tertinggi terjadi kebanyakan di wilayah hulu, namun padda tahun 2010 menunjukkan bahwa curah hujan tertinggi terjadi di wilayah hilir hampir di setiap bulannya, terkecuali pada bulan Juni dan Agustus yang menunjukkan bahwa tidak adanya hujan yan terjadi di wilayah hilir (BPDAS Dodokan-Moyosari 2010).

4.2.4 Luas dan tata guna lahan

Berdasarkan hasil pembaruan data DAS Jangkok (BPDAS Dodokan-Moyosari 2010) menyebutkan bahwa DAS Jangkok terdiri dari 11 Sub-DAS (sungai) yakni Sungai Tembiras, Sungai Semotoq, Sungai Bentoyang, Sungai Jangkok (sungai utama), Sungai Aiknyet, Sungai Bensuwe, Sungai Betung, Sungai Sekot, Sungai Sesaot, Kali Batu Asak dan Kali Tungtungan (BPDAS Dodokan-Moyosari 2010). Hulu DAS Jangkok memiliki peranan penting sebagai cathment area untuk mensuplai kebutuhan air bagi wilayah tengah yang umumnya penggunaan lahan didominasi oleh persawahan dan wilayah hilir yang didominasi oleh pemukiman.

Lahan kering masih cukup dominan di kawasan DAS Jangkok. Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS dan Bappeda Provinsi NTB tahun 2010, dapat digambarkan bahwa sistem penggunaan lahan dikawasan hulu DAS Jangkok masih didominasi oleh tanah kering yaitu sebesar 16.124 Ha atau sekitar 73 % dari total penggunaan lahan dikawasan hulu, kemudian disusul dengan sawah dengan persentase sebesar 11 % dari total penggunaan lahan dikawasan hulu.


(48)

 

Penggunaan lahan di kawasan hilir DAS Jangkok sangat berbeda dengan sistem penggunaan lahan di kawasan hulu dan tengah yang didominasi oleh lahan kering dan persawahan. Untuk kawasan hilir DAS Jangkok sistem penggunaan lahannya didominasi oleh lahan pemukiman dan pekarangan. Sebaran tipe penggunaan lahan dan luasan kawasan DAS Jangkok selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran tipe penggunaan lahan dan luasan di kawasan DAS Jangkok

No Tipe Penggunaan Lahan Luas (Ha) Presentase (%)

1. Hutan lahan kering primer 7.870,11 44,7

2. Hutan lahan kering sekunder 3.808,33 21,6

3. Pemukiman 1.157,82 6,6

4.. Perkebunan 1.485,86 8,4

5. Pertanian lahan kering 808,83 4,6

6. Pertanian lahan kering campuran semak 627,29 3,6

7. Sawah 332,90 1,9

8 Semak / belukar 1.483,47 8,4

9. Tanah terbuka 31,72 0,2

Jumlah 17.606.33 100

Sumber : BPDAS Dodokan Moyosari (2009) diacu dalam BPDAS Dodokan-Moyosari (2010) Luasan lahan kritis DAS Jangkok menurut BPDAS Dodokan Moyosari tahun 2009 diacu dalam SCBFWM 2010 belum dominan. Lahan kritis hanya sebagian kecil dari kawasan DAS Jangkok dan berada di kawasan tengah dan hilir. Sedangkan kawasan di bagian hulu termasuk tidak kritis dan potensial kritis. Kondisi tingkat kekritisan DAS Jangkok dapat dilihat pada gambar 6.


(49)

4.2.5 Sosial ekonomi penduduk

Daerah hulu DAS Jangkok secara administrasi terbagi atas 11 desa. Mata pencaharian penduduk di kawasan hulu DAS Jangkok adalah di dalam sektor hutan kemasyarakatan (HKm), agroforestry, perkebunan, peternakan dan sawah. Daerah tengah DAS Jangkok sebanyak 9 desa. Kawasan tengah DAS Jangkok digunakan untuk perikanan, pertanian dan hortikultura. Demikian juga dengan wilayah hilir yang terbagi menjadi 18 desa/kelurahan yang kesemuanya berada di wilayah Kota Mataram. Kawasan hilir DAS Jangkok ini mata pencaharian penduduknya di bidang jasa, pertanian, sawah dan hortikultura.

4.3 Penyedia (Providers) Jasa Lingkungan

Penyedia jasa lingkungan adalah pihak yang memiliki peran dalam menjaga atau melindungi obyek jasa lingkungan. Praktek penggunaan lahan memberi dampak terhadap kondisi air di hilir, sehingga penjual potensial adalah pemilik lahan yang ada di hulu (Engel et al 2008). Tidak menutup kemungkinan bahwa lahan di hulu merupakan milik negara, misalnya saja apabila hulu merupakan hutan lindung. Seperti yang ada di Lombok Barat ini, daerah hulu merupakan kawasan hutan Sesaot yang berstatus hutan lindung, maka yang menjadi penjual atau penyedia jasa lingkungan adalah komunitas lokal yang hidup di sekitar kawasan tersebut. Wilayah hulu DAS Jangkok terdiri dari 11 desa yaitu tujuh desa di Kabupaten Lombok Barat, dua desa di Kabupaten Lombok Utara dan satu desa di Kabupaten Lombok Tengah (BPDAS Dodokan-Moyosari 2010). Nama-nama desa yang berada di Hulu DAS Jangkok dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5 Nama-nama desa di wilayah hulu DAS Jangkok

No. Desa/Kelurahan Kecamatan Kabupaten Luas Wilayah (km2)

1. Suranadi Narmada Lombok Barat 892,0

2. Sesaot Narmada Lombok Barat 1214,0

3. Senaru Bayan Lombok Utara 41,6

4. Sedau Narmada Lombok Barat 364,0

5. Mumbul sari Bayan Lombok Utara 25,0

6. Lebah Sempaga Narmada Lombok Barat 838,0

7. Karang Bayan Narmada Lombok Barat 5,8

8. Batu Mekar Lingsar Lombok Barat 11,9

9. Batu Kumbung Lingsar Lombok Barat 28,2

10. Akar-Akar Bayan Lombok Utara 49,0

11. Aik Berik Batukliang Utara Lombok Tengah 41,9


(50)

 

Fungsi kawasan daerah hulu sebagian besar masih berupa kawasan hutan. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan lindung, hutan produksi terbatas (HPH), hutan produksi biasa, taman wisata alam, taman hutan rakyat dan taman nasional (Suryandari dan Alviya 2009). Kawasan hutan Sesaot merupakan bagian hulu dari DAS Jangkok. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.756/Kpts/Um/1982, status dan fungsi hutan Sesaot adalah hutan lindung. Penunjukan ini didasari atas pertimbangan hutan ini memiliki fungsi penting sebagai sumber mata air bagi irigasi pertanian skala besar serta untuk kebutuhan rumah tangga, khususnya di Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat dan sebagian Kabupaten Lombok Tengah (Galudra et al 2010).

Masyarakat sekitar hutan Sesaot yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani HKm, sehingga dalam menjalankan kegiatan sosial ekonominya membentuk kelompok-kelompok kecil atau lembaga tingkat lokal. Lembaga-lembaga tersebut aktif bekerjasama dengan berbagai pihak, antara lain Lembaga-lembaga pemerintah, LSM, lembaga internasional maupun perusahaan. Kelompok masyarakat atau lembaga tingkat lokal yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan hulu DAS Jangkok disajikan pada tabel 6.

Tabel 6 Nama-nama lembaga masyarakat di tingkat lokal

Nama Keterangan Forum Kawasan

Kelompok yang dibentuk untuk mengkoordinasikan dan mendampingi kelompok-kelompok tani HKm dan kelompok tani non-HKm termasuk dalam pengamanan kawasan hutan lindung Sesaot,

Kelompok Wana Dharma Kelompok masyarakat/ kelompok tani yang mengelola lahan HKm izin dan HKm non izin

Kelompok Wana Lestari Kelompok masyarakat/ kelompok tani yang mengelola lahan HKm izin dan HKm non izin

Kelompok Wana Abadi Kelompok masyarakat/ kelompok tani yang mengelola lahan HKm izin dan HKm non izin

Kelompok Mitra Pelestarian Hutan (KMPH)

Wadah organisasi yang bersifat sekunder, merupakan pengembangan dari kelompok usaha bersama, kelompok - kelompok kopi penyangga dan kelompok – kelompok perkebunan lahan milik yang ada di sekitar kawasan Hutan Lindung Sesaot

Forum Ranget Kelompok masyarakat/ kelompok tani yang mengelola lahan HKm izin dan HKm non izin

Kelompok Tani Sinar Harapan Pengembangan ekonomi mikro melalui kios sarana produksi Kelompok perempuan Ale-Ale

Lembaga yang berfungsi menampung aspirasi dan

pengembangan kapasitas kaum perempuan di kawasan sesaot dalam melakukan pengelolaan sumberdaya hutan khususnya di hutan sesaot.


(51)

Tabel 6 Nama-nama lembaga masyarakat di tingkat lokal (lanjutan)

Nama Keterangan Kelompok tani Cempaka

Kelembagaan masyarakat, khususnya kaum perempuan sesaot yang bergerak dalam bidang simpan pinjam dan

pengembangan kreatifitas masyarakat. Kelmpok tani Dahlia Desa

Suranadi

Merupakan kelompok yang bergerak dalam bidang pembibitan tanaman kehutanan dan perkebunan

Kelompok tani Hidup Baru

Merupakan kelembagaan yang berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya kaum ibu yang ingin berusaha, dengan lingkup kegatan seperti sinpan pinjam, santunan, dan usaha bakulan.

Kelompok Melati Desa Lembah Sempage

Merupakan kelompok perempuan yang bergerak dalam bidang simpan pinjam dan sebagai pengumpul HHBK dari kawsan hutan lembah sempage

Kelompok Melati Desa Sesaot

Merupakan kelompok masyarakat yan bergerak dalam bidang simpan pinjam, dan pengumpuh HHBK khususnya yang berasal dari kawasan hutan sesaot

Kelompok Sanggar Muda Tani Mandiri (Batumekar)

Lembaga yang bergerak dalam bidang pembibitan sampai pemasaran hasil usaha pertanian.

Organisasi Rakyat Darma Utama (Ora Darma)

Lembaga yang bergerak dalam pengelolaan air dengan sistem water meter di desa Batumekar.

Kelompok Masyarakat Peduli Sedau

Merupakan kelompok yang berorientasi pada usaha pembibitan.

Sumber : BPDAS Dodokan-Moyosari 2010

4.4 Pembeli (Buyers) Jasa Lingkungan

Pembeli jasa lingkungan biasanya berasal dari pihak yang memanfaatkan jasa lingkungan (user financed schemes). Pembeli jasa lingkungan juga bisa berasal dari lembaga pemerintah maupun lembaga internasional (pada Government schemes). Pemanfaat jasa lingkungan pada skema pembayaran jasa lingkungan biasanya adalah dari daerah hilir sungai. Pembeli potensial pada jasa lingkungan adalah pihak yang bersedia menjaga atau melindungi aliran keberlanjutan dari jasa lingkungan yang bersangkutan (Engel et al 2008).

Pada skema PJL di kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram yang menjadi pihak pembeli jasa lingkungan adalah merupakan pihak pemanfaat jasa lingkungan. Pihak tersebut adalah sebagian besar masyarakat Lombok barat dan Kota Mataram yang berada di hilir DAS Jangkok. Pada mekanisme yang terjadi saat ini penerima jasa lingkungan yang telah bersedia membayar adalah pelanggan PDAM Menang-Mataram. PDAM Menang-Mataram merupakan perusahaan daerah milik dua pemerintahan, yaitu Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram. Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1993 disepakati kepemilikan PDAM secara bersama oleh kedua Pemerintahan dengan proposi pembagian 65% untuk Kabupaten Lombok Barat dan 35% untuk Kota Mataram.


(1)

   


(2)

(3)

   


(4)

Lampiran 5 Laporan penggunaan dana IMP 2009-2010


(5)

    Lampiran 6 Dokumentasi penelitian

a. Hulu Sungai Jangkok b. Hilir Sungai Jangkok

c. Mata pencaharian masyarakat HKm d. Kayu bakar untuk dijual

e. Presentasi kelompok pengusul f. Kerjasama Lobar-Mataram


(6)

i. Publikasi Laporan IMP j. Tarif jasling pada rekening air

k. Tarif jasling wisata l. Rapat IMP

m. Proses Monitoring IMP n. Kawasan wisata Sesaot