pertanian berbasis konservasi, sikap petani yang ramah lingkungan dan kondisi ekonomi petani, yang penting untuk keberlanjutan implementasi PES. Namun
ditemui beberapa hambatan dimana konsep PES masih sulit untuk diterima sebagai regulasi baru, karena adanya anggapan dari pembuat kebijakan bahwa
konsep tersebut telah diakomodasi oleh kebijakan yang telah ada. Kisah sukses dari implementasi PES di DAS Cidanau perlu diambil sebagai pelajaran oleh
pemerintah untuk kebijakan lingkungan ke depan. Implementasi yang sukses oleh PT KTI ditekankan pada aspek
pembelajaran dimana hak dan kewajiban tiap stakeholder dapat dikontrol secara transparan. Dengan beberapa improvisasi dan modifikasi, implementasi PES dapat
di uji coba pada skala nasional.
2.4 Analisis Stakeholder
Stakeholder adalah keseluruhan aktor atau kelompok yang mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan, dan penerapan sebuah proyek
Groenendijk 2003. Metode analisis stakeholder digunakan untuk mengetahui keterlibatan stakeholder meliputi identifikasi, peranan, fungsi dan pengaruh
stakeholder. Analisis stakeholder adalah sebuah proses untuk : 1 menjelaskan aspek sosial dan fenomena alam yang dipengaruhi oleh suatu keputusan atau
kegiatan, 2 mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang dipengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh bagian dari fenomena tersebut bisa termasuk bukan
manusia atau kesatuan yang tidak hidup dan generasi mendatang, 3 Untuk mengetahui prioritas individu atau kelompok dalam keterlibatan untuk mengambil
keputusan dan kebijakan Reed et al 2009. Reed et al 2009 membagi stakeholder berdasarkan kepentingan dan
pengaruhnya menjadi: 1.
Key Player, merupakan stakeholder yang paling aktif dalam pengelolaan karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang besar
2. Subject, memiliki kepentingan yang besar tetapi pengaruhnya kecil.
Stakeholder ini mungkin memberikan dukungan tetapi memiliki kapasitas yang kecil untuk mengubah keadaan. Stakeholder ini dimungkinkan akan
memiliki pengaruh yang jauh lebih besar jika bekerjasama dengan stakeholder lain
3. Context Setter, memberikan pengaruh yang besar, tetapi memiliki
kepentingan yang kecil. Stakeholder kategori ini mungkin akan memberikan gangguan yang signifikan terhadap suatu sistem pengelolaan.
Sehingga dalam suatu pengelolaan, stakeholder ini harus selalu dipantau dan harus selalu diatur
4. Crowd, merupakan stakeholder dengan kepentingan dan pengaruh yang
kecil. stakeholder ini akan memperhatikan segala kegiatan yang dilakukan.
2.5 Hutan Kemasyarakatan HKm di Lombok Barat
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P372007, Hutan Kemasyarakatan HKm didefinisikan sebagai hutan negara yang pemanfaatan
utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Program ini merupakan langkah strategis dalam pelestarian hutan sekaligus dapat
meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar hutan. Tujuan HKm adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber
daya hutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup. Diharapkan penyelenggaraan HKm mampu mengembangkan kapasitas dan
pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat
untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. HKm dapat diterapkan di kawasan hutan Lindung dan hutan Produksi.
Pemilik izin HKm disebut sebagai Izin Usaha Pemegang Hak Hutan Kemasyarakatan IUPHKm yang berada pada hutan lindung. Pemegang
IUPHKm berhak mendapat fasilitasi pendampingan dari pemerintah kabupaten, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan kawasan dan memungut hasil
hutan bukan kayu. Sedangkan di sisi lain Pemegang IUPHKm berkewajiban melakukan penataan batas areal kerja, menyusun rencana kerja, melakukan
penanaman, pemeliharaan dan pengamanan, membayar penyediaan sumberdaya hutan sesuai ketentuan, dan menyampaikan laporan kegiatan pemanfatan hutan
kemasyarakatan kepada pemberi izin. Sejarah hutan lindung sesaot dimulai sejak zaman penjajahan Belanda.
Masyarakat Desa Sesaot merupakan pendatang yang berasal dari Kabupaten Lombok Barat dan Mataram sekarang serta pendatang dari Karang Asem Bali.
Mereka pada awalnya didatangkan oleh pemerintah Belanda sebagai pekerja dalam reboisasi hutan tutupan hutan lindung. Pemerintah Belanda memberikan
hak kelola masyarakat dalam bentuk tumpang sari dibawah tegakan pohon kayu- kayuan. Adanya hak pengelolaan tersebut mendorong masyarakat untuk
membangun rumah tempat berteduh di luar kawasan hutan tutupan. Adanya insentif yang tinggi dari dalam kawasan hutan merupakan faktor penarik
masyarakat luar mendekat dan berdomisili disekitar hutan Dipokusumo 2011. Menurut hasil penelitian Khususiyah et al 2010, Pengelolaan hutan Sesaot
oleh masyarakat dimulai sejak tahun 1957. Pada tahun tersebut, hutan Sesaot ditanami tanaman sengon Paraserianthes falcataria dan buah-buahan oleh
masyarakat setempat sebagai bagian dari program penghijauan. Masyarakat diperkenankan untuk mengelola tanaman tersebut. Pada tahun 1968-1969,
masyarakat mulai menanam kopi di bawah tegakan pohon penghijauan tersebut. Agar penanaman kopi ini dikelola dengan baik, pihak kehutanan setempat pada
tahun 1972 membentuk Koperasi Rimbawan yang menaungi pengelolaan kopi masyarakat. Penanaman dan pemeliharaan kopi ini juga berlanjut hingga tahun
1984-1985. Luas tanaman kopi di hutan Sesaot di tahun tersebut mencapai 1.662 ha sehingga diusulkan sebagai hutan penyangga kopi. Usulan ini mendapat
tanggapan dengan dikeluarkannya SK Gubernur No.140 tanggal 26 Mei 1986 yang juga memuat perjanjian pemeliharaan tanaman kopi di dalam kawasan hutan
lindung. Masyarakat yang memelihara tanaman kopi tersebut dibenarkan untuk mendapat setengah dari hasil panen tersebut.
Pengelolaan hutan oleh masyarakat bukan hanya ketika mereka menanam dan memelihara tanaman kopi saja. Pada tahun 1982, dilakukan program
penghijauan khususnya di wilayah bekas eks-HPH di hutan Sesaot. Tanaman mahoni, sengon dan lamtoro disertai juga tanaman buah-buahan ditanam melalui
mekanisme banjar harian dan tumpangsari. Bahkan masyarakat menanam pisang di antara tanaman buah-buahan.
Pada tahun 1995, dikembangkan uji coba pola HKm di atas hutan tersebut seluas 25 ha. Uji coba tersebut dievaluasi cukup berhasil ditinjau dari aspek
konservasi dan ekonomi sehingga diperluas oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Barat menjadi 236 ha. Hingga hari ini, sekitar 3.857 ha hutan Sesaot dikelola oleh
masyarakat dengan pola HKm dimana seluas 185 ha di antaranya telah mendapatkan izin Usaha Pengelolaan HKm SK Bupati Lombok Barat No.
213065Dishut2009 berdasarkan pencadangan areal HKm oleh Menteri Kehutanan Kepmenhut No. 445Menhut-II2009. Selebihnya, lahan yang
dikelola masyarakat sedang diusulkan untuk mendapatkan izin HKm kepada Menteri Kehutanan Surat Bupati Lombok Barat No 522726Dishut2010. Sejak
tahun 1995 hingga sekarang, 6.000 KK atau 18.000 jiwa di kawasan Sesaot menggantungkan sumber kehidupannya dari pengelolaan kawasan tersebut.
Berdasarkan Dipokusumo 2011, Kelembagaan di HKm hutan Lindung sesaot berupa Forum HKm. Kelembagaan ini berperan sebagai sumber informasi
pengelola HKm dan advokasi antara masyarakat dengan pihak luar termasuk pemerintah. Kelembagaan HKm tersebut belum dapat berfungsi optimal sebagai
wadah yang dapat menjembatani penggarap HKm pesanggem dengan pihak luar termasuk pemerintah. Berbagai informasi berhenti sampai pada tingkat pengurus
kelompok. Luas HKm Hutan Lindung Sesaot yaitu 211 hektar dengan jumlah petani
pengelola sebesar 1.224 KK yang berlokasi di lima dusun yaitu Dusun Bunut Ngengkang Desa Sesaot seluas 25 hektar, Dusun Pesuren Desa Lebah
Sempage seluas 35 hektar, Dusun Kumbi I dan II Desa Lebah Sempage seluas 35 hektar, Dusun Lebah Suren Desa Sedau seluas 65 hektar dan Dusun Selen
Aik Desa Sedau seluas 51 hektar. Dengan demikian, total luas lahan HKm mencapai 236 ha Dipokusumo 2011.
2.6 Pajak Ganda Double Taxation pada PDAM