antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan kakak dan adik ipar dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas silaturahmi dengan
kakak dan adik ipar dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun bersilaturahmi dengan kakak dan adik ipar dirasa sudah cukup. Aktivitas
silaturahmi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
5.1.3 Hubungan dengan Generasi Bawah
Subbab ini akan memperlihatkan bagaimana hubungan kekerabatan pemulung dengan genarasi bawah. Generasi bawah yang dimaksud adalah anak,
menantu dan keponakan.
Tabel 11 Jumlah dan Persentase Hubungan dengan Generasi Bawah menurut Kekerabatan Responden, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran
Lama, Jakarta Selatan, 2011
Tingkat Kekerabatan
Generasi Bawah
Kategori Sangat
Rendah Rendah
Sedang Tinggi
Sangat Tinggi
Jumlah Jumlah
Jumlah Jumlah
Jumlah Frekuensi
Komunikasi Anak
29 83
1 3
2 6
3 8
Menantu 33
94 2
6 Keponakan
34 97
1 3
Frekuensi Silaturahmi
Anak 30
86 1
3 1
3 3
8 Menantu
33 94
2 6
Keponakan 34
97 1
3
Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa sebaran frekuensi komunikasi dan frekuensi silaturahmi responden tidak merata. Responden cenderung memiliki
frekuensi komunikasi dan frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan generasi bawah yaitu, anak, menantu dan keponakan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 83 per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan anak. Selain itu, terdapat tiga per sen
responden memiliki frekuensi komunikasi yang rendah dengan anak, enam per sen responden memiliki frekuensi komunikasi yang sedang dengan anak dan delapan
per sen responden memiliki frekuensi komunikasi yang sangat tinggi dengan anaknya seperti tampak pada Tabel 11. Adapun komunikasi responden dengan
tingkat frekuensi yang tinggi tidak ditemukan. Dominannya responden yang memiliki tingkat frekuensi komunikasi yang sangat rendah dikarenakan sebagian
besar anak responden berada di kampung halaman. Terlebih, sebagian besar responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak
dapat menghubungi anaknya. Selain itu, beberapa responden yang belum memiliki anak karena terlebih dahulu menjanda dan beberapa responden belum menikah.
Gambar 14 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Anak dalam Enam Bulan Terakhir
Persepsi responden terhadap frekuensi komunikasi dengan anak menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi berkomunikasi
responden dengan anak. Persentase persepsi tersebut adalah 46 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan anak, 23 per sen responden
mengaku jarang berkomunikasi dengan anak, sembilan per sen responden mengaku cukup berkomunikasi dengan anak, 14 per sen responden mengaku
sering berkomunikasi dengan anak dan delapan per sen reponden mengaku sangat sering berkomunikasi dengan anak seperti tampak pada Gambar 14. Perbedaan
hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi dengan anak dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan
anak dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun berkomunikasi dengan anak dirasa sudah cukup. Dimana aktivitas komunikasi
dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
Sangat Sering 3
8 Sering
5 14
Cukup 3
9 Jarang
8 23
Tidak Pernah 16
46
Hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa 94 per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan menantu.
Sedangkan responden yang memiliki frekuensi komunikasi yang sangat tinggi dengan menantu hanya sebesar enam per sen. Adapun komunikasi responden
dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang dan tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar responden belum memiliki menantu. Namun
sebagian kecil sudah memiliki menantu namun berada di kampung halaman dan di daerah yang berbeda di Jakarta. Sehingga sulit untuk melakukkan komunikasi
dengan menantu. Terlebih sebagian responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi menantu.
Gambar 15 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Menantu dalam Enam Bulan Terakhir
Dominannya responden yang memiliki tingkat frekuensi komunikasi dengan menantu yang sangat rendah merupakan data objektif. Namun jika
reponden mengungkapkan persepsi mereka terhadap frekuensi komunikasi dengan menantu yang mereka lakukan, ternyata menunjukan hasil persentase yang
berbeda. Persentase persepsi tersebut adalah 77 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan menantu, sebelas per sen responden mengaku
jarang berkomunikasi dengan menantu, tiga per sen responden mengaku cukup berkomunikasi dengan menantu dan sembilan per sen responden mengaku sering
berkomunikasi dengan menantu seperti tampak pada Gambar 15. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi dengan saudara sepupu dan
persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan
Sering 3
9 Cukup
1 3
Jarang 4
11 Tidak Pernah
27 77
menantu dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun berkomunikasi dengan menantu dirasa sudah cukup. Aktivitas komunikasi
tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman, sehingga dimungkinkan untuk berkomunikasi secara langsung dengan menantu.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 97 per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan keponakan. Sedangkan,
responden yang memiliki frekunesi komunikasi yang tinggi dengan keponakan hanya sebesar tiga per sen seperti tampak pada Tabel 11. Adapun komunikasi
responden dengan tingkat frekuensi komunikasi yang rendah, sedang dan sangat tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar keponakan
responden berada di kampung halaman. Terlebih sebagian besar responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat
menghubungi keponakan di kampung halaman.
Gambar 16 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Keponakan dalam Enam Bulan Terakhir
Persepsi responden terhadap frekuensi komunikasi dengan keponakan menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi berkomunikasi
responden dengan keponakan. Persentase persepsi tersebut adalah 72 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan keponakan, sebelas per
sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan keponakan, sebelas per sen responden mengaku cukup berkomunikasi dengan keponakan dan enam per sen
responden mengaku sering berkomunikasi dengan keponakan seperti tampak pada Gambar 16. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi
Sering 2
6 Cukup
4 11
Jarang 4
11 Tidak Pernah
25 72
dengan keponakan dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan keponakan dikarenakan anggapan umum responden bahwa
sekali setahun berkomunikasi dengan keponakan dirasa sudah cukup. Aktivitas komunikasi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke
kampung halaman. Penelitian ini mengukur hubungan responden dengan kerabatnya tidak
hanya dengan mengukur frekuensi komunikasi tetapi juga mengukur frekuensi silaturahmi dengan kerabat. Sebesar 86 per sen dari jumlah responden memiliki
tingkat frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan anak. Selain itu, responden yang memiliki frekuensi silaturahmi yang rendah sebesar tiga persen,
responden yang memiliki frekuensi silaturahmi yang sedang dengan anak sebesar enam per sen seperti tampak pada Tabel 11. Adapun silaturahmi responden yang
memiliki tingkat frekuensi yang tinggi tidak ditemukan. Dominannya responden yang memiliki tingkat frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dikarenakan
sebagian besar anak responden berada di kampung halaman. Terlebih, sebagian besar responden hanya sekali setahun pulang ke kampung halaman dan itu pun
tidak rutin setahun sekali. Persepsi responden terhadap frekuensi silaturahmi dengan anak
menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi silaturahmi responden dengan anak. Persentase persepsi tersebut adalah 46 per sen responden
mengaku tidak pernah bersilaturahmi dengan anak, 23 per sen responden mengaku jarang bersilaturahmi dengan anak, sembilan per sen responden mengaku cukup
bersilaturahmi dengan anak, 14 per sen responden mengaku sering bersilaturahmi dengan anak dan delapan per sen responden mengaku sangat sering bersilaturahmi
dengan anak seperti tampak pada Gambar 17. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan anak dan persentase persepsi
responden terhadap frekuensi aktivitas silaturahmi dengan anak dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun bersilaturahmi dengan anak
dirasa sudah cukup. Aktivitas silaturahmi dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
Gambar 17 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Anak dalam Enam Bulan Terakhir
Hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa 94 per sen responden memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan Menantu. Selain itu,
responden yang memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat tinggi hanya sebesar enam per sen. Adapun silaturahmi responden dengan tingkat frekuensi yang
rendah, sedang dan tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar responden belum memiliki menantu. Sedangkan responden yang memiliki
menantu hanya dimungkinkan bersilaturahmi dengan menantu ketika responden pulang ke kampung halaman.
Keseluruhan responden yang memiliki tingkat frekuensi silaturahmi dengan menantu yang sangat rendah merupakan data objektif. Namun jika
reponden mengungkapkan persepsi mereka terhadap frekuensi silaturahmi dengan menantu yang mereka lakukan, ternyata menunjukan hasil persentase yang
berbeda. Persentase persepsi tersebut adalah 77 per sen responden mengaku tidak pernah bersilaturahmi dengan menantu, sebelas per sen responden mengaku
jarang bersilaturahmi dengan menantu, tiga per sen responden mengaku cukup bersilaturahmi dengan menantu dan sembilan per sen responden mengaku sering
bersilaturahmi dengan menantu seperti tampak pada Gambar 18. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan menantu dan
persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas silaturahmi dengan menantu dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun
Sangat Sering 3
8 Sering
5 14
Cukup 3
9 Jarang
8 23
Tidak Pernah 16
46
bersilaturahmi dengan menantu dirasa sudah cukup. Aktivitas silaturahmi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
Gambar 18 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Menantu dalam Enam Bulan Terakhir
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 97 per sen responden memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan keponakan. Sedangkan
responden yang memiliki frekuensi silaturahmi yang tinggi dengan keponakan hanya sebesar tiga per sen seperti tampak pada Tabel 11. Adapun silaturahmi
responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang dan sangat tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar keponakan responden berada
di kampung halaman. Terlebih sebagian besar responden hanya setahun sekali pulang ke kampung halaman dan itu pun tidak rutin setahun sekali.
Gambar 19 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Keponakan dalam Enam Bulan Terakhir
Persepsi responden terhadap frekuensi silaturahmi dengan keponakan menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi bersilaturahmi
responden dengan keponakan. Persentase persepsi tersebut adalah 72 per sen
Sering 3
9 Cukup
1 3
Jarang 4
11 Tidak Pernah
27 77
Sering 2
6 Cukup
4 11
Jarang 4
11 Tidak Pernah
25 72
responden mengaku tidak pernah bersilaturahmi dengan keponakan, sebelas per sen responden mengaku jarang bersilaturahmi dengan keponakan, sebelas per sen
responden mengaku cukup bersilaturahmi dengan keponakan dan enam per sen responden mengaku sering bersilaturahmi dengan keponakan seperti tampak pada
Gambar 19. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan keponakan dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas
silaturahmi dengan keponakan dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun bersilaturahmi dengan keponakan dirasa sudah cukup. Aktivitas
silaturahmi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
5.2 Keterampilan Pemulung