Kerentanan Sosial Pemulung Asal Desa Di Jakarta

(1)

ABSTRACT

LUKMAN HAKIM Social Vulnerability of Rural Originated Scavengers in Jakarta. Supervised by IVANOVICH AGUSTA

The research was conducted on urban poor, who ara rural originated scavengers in Grogol Selatan, Sub District of Kebayoran Lama, District of Jakarta Selatan, DKI Jakarta. This study has three objectives: 1) to know the life of the urban poor, 2) to measure influence of sosial vulnerability to urban poor’s standard of living, 3) to measure the level of social vulnerability in the urban poor. These three research objectives can be answered by quantitative research methods and supported by qualitative methods. The method is carried out by questionnaire, direct observation, indepth interviews and document serches. Quantitative approach is addressed to 35 respondents. Respondents obtained by incidental sampling. Respondents are urban poor who work as scavengers. Incidental sampling method was conducted in Grogol Selatan. Precisely in Stasiun Kebayoran, Pasar Bata Putih and under of Simprug’s Bridge. The results showed urban poor’s standard of living are very low level. The levels of urban poor’s social vulnerability is very high. In this study proved that kinship (objective), skills (objective), ethnicity (perception), collectivity (the perception of attitude) and collectivity (the perception of the total) have a negative influence on economic conditions. Besides kinship (perception), skills (perception), ethnicity (objective) and collectivity (objective) has a positive effect on economic conditions. In this study also proved that the kinship (objective), skills (objective), ethnicity (perception) and collectivity (the perception of attitude) negatively affect the accessibility of basic needs. Besides kinship (perception), skills (perception), collectivity (objective) and collectivity (the perception of the total) have a positive influence on the accessibility of basic needs. And this study also proves that the kinship (objective), skills (objective), skills (perception), ethnicity (perception) and collectivity (the perception of the total) has a positive effect on participation. Besides kinship (perception), ethnicity (objective), collectivity (objective) and collectivity (perception attitudes) have a negative influence on participation. Key words: social vulnerability, standard of living, kinship, skills, ethnicity, urban poor groups, scavengers, economic conditions, accessibility of basic needs and participation


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), bahwa masalah

kemiskinan kota dan kedudukan orang miskin kota dalam masyarakat bukanlah masalah pemerintah kota semata. Di Jakarta, hal ini merupakan dilema pemerintah terhadap sistem perekonomian yang terpusat pada kota Jakarta sendiri. Menurut Hizbaron (2008), DKI Jakarta sebagai pusat ekonomi, politik dan administratif menimbulkan daya tarik yang mendorong penduduk pedesaan bermigrasi ke sana. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan Suparlan (1984), bahwa daya dorong dari pedesaan muncul karena adanya tekanan ekonomi dan rasa tidak aman bagi sebagian warga desa, sehingga warga desa terpaksa mencari tempat yang diduga dapat memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota. Hanya saja yang terjadi adalah Jakarta terlalu banyak orang dibandingkan dengan lowongan kerja dan sumber-sumber dayanya (Cohen, 1972 dalam Suparlan, 1984).

Kenyataan lain yang terjadi ialah, Jakarta sebagai pusat ekonomi, politik dan administratif justru menjadi pemicu munculnya masalah kemiskinan di perkotaan. Sebagaimana diungkapkan Suparlan (1984), walaupun harapan-harapan untuk memperoleh pekerjaan lebih terbuka di daerah perkotaan dari pada di daerah pedesaan, kemiskinan di daerah perkotaan tetap ada atau bersifat laten. Menurut Suparlan, hal ini dikarenakan potensi-potensi yang ada (lingkungan fisik dan alam, sistem sosial dan kebudayaan) tidak atau belum dapat dimanfaatkan guna mewujudkan harapan-harapan (nafkah yang cukup memadai bagi sebagian besar warganya). Kemiskinan di perkotaan Jakarta tersebut dapat digambarkan seperti yang diungkapkan oleh Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), bahwa kebanyakan orang terpaksa mengambil jenis-jenis pekerjaan ‘kelas ketiga’ seperti sebagai tukang becak, pedagang kecil, calo, kuli, bahkan pelacur. Hal tersebut juga senada dengan pandangan Suparlan (1984), bahwa kemiskinan di perkotaan Jakarta diidentikkan dengan merebaknya kelompok-kelompok masyarakat yang


(3)

2

bermatapencaharian sebagai pedagang kaki lima, penjual pakaian bekas, penyapu jalan, penjaga malam, pengemis, dan pemulung. Hasil dari pekerjaan itu biasanya hanya cukup untuk menjaga diri dan keluarganya tidak mati kelaparan. Menurut Lewis (1988), masyarakat miskin kota hidup pada tingkat untuk menyambung hidup belaka. Masyarakat miskin kota bekerja di hari ini untuk bisa makan hingga esok hari saja.

Dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan papan masyarakat miskin di kota mungkin dapat terpenuhi, namun dengan keterbatasan. Menurut Rebong et al (1979) dalam Suparlan (1984), air untuk memasak diambil dari sungai dengan memberikan kapur untuk mengendapkan kotorannya. Suparlan (1984) juga mengungkapkan, bahwa masyarakat miskin di Jakarta memenuhi kebutuhan papan mereka dengan mendirikan ‘gubuk setengah permanen’ (gubuk yang permanen, tetapi dengan bahan bangunan yang kebanyakan tidak bisa tahan lama), ‘gubuk setengah sementara’ (gubuk yang dibangun sederhana untuk tempat tinggal sementara) dan bahkan membuat tempat untuk bermalam dengan tumpukan kardus-kardus di depan pertokoan. Dalam memenuhi kebutuhan sandang, mereka seringkali menggunakan pakaian yang sama untuk sehari-hari, dalam keadaan kusut dan sobek, bahkan setengah telanjang. Mereka selalu menggunakan pakaian yang sama untuk melakukan beragam aktivitas dan seringkali pakaian tersebut tidak dicuci selama berhari-hari.

Menurut Suparlan (1984), bahwa kondisi masyarakat miskin Jakarta dalam pemenuhan kebutuhan dasar diperparah dengan tidak adanya kerabat sehingga mereka sulit untuk memperoleh bantuan. Masyarakat miskin di Jakarta dengan demikian sangat rapuh terhadap berbagai tekanan. Kondisi yang demikian diungkapkan oleh Bakornas PB (2007) sebagai kerentanan sosial, yang diartikan sebagai ketidakmampuan individu atau masyarakat dalam menghadapi suatu tekanan. Ketika individu yang miskin di Jakarta memiliki kerabat, berkelompok dengan sesama daerah asal maka keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan dasar tersebut tidak lagi dijumpai. Hal tersebut menunjukkan kemampuan individu menghadapi suatu tekanan yang melalui daya dukung dari kerabat dan teman sedaerah asal. Seperti yang diungkapkan oleh Suparlan (1984), warga desa yang datang dan hidup di kota cenderung untuk tetap mempertahankan kebudayaan asal


(4)

3

suku bangsa dan daerah asalnya, serta membentuk berbagai perkumpulan yang beranggotakan orang-orang yang berasal dari suku bangsa dan daerah asal yang sama. Menurut Lewis (1966) dalam Suparlan (1984), masyarakat yang berasal dari suatu golongan suku bangsa tertentu, atau golongan ras tertentu atau kelompok tertentu dan terikat oleh hubungan-hubungan kekerabatan, maka perasaan komunitas setempat hampir menyerupai komunitas di desanya. Hal ini memunculkan daya dukung dan pertolongan terhadap individu dalam menghadapi tekanan dan kondisi kerentanan sosial tidak terjadi kepadanya.

Persamaan asal daerah dan memiliki kerabat di Jakarta menjadi modal yang kuat untuk dapat bertahan hidup dan menghadapi suatu tekanan bagi orang miskin. Hal tersebut juga diperkuat dengan ungkapan Fukuyama (2007) mengenai kepercayaan atau trust yang membahas tentang kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan seseorang sebagai modal untuk menjadikan seseorang tersebut mampu bertahan dalam suatu tekanan. Fukuyama (2007) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kedekatan dengan kerabatnya cenderung mampu bertahan menghadapi kondisi tekanan. Begitu pula kolektivitas yang tinggi dalam suatu komunitas dapat menjadikan anggota komunitas tersebut kuat terhadap tekanan. Persamaan etnis dalam suatu komunitas menjadi modal seseorang untuk dapat bertahan pada kondisi tekanan. Keterampilan yang dimiliki seseorang dalam mengerjakan suatu hal yang jarang dan tidak dapat dilakukan oleh orang lain dapat meningkatkan kepercayaan orang lain kepadanya sehingga pada akhirnya seseorang tersebut mendapat kepercayaan untuk dipekerjakan orang lain. Hal yang sebaliknya disampaikan Fukuyama (2007), di mana seseorang yang memiliki perbedaan latar belakang kekerabatan dan etnis dari orang lain akhirnya hanya memiliki tingkat kepercayaan yang rendah, dan dukungan orang lain sulit didapatkan ketika ia menghadapi tekanan. Dengan memperhatikan latar belakang di atas, terlihat bahwa isu kerentanan sosial sering kali muncul di perkotaan yang memiliki tantangan di bidang ekonomi, sosial, lingkungan dan infrastruktur. Kerentanan sosial tersebut lebih sering dialami kelompok miskin kota.


(5)

4

1.2 Rumusan Masalah

Terpusatnya perekonomian, politik dan administrasi negara di DKI Jakarta ternyata telah menimbulkan masalah kemiskinan. Menurut Suparlan (1984), kemiskinan di perkotaan tetap ada atau laten karena potensi-potensi yang ada tidak atau belum dapat dimanfaatkan untuk menciptakan alternatif-alternatif baru, atau tidak dapat memberikan nafkah yang memadai bagi sebagian besar warganya.

Masalah kemiskinan di perkotaan menimbulkan keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan dasar sehingga, menurut Lewis (1966) dalam Suparlan (1984), kondisi yang demikian merangsang munculnya cara hidup kelompok miskin perkotaan untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dalam bertahan hidup. Kondisi kemiskinan yang dialami individu miskin di perkotaan diperparah dengan tidak adanya kerabat maupun kelompok sedaerah asal yang memiliki latar belakang yang sama dengannya. Pada saat hal ini terjadi dalam kondisi tertekan mereka sulit mendapatkan dukungan dan pertolongan yang dikenal sebagai kerentanan sosial.

Kerentanan sosial adalah suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi suatu tekanan. Kerentanan sosial tersebut sering dialami kelompok miskin kota yang merupakan migran dari daerah pedesaan, sehingga perlu untuk dikaji tingkat kerentanan sosial yang mempengaruhi kehidupan kelompok miskin perkotaan. Oleh sebab itu, penelitian ini memiliki pertanyaan utama, yaitu:

1. Bagaimanakah kehidupan kelompok miskin kota?

2. Sampai mana pengaruh tingkat kerentanan sosial terhadap taraf hidup kelompok miskin kota?

3. Sampai mana tingkat kerentanan sosial pada kelompok miskin kota?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah dipaparkan di atas, disusunlah beberapa tujuan penelitian guna menjawab rumusan masalah dan pertanyaan penelitian tersebut, yaitu mengetahui kehidupan


(6)

5

terhadap taraf hidup kelompok miskin kota dan mengukur tingkat kerentanan sosial pada kelompok miskin kota.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan untuk mahasiswa selaku pengamat dan akademisi, masyarakat dan pemerintah. Adapun manfaat yang dapat diperoleh yaitu:

1. Bagi Akademisi

Penelitian ini memberikan contoh kongkret pengaruh tingkat kerentanan sosial terhadap kehidupan kelompok miskin perkotaan. Selain itu penelitian ini bisa menambah literatur di bidang pendidikan terutama yang terkait dengan topik kerentanan sosial dan kemiskinan perkotaan

2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat menambah wawasan masyarakat terkait dengan masalah kemiskinan perkotaan.

3. Bagi Pemerintah

Penelitian dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan tingkat kerentanan sosial pada

kelompok miskin perkotaan dalam menanggulangi masalah kemiskinan perkotaan.


(7)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kerentanan Sosial

Kerentanan sosial menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya (Bakornas PB, 2007) dan menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan suatu penduduk terhadap keselamatan jiwanya apabila terjadi bahaya (Davidson, 1997 dalam Suganda, 2000). Menurut Soetomo (2010), gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau tidak sesuai dengan nilai, norma dan standar sosial yang berlaku. Hal yang demikian menjadi suatu masalah sosial, yang ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian besar masyarakat dan dapat menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian fisik maupun nonfisik. Kerentanan sosial merupakan suatu kondisi yang

dialami oleh seseorang atau masyarakat, sehingga mengakibatkan

ketidakmampuan suatu masyarakat menghadapi suatu tekanan yang dapat mengancam kehidupan seseorang atau masyarakat tersebut.

Menurut Hizbaron (2008), kerentanan sosial dapat meningkat seiring dengan meningkatnya laju urbanisasi pada suatu daerah. Dalam kasus tersebut, kota yang menjadi pusat pembangunan infrastruktur, kawasan industri dan pusat perekonomian menjadi tujuan migrasi penduduk pedesaan, dengan harapan mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Penduduk di kota besar sendiri terdiferensiasi berdasarkan daerah asal, agama, status, pendidikan dan pola-pola tingkah laku (Rahardjo, 1999). Penduduk yang heterogen seringkali menjadi penyebab terjadinya konflik antar-etnis, antar-agama, antar-golongan (Marzali etal, 1989), karena seperti diungkapkan Fukuyama (2007), kepercayaan sangat bergantung dengan kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan yang berkembang pada individu dalam masyarakat. Berikut adalah penjelasan hubungan kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan dalam menguatkan trust atau saling percaya dengan orang lain (Fukuyama, 2007):


(8)

7

1. Kekerabatan, terkait pada hubungan seseorang dengan seseorang yang berasal dari garis keturunan yang sama, terdapat juga dalam hubungan keluarga. Seseorang memiliki kepercayaan yang lebih besar kepada anak, adik, kakak, bapak, ibu yang memiliki hubungan kekerabatan dibandingkan dengan seseorang di luar kerabat.

2. Kolektivitas, terkait dengan nilai kebersamaan yang memiliki rasa solidaritas komunal yang tinggi dalam masyarakat, cenderung memiliki kekuatan ketika dihadapi suatu tekanan.

3. Etnisitas, terkait dengan persebaran etnik tertentu dalam suatu wilayah. Dalam suatu wilayah kelompok etnik mendukung anggotanya untuk mampu menghadapi tekanan.

4. Keterampilan, terkait dengan keahlian yang dikuasai secara mendalam oleh seseorang untuk membuat dan melakukan aktivitas yang tidak semua orang mampu melakukannya. Penguasaan keterampilan oleh seseorang menjadi modal agar dapat dipercaya orang lain untuk mempekerjakannya, sehingga memberikan output penghasilan guna pemenuhan hidupnya.

Kekerabatan dalam hasil penelitian Marzali et al (1989) menjadi modal kepercayaan seseorang dalam mempekerjakan orang lain pada usaha yang dimiliki. Seringkali suatu usaha dikerjakan oleh anggota suatu keluarga yang berhubungan dekat. Hal ini ada kaitannya dengan tradisi saling membantu di antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga seperti bapak, ibu, mertua, kakak, adik, ipar, anak, keponakan dan menantu. Seseorang juga berusaha bukanlah semata-mata untuk keluarga sendiri, tetapi juga untuk orang banyak lainnya. Prioritas pilihan pertama ialah saudara-saudara dekat sendiri, kemudian orang seasal, lalu orang-orang lain dari etnik lain.

Kolektivitas menurut Milgram dan Toch dalam Horton dan Hunt (1999) merupakan suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif tidak terorganisasi dan hampir tidak bisa diduga sebelumnya. Proses kelanjutannya tidak terencana dan hanya tergantung pada stimulasi timbal balik yang muncul di kalangan para pelakunya.


(9)

8

Etnisitas merupakan fenomena yang muncul dalam interaksi sosial. Etnisitas tergantung pada jenis hubungan yang saling mempengaruhi antara individu dan kelompok, dengan lingkungan sosial mereka. Menurut Barth dalam Suparlan (2003), kategorisasi kelompok etnis ditentukan oleh basisnya, identitas secara umum merupakan praduga oleh latar belakang serta asal usulnya. Dalam hal ini, kelompok etnis dilihat sebagai sebuah kategori sosial yang berfungsi sebagai kumpulan sistem acuan untuk mengidentifikasi etnis tertentu dalam hubungan-hubungan antar etnis.

Menurut Fukuyama (2007), keterampilan yang dimiliki seseorang menjadi modal kepercayaan orang lain untuk mempekerjakannya. Selain itu seseorang yang menguasai keterampilan tertentu mampu bertahan dari suatu tekanan ekonomi karena kemampuannya menciptakan produk yang berdaya jual. Fukuyama juga menekankan, bahwa keterampilan tidak dapat tergantikan oleh mesin produksi. Alasan tersebut menjadikan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap seseorang yang memiliki keterampilan.

Konsep trust menurut Fukuyama (2007) tersebut dapat diadopsi ke dalam konsep kerentanan sosial, yang berarti suatu kondisi seseorang atau masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi tekanan. Jika konsep kerentanan sosial diantitesiskan, muncul konsep kemampuan yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat. Menurut Fukuyama (2007), seseorang atau masyarakat akan mampu menghadapi suatu tekanan bila nilai kepercayaan yang dianut dalam masyarakat tersebut besar (high-trust), sedangkan masyarakat dengan kepercayaan yang rendah (low-trust) cenderung tidak memiliki kemampuan menghadapi tekanan. Untuk kepentingan penelitian ini maka kerentanan sosial mengadopsi antitesis konsep trust oleh Fukuyama (2007) yang dapat diidentifikasikan ke dalam empat indikator, yaitu kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas.

2.1.2 Kemiskinan di Perkotaan

Menurut Suparlan (1984), kemiskinan di perkotaan adalah masalah sosial yang laten dan kompleks yang berimplikasi pada bidang sosial dan kebudayaan. Implikasi tersebut tidak hanya melibatkan dan mewujudkan berbagai masalah


(10)

9

sosial pada kota dan orang-orang miskin di dalamnya saja, tetapi juga melibatkan masalah yang ada di pedesaan dan di kota-kota lainnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini sesuai dengan Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), yang menyatakan bahwa masalah kemiskinan kota dan kedudukan orang miskin dalam masyarakat bukanlah masalah pemerintah kota tersebut semata. Masalah ini merupakan dilema pemerintah terhadap sistem perekonomian yang terpusat pada perkotaan, seperti pada Jakarta. Sistem ekonomi, sistem politik dan administrasi yang terpusat di Jakarta menimbulkan daya tarik bagi masyarakat pedesaan untuk bermigrasi ke sana, dengan harapan mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang lebih layak. Motivasi masyarakat pedesaan untuk bermigrasi ke kota bukan semata-mata tertarik dengan kelengkapan fasilitas yang ada di kota, tetapi juga dikarenakan adanya daya dorong dari pedesaan. Pedesaan sangat minim dengan lapangan pekerjaan (Hizbaron, 2008), sehingga menurut Suparlan (1984), hal itu menjadi daya dorong dari pedesaan sebagai akibat dari adanya tekanan ekonomi dan rasa tidak aman bagi sebagian warga desa. Warga desa tersebut terpaksa mencari tempat yang diduga memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik, yaitu di kota.

Daya tarik dan dorong terhadap masyarakat pedesaan dengan harapan mampu mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang lebih baik daripada di pedesaan, kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Meskipun di perkotaan tersedia alternatif-alternatif pekerjaan yang lebih terbuka dari pada di pedesaan, kemiskinan di sana tetap ada dan atau bersifat laten. Menurut Suparlan (1984), kemiskinan tetap ada di perkotaan karena potensi-potensi yang ada seperti lingkungan fisik dan alam, sistem sosial dan kebudayaan tidak atau belum dapat dimanfaatkan untuk menciptakan alternatif-alternatif baru atau tidak dapat menghasilkan penghasilan yang cukup untuk sebagian besar masyarakat perkotaan. Kebudayaan pada masyarakat perkotaan tersebut tidak mampu mendorong dalam pemanfaatan sumber-sumber daya yang sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam peningkatan ekonomi dan sosial pada masyarakat perkotaan.

Kemiskinan di perkotaan sering dialami oleh masyarakat pedesaan yang bermigrasi ke perkotaan. Menurut Suparlan (1984), jumlah gelandangan yang berasal dari daerah pedesaan di lingkar DKI Jakarta dan juga dari luar Pulau Jawa


(11)

10

lebih besar dibandingkan dengan masyarakat asli sendiri. Gelandangan sering diartikan sebagai seseorang yang selalu berkeliaran atau tidak pernah memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap. Gelandangan sering distereotipkan sebagai orang yang pemalas, kotor dan tidak dapat dipercaya. Pandangan tersebut keliru, bahkan gelandangan itu adalah pekerja keras dalam upaya mencari nafkah untuk dapat menyambung hidupnya. Beberapa jenis gelandangan memiliki pekerjaan yang dapat dikatakan tetap, yaitu sebagai tukang loak, pedagang kaki lima, penyapu jalan, tukang becak, penjaga malam, pemulung, penjual makanan kecil dan tukang kerajinan tangan. Gelandangan sering dianggap tidak memiliki tempat kediaman yang tetap, namun ternyata memiliki tempat bermalam yang relatif tetap, meskipun di tempat-tempat tersembunyi dan kosong yang ada di tepi jalan dan gang, di depan pertokoan, gerbong kereta, gerobak penjual makan dan di kolong jembatan. Gelandangan lazimnya termasuk dalam golongan sosial terendah di desa asalnya, karena dalam aspek ekonomi mereka tergolong orang-orang yang paling miskin, tidak dihormati oleh anggota masyarakat lain, tidak memiliki kekuasaan politik lokal, dan tidak memiliki tanah.

Menurut Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), orang miskin di perkotaan bukan hanya gelandangan tetapi yang menjadi ukuran kemiskinan adalah penghasilannya yang rendah. Melalui argumentasi ini dimungkinkan orang miskin juga memiliki tempat tinggal yang berbeda dari gelandangan, yaitu berbentuk gubuk-gubuk liar. Gubuk-gubuk liar tersebut seringkali didirikan di atas tanah milik pemerintah tanpa izin, seperti di tanah-tanah kosong milik PT KAI (Kereta Api Indonesia), di sepanjang jalur kereta api, dan tanah sepanjang sungai. Jika suatu saat pemerintah membutuhkan tanah-tanah tersebut, maka para pemiliknya akan kehilangan rumah-rumah itu tanpa mendapatkan ganti rugi.

Hasil penelitian Cohen (1972) dalam Suparlan (1984) menunjukkan, bahwa golongan-golongan berpenghasilan rendah memiliki partisipasi yang tinggi pada gotong royong untuk memperbaiki keadaan mereka. Baginya gotong royong dipandang sebagai kegiatan untuk mempertahankan suatu taraf hidup tertentu. Gotong royong jarang dianggap sebagai salah satu cara untuk mendatangkan perbaikan-perbaikan besar. Selain itu golongan miskin tersebut cenderung untuk mengikuti instruksi-instruksi dari pada berpartisipasi dalam pengambilan


(12)

11

keputusan. Mereka juga mudah sekali mengikuti anggota masyarakat lain yang mempunyai status dan wewenang lebih tinggi tanpa berpikir lebih lanjut dan tanpa kritik. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan sikap tersebut, yaitu perasaan tidak pasti dan tidak berdaya, pandangan bahwa hidup ini ditentukan oleh nasib, dan pandangan bahwa keputusan-keputusan hanya untuk orang-orang kaya dan terpelajar.

Hasil penelitian Lewis (1988) menunjukkan, bahwa kelompok miskin memiliki efektivitas partisipasi yang rendah dan integrasinya dalam lembaga-lembaga utama masyarakat. Hal tersebut diakibatkan oleh faktor langkanya sumber-sumber daya ekonomi, diskriminasi, rasa takut dan curiga, rendahnya pendapatan, minimnya harta milik berharga dan terbatasnya uang tunai. Semua kondisi tersebut tidak memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dengan efektif ke dalam sistem ekonomi terlebih, untuk urusan bantuan sosial. Pada individu yang miskin terdapat ciri-ciri utama yaitu kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan, rendah diri, perasaan tidak berguna dan pasrah. Akan tetapi mereka mempunyai sikap yang kritis terhadap peraturan yang mendasar yang didominasi oleh kaum yang kaya dan berkuasa, benci kepada polisi, tidak percaya kepada pemerintah dan bahkan bersikap sinis terhadap keagamaan. Kaum miskin ini mempunyai tingkat melek huruf dan pendidikan yang rendah, memiliki akses yang rendah pada rumah sakit dan bank. Mereka seringkali sulit memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan. Hal tersebut dikarenakan jumlah tanggungan keluarga yang sangat banyak. Bahkan dalam satu rumah ditempati hingga sembilan orang yang menjadikan rumah penuh dan sesak, sehingga mereka seringkali berhutang kepada tetangga atau kerabat yang kebetulan juga bertetangga dengannya. Strategi nafkah mereka ialah menjalankan pekerjaan sambilan dengan menangkap sejumlah peluang yang mampu menghasilkan uang.

Menurut Musyarofah (2006), terdapat sembilan strategi nafkah yang dilakukan oleh komunitas-komunitas miskin di perkotaan. Strategi-strategi nafkah tersebut antara lain:

1. Pola nafkah ganda, yaitu dalam satu keluarga terdapat dua atau lebih pekerjaan yang dilakukan, baik oleh satu orang atau terbagi pada seluruh anggota keluarga.


(13)

12

2. Pemanfaatan kelembagaan ekonomi, seperti dengan memanfaatkan kelembagaan arisan, sistem kredit dan bank keliling.

3. Pemanfaatan jaringan sosial, dapat berupa jejaring kemitraan bisnis atau berupa ikatan pertetanggaan dan ikatan persaudaraan. Ikatan ketetanggaan dan persaudaraan ini dimaksudkan untuk memberikan akses bagi rumah tangga miskin untuk mendapatkan bantuan ketika membutuhkan sesuatu.

4. Basis perdagangan, seperti berjualan nasi uduk untuk memperoleh pendapatan yang akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari atau dengan membuka warung kecil untuk membiayai sekolah anak-anaknya.

5. Mengganti jenis makanan, dilakukan ketika rumah tangga miskin berada dalam kondisi sulit. Strategi ini bagian dari proses penekanan pengeluaran. Mereka mengganti menu makan menjadi makanan yang lebih sederhana.

6. Basis rumah kontrakan, dilakukan dengan memanfaatkan modal mereka untuk membangun rumah kontrakan.

7. Basis peluang kerja di sektor industri, terkait dengan keberadaan sektor industri di lingkungan mereka yang menimbulkan strategi nafkah berupa peluang kerja di sektor industri.

8. Berhutang, dilakukan ketika kondisi rumah tangga komunitas miskin berada pada kondisi krisis dengan meminjam uang kepada tetangga yang berhubungan baik sehingga menimbulkan sikap saling percaya.

9. Mencairkan aset rumah tangga, dilakukan dengan menjual aset rumah tangga yang dimiliki seperti menjual barang elektronik. Strategi ini dilakukan ketika mereka dalam kondisi krisis.

Permasalahan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas miskin di perkotaaan antara lain timbul akibat rendahnya kualitas sumber daya yang mereka miliki dan keterampilan yang kurang memadai dari mereka untuk mencari pekerjaan dan bersosialisasi dengan masyarakat lainnya di kota. Jayanti (2007) merumuskan pemaknaan kemiskinan bagi komunitas miskin di perkotaan yang juga dapat dirumuskan sebagai permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh mereka. Permasalahan-permasalahan tersebut meliputi:


(14)

13

1. Rendahnya pendapatan, terkait dengan jenis pekerjaan yang dijalani masyarakat kelurahan Lemahputra Kecamatan Sidoarjo pada tahun 2007, yaitu mayoritas bekerja pada sektor informal yang hanya berpenghasilan antara Rp 300.000,00 sampai Rp 550.000,00 per bulan atau kurang lebih sebesar sepuluh ribu rupiah per hari.

2. Pemenuhan kebutuhan pokok yang rendah, terkait dengan ketidakmampuan komunitas miskin kota untuk memenuhi pangannya dengan baik. Mayoritas mereka hanya mampu makan dua kali per hari bahkan terkadang orang tua harus merelakan jatah makan mereka untuk anaknya. Mereka hanya mampu membeli pakaian satu tahun sekali dengan menggunakan kredit. Bahkan rumah mereka biasanya terbuat dari bambu yang hanya dibatasi oleh sekat dan menggunakan lantai terbuat dari tanah.

3. Akses dalam pendidikan, kesehatan dan permodalan yang rendah, dapat dilihat melalui rendahnya kemampuan komunitas miskin dalam menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dari SMP, rendahnya akses kesehatan karena mahalnya biaya berobat ke lembaga kesehatan.

4. Partisipasi yang rendah dalam institusi sosial, timbul karena orang miskin cenderung menutup diri terhadap orang lain dan cenderung tidak berminat ikut dalam kegiatan sosial. Hal tersebut dilakukan karena merasa orang lain lebih baik dan lebih pantas untuk melakukan kegiatan sosial dan mereka takut kalau nantinya mereka mengeluarkan uang untuk kegiatan sosial tersebut.

Menurut Handayani (2009), komunitas miskin memiliki situasi tawar yang rendah dalam proses pengambilan keputusan di arena publik. Situasi tawar yang rendah tersebut terjadi pada golongan keluarga yang benar-benar miskin, yang dikarenakan kurangnya waktu yang dimiliki oleh keluarga tersebut untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut. Hal ini berakibat pada munculnya dominasi dalam pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan kepentingan kelompok elite, karena kelompok tersebut mampu menggunakan akses dan kekuasaan yang dimilikinya untuk terlibat di arena publik. Di sisi lain komunitas miskin kota memiliki partisipasi yang cukup baik dalam melakukan kegiatan


(15)

14

sosial. Hal ini terjadi karena persamaan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Hasil penelitian Marzali et al (1989) mengungkapkan, bahwa sesama warga dengan kondisi ekonomi yang rendah memiliki partisipasi yang baik dalam berbagai aktivitas seperti siskamling dan kerja bakti dibandingkan dengan warga yang secara ekonomi mampu meskipun berasal dari etnik yang sama. Untuk kepentingan penelitian ini maka kehidupan komunitas miskin kota dapat diidentifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu kondisi ekonomi, aksesibilitas kebutuhan dasar dan partisipasi.

2.2 Kerangka Pemikiran

Masyarakat pedesaan, karena desakan ekonomi berupa rendahnya lapangan kerja, bermigrasi ke kota dengan harapan mendapatkan taraf hidup dan pekerjaan yang lebih tinggi. Konsekuensinya, penduduk di kota terdiferensiasi berdasarkan atas daerah asal, agama, status, pendidikan dan pola-pola tingkah laku. Penduduk di daerah kota menjadi heterogen dan mengakibatkan tingginya tingkat kerentanan sosial pada suatu kelompok miskin di kota.

Kerentanan sosial menurut Bakornas PB (2007) diartikan sebagai ketidakmampuan individu atau masyarakat dalam menghadapi suatu tekanan. Kerentanan sosial tersebut diukur dari ketiadaan salah satu modal sosial yang dimiliki dalam setiap individu pada kelompok miskin di kota yaitu kepercayaan (trust). Trust ini merupakan modal sosial dalam suatu komunitas untuk dapat bertahan terhadap suatu tekanan. Trust teridentifikasi ke dalam empat indikator yaitu kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan (Fukuyama, 2007). Keempat indikator tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam faktor internal, yaitu modal kepercayaan yang berasal dari individu yaitu kekerabatan dan keterampilan. Kategori kedua adalah faktor eksternal dimana modal kepercayaan berasal dari luar individu seperti kolektivitas dan etnisitas.

Taraf hidup kelompok miskin kota diadopsi dari konsep kemiskinan di perkotaan oleh Suparlan (1984) yang diidentifikasi ke dalam tiga kategori, yaitu kondisi ekonomi, aksesibilitas kebutuhan dasar dan partisipasi. Masalah kemiskinan di perkotaan merupakan masalah yang kompleks yang tidak hanya melibatkan permasalah sosial yang ada di kota dan orang-orang di dalamnya,


(16)

15

tetapi juga melibatkan masalah-masalah sosial yang ada di pedesaan. Kondisi ekonomi kelompok miskin perkotaan dapat diukur melalui tingkat pendapatan, tanggungan keluarga, dan pemenuhan kebutuhan pokok. Aksesibilitas kebutuhan dasar kelompok miskin perkotaan dapat diukur pada pendidikan, kesehatan dan modal. Partisipasi kelompok miskin kota dapat diukur pada kehadiran, sumbangsih pemikiran, kritik dan saran dalam pertemuan yang mereka ikuti. Ketiga kategori tersebut merupakan wujud dari adaptasi terhadap kondisi kemiskinan yang dihadapi, dan juga menggambarkan kondisi kemiskinan yang dialami kelompok miskin perkotaan itu sendiri. Menurut Suparlan (1984), kondisi kelompok miskin perkotaan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya diperparah oleh tidak adanya keluarga dan kerabat di kota, sehingga mereka sulit untuk memperoleh bantuan.

Tingkat kerentanan sosial memiliki pengaruh terhadap taraf hidup kelompok miskin kota. Secara lebih ringkas, penjelasan ini disajikan dalam bentuk kerangka pemikiran pada Gambar 1.


(17)

16

Kerentanan Sosial

Kondisi Ekonomi

1. Pendapatan 2. Tanggungan 3. Pemenuhan

kebutuhan pokok

Aksesibilitas Kebutuhan Dasar

1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Modal

Faktor Internal

Kekerabatan 1. Hubungan dengan

generasi orang tua 2, Hubungan dengan

generasi setara 3. Hubungan dengan

generasi anak

Keterampilan 1. Kemampuan

komunikasi 2. Teknis

Faktor Eksternal

Etnisitas 1. Bahasa 2. Asal daerah 3. Perilaku Kolektivitas 1. Sikap terhadap

kepentingan bersama

2. Perilaku terhadap kepentingan bersama

Taraf Hidup Kelompok

Miskin Kota

Keterangan:

= mempengaruhi = ruang lingkup

Gambar 1 Kerangka Analisis Pengaruh Tingkat Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Partisipasi

1. Kehadiran 2. Sumbangsih

pemikiran 3. Kritik dan saran


(18)

17

2.3Hipotesis Uji

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis uji, yaitu; Kerentanan sosial berpengaruh terhadap taraf hidup kelompok miskin kota. Hipotesis ini dapat didetilkan sebagai berikut:

1. Kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas berpengaruh terhadap kondisi ekonomi orang miskin dalam kelompoknya.

2. Kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas berpengaruh terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar orang miskin dalam kelompoknya. 3. Kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas berpengaruh

terhadap partisipasi orang miskin dalam kelompoknya.

2.4Definisi Operasional

A. Kerentanan sosial, adalah kondisi individu yang mengakibatkan

ketidakmampuan menghadapi suatu tekanan. Variabel yang diteliti antara lain: A.1 Faktor Internal adalah faktor yang berasal dari dalam individu.

A.1.1 Kekerabatan

a.Hubungan generasi orang tua adalah sebaik apakah hubungan responden kepada ayah, ibu, paman, bibi dan mertua. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Baik 0 5

Baik 0,15 4

Cukup Baik 0,5 3

Kurang Baik 0,85 2

Tidak Baik 1 1

b.Hubungan generasi setara adalah sebaik apakah hubungan

responden kepada kakak, adik, sepupu dan ipar. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Baik 0 5

Baik 0,15 4

Cukup Baik 0,5 3

Kurang Baik 0,85 2


(19)

18

c.Hubungan generasi anak adalah sebaik apakah hubungan

responden kepada anak, menantu dan keponakan. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Baik 0 5

Baik 0,15 4

Cukup Baik 0,5 3

Kurang Baik 0,85 2

Tidak Baik 1 1

Penilaian terhadap kekerabatan yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari hubungan responden dengan generasi orang tua, setara dan bawah. Kekerabatan dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks Sangat Tinggi < 0,45 Tinggi 0,45 ≤ X < 1,5

Cukup 1,5

Rendah 1,5 < X ≤ 2,55 Sangat Rendah > 2,55

A.1.2 Keterampilan

a.Kemampuan komunikasi adalah seberapa besar kemampuan

komunikasi responden dapat diterima oleh orang lain. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Mampu 0 5

Mampu 0,15 4

Cukup Mampu 0,5 3

Kurang Mampu 0,85 2

Tidak Mampu 1 1


(20)

19

b.Teknis adalah kemampuan responden dalam mengolah hasil

memulung menjadi barang yang dapat dijual. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Mampu 0 5

Mampu 0,15 4

Cukup Mampu 0,5 3

Kurang Mampu 0,85 2

Tidak Mampu 1 1

Penilaian terhadap keterampilan yaitu dengan mengakumulasi indeks dari kemampuan berkomunikasi dan teknis responden. Keterampilan dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks Sangat Tinggi < 0,3 Tinggi 0,3 ≤ X < 1

Cukup 1

Rendah 1 < X ≤ 1,7 Sangat Rendah > 1,7

Penilaian terhadap faktor internal yaitu dengan mengakumulasi jumlah indeks dari kekerabatan dan keterampilan. Faktor internal dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks Sangat Tinggi < 0,75 Tinggi 0,75 ≤ X < 2,5

Cukup 2,5

Rendah 2,5 < X ≤ 4,25 Sangat Rendah > 4,25


(21)

20

A.2 Faktor Eksternal

Faktor yang berasal dari luar individu. A.2.1 Etnisitas

a.Bahasa adalah seberapa sering responden berkomunikasi dengan bahasa daerah asalnya. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Sering 0 5

Sering 0,15 4

Cukup Sering 0,5 3

Jarang 0,85 2

Tidak Pernah 1 1

b.Asal daerah adalah seberapa sering responden berkumpul dengan sedaerah dengannya. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Sering 0 5

Sering 0,15 4

Cukup Sering 0,5 3

Jarang 0,85 2

Tidak Pernah 1 1

c.Perilaku adalah seberapa besar pola perilaku yang menunjukkan kebersamaan responden dengan orang sesama daerahnya. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Sesuai 0 5

Sesuai 0,15 4

Cukup Sesuai 0,5 3 Kurang Sesuai 0,85 2


(22)

21

Penilaian terhadap etnisitas yaitu dengan mengakumulasi indeks dari bahasa, asal daerah dan perilaku responden. Etnisitas dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks Sangat Tinggi < 0,45 Tinggi 0,45 ≤ X < 1,5

Cukup 1,5

Rendah 1,5 < X ≤ 2,55 Sangat Rendah > 2,55

A.2.2 Kolektivitas

a.Sikap terhadap kepentingan bersama adalah sebesar apa

responden setuju dengan kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Setuju 0 5

Setuju 0,15 4

Cukup Setuju 0,5 3 Kurang Setuju 0,85 2

Tidak Setuju 1 1

b.Perilaku terhadap kepentingan bersama adalah sesering apa responden terlibat dalam kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Sering 0 5

Sering 0,15 4

Cukup Sering 0,5 3

Jarang 0,85 2


(23)

22

Penilaian terhadap kolektivitas yaitu dengan mengakumulasi indeks dari sikap dan perilaku responden terhadap kegiatan kepentingan bersama. Kolektivitas dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks Sangat Tinggi < 0,3 Tinggi 0,3 ≤ X < 1

Cukup 1

Rendah 1 < X ≤ 1,7 Sangat Rendah > 1,7

Penilaian terhadap faktor eksternal yaitu dengan mengakumulasi jumlah indeks dari etnisitas dan kolektivitas. Faktor eksternal dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks Sangat Tinggi < 0,75 Tinggi 0,75 ≤ X < 2,5

Cukup 2,5

Rendah 2,5 < X ≤ 4,25 Sangat Rendah > 4,25

B. Taraf hidup kelompok miskin kota adalah kondisi atau keadaan yang dialami oleh kelompok miskin kota. Variabel yang diteliti antara lain:

B.1 Kondisi Ekonomi

a.Pendapatan adalah sejumlah uang yang didapat dari hasil bekerja selama satu hari oleh responden. Hal ini dapat diukur dengan indikator yang mengacu dari UMR kota Jakarta sebesar Rp 1.290.000 per bulan: 1. Sangat tinggi = 5 (> Rp 60.000)

2. Tinggi = 4 (Rp 43.000 < P ≤ Rp 60.000)

3. Cukup = 3 (Rp 43.000)

4. Rendah = 2 (Rp 20.000 ≤ P < Rp 43.000)


(24)

23

b.Tanggungan adalah jumlah orang yang dibiayai responden. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Tidak ada = 5 (0 orang)

2. Sedikit = 4 (1-2 orang)

3. Cukup = 3 (3 orang)

4. Banyak = 2 (4-5 orang)

5. Sangat banyak = 1 (> 5 orang)

c.Pemenuhan kebutuhan pokok adalah kemampuan responden untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Sangat mampu = 5

2. Mampu = 4

3. Cukup = 3

4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu = 1

Penilaian terhadap kondisi ekonomi pada taraf hidup kelompok miskin kota yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari pendapatan, tanggungan dan pemenuhan kebutuhan pokok. Kondisi ekonomi pada taraf hidup kelompok miskin kota dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Skor

Sangat Tinggi > 12

Tinggi 9 < X ≤ 12

Cukup 6 < X ≤ 9

Rendah 3 < X < 6

Sangat Rendah < 3

B.2 Aksesibilitas Kebutuhan Dasar

a.Pendidikan adalah kemampuan responden untuk menyekolahkan anaknya. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Sangat mampu = 5

2. Mampu = 4

3. Cukup = 3

4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu = 1


(25)

24

b.Kesehatan adalah kemampuan responden untuk berobat ke lembaga kesehatan. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Sangat mampu = 5

2. Mampu = 4

3. Cukup = 3

4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu = 1

c.Modal adalah responden untuk mendapatkan bantuan modal dari orang lain. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Sangat mampu = 5

2. Mampu = 4

3. Cukup = 3

4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu = 1

Penilaian terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar pada taraf hidup kelompok miskin kota yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari pendidikan, kesehatan dan modal. Aksesibilitas kebutuhan dasar pada taraf hidup kelompok miskin kota dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Skor

Sangat Tinggi > 12

Tinggi 9 < X ≤ 12

Cukup 6 < X ≤ 9

Rendah 3 < X < 6

Sangat Rendah < 3

B.3 Partisipasi

a.Kehadiran adalah keikutsertaan responden dalam kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Selalu ikut = 5

2. Sering ikut = 4

3. Kadang-kadang ikut = 3

4. Jarang ikut = 2


(26)

25

b.Sumbangsih pemikiran adalah keterlibatan responden dalam menyumbangkan pemikirannya dalam pengambilan keputusan kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Selalu terlibat = 5

2. Sering terlibat = 4

3. Kadang-kadang terlibat = 3

4. Jarang terlibat = 2

5. Tidak terlibat = 1

c.Kritik dan saran adalah aktivitas kritik, saran atau argumen responden pada kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Selalu terlibat = 5

2. Sering terlibat = 4

3. Kadang-kadang terlibat = 3

4. Jarang terlibat = 2

5. Tidak terlibat = 1

Penilaian terhadap partisipasi pada taraf hidup kelompok miskin kota yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari kehadiran, sumbangsih pemikiran, kritik dan saran. Partisipasi pada taraf hidup kelompok miskin kota dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Skor

Sangat Tinggi > 12

Tinggi 9 < X ≤ 12

Cukup 6 < X ≤ 9

Rendah 3 < X < 6

Sangat Rendah < 3


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kelurahan Grogol Selatan merupakan salah satu kelurahan di wilayah Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Wilayah administrasi Kelurahan Grogol Selatan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Gunung di Kecamatan Kebayoran Baru. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kebayoran Lama Selatan. Sebelah barat berbatasan dengan Kali Pesanggrahan di Kelurahan Ulujami dan sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Grogol Utara. Kelurahan ini memiliki luas wilayah sebesar 2, 85 Km per segi. Kelurahan Grogol Selatan terdiri dari 5.042 keluarga yang tersebar di 114 Rukun Tetangga (RT) dan sepuluh Rukun Warga (RW).

Kelurahan Grogol Selatan adalah kawasan yang padat penduduk. Selain sebagai kawasan pemukiman juga sebagai kawasan perkantoran dan bisnis. Hal tersebut dapat dilihat dari infrastruktur bangunan dan jalan sebagai pendukung aktivitas penduduk. Objek-objek bangunan yang terdapat di Grogol Selatan adalah Pasar Simprug Gallery, Rukan Simprug Indah, Apartemen Simprug Indah, Apartemen Simprug Teras, Komplek Kementerian Luar Negeri, Komplek Hankam, Komplek Sekretaris Negara, Perumahan Griya Kebayoran, Pasar Kebayoran Lama, Flyover Kebayoran Lama, Pasar Bata Putih, Griya BNI Simprug Apartemen, Universitas Bina Nusantara, Komplek IAPCO, Komplek Pusdiklat Pertamina, Gedung Phapros dan SMA 82. Selain itu terdapat pula infrastruktur jalan di Grogol Selatan yaitu Jalan Permata Hijau II, Jalan Cidodol, Jalan Kweni, Jalan Seha I, II, III; Jalan Rawa Simprug IA, IB, IC, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X; Jalan Seha Buntu, Jalan Kubur Islam C, Jalan Mesjid Annur, Jalan Jiban Raya I, II, III; Jalan Patal Senayan, Jalan Simprug Garden I, II, III, IV, V, VI, VII; Jalan Teuku Nyak Arif, Jalan Toa Pekong, Jalan Kampus Jaya, Jalan Loka Permai, Jalan Kampus Jaya, Jalan Kangkung, Jalan Cenderawasih, Jalan


(28)

27

Guntur, Jalan Kebayoran Baru, Jalan Terusan Hang Lekir I, II, III, IV, V, VI; Jalan Terusan Sinabung, Jalan Simprug Permata, Jalan Simprug Golf I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, XIV, XV, XVII

Penelitian mengenai kerentanan sosial pemulung asal desa di Jakarta diawali dengan pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus 2011. Pengumpulan data primer dilakukan selama dua minggu pada Bulan Agustus 2011. Dalam kurun waktu tersebut, peneliti melakukan pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan dari beberapa sumber kemudian diakhiri dengan penyusunan laporan akhir skripsi dan sidang penelitian yang dilakukan pada Bulan September hingga November 2011.

3.2 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari studi literatur guna mendapatkan data dan informasi yang relevan mengenai penelitian ini. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lokasi penelitian. Lokasi penelitian tersebut dilakukan wawancara mendalam kepada informan dan responden yang mengacu kepada panduan pertanyaan dan kuesioner.

Kuesioner ditanyakan kepada anggota dari kelompok pemulung. Dimana responden didapatkan secara accidental sampling yaitu mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data. Dimana pemulung yang dijadikan responden harus memenuhi persyaratan, yaitu berasal dari daerah pedesaan dan responden yang satu dan yang lainnya tidak dalam satu keluarga. Jumlah responden yang didapatkan dalam penelitian ini sebanyak 35 orang.

3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan informan seperti pemilik lapak, pemilik warung makan, dan beberapa responden yang komunikatif dengan peneliti.


(29)

28

Faktor Internal = KR + KT

Keterangan:

KR : Kekerabatan KT : Keterampilan

Faktor Eksternal = ET + KL

Keterangan: ET : Etnisitas KL : Kolektivitas

Kerentanan Sosial = KR + KT + ET + KL

Keterangan:

KR : Kekerabatan ET : Etnisitas

KT : Keterampilan KL : Kolektivitas

Data kuantitatif diperoleh dengan menggunakan Indeks Komposit untuk melihat pengaruh kerentanan sosial berdasarkan faktor internal dan faktor eksternal yang dimiliki oleh responden. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut:

Selanjutnya analisis Regresi Linear digunakan untuk melihat hubungan antara kerentanan sosial dengan taraf hidup kelompok miskin kota yaitu pada kondisi ekonomi, aksesibilitas kebutuhan dasar dan partisipasi. Pengolahan data ini dilakukan menggunakan program komputer excel 2007 dan SPSS 16 for windows.


(30)

BAB IV

KARAKTERISTIK RESPONDEN

4.1 Jenis Kelamin Responden

Responden dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu laki-laki dan perempuan. Responden yang didapatkan terdiri dari 77 per sen laki-laki dan 27 per sen perempuan seperti tampak pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Jenis Kelamin Jumlah %

Laki-laki 27 77

Perempuan 8 23

Total 35 100

4.2 Agama yang Dianut Responden

Responden dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan agama yang dianut. Agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Hasil penggolongan berdasarkan agama yang dianut adalah 100 per sen responden beragama Islam.

4.3 Status Pernikahan Responden

Responden dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan status pernikahannya. Status pernikahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah belum menikah, menikah, duda dan janda.

Tabel 2 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Status Pernikahan Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Status Pernikahan Jumlah %

Belum Menikah 5 14

Menikah 28 80

Janda 2 6


(31)

30

Hasil penggolongan responden berdasarkan status pernikahan adalah 80 per sen responden berstatus menikah, 14 per sen berstatus belum menikah dan enam per sen responden berstatus janda seperti tampak pada Tabel 2.

4.4 Tempat Biasa Tidur Responden

Responden dalam penelitian ini dapat dikelompokkan berdasarkan tempat biasa untuk tidurnya. Pengelompokkan tempat biasa tidur responden adalah pepohonan pinggir rel Pasar Bata Putih, Stasiun Kebayoran, rel non-aktif Stasiun Kebayoran, kolong Jembatan Simprug, trotoar dan rumah kontrakan.

Tabel 3 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tempat Biasa Tidur Tahun 2011

Tempat Biasa Tidur Jumlah %

Pepohonan Pinggir Rel Pasar Bata

Putih 10 29

Stasiun Kebayoran 10 29

Rel Non-aktif Stasiun Kebayoran 6 17

Kolong Jembatan Simprug 5 14

Trotoar 3 8

Rumah Kontrakan 1 3

Total 35 100

Hasil penggolongan responden berdasarkan tempat biasa tidur adalah 29 per sen responden biasa tidur di pepohonan pinggir rel Pasar Bata Putih, 14 per sen responden biasa tidur di kolong jembatan Simprug, 29 per sen responden biasa tidur di Stasiun Kebayoran, 17 per sen biasa tidur di rel non-aktif Stasiun Kebayoran, delapan per sen responden biasa tidur di trotoar dan tiga per sen responden biasa tidur di rumah kontrakan seperti tampak pada Tabel 3.

4.5 Tingkat Pendidikan Responden

Responden dalam penelitian ini dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikannya. Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah tidak sekolah, SD, MI, SMP, MTS, SMA, MA, SMK, DI/II, DIII dan S1. Hasil pengelompokkan responden berdasarkan tingkat pendidikan adalah 14 per sen responden tidak


(32)

31

sekolah, 74 per sen responden hingga tingkat SD dan 12 per sen hingga tingkat SMP seperti tampak pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Tingkat Pendidikan Jumlah %

Tidak Sekolah 5 14

SD 26 74

SMP 4 12

Total 35 100

4.6 Status Tempat Tinggal Responden

Responden dalam penelitian ini dapat dikelompokkan berdasarkan status tempat tinggalnya. Status tempat tinggal yang dimaksud adalah bebas sewa, kontrakan, milik sendiri, sewa orang tua/anak/saudara, dan sewa kepada Satpol PP.

Hasil pengelompokkan responden berdasarkan status tempat tinggal adalah 69 per sen responden memiliki tempat tinggal berstatus bebas sewa, 20 per sen responden memiliki tempat tinggal berstatus kontrak dan sebelas per sen responden memiliki tempat tinggal berstatus sewa kepada Satpol PP seperti tampak pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Status Tempat Tinggal, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Status Tempat Tinggal Jumlah %

Bebas Sewa 24 69

Kontrakan 7 20

Sewa Kepada Satpol PP 4 11

Total 35 100

4.7 Asal Daerah, Etnis dan Tahun ke Jakarta Responden

Responden dalam penelitian ini seluruhnya adalah pendatang dari pedesaan di berbagai Kabupaten. Terdapat sebelas per sen responden berasal dari Kabupaten yang sama yaitu Lebak. Selain itu terdapat sembilan per sen responden


(33)

32

berasal dari kabupaten yang sama yaitu Kabupaten Tegal, Pandeglang dan Brebes. Data responden berdasarkan asal daerah lebih jelas tampak pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Asal Kabupaten, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Kabupaten Jumlah %

Lebak 4 11

Tegal 3 9

Pandeglang 3 9

Brebes 3 9

Pemalang 2 6

Garut 2 6

Kebumen 2 6

Lampung 2 6

Bogor 2 6

Sukoharjo 1 3

Yogyakarta 1 3

Jepara 1 3

4L 1 3

Kediri 1 3

Grobogan 1 3

Demak 1 3

Batang 1 3

Pasawaran 1 3

Solo 1 3

Subang 1 3

Pringsewu 1 3

Total 35 100

Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Etnis yang Dimiliki, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan

Etnis Jumlah %

Jawa 26 74

Sunda 8 23

Palembang 1 3

Total 35 100

. Terdapat 74 per sen responden merupakan etnis Jawa. Selain itu terdapat 23 per sen responden merupakan etnis Sunda dan tiga per sen responden


(34)

33

murupakan etnis Palembang. Data responden berdasarkan etnis yang dimiliki lebih jelas tampak pada Tabel 7.

Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tahun ke Jakarta, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Tahun ke Jakarta Jumlah %

0 – 5 tahun lalu 14 40

6 – 10 tahun lalu 5 14

11 – 15 tahun lalu 4 11

16 – 20 tahun lalu 3 9

21 – 25 tahun lalu 2 6

>25 tahun lalu 7 20

Total 35 100

Responden datang ke Jakarta pada tahun-tahun yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 40 per sen responden datang ke Jakarta pada nol sampai lima tahun yang lalu. Selain itu terdapat 14 per sen responden datang ke Jakarta pada enam sampai sepuluh tahun yang lalu. Data responden berdasarkan tahun ke Jakarta lebih jelas tamapk pada Tabel 8.


(35)

BAB IX

KERENTANAN SOSIAL DAN TARAF HIDUP KELOMPOK

MISKIN KOTA

9.1 Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Kondisi Ekonomi Kelompok Miskin Kota

Kerentanan sosial dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel, yaitu kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas. Masing-masing variabel diakumulasikan berdasarkan data frekuensi (objektif) dan persepsi (subjektif). Maka variabel yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini adalah kekerabatan (objektif), kekerabatan (persepsi), keterampilan (objektif), keterampilan (persepsi), etnisitas (objektif), etnisitas (persepsi), kolektivitas (objektif), kolektivitas (persepsi frekuensi), kolektivitas (persepsi sikap) dan kolektivitas (persepsi total). Variabel tersebut dapat diuji pengaruhnya dengan uji Regresi Linear. Uji Regresi Linear dilakukan dengan memasukkan seluruh variabel independent sekaligus sebagai variabel berpengaruh terhadap variabel kondisi ekonomi. Analisis dilakukan pada selang kepercayaan 95 per sen. Fungsi yang dihasilkan dari uji Regresi Linear tersebut adalah sebagai berikut:

v15 = 10,574 - 0,028 v1 + 0,028 v2 – 0,008 v3 + 0,017 v4 + 0,049 v5 – 0,064 v6 + 0,071 v7 – 0,135 v9 – 0,029 v10

Keterangan:

v1 = Kekerabatan (objektif) v6 = Etnisitas (persepsi) v2 = Kekerabatan (persepsi) v7 = Kolektivitas (objektif) v3 = Keterampilan (objektif) v9 = Kolektivitas (persepsi sikap) v4 = Keterampilan (persepsi) v10 = Kolektivitas (persepsi total)

v5 = Etnisitas (objektif) v15 = Kondisi Ekonomi

Berdasarkan fungsi di atas dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada kekerabatan (objektif) maka akan mengurangi kondisi ekonomi sebesar 0,028. Selain itu dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada kekerabatan (persepsi) maka akan meningkatkan kondisi ekonomi sebesar 0,028. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (objektif) maka akan mengurangi


(36)

104

kondisi ekonomi sebesar 0,008. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (persepsi) maka akan meningkatkan kondisi ekonomi sebesar 0,017. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (objektif) maka akan meningkatkan kondisi ekonomi sebesar 0,049. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (persepsi) maka akan mengurangi kondisi ekonomi sebesar 0,064. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (objektif) maka akan meningkatkan kondisi ekonomi sebesar 0,071. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi sikap) maka akan mengurangi kondisi ekonomi sebesar 0,135. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi total) maka akan mengurangi kondisi ekonomi sebesar 0,029. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel Coefficients pada Lampiran 2.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa B (-0,028) kekerabatan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,099) dan upper bound (0,042). Maka disimpulkan kekerabatan (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan silaturahmi dengan kerabat dapat mengurangi waktu responden untuk memulung. Berkurangnya waktu bekerja berkonsekuensi pada berkurangnya pendapatan responden. Selain itu B (0,028) kekerabatan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,009) dan upper bound (0,065). Maka disimpulkan kekerabatan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan persepsi responden yang menganggap berkomunikasi dan silaturahmi dengan kerabat sudah cukup jika hanya setiap setahun sekali. Komunikasi dan silaturahmi dilakukan pada saat lebaran dan hari raya lainnya.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (-0,008) keterampilan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,069) dan upper bound (0,053). Maka disimpulkan keterampilan (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan keterampilan yang dibutuhkan bagi pemulung tidaklah sulit dan keterampilan seperti memilah sampah organik dan anorganik relatif dilakukan setiap hari oleh sebagian besar responden. Selain itu keterampilan khusus seperti memperbaiki barang yang rusak sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi jarang dilakukan responden. Selanjutnya B (0,017) keterampilan (persepsi) juga


(37)

105

berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,032) dan upper bound (0,065). Maka disimpulkan keterampilan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan sebagian persepsi responden mampu berbahasa Indonesia, dan bahasa daerah lain. Kemampuan berbahasa tersebut merupakan suatu konsekuensi yang sangat memungkinkan dikuasai karena hidup di Jakarta yang heterogen masyarakatnya.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,049) etnisitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,036) dan upper bound (0,134). Maka disimpulkan etnisitas (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan pergaulan responden dengan sesama asal daerah dapat meningkatkan rasa solidaritas. Sehingga dapat saling memberi makanan dan penghasilan. Meskipun hasil penelitian menunjukkan responden memiliki frekuensi yang sangat rendah pada komunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung, dikarenakan sebagian besar responden tidak hidup berkelompok dengan sesama teman sekampung. Terlebih responden kesulitan untuk mendapatkan teman yang sekampung di kawasan penelitian dilakukan. Selanjutnya B (-0,064) etnisitas (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,154) dan upper bound (0,026). Maka disimpulkan etnisitas (persepsi) memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang merasa tidak pernah berkomunikasi dengan bahasa daerah asal dengan teman sekampung karena pada umumnya responden hidup berkelompok yang terdiri dari berbagai etnis. Sebagian besar responden merasa sulit untuk menemui teman sekampung di Jakarta. Terlebih untuk menemuinya di kampung halaman.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,071) kolektivitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,121) dan upper bound (0,262). Maka disimpulkan kolektivitas (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan rasa solidaritas dalam kelompok dapat meringankan kesulitan responden seperti memberikan makanan kepada teman yang tidak memiliki makanan dan membantu biaya pengobatan kepada teman yang sakit. Selanjutnya


(38)

106

B (-0,135) kolektivitas (persepsi sikap) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,362) dan upper bound (0,091). Selain itu B (-0,029) kolektivitas (persepsi total) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,140) dan upper bound (0,083) Maka disimpulkan kolektivitas (persepsi sikap) memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang setuju terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama seperti kerja bakti, siskamling, menolong teman yang kesulitan ekonomi. Namun dalam realitanya jarang sekali responden yang melakukan kegiatanan untuk kepentingan bersama terutama pada kerja bakti dan siskamling. Kegiatan yang demikian sangat sulit dilakukan oleh responden yang hidupnya menggelandang.

Hasil uji Regresi Linear dengan selang kepercayaan sebesar 95 per sen menunjukkan kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak memiliki pengaruh terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2 bahwa B kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak berada dalam selang kepercayaan 95 per sen. Tidak berpengaruhnya kolektivitas (persepsi frekuensi) terhadap kondisi ekonomi dikarenakan sebagian besar responden memiliki persepsi terhadap frekunsi kolektivitas yang relatif seragam.

9.2 Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Aksesibilitas Kebutuhan Dasar Kelompok Miskin Kota

Kerentanan sosial dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel, yaitu kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas. Masing-masing variabel diakumulasikan berdasarkan data frekuensi (objektif) dan persepsi (subjektif). Maka variabel yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini adalah kekerabatan (objektif), kekerabatan (persepsi), keterampilan (objektif), keterampilan (persepsi), etnisitas (objektif), etnisitas (persepsi), kolektivitas (objektif), kolektivitas (persepsi frekuensi), kolektivitas (persepsi sikap) dan kolektivitas (persepsi total). Variabel tersebut dapat diuji pengaruhnya dengan uji Regresi Linear. Uji Regresi Linear dilakukan dengan memasukkan seluruh variabel independent sekaligus sebagai variabel berpengaruh terhadap variabel aksesibilitas kebutuhan dasar. Analisis dilakukan pada selang kepercayaan 95 per


(39)

107

sen. Fungsi yang dihasilkan dari uji Regresi Linear tersebut adalah sebagai berikut:

v25 = 57,049 - 0,680 v1 + 0,250 v2 - 0,315 v3 + 1,115 v4 + 0,870 v5 - 0,434 v6 + 1,464 v7 - 0,850 v9 + 0,690 v10

Keterangan:

v1 = Kekerabatan (objektif) v6 = Etnisitas (persepsi) v2 = Kekerabatan (persepsi) v7 = Kolektivitas (objektif) v3 = Keterampilan (objektif) v9 = Kolektivitas (persepsi sikap) v4 = Keterampilan (persepsi) v10 = Kolektivitas (persepsi total)

v5 = Etnisitas (objektif) V25 = Aksesibilitas kebutuhan dasar

Berdasarkan fungsi di atas dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada kekerabatan (objektif) maka akan mengurangi aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,680. Selain itu dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada kekerabatan (persepsi) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,250. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (objektif) maka akan mengurangi aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,315. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (persepsi) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 1,115. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (objektif) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,870. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (persepsi) maka akan mengurangi aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,434. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (objektif) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 1,464. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi sikap) maka akan mengurangi aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,850. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi total) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,690. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel Coefficients pada Lampiran 2.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa B (-0,680) kekerabatan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,873) dan upper bound (0,512). Maka disimpulkan kekerabatan (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal


(40)

108

tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan silaturahmi dengan kerabat dapat mengurangi waktu responden untuk memulung. Terlebih komunikasi dan silaturahmi relatif sulit dilakukan oleh responden karena sebagian besar kerabat responden berada di kampung halaman. Sebagian besar responden tidak mengandalkan kerabatnya untuk hidup lebih baik di Jakarta seperti dengan meminta pinjaman modal. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya kerabat di Jakarta. Selain itu B (0,250) kekerabatan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,369) dan upper bound (0,869). Maka disimpulkan kekerabatan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan persepsi responden yang menganggap berkomunikasi dan silaturahmi dengan kerabat sudah cukup jika hanya setiap setahun sekali. Komunikasi dan silaturahmi dilakukan pada saat lebaran dan hari raya lainnya.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (-0,315) keterampilan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,340) dan upper bound (0,710). Maka disimpulkan keterampilan (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan keterampilan yang dibutuhkan bagi pemulung tidaklah sulit dan keterampilan seperti memilah sampah organik dan anorganik relatif dilakukan setiap hari oleh sebagian besar responden. Selain itu keterampilan khusus seperti memperbaiki barang yang rusak sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi jarang dilakukan responden. Selanjutnya B (1,115) keterampilan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (0,295) dan upper bound (1,935). Maka disimpulkan keterampilan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar persepsi responden mampu berbahasa Indonesia, dan bahasa daerah lain. Kemampuan berbahasa tersebut merupakan suatu konsekuensi yang sangat memungkinkan dikuasai karena hidup di Jakarta yang heterogen masyarakatnya. Sehingga kemampuan berbahasa responden mampu meningkatkan kepercayaan orang lain untuk memberikan pinjaman modal.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,870) etnisitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan


(41)

109

lower bound (-0,556) dan upper bound (2,296). Maka disimpulkan etnisitas (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan pergaulan responden dengan sesama etnis dapat meningkatkan rasa solidaritas. Sehingga dapat saling memberi pinjaman modal. Selanjutnya B (-0,434) etnisitas (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,948) dan upper bound (1,080). Maka disimpulkan etnisitas (persepsi) memiliki pengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang merasa tidak pernah berkomunikasi dengan bahasa daerah asal dengan teman sekampung karena pada umumnya responden hidup berkelompok yang terdiri dari berbagai etnis. Sebagian besar responden merasa sulit untuk menemui teman sekampung di Jakarta. Terlebih untuk menemuinya di kampung halaman.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (1,464) kolektivitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,761) dan upper bound (4,689). Maka disimpulkan kolektivitas (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan rasa solidaritas dalam kelompok dapat meringankan kesulitan responden seperti memberikan pinjaman modal untuk kehidupan sehari-hari. Selanjutnya B (-0,850) kolektivitas (persepsi sikap) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-4,658) dan upper bound (2,959). Selain itu B (0,690) kolektivitas (persepsi total) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,191) dan upper bound (2,570) Maka disimpulkan kolektivitas (persepsi sikap) memiliki pengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang setuju terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama seperti kerja bakti, siskamling, menolong teman yang kesulitan ekonomi. Namun dalam realitanya jarang sekali responden yang melakukan kegiatanan untuk kepentingan bersama terutama pada kerja bakti dan siskamling. Kegiatan yang demikian sangat sulit dilakukan oleh responden yang hidupnya menggelandang.

Hasil uji Regresi Linear dengan selang kepercayaan sebesar 95 per sen menunjukkan kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak memiliki pengaruh terhadap


(42)

110

aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2 bahwa B kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak berada dalam selang kepercayaan 95 per sen. Tidak berpengaruhnya kolektivitas (persepsi frekuensi) terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar dikarenakan sebagian besar responden memiliki persepsi terhadap frekunsi kolektivitas yang relatif seragam.

9.3 Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Partisipasi Kelompok Miskin Kota

Kerentanan sosial dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel, yaitu kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas. Masing-masing variabel diakumulasikan berdasarkan data frekuensi (objektif) dan persepsi (subjektif). Maka variabel yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini adalah kekerabatan (objektif), kekerabatan (persepsi), keterampilan (objektif), keterampilan (persepsi), etnisitas (objektif), etnisitas (persepsi), kolektivitas (objektif), kolektivitas (persepsi frekuensi), kolektivitas (persepsi sikap) dan kolektivitas (persepsi total). Variabel tersebut dapat diuji pengaruhnya dengan uji Regresi Linear. Uji Regresi Linear dilakukan dengan memasukkan seluruh variabel independent sekaligus sebagai variabel berpengaruh terhadap variabel partisipasi. Analisis dilakukan pada selang kepercayaan 95 per sen. Fungsi yang dihasilkan dari uji Regresi Linear tersebut adalah sebagai berikut:

V29 = 12,357 + 0,066 v1 - 0,070 v2 + 0,029 v3 + 0,018 v4 - 0,097 v5 + 0,185 v6 - 0,016 v7 - 0,790 v9 + 0,845 v10

Keterangan:

v1 = Kekerabatan (objektif) v6 = Etnisitas (persepsi) v2 = Kekerabatan (persepsi) v7 = Kolektivitas (objektif) v3 = Keterampilan (objektif) v9 = Kolektivitas (persepsi sikap) v4 = Keterampilan (persepsi) v10 = Kolektivitas (persepsi total)

v5 = Etnisitas (objektif) V29 = Partisipasi

Berdasarkan fungsi di atas dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada kekerabatan (objektif) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,066. Selain itu dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada


(43)

111

kekerabatan (persepsi) maka akan mengurangi partisipasi sebesar 0,070. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (objektif) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,029. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (persepsi) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,018. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (objektif) maka akan mengurangi partisipasi sebesar 0,097. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (persepsi) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,185. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (objektif) maka akan mengurangi partisipasi sebesar 0,016. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi sikap) maka akan mengurangi partisipasi sebesar 0,790. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi total) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,845. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel Coefficients pada Lampiran 2.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa B (0,066) kekerabatan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,102) dan upper bound (0,235). Maka disimpulkan kekerabatan (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan silaturahmi dengan kerabat dapat mengurangi waktu responden untuk memulung. Terlebih komunikasi dan silaturahmi relatif sulit dilakukan oleh responden karena sebagian besar kerabat responden berada di kampung halaman. Selain itu partisipasi pemulung sangat rendah karena kehidupannya yang menggelandang. Sehingga terlihat bahwa semakin rendah kekerabatan pemulung maka semakin rendah pula tingkat partisipasinya. Selain itu B (-0,070) kekerabatan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,157) dan upper bound (0,018). Maka disimpulkan kekerabatan (persepsi) memiliki pengaruh negatif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan persepsi responden yang menganggap berkomunikasi dan silaturahmi dengan kerabat sudah cukup jika hanya setiap setahun sekali. Komunikasi dan silaturahmi dilakukan pada saat lebaran dan hari raya lainnya.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,029) keterampilan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,116) dan upper bound (0,173). Maka disimpulkan keterampilan (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan


(44)

112

keterampilan yang dibutuhkan bagi pemulung tidaklah sulit dan keterampilan seperti memilah sampah organik dan anorganik relatif dilakukan setiap hari oleh sebagian besar responden. Selain itu keterampilan khusus seperti memperbaiki barang yang rusak sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi jarang dilakukan responden. Kemudian dari segi keterampilan berkomunikasi pemulung dalam penguasaan bahasa indonesia, bahasa daerah asal dan bahasa daerah lain dapat menjadikan responden lebih partisipatif dalam kegiatan kemasyarakatan.

Meski dalam kenyataannya kehidupan menggalandang sangat kecil

kesempatannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Selanjutnya B (0,018) keterampilan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,097) dan upper bound (0,134). Maka disimpulkan keterampilan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar persepsi responden mampu berbahasa Indonesia, dan bahasa daerah lain. Kemampuan berbahasa tersebut merupakan suatu konsekuensi yang sangat memungkinkan dikuasai karena hidup di Jakarta yang heterogen masyarakatnya. Sehingga kemampuan berbahasa responden mampu meningkatkan kepercayaan responden untuk berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (- 0,097) etnisitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,299) dan upper bound (0,105). Maka disimpulkan etnisitas (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan pergaulan responden dengan sesama etnis dapat meningkatkan rasa solidaritas. Pemulung yang sebagian besar hidup menggelandang memiliki partisipasi yang sangat rendah. Partisipasi yang sangat rendah pada pemulung dikarenakan kehidupan pemulung yang terbatas pada suatu kelompok yang terkadang terbentuk atas persamaan etnis. Sehingga pemulung kurang dapat bergaul dengan masyarakat luas yang konsisten melakukan kegiatan kemasyarakatan seperti kerjabakti, siskamling dan pengajian. Selanjutnya B (0,185) etnisitas (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,029) dan upper bound (0,399). Maka disimpulkan etnisitas (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Rasa etnisitas


(45)

113

yang tinggi oleh responden menjadikan eksklusif dalam kelompoknya. Sehingga kehidupannya sangat terbatas pada kelompoknya dan keterlibatan atau partisipasi pada kegiatan kemasyarakatan sangat rendah.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (-0,016) kolektivitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,472) dan upper bound (0,440). Maka disimpulkan kolektivitas (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan pemulung hidup secara berkelompok dengan rasa solidaritas yang tinggi, hidup saling membentu dalam kelompoknya. Namun kelompok pemulung hidup tidak bergaul dengan masyarakat luas. Sehingga terlihat eksklusif dan keterlibatan kelompok miskin kota ini sangat rendah dalam kegiatan kemasyarakatan. Selanjutnya B (-0,790) kolektivitas (persepsi sikap) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,329) dan upper bound (-0,252). Selain itu B (0,845) kolektivitas (persepsi total) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (0,579) dan upper bound (1,111) Maka disimpulkan kolektivitas (persepsi sikap) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang setuju terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama seperti kerja bakti, siskamling, menolong teman yang sesulitan ekonomi. Sehingga sikap terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama yang terbentuk oleh responden memberikan pengaruh yang positif pada pembentukan perilaku responden dalam berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Meski dalam realitanya jarang sekali responden yang melakukan kegiatanan untuk kepentingan bersama terutama pada kerja bakti dan siskamling. Kegiatan yang demikian sangat sulit dilakukan oleh responden yang hidupnya menggelandang.

Hasil uji Regresi Linear dengan selang kepercayaan sebesar 95 per sen menunjukkan kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak memiliki pengaruh terhadap partisipasi. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2 bahwa B kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak berada dalam selang kepercayaan 95 per sen. Tidak berpengaruhnya kolektivitas (persepsi frekuensi) terhadap partisipasi dikarenakan sebagian besar responden memiliki persepsi terhadap frekunsi kolektivitas yang relatif seragam.


(1)

B.2.2. Kolektivitas

Bagaimana keterlibatan dan sikap Anda terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama, setelah bermigrasi ke Jakarta?

*) (5 = sangat sering, 4 = sering, 3 = cukup, 2 = jarang, 1 = tidak pernah) **) (5 = sangat setuju, 4 = setuju, 3 = biasa saja, 2 = kurang setuju, 1 = tidak

setuju)

No Kegiatan Berapa

hari dalam sebulan terakhir

Persepsi frekuensi (“kesering an”) *)

Persepsi Kesetujua n **) 49. Anda terlibat dalam kegiatan kerja bakti

50. Keterlibatan Anda dalam kegiatan siskamling 51. Anda memutuskan untuk menolong tetangga yang

sedang dalam masalah ketika Anda sedang sibuk 52. Anda memberikan sebagian makanan Anda kepada

tetangga Anda yang kesulitan untuk makan 53. Anda terlibat dalam pembangunan musola secara

swadaya

54. Anda mengeluarkan uang untuk membantu biaya tetangga Anda yang sakit

C. Kehidupan Komunitas Miskin Kota C.1. Kondisi Ekonomi

Berapa besar biaya yang dihabiskan Anda untuk keperluan 1 bulan terakhir berikut?

Pengeluaran Konsumsi/Bulan Biaya yang Dikeluarkan

Pengeluaran/Bulan

55. Beras Rp.

56. Ikan Rp.

57. Daging Rp.

58. Telur dan susu Rp. 59. Sayur-sayuran Rp.

60. Buah-buahan Rp.


(2)

143

62. Bumbu-bumbuan Rp. 63. Tembakau dan sirih Rp. 64. Makanan dan minuman jadi Rp. 65. Konsumsi Lainnya :

……...…..

Rp.

Berapa besar biaya yang dihabiskan Anda untuk keperluan 1 tahun terakhir berikut?

Pengeluaran Non-Konsumsi/Tahun Biaya dalam Rupiah

Pengeluaran/tahun 66. Perumahan dan fasilitas

rumah tangga Rp. 67. Aneka barang dan jasa Rp.

68. Pendidikan Rp.

69. Biaya Kesehatan Rp. 70. Pakaian, alas kaki, tutup

kepala

Rp.

71. Barang tahan lama Rp. 72. Pajak/Asuransi Rp. 73. Keperluan Pesta Upacara Rp. 74. Lainnya: ………..……… Rp.

75. Berapa orang yang Anda tanggung dari pekerjaan ini?

orang 76. Berapa kali Anda makan dalam sehari

pada seminggu terakhir?


(3)

C.2. Aksesibilitas Kebutuhan Dasar

Menurut Anda bagaimana biaya yang harus dikeluarkan dan jarak yang harus ditempuh untuk menggunakan lembaga pendidikan dan kesehatan?

*) (5 = sangat dekat, 4 = dekat, 3 = cukup dekat, 2 = jauh, 1 = sangat jauh) **) (5 = sangat murah, 4 = murah, 3 = cukup murah, 2 = mahal, 1 = sangat

mahal)

No Fasilitas Jarak

(km) Persepsi Jarak *) Biaya per minggu (Rp) (x 1000) Persepsi Biaya **) 77. Sekolah Dasar (SD) atau sederajat

78. Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat

79. Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat

80. Rumah Sakit 81. Puskesmas 82. Bidan

Seberapa sering Anda mendapat bantuan modal dari orang lain?

*) (5 = sangat sering, 4 = sering, 3 = cukup sering, 2 = jarang, 1 = tidak pernah)

**) (5 = sangat besar, 4 = besar, 3 = cukup besar, 2 = sedikit, 1 = sangat sedikit)

No Kegiatan Frekuensi

dalam 1 bulan terakhir Persepsi frekuensi (‘keserin gan’) *) Rupiah dalam 1 bulan terakhir (Rp) (x 1000) Persepsi Besaran **)

83. Anda meminta pinjaman uang kepada bank keliling

84. Anda meminta pinjaman uang kepada teman sekampung 85. Anda meminta pinjaman uang

kepada kerabat

86. Anda meminta pinjaman uang kepada tokoh masyarakat

87. Anda mendapatkan pinjaman uang ketika meminta kepada bank keliling

88. Anda mendapatkan pinjaman uang ketika meminta kepada teman sekampung

89. Anda mendapatkan pinjaman uang ketika meminta kepada kerabat


(4)

145

90. Anda mendapatkan pinjaman uang ketika meminta kepada tokoh masyarakat

91. Anda mendapat bantuan modal dari Kelurahan atau Dinas Pemerintahan

C.3. Partisipasi

Sebesar apa keterlibatan Anda dalam kegiatan sosial?

*) (5 = sangat sering, 4 = sering, 3 = cukup sering, 2 = jarang, 1 = tidak pernah)

No Kegiatan Berapa

kali dalam 1 bulan terakhir

Persepsi frekuensi (‘kesering an’) *) 92. Kehadiran Anda pada kegiatan kerjabakti

93. Kehadiran Anda pada kegiatan siskamling 94. Kehadiran Anda pada kegiatan pengajian

95. Kehadiran Anda pada kegiatan penggalangan dana sosial 96. Kehadiran Anda pada kegiatan rapat RT

97. Anda memberikan masukan pada saat perencanaan dilaksanakannya kerjabakti

98. Anda memberikan masukan pada saat perencanaan dilaksanakannya siskamling

99. Anda memberikan masukan pada saat perencanaan dilaksanakannya pengajian

100. Anda memberikan masukan pada saat perencanaan dilaksanakannya penggalangan dana sosial

101. Anda memberikan masukan pada saat rapat RT 102. Anda menyampaikan kritik dan saran pada rapat RT


(5)

RINGKASAN

LUKMAN HAKIM. Kerentanan Sosial Pemulung Asal Desa di Jakarta. (Dibimbing Oleh IVANOVICH AGUSTA)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kehidupan kelompok miskin perkotaan di Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama. Selain itu juga mengetahui sampai mana pengaruh tingkat kerentanan sosial terhadap taraf hidup kelompok miskin perkotaan dan sampai mana tingkat kerentanan sosial pada kelompok miskin perkotaan. Ketiga tujuan penelitian ini dapat dijawab dengan metode penelitian kuantitatif menggunakan kuesioner didukung dengan data kualitatif melalui observasi, wawancara mendalam dan penelusuran dokumen yang terkait dengan penelitian ini. Pendekatan kuantitatif ditujukan kepada 35 responden yang diperoleh secara incidental sampling. Responden yang dicari adalah kelompok miskin perkotaan yang berprofesi sebagai pemulung. Metode incidental sampling ini dilakukan di kawasan Kelurahan Grogol Selatan seperti di Stasiun Kebayoran, Pasar Bata Putih dan kolong Jembatan Simprug.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemulung di Jakarta hidup menggelandang. Pemulung tidur pada tempat yang relatif tetap seperti di kolong Jembatan Simprug, Stasiun Kebayoran, di bawah pepohonan dengan terpal sebagai atap dan di pinggir rel kereta api. Sebanyak 97 per sen responden hidup menggelandang dan hanya tiga per sen responden yang tinggal mengontrak. Selain itu pemulung memiliki penghasilan yang relatif tetap yang berarti setiap harinya mereka dapat memperoleh penghasilan dengan menjual barang pulungannya. Sebesar 80 per sen pemulung memiliki pendapatan sangat rendah (< Rp 20.000) dan 20 per sen memiliki pendapatan rendah (Rp 20.000 – Rp 43.000). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemulung di Jakarta memiliki aksesibilitas kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan dan modal) yang sebagian besar pada tingkatan sangat rendah. Terdapat 86 per sen responden tidak memiliki kemampuan untuk mengakses kebutuhan dasar mereka, sebesar sebelas per sen responden kurang mampu mengakses kebutuhan dasar dan hanya tiga per sen


(6)

iv

reponden cukup mampu mengakses kebutuhan dasarnya. Terakhir yang menggambarkan kehidupan pemulung di Jakarta adalah tingkat partisipasi yang sangat rendah atas kegiatan-kegiatan sosial. Sebesar 100 per sen responden memiliki partisipasi yang sangat rendah. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar responden hidup menggelandang sehingga kesempatan untuk menghadiri, bersumbangsih pemikiran dan kritik sangat rendah dalam kegiatan kemasyarakatan.

Dalam penelitian ini terbukti bahwa kekerabatan (objektif), keterampilan (objektif), etnisitas (persepsi), kolektivitas (persepsi sikap) dan kolektivitas (persepsi total) berpengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Selain itu kekerabatan (persepsi), keterampilan (persepsi), etnisitas (objektif) dan kolektivitas (objektif) berpengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Dalam penelitian ini juga terbukti bahwa kekerabatan (objektif), keterampilan (objektif), etnisitas (persepsi) dan kolektivitas (persepsi sikap) berpengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Selain itu kekerabatan (persepsi), keterampilan (persepsi), kolektivitas (objektif) dan kolektivitas (persepsi total) berpengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Dan penelitian ini juga membuktikan bahwa kekerabatan (objektif), keterampilan (objektif), keterampilan (persepsi), etnisitas (persepsi) dan kolektivitas (persepsi total) berpengaruh positif terhadap partisipasi. Selain itu kekerabatan (persepsi), etnisitas (objektif), kolektivitas (objektif) dan kolektivitas (persepsi sikap) berpengaruh negatif terhadap partisipasi.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemulung di Jakarta memiliki tingkat kerentanan sosial yang sangat tinggi. Sebesar 63 per sen responden memiliki kerentanan sosial yang sangat tinggi, 31 per sen responden memiliki kerentanan sosial yang tinggi, tiga per sen responden memiliki kerentanan sosial yang sedang dan tiga per sen responden memiliki kerentanan sosial yang rendah. Tinggi rendahnya kerentanan sosial pemulung diukur dari kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas.