responden mengaku tidak pernah bersilaturahmi dengan keponakan, sebelas per sen responden mengaku jarang bersilaturahmi dengan keponakan, sebelas per sen
responden mengaku cukup bersilaturahmi dengan keponakan dan enam per sen responden mengaku sering bersilaturahmi dengan keponakan seperti tampak pada
Gambar 19. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan keponakan dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas
silaturahmi dengan keponakan dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun bersilaturahmi dengan keponakan dirasa sudah cukup. Aktivitas
silaturahmi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
5.2 Keterampilan Pemulung
5.2.1 Kemampuan Komunikasi
Kota Jakarta merupakan kota besar yang dihuni oleh berbagai masyarakat dengan latarbelakang budaya, ekonomi dan sosial yang berbeda. Sehingga dalam
upaya pengitegrasiannya sesorang dengan lingkungan Kota Jakarta dibutuhkan kemampuan dalam hal komunikasi.
Dalam kehidupan pemulung yang selalu beraktivitas di jalan sering berjumpa dengan orang lain yang berbeda latarbelakang budaya, ekonomi dan
sosial. Sebagai penunjuang untuk berkomunikasi maka pemulung harus bermodalkan kemampuan berbahasa yang dapat diterima oleh orang lain.
Penelitian ini menunjukkan bagaimana kemampuan komunikasi pemulung yang diukur dari frekuensi responden berbahasa Indonesia, berbasaha daerah dan
berbahasa daerah lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80 per sen responden memiliki
frekuensi berbicara bahasa yang sangat tinggi, enam per sen responden memiliki frekuensi berbicara bahasa indonesia yang sedang, enam per sen responden juga
memiliki frekuensi berbicara bahasa indonesia yang rendah dan delapan per sen responden memiliki frekuensi berbicara bahasa Indonesia yang sangat rendah
seperti tampak pada Tabel 12. Dominannya responden dengan frekuensi berbicara Bahasa Indonesia yang sangat tinggi. Dikarenakan bahasa yang sering dipakai
dalam proses komunikasi di Kota Jakarta adalah Bahasa Indonesia. Sehingga
responden relatif lebih sering berbicara dalam Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mudah dimengerti oleh warga Jakarta pada umumnya.
Tabel 12 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keterampilan Kemampuan Komunikasi, Kelurahan Grogol Selatan, Kec.
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011
Keterampilan Kemampuan
Komunikasi Kategori
Sangat Rendah
Rendah Sedang
Tinggi Sangat
Tinggi Jumlah
Jumlah Jumlah
Jumlah Jumlah
Frekuensi Berkomunikasi
Bahasa Indonesia Berbicara
3 8
2 6
2 6
28 80
Mendengarkan 3
8 2
6 2
6 28
80 Menulis
32 91
1 3
1 3
1 3
Frekuensi Berkomunikasi
Bahasa Daerah Berbicara
10 28
1 3
1 3
23 66
Mendengarkan 10
29 3
8 2
6 20
57 Menulis
33 94
1 3
1 3
Frekuensi Berkomunikasi
Bahasa Daerah Lain
Berbicara 31
88 1
3 1
3 2
6 Mendengarkan
24 68
2 6
2 6
1 3
6 17
Menulis 35
100
Seperti halnya berbicara dalam Bahasa Indonesia, aktivitas responden dalam mendengarkan Bahasa Indonesia juga menunjukkan persentase yang sangat
besar yaitu 80 per sen responden yang memiliki frekuensi mendengarkan pembicaraan dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan responden yang memiliki
frekuensi mendengarkan pembicaraan dalam Bahasa Indonesia pada kategori sedang sebesar enam persen, kemudian pada kategori rendah adalah sebesar enam
per sen dan pada kategori sangat rendah sebesar delapan per sen seperti tampak pada Tabel 12. Dominannya responden dengan frekuensi mendengarkan dalam
Bahasa Indonesia yang sangat tinggi, dikarenakan bahasa yang sering dipakai dalam proses komunikasi di Kota Jakarta adalah Bahasa Indonesia. Sehingga
responden relatif lebih sering mendengarkan pembicaraan dalam Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mudah dimengerti oleh warga Jakarta pada
umumnya. Hasil penelitian juga menunjukkan persentase responden berdasarkan
frekuensi menulis Bahasa Indonesia. Berbeda dengan frekuensi berbicara dan mendengarkan Bahasa Indonesia yang dominan pada kategori sangat tinggi. Pada
frekuensi menulis Bahasa Indonesia oleh responden menunjukan persentase
sebesar 91 per sen responden memiliki frekuensi menulis Bahasa Indonesia yang sangat rendah. Sedangkan frekuensi menulis Bahasa Indonesia pada kategori
rendah adalah sebesar tiga per sen, kategori sedang adalah sebesar tiga per sen dan kategori tinggi hanya tiga per sen. Dominannya responden dengan frekuensi
menulis Bahasa Indonesia yang sangat rendah, dikarenakan sebagian besar responden tidak bisa baca tulis. Terlebih dalam aktivitas memulung responden
tidak dituntut untuk menulis. Hal ini berbeda dengan aktivitas berbicara Bahasa Indonesia. Responden mau tidak mau harus mampu berbicara Bahasa Indonesia
karena situasi dan kondisi warga Jakarta umumnya menggunakan Bahasa Indonesia.
Responden dalam frekuensi berbicara dan mendengarkan Bahasa Indonesia menunjukkan tingkat yang sangat tinggi. Sedangkan dalam frekuensi
menulis Bahasa Indonesia oleh responden menunjukkan tingkat yang sangat rendah. Namun penelitian ini juga memperlihatkan kemampuan komunikasi
responden berdasarkan persepsinya terhadap kemampuan berbicara, mendengarkan dan menulis dalam Bahasa Indonesia.
Gambar 20 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Berbicara dengan Bahasa Indonesia
Persepsi responden terhadap kemampuannya berbicara Bahasa Indonesia dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang
mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 20 menunjukkan bahwa sebelas per sen responden merasa sangat mampu, 43 per sen responden merasa mampu,
Sangat Mampu 4
11
Mampu 15
43 Cukup
9 26
Kurang Mampu 6
17 Tidak Mampu
1 3
26 per sen responden merasa cukup, 17 per sen responden merasa kurang mampu dan 3 per sen responden merasa tidak mampu berbicara Bahasa Indonesia.
Dominannya responden yang merasa mampu berbicara Bahasa Indonesia karena pada umumnya warga jakarta berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Selain itu
dari sisi responden juga sempat mendapatkan pendidikan Bahasa Indonesia saat masa sekolah. Namun terdapat satu responden yang merasa tidak mampu
berbicara Bahasa Indonesia yaitu Bapak JN, karena ia tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Komunikasi sehari-hari Bapak JN selalu berbicara
Bahasa Sunda.
Gambar 21 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Mendengarkan Pembicaraan dalam Bahasa Indonesia
Persepsi responden terhadap kemampuannya mendengarkan Bahasa Indonesia juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu,
mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 21 menunjukkan bahwa enam per sen responden merasa sangat mampu, 57 per sen
responden merasa mampu, 26 per sen responden merasa cukup, 8 per sen responden merasa kurang mampu dan 3 per sen responden merasa tidak mampu
mendengarkan Bahasa Indonesia. Dominannya responden yang merasa mampu mendengarkan Bahasa Indonesia karena pada umumnya warga Jakarta
berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Selain itu dari sisi responden juga sempat mendapatkan pendidikan Bahasa Indonesia saat masa sekolah. Namun
terdapat satu responden yang merasa tidak mampu mendengarkan pembicaraan
Sangat Mampu 2
6 Mampu
20 57
Cukup 9
26 Kurang Mampu
3 8
Tidak Mampu 1
3
Bahasa Indonesia yaitu Bapak JN, karena ia tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
Persepsi responden terhadap kemampuannya menulis Bahasa Indonesia juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup,
kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 22 menunjukkan bahwa enam per sen responden merasa sangat mampu, 29 per sen responden merasa
mampu, sebelas per sen responden merasa cukup, 34 per sen responden merasa kurang mampu dan 20 per sen responden merasa tidak mampu menulis Bahasa
Indonesia. Dominannya responden yang merasa kurang mampu menulis Bahasa Indonesia karena sebagian besar responden hanya mengenyam pendidikan hingga
tingkat Sekolah Dasar dan tidak pernah sekolah. Sehingga responden tidak mampu menulis.
Gambar 22 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia
Kemampuan komunikasi pemulung selain diukur dari frekuensi berbicara, medengarkan dan menulis Bahasa Indonesia. Penelitian ini juga mengukur dari
frekuensi berbicara, mendengarkan dan menulis bahasa daerah asal. Pada Tabel 11 menunjukan bahwa 66 per sen responden memiliki frekuensi berbicara bahasa
daerah asal yang sangat tinggi. Sedangkan persentase responden yang memiliki frekuensi berbicara bahasa daerah yang sedang hanya sebesar tiga persen. Begitu
juga dengan persentase responden yang memiliki frekuensi berbicara daerah asal yang rendah hanya sebesar tiga per sen dan 28 per sen responden yang memiliki
Sangat Mampu 2
6 Mampu
10 29
Cukup 4
11 Kurang Mampu
12 34
Tidak Mampu 7
20
frekuensi berbicara bahasa daerah yang sangat rendah. Dominannya responden yang memiliki frekuensi berbicara bahasa daerah yang sangat tinggi dikarenakan
sebagaian besar responden hidup berkelompok atas dasar persamaan profesi yaitu pemulung. Seringkali responden menemui teman sesama etnisnya seperti Jawa
dan Sunda. Meski tidak sedaearah asal namun bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa atau Sunda yang sama-sama bisa dimengerti oleh setiap responden.
Sedangkan responden yang memiliki frekuensi yang sangat rendah berbicara dalam bahasa daerah dikarenakan mereka hidup individual tidak berkelompok
dengan sesama pemulung lainnya. Terlebih lagi jika responden memiliki pemahaman atau ideologi bahwa hidup di Jakarta untuk bekerja bukan untuk
‘ngobrol’ seperti yang dilakukan oleh Bapak AN. Seperti halnya berbicara dalam bahasa daerah asal, frekuensi
mendengarkan responden dalam bahasa daerah asal juga menunjukkan persentase yang sangat tinggi yaitu 57 per sen responden yang memiliki frekuensi
mendengarkan pembicaraan dalam bahasa daerah asal. Sedangkan responden yang memiliki frekuensi mendengarkan pembicaraan dalam bahasa daerah asal pada
kategori sedang sebesar enam persen, kemudian pada kategori rendah adalah sebesar delapan per sen dan pada kategori sangat rendah sebesar 29 per sen seperti
tampak pada Tabel 12. Dominannya responden dengan frekuensi mendengarkan dalam bahasa daerah asal yang sangat tinggi, dikarenakan sebagaian besar
responden hidup berkelompok dengan sesama pemulung sering kali menemui teman sedaerah meski tidak sekampung.
Hasil penelitian juga menunjukkan persentase responden berdasarkan frekuensi menulis bahasa daerah asal. Berbeda dengan frekuensi berbicara dan
mendengarkan bahasa daerah asal yang dominan pada kategori sangat tinggi. Pada frekeunsi menulis bahasa daerah asal oleh responden menunjukan persentase
sebesar 94 per sen responden memiliki frekuensi menulis bahasa daerah asal yang sangat rendah. Sedangkan frekuensi menulis bahasa daerah asal pada kategori
sedang adalah sebesar tiga per sen dan kategori sangat tinggi hanya tiga per sen. Dominannya responden dengan frekuensi menulis bahasa daerah asal yang sangat
rendah, dikarenakan sebagian besar responden tidak bisa baca tulis. Terlebih dalam aktivitas memulung responden tidak dituntut untuk menulis. Namun satu
responden menunjukkan frekeunsi yang sangat tinggi dalam menulis bahasa daerahnya yaitu Bapak CR. Ia mengaku memiliki telepon genggam sehingga ia
sering berkomuikasi lewat pesan pendek kepada kerabatnya di kampung halaman dengan bahasa daerah asal.
Responden dalam frekuensi berbicara dan mendengarkan bahasa daerah asal menunjukkan tingkat yang sangat tinggi. Sedangkan dalam frekuensi menulis
bahasa daerah asal oleh responden menunjukkan tingkat yang sangat rendah. Namun penelitian ini juga memperlihatkan kemampuan komunikasi responden
berdasarkan persepsinya terhadap kemampuan berbicara, mendengarkan dan menulis dalam bahasa daerah asal.
Gambar 23 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Berbicara dengan Bahasa Daerah Asal
Persepsi responden terhadap kemampuannya berbicara bahasa daerah asal dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang
mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 23 menunjukkan bahwa 20 per sen responden merasa sangat mampu, 63 per sen responden merasa mampu dan 17
per sen responden merasa cukup mampu berbicara bahasa daerah asal. Dominannya responden yang merasa mampu berbicara bahasa daerah asal karena
seluruh responden dilahirkan di daerah asalnya dan pada usia kerja seluruh responden bermigrasi ke Jakarta. Sehingga seluruh responden merasa menguasai
bahasa daerah asalnya.
Sangat Mampu 7
20
Mampu 22
63 Cukup
6 17
Gambar 24 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Mendengarkan Pembicaraan dalam Bahasa Daerah Asal
Persepsi responden terhadap kemampuannya mendengarkan bahasa daerah asal juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu,
cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 24 menunjukkan bahwa 17 per sen responden merasa sangat mampu, 72 per sen responden merasa
mampu dan 26 per sen responden merasa cukup mampu mendengarkan bahasa daerah asalnya. Dominannya responden yang merasa mampu mendengarkan
bahasa daerah asal karena seluruh responden dilahirkan di daerah asalnya dan pada usia kerja seluruh responden bermigrasi ke Jakarta. Sehingga seluruh
responden merasa menguasai bahasa daerah asalnya. Persepsi responden terhadap kemampuannya menulis bahasa daerah asal
juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 25. menunjukkan bahwa
20 per sen responden merasa mampu, 14 per sen responden merasa cukup, 29 per sen responden merasa kurang mampu dan 37 per sen responden merasa tidak
mampu menulis bahasa daerah asal. Dominannya responden yang meresa tidak mampu menulis bahasa daerah asal karena sebagian besar responden hanya
mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar dan tidak pernah sekolah. Sehingga responden tidak mampu menulis khususnya menulis bahasa daerah.
Sangat Mampu 6
17
Mampu 25
72 Cukup
4 11
Gambar 25 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Menulis Bahasa daerah Asal
Kemampuan komunikasi pemulung selain diukur dari frekuensi berbicara, mendengarkan dan menulis Bahasa Indonesia dan bahasa daerah asal. Penelitian
ini juga mengukur dari frekuensi berbicara, mendengarkan dan menulis bahasa daerah lain. Pada Tabel 12 menunjukan bahwa enam per sen responden memiliki
frekuensi berbicara bahasa daerah lain yang sangat tinggi. Selain itu persentase responden yang memiliki frekuensi berbicara bahasa daerah lain yang sedang
sebesar tiga persen. Sedangkan persentase responden yang memiliki frekuensi berbicara daerah lain yang sangat rendah rendah sebesar 88 per sen. Dominannya
responden yang memiliki frekuensi berbicara bahasa daerah lain yang sangat rendah dikarenakan sebagian besar responden tidak berniat untuk mempelajari
berbicara daerah lain. Selain itu sebagian besar responden berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda daerah dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Sehingga
kesempatan responden untuk berbicara bahasa daerah lain sangat kecil. Seperti halnya berbicara dalam bahasa daerah asal, frekuensi
mendengarkan responden dalam bahasa daerah lain juga menunjukkan frekuensi yang sangat rendah yaitu 68 per sen responden. Sedangkan responden yang
memiliki frekuensi mendengarkan pembicaraan dalam bahasa daerah lain pada kategori rendah sebesar enam per sen, kemudian pada kategori sedang sebesar
enam per sen, kategori tinggi sebesar 3 per sen dan kategori sangat tinggi sebesar 17 per sen seperti tampak pada Tabel 12. Dominannya responden dengan
frekuensi mendengarkan dalam bahasa daerah lain yang sangat rendah, dikarenakan sebagaian besar responden hidup lebih sering berkomunikasi Bahasa
Mampu 7
20 Cukup
5 14
Kurang Mampu 10
29 Tidak Mampu
13 37
Indonesia dengan orang yang berasal dari daerah lain. Sehingga kesempatan mendengarkan pembicaraan daerah lain sangat kecil.
Hasil penelitian juga menunjukkan persentase responden berdasarkan frekuensi menulis bahasa daerah lain. Sama dengan frekuensi berbicara dan
mendengarkan bahasa daerah lain yang dominan pada kategori sangat rendah. Pada frekeunsi menulis bahasa daerah lain oleh responden menunjukan persentase
sebesar 100 per sen responden memiliki frekuensi menulis bahasa daerah lain yang sangat rendah. Seluruh responden menunjukkan frekuensi menulis bahasa
daerah lain yang sangat rendah, dikarenakan sebagian besar responden tidak bisa baca tulis. Terlebih dalam aktivitas memulung responden tidak dituntut untuk
menulis, apalagi menulis dengan bahasa daerah lain yang kurang dimengerti oleh sebagian besar responden.
Responden dalam frekuensi berbicara,
mendengarkan dan menulis bahasa daerah lain menunjukkan tingkat yang sangat rendah. Namun penelitian ini juga memperlihatkan kemampuan komunikasi
responden berdasarkan persepsinya terhadap kemampuan berbicara, mendengarkan dan menulis dalam bahasa daerah lain.
Gambar 26 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Berbicara dengan Bahasa Daerah Lain
Persepsi responden terhadap kemampuannya berbicara bahasa daerah lain dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang
mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 26 menunjukkan bahwa 9 per sen responden merasa mampu, sebelas per sen responden merasa cukup, 20 per sen
Mampu 3
9 Cukup
4 11
Kurang Mampu 7
20 Tidak Mampu
21 60
responden merasa kurang mampu dan 60 per sen responden merasa tidak mampu berbicara bahasa daerah lain. Dominannya responden yang merasa tidak mampu
berbicara bahasa daerah lain karena sebagian besar responden berbicara Bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang yang berbeda daerah asal. Terlebih
sebagaian besar responden tidak merasa perlu untuk belajar berbicara bahasa daerah lain. Namun terdapat 23 per sen yang merasa mampu berbicara bahasa
daerah lainnya. Hal tersebut dikarenakan responden sudah berpuluh tahun berada di Jakarta dan hidup di jalanan. Seperti Bapak JS yang sudah hidup di Jakarta
sejak tahun 1967 dan sering bergaul dengan orang yang berbeda daerah dengannya.
Gambar 27 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Mendengarkan Pembicaraan dalam Bahasa Daerah Lain
Persepsi responden terhadap kemampuannya mendengarkan bahasa daerah lain juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu,
cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 27 menunjukkan bahwa 23 per sen responden merasa mampu, 9 per sen responden merasa cukup,
20 per sen responden merasa kurang mampu dan 48 per sen responden merasa tidak mampu mendengarkan bahasa daerah lain. Dominannya responden yang
merasa tidak mampu mendengarkan bahasa daerah lain karena sebagian besar responden berkomunikasi Bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang
yang berbeda daerah asal. Namun terdapat 23 per sen yang merasa mampu mendengarkan bahasa daerah lainnya. Hal tersebut dikarenakan responden sudah
Mampu 8
23 Cukup
3 9
Kurang Mampu 7
20 Tidak Mampu
17 48
berpuluh tahun berada di Jakarta dan sering bergaul dengan orang berbeda daerah asal. Selain itu sebagian besar responden mengaku lebih mudah mendengarkan
dan memahami pembicaraan dengan bahasa daerah asal dari pada berbicara bahasa daerah lain.
Gambar 28 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Daerah Lain
Persepsi responden terhadap kemampuannya menulis bahasa daerah lain juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup,
kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 28. menunjukkan bahwa enam per sen responden merasa mampu, tiga per sen responden merasa cukup, 14
per sen responden merasa kurang mampu dan 77 per sen responden merasa tidak mampu menulis bahasa daerah lain. Dominannya responden yang merasa tidak
mampu menulis bahasa daerah lain karena sebagian besar responden hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar dan tidak pernah sekolah.
Sehingga responden tidak mampu menulis. Terlebih sebagian besar responden tidak mengerti bahasa daerah lain.
5.2.2 Kemampuan Teknis