berpuluh tahun berada di Jakarta dan sering bergaul dengan orang berbeda daerah asal. Selain itu sebagian besar responden mengaku lebih mudah mendengarkan
dan memahami pembicaraan dengan bahasa daerah asal dari pada berbicara bahasa daerah lain.
Gambar 28 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Daerah Lain
Persepsi responden terhadap kemampuannya menulis bahasa daerah lain juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup,
kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 28. menunjukkan bahwa enam per sen responden merasa mampu, tiga per sen responden merasa cukup, 14
per sen responden merasa kurang mampu dan 77 per sen responden merasa tidak mampu menulis bahasa daerah lain. Dominannya responden yang merasa tidak
mampu menulis bahasa daerah lain karena sebagian besar responden hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar dan tidak pernah sekolah.
Sehingga responden tidak mampu menulis. Terlebih sebagian besar responden tidak mengerti bahasa daerah lain.
5.2.2 Kemampuan Teknis
Subbab ini akan memperlihatkan bagaimana kemampuan teknis pemulung dalam aktivitas yang erat kaitannya dengan pekerjaan pemulung. Kemampuan
ternis tersebut adalah kemampuan pemulung dalam membedakan sampah organik
Mampu 2
6 Cukup
1 3
Kurang Mampu 5
14 Tidak Mampu
27 77
dan non-organik, kemampuan pemulung mengolah sampah menjadi barang berdaya jual lebih tinggi dan kemampuan responden memperbaiki hasil pulung
sehingga dapat dipakai kembali.
Tabel 13 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Keterampilan Kemampuan Teknis, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran
Lama, Jakarta Selatan, 2011
Kemampuan Teknis Kategori
Sangat Rendah
Rendah Sedang
Tinggi Sangat
Tinggi Jumlah
Jumlah Jumlah
Jumlah Jumlah
Membedakan Sampah Organik dan Non-organik
2 6
1 3
32 91
Mengolah Sampah Menjadi Barang Berdaya Jual Lebih
Tinggi 34
97 1
3 Memperbaiki Hasil Pulung
Sehingga Dapat Dipakai Kembali
33 94
1 3
1 3
Hasil penelitian menunjukkan bahwa enam per sen responden memiliki frekuensi membedakan sampah organik dan non-organik yang sangat rendah, tiga
per sen responden memiliki frekuensi membedakan sampah organik dan non- organik yang tinggi dan 91 per sen responden memiliki frekuensi membedakan
sampah organik dan non-organik yang sangat tinggi seperti tampak pada Tabel 13. Dominannya responden dengan frekuensi membedakan sampah organik dan non-
organik yang sangat tinggi dikarenakan aktivitas pencarian nafkah mereka sangat berkaitan dengan kegiatan membedakan sampah ogranik dan non-organik. Namun
yang menarik adalah ketika profesinya sebagai pemulung namun terdapat dua responden yang sangat rendah dalam aktivitas membedakan sampah organik dan
non-organik. Kedua responden tersebut adalah Bapak FD dan YN. Beberapa alasan yang menyebabkan kedua responden tersebut sangat rendah aktivitas
membedakan sampah organik dan non-organik, yaitu karena penelitian ini dilakukan pada saat Bulan Ramadhan maka Bapak FD beralih sementara menjadi
pengemis. Sedangkan Bapak YN beralih sementara mejadi kuli angkut buah- buahan di Pasar Bata Putih.
Keterampilan teknis yang kedua adalah mengolah sampah menjadi barang yang berdaya jual lebih tinggi. Berbeda dengan aktivitas membedakan sampah
organik dan non-organik yang didominasi pada frekuensi yang sangat tinggi. Pada aktivitas mengolah sampah menjadi barang yang berdaya jual lebih tinggi
menunjukkan persentase yang didominasi pada frekuensi yang sangat rendah yaitu sebesar 80 per sen responden. Sedangkan responden yang memiliki frekuensi
mengolah sampah menjadi barang berdaya jual lebih pada kategori sangat tinggi hanya sebesar tiga persen. Adapun frekunesi pada kategori rendah, sedang dan
tinggi tidak ditemukan seperti tampak pada Tabel 13. Dominannya responden dengan frekuensi mengolah sampah menjadi barang berdaya jual lebih tinggi yang
sangat rendah, dikarenakan seluruh waktu pemulung digunakan untuk mencari barang-barang bekas saja. Sedangkan aktivitas pengolahan sampah dilakukan di
pabrik-pabrik. Namun yang menarik ada satu responden yang melakukan aktivitas pengolahan sampah menjadi barang berdaya jual lebih tinggi, yaitu Ibu MS. Ibu
MS mengolah hasil pulungan berupa kardus bekas yang diolah menjadi tali tambang untuk dijual kembali kepada temannya pembuat parsel lebaran. Kegiatan
pengolahan hasil pulung yang dilakukan Ibu MS hanya dilakukan pada Ramadhan ini saja.
Keterampilan yang ketiga dalam penelitian ini adalah memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali. Hasil penelitian menunjukkan persentase
responden berdasarkan frekuensi memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali oleh responden menunjukan persentase sebesar 94 per sen
responden memiliki frekuensi yang sangat rendah. Sedangkan frekuensi memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali pada kategori rendah
adalah sebesar tiga per sen dan kategori sangat tinggi adalah sebesar tiga per sen. Dominannya responden dengan frekuensi memperbaiki hasil pulung sehingga
dapat dipakai kembali yang sangat rendah, dikarenakan sebagian besar responden mengaku tidak mampu untuk memperbaiki hasil pulung. Sebagaian besar
responden langsung menjual barang yang ditemukan seperti kipas rusak, panci rusak dan radio rusak. Namun yang menarik adalah ada satu responden yang
memiliki frekuensi memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali, yaitu Ibu MS. Ibu MS mengaku setiap hari selama Bulan Ramadhan selalu
menemukan barang-barang yang rusak baik yang didapat dari pembuangan maupun pemberian orang. Ibu MS pernah mendapatkan panci bekas, sepatu,
sandal dan lain-lain. Namun Ibu MS tidak langsung menjualkan kepada lapak tetapi coba diperbaiki setiap malam. Jika mampu diperbaiki maka akan digunakan
sendiri. Selain Ibu MS, ada juga Bapak AN yang pernah menemukan earphone rusak. Bapak AN mampu memperbaiki earphone tersebut dan diberikan kepada
anaknya. Responden dalam frekuensi membedakan sampah organik dan non-
organik menunjukkan tingkat yang sangat tinggi. Sedangkan dalam frekuensi mengolah hasil pulung dan memperbaiki hasil pulung oleh responden
menunjukkan tingkat yang sangat rendah. Selain itu, penelitian ini juga memperlihatkan kemampuan teknis responden berdasarkan persepsinya terhadap
kemampuan membedakan sampah organik dan non-organik, kemapuan mengolah hasil pulung menjadi barang berdaya jual lebih tinggi dan memperbaiki hasil
pulung sehingga dapat dipakai kembali. Persepsi responden terhadap kemampuannya dalam membedakan sampah
organik dan non-organik dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar
29 menunjukkan bahwa tiga per sen responden merasa sangat mampu, 57 per sen responden merasa mampu, 12 per sen responden merasa cukup, 14 per sen
responden merasa kurang mampu dan14 per sen responden merasa tidak mampu membedakan sampah organik dan non-organik. Dominannya responden yang
merasa mampu membedakan sampah organik dan non-organik karena responden telah mengerti istilah sampah organik dan non-organik. Reponden memahami
sampah non-organik adalah sampah yang dicari dan laku dijual. Salah satu responden, yaitu Bapak BD yang mengetahui istilah sampah organik dan non-
organik karena selalu memperhatikan tempat sampah di puskesmas dan rumah sakit yang memberikan label pembeda antara tempat sampah organik dan tempat
sampah non-organik.
Gambar 29 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Membedakan Sampah Organik dan Non-organik
Gambar 30 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Mengolah Hasil pulung Menjadi Barang Berdaya Jual Lebih Tinggi
Persepsi responden terhadap kemampuannya dalam mengolah hasil pulung menjadi barang berdaya jual lebih tinggi juga dikategorikan menjadi lima
tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 30 menunjukkan bahwa tiga per sen responden merasa
mampu, tiga per sen responden merasa kurang mampu dan 94 per sen responden merasa tidak mampu mengolah hasil pulung menjadi barang berdaya jual lebih
tinggi. Dominannya responden yang meresa tidak mampu mengolah hasil pulung menjadi barang berdaya jual lebih tinggi karena sebgaian besar responden tidak
Sangat Mampu 1
3
Mampu 20
57 Cukup
4 12
Kurang Mampu 5
14 Tidak Mampu
5 14
Mampu 1
3 Kurang Mampu
1 3
Tidak Mampu 33
94
memiliki pengetahuan dan pengalaman mengolah hasil pulung. Selain itu sebagian besar pemulung telah disibukkan dengan aktivitas mencari barang yang
laku dijual dan menurut sebagian besar pemulung pengolahan hasil pulung akan dilakukan oleh pabrik.
Gambar 31 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Memperbaiki Hasil Pulung Sehingga Dapat Dipakai Kembali
Persepsi responden terhadap kemampuannya dalam memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali juga dikategorikan menjadi lima tingkatan
yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 31 menunjukkan bahwa 14 per sen responden merasa
mampu, 14 per sen responden merasa cukup, sebelas per sen responden merasa kurang mampu dan 69 per sen responden merasa tidak mampu memperbaiki hasil
pulung sehingga dapat dipakai kembali. Dominannya responden yang merasa tidak mampu memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali karena
sebagian besar responden tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman memperbaiki hasil pulung. Selain itu sebagaian besar pemulung telah disibukkan
dengan aktivitas mencari barang yang laku dijual dan memilih untuk menjualnya dari pada diperbaiki.
Mampu 5
14 Cukup
4 11
Kurang Mampu 2
6 Tidak Mampu
24 69
BAB VI FAKTOR EKSTERNAL KERENTANAN SOSIAL
6.1 Etnisitas Pemulung
6.1.1 Bahasa
Pada umumnya pemulung di Kota Jakarta berasal dari luar Kota Jakarta. Kata lainnya mereka bermigrasi dari desa ke Jakarta untuk mencari nafkah.
Pemulung yang sebelumnya telah mengintegrasikan dirinya pada lingkungan di kampungnya kini menghadapi lingkungan yang baru yaitu Kota Jakarta. Kota
Jakarta yang sangat heterogen masyarakatnya sangat berbeda dengan keadaan di pedesaan tempat tinggal pemulung terdahulu. Hal tersebut menjadikan pemulung
menyesuaikan dengan kebudayaan di Kota Jakarta dan perlahan meninggalkan kebudayaan yang mereka miliki sebelumnya di kampung Suparlan, 1984.
Hasil penelitian ini menunjukkan etnisitas pemulung di Kota Jakarta. Etnisitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahasa, asal daerah dan
perilaku. Adapun bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah frekuensi responden berkomunikasi dengan bahasa daerah aasalnya. Sedangkan asal daerah
adalah frekuensi responden berkumpul dengan teman sedaerah asal. Kemudian Perilaku yang dimaksud dalam penelitian ini adalah frekuensi pola perilaku yang
menunjukkan kebersamaan responden dengan teman sedaerahnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 23 per sen responden memiliki
frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah asal yang sangat rendah, sembilan per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah asal
yang sedang dan 68 per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah asal yang sangat tinggi seperti tampak pada Tabel 14. Dominannya
responden dengan frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah asal yang sangat tinggi dikarenakan sebagian besar responden dapat berkomunikasi dengan
bahasa daerahnya dengan orang lain meski tidak sekampung. Sebagai contoh Bapak SB dengan Bapak YN berkomunikasi dengan Bahasa Jawa meski
sebenarnya Bapak SB dan Bapak YN tidak sekampung. Selain itu di daerah