Dalam menentukan mutu tapioka yang dijual, penentuan mutu dilakukan oleh pihak pabrik dengan cara konvensional,
yaitu dengan rabaan tangan dan beberapa pabrik melakukannya dengan bantuan kaca untuk menentukan kadar air dalam tapioka
tersebut.
e. Keuangan
Pencatatan keuangan yang dilakukan industri tapioka di Desa Karang Tengah masih sangat sederhana. Tidak ada laporan
keuangan yang menggambarkan pendapatan ataupun biaya produksi yang diperlukan, yang ada hanya catatan penjualan
yang menggambarkan data-data historis penjualan. Jadi perusahaan tidak dapat menganalisis secara pasti berapa biaya
yang dikeluarkan untuk memproduksi tapioka dalam sekali giling.
4.2. Proses Perumusan
Strategi. 4.2.1. Perumusan Strategi IK Tapioka
a. Analisis Lingkungan Internal
Analisis lingkungan internal bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh industri kecil
tapioka. Kelemahan maupun kekuatan dari industri ini nantinya dapat digunakan sebagai masukan untuk pengembangan strategi
yang baik. Faktor yang akan dianalisis ialah struktur organisasi, fasilitas dan kegiatan produksi, produk, harga, lokasi, pemasaran
dan sumber daya.
1. Struktur Organisasi IK Tapioka
Pada umumnya, struktur organisasi pada IK tapioka ini sangat sederhana, yaitu terdiri dari pemilik modal yang
merangkap menjadi pengelola atau karyawan yang langsung menangani aktivitas produksi, keuangan hingga pemasaran
produk. Struktur organisasi ini memberikan kemudahan tersendiri dalam mengontrol jalannya kegiatan operasional
perusahaan. Efektivitas dan efisiensi aliran tanggungjawab
dapat lebih memungkinkan untuk dikontrol dan hal tersebut dapat meminimalkan terjadinya kesalahan.
2. Budaya dalam Industri Tapioka
Pengusaha tapioka pada umumnya memiliki etos kerja yang tinggi, memiliki disiplin dalam bekerja dan
bersifat kekeluargaan. Berdasarkan pengamatan lapangan, etos kerja dan disiplin yang tinggi tersebut tercermin dari
waktu kerja yang tidak mengenal lelah, yaitu kurang lebih 13 jam sehari dalam seminggu. Waktu kerja yang relatif lama
dan disiplin yang tinggi tersebut disebabkan tingginya permintaan akan tapioka dan masa simpan tapioka yang
relatif pendek, sehingga tidak dapat menyimpan persediaan seperti barang tahan lama lainnya.
Faktor kekeluargaan menimbulkan semangat saling membantu, gotong-royong dan menimbulkan iklim yang
baik dalam bekerja. Faktor kekeluargaan dalam masyarakat tersebut menyebabkan tidak adanya kesulitan bagi
pengusaha tapioka dalam merekrut pekerja. Di sisi lain, waktu kerja yang terlalu lama tersebut
menyebabkan fisik pekerja menjadi mudah lelah dan apabila dipaksakan dalam jangka waktu lama secara terus-menerus
akan mempengaruhi hasil akhir produksi, yaitu mutu tapioka.
3. Sumber Daya Manusia
Pengusaha tapioka memiliki mutu SDM yang minim. Hal tersebut digambarkan dalam contoh pengusaha tapioka
yang dijadikan responden, yaitu 100 responden merupakan lulusan Sekolah Dasar SD. Tingkat pendidikan yang masih
rendah tersebut mengakibatkan rendahnya tingkat pengetahuan tentang pengelolaan, pemasaran,
pendistribusian, menetapkan daya tawar, penerapan inovasi dan sanitasi.
Arsyad dalam Hafsah 2003 menyatakan bahwa pembangunan sistem usaha agribisnis akan lebih cepat
terwujud, apabila sebagian besar masyarakat terutama masyarakat pedesaan berpendidikan, menguasai ketrampilan
agribisnis hulu, tengah, hilir. Jika sumber daya yang dimiliki rendah, maka hal tersebut akan berdampak negatif
terhadap tingkat akseptabilitas dalam mengadopsi teknologi yang disebarkan kepada masyarakat tani.
4. Keuangan
Permodalan yang dimiliki oleh para pengusaha tapioka seluruhnya berasal dari dana swadaya. Masyarakat
masih cenderung takut untuk mengusahakan tambahan modal dari lembaga keuangan seperti bank. Selain itu, masih
sedikit usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk merangsang kemajuan IK khususnya IK tapioka di Bogor
dari sisi permodalan. Sejauh ini ada beberapa program pemerintah yang ditujukan untuk membantu industri kecil
secara umum, yaitu Program Pembinaan Kecamatan PPK dan Pembinaan Usaha Kredit Kecil PUKK yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kecamatan, Program Dana Bergulir dan Kerjasama Antara Dinas Perindustrian
Kabupaten Bogor dan Bank Jabar Unit Syariah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II. PPK dilakukan oleh
pemerintah desa dan pemerintah kecamatan, sasarannya ialah usaha mikro seperti warung kecil-kecilan, usaha skala
rumah tangga dan obyeknya biasanya kaum ibu rumah tangga dengan sistem kelompok. Besarnya pinjaman PPK
berkisar antara Rp 500.000-Rp 1.000.000 dengan bunga yang relatif tinggi 20 per tahun. Sedangkan PUKK
dilaksanakan oleh Perhutani melalui Kelompok Tani Hutan KTH dengan sasaran masyarakat sekitar hutan, sehingga
tidak semua IK mendapatkan bantuan tersebut. Besarnya
kredit PUKK antara Rp 1.000.000- Rp 3.000.000. Program Dana Bergulir ditujukan untuk IK pada umumnya di
Kabupaten Bogor, besarnya bantuan sekitar 25 juta rupiah per usaha dan sudah berjalan 7 tahun, sedangkan permodalan
yang diselengarakan oleh Dinas Perindustrian dan Bank Jabar Unit Syariah besarnya mencapai Rp 75.000.000 per
usaha. Belum maksimalnya koperasi yang ada di Karang
Tengah telah menyebabkan kurang berkembangnya IK tapioka dari sisi modal. Tidak maksimalnya fungsi koperasi
dikarenakan belum pahamnya pengurus maupun masyarakat akan arti koperasi. Apabila koperasi telah berjalan maksimal,
dalam artian banyak pengusaha tapioka yang menjadi anggota dan pemahaman akan manfaat sudah kuat ditataran
masyarakat diharapkan sisi permodalan dapat diatasi. Di sisi lain ada hal yang menyebabkan sulitnya industri kecil di
Desa Karang Tengah mendapatkan bantuan modal, yaitu kesadaran masyarakat untuk mengembalikan dana bantuan
relatif rendah dan apabila mendapatkan bantuan modal, bantuan tersebut terkadang dialokasikan untuk hal-hal yang
bersifat konsumtif. Selain itu, sistem pencatatan keuangan yang
dilaksanakan oleh industri tapioka di Desa Karang Tengah masih sangat sederhana. Pencatatan yang dilakukan hanya
mencakup data-data historis penjualan. Atau dengan kata lain, perusahaan tidak dapat menganalisis secara pasti
tentang biaya produksi yang diperlukan untuk satu kali giling, karena perusahaan tidak membuat laporan keuangan.
5. Produk dan Harga
IK tapioka menghasilkan tapioka kasar dengan tingkatan mutu nomor 1-3, selain itu menghasilkan onggok atau
ampas. Produk tapioka dari Desa Karang Tengah rataan
mutunya di bawah produk sejenis dari desa sekitar, seperti Desa Kadumangu, Cibuluh, Pasir Laja dan Ciluar. Salah
satunya karena mekanisasi peralatan di Desa Karang Tengah belum secanggih di Desa Kadumangu, Cibuluh, Pasir Laja
ataupun Ciluar. Hal tersebut mempengaruhi mutu tapioka pada akhirnya. Mutu tapioka menurut SNI dapat dilihat pada
Tabel 3. Tabel 3. Standar mutu tapioka SNI 01-3451-1994
Mutu no Persyaratan
Mutu I II III
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. - Kadar air maks.
- Kadar abu maks. - Serat kotoran maks.
- Derajat keasaman IN NaOH 100 g
- Kadar HCN maks. - Derajat putih BAS0
4
= 100 - Kekentalan
o
Engler 15
0,60 0,60
3 ml negatif
94,5 3 - 4
15 0,60
0,60 3 ml
negatif 92,0
2,5 - 3 15
0,60 0,69
3 ml negatif
92,0 2,5
Sumber : Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman
Pangan, 2003 Mutu berbanding lurus dengan harga, yaitu apabila
mutunya baik maka harga akan semakin tinggi dan berlaku sebaliknya. Dari segi harga, rata-rata produk tapioka Desa
Karang Tengah masih kalah dengan Desa Kadumangu Cibuluh, Pasir Laja maupun Ciluar. Jika pengusaha tapioka
dan pihak pabrik telah bertemu untuk menentukan harga, maka kesepakatan harga melibatkan kedua belah pihak,
tetapi untuk harga pembukaan dalam tawar-menawar hanya pihak pabrik yang dapat menentukan. Dalam hal ini posisi
tawar para pengusaha tapioka sangat lemah terhadap pabrik, hal tersebut disebabkan tidak adanya himpunan pengusaha
tapioka. Daya simpan tapioka yang relatif singkat juga
menyebabkan pengusaha tapioka tidak mempunyai pilihan
lain selain menjual tapioka pada tingkat harga berapapun. Harga tapioka sangat berfluktuatif, yaitu tergantung pada
kualitas tapioka kasar yang dipasok oleh pengusaha tapioka dan jumlah pangusaha yang memasok tapioka. Apabila
banyak penawaran dari pengusaha tapioka, maka harga tapioka kasar yang dipasok cenderung rendah, dan
sebaliknya. Harga tapioka kasar tertinggi di tingkat pengusaha tapioka sampai saat ini berkisar Rp 400.000- Rp
420.000 ku. Untuk saat ini harganya berkisar Rp 2.300-Rp 3.500 kg. Sedangkan harga onggok berkisar antara Rp 800-
Rp 1.000 per kilogram atau sekitar 30 dari harga tapioka kasar. Penetapan harga yang dilakukan oleh pabrik
pengolahan tapioka kepada produsen pangan mempertimbangkan kondisi dan situasi pemasaran yang
terjadi. Kondisi pasar dengan permintaan yang rendah dan penawaran tinggi, maka pabrik pengolahan akan
memberikan harga pokok penjualan pada produknya dengan harga tambahan terendah Rp 50,- kg. Bila permintaan tinggi
sedang penawaran rendah, sehingga harga tambahan yang diberikan Rp 200,- kg.
6. Lokasi Industri
Umumnya industri tapioka berlokasi di sekitar pemukiman penduduk, sebagian di tanah milik PT. Sentul
atau Perum Perhutani dan sekitar aliran sungai. Perekrutan tenaga kerja akan lebih mudah sehubungan dengan dekatnya
lokasi industri dengan pemukiman penduduk. Selain itu, pasokan air dan pembuangan limbah akan lebih lancar,
karena lokasi industri yang berdekatan dengan sungai. Lokasi industri di daerah yang bukan milik pribadi
merupakan suatu kelemahan, karena lahan yang digunakan merupakan milik PT. Sentul dan Perum Perhutani.
Lokasi yang relatif dekat dengan pasar merupakan keunggulan tersendiri bagi industri tapioka di Desa Karang
Tengah. Biaya transportasi lebih murah dibandingkan dengan industri sejenis yang terletak di luar Bogor, seperti di
Tasikmalaya, Lampung, Cianjur, Purwakarta, Sukabumi dan sebagainya.
7. Kegiatan Produksi
Kegiatan produksi tapioka di Desa Karang Tengah sebagian besar masih menggunakan tenaga manusia dan
secara teknologi relatif tertinggal, hal tersebut menyebabkan kurang bersaingnya industri tapioka di Desa Karang Tengah
dengan industri sejenis di desa-desa lain. Untuk penyaringan misalnya, beberapa masih menggunakan tenaga manusia.
Padahal di daerah lain seperti Desa Kadumangu, Desa Ciampea sudah menggunakan penyaringan dengan
menggunakan mesin yang disebut sintrik, akibatnya kapasitas produksi masih kalah dibandingkan desa tersebut.
Pada beberapa kasus, dalam memperoleh air para pengusaha tapioka menggali sumur, akibatnya mutu air dalam hal
kejernihan atau kebersihan tidak tergantung pada cuaca. Mekanisasi sudah tentu memerlukan investasi modal
yang besar. Apabila mekanisasi tersebut benar-benar dilaksanakan, maka untuk mempertahankan operasi yang
terus-menerus diperlukan input ubikayu dan modal yang besar pula. Dan hal itu bagi industri kecil skala rumah
tangga seperti industri tapioka di Desa Karang Tengah merupakan masalah tersendiri.
8. Pemasaran
Pemasaran produk dilakukan oleh pengusaha tapioka ada yang melalui tengkulak ada yang tidak. Target pasarnya
ialah pabrik pengolahan yang ada di Ciluar. Tapioka dibagi menjadi tiga kelas, yaitu kelas satu, dua dan tiga. Yang
membedakan mutu dari ketiga kelas tapioka tersebut secara kasat mata ialah warna, aroma dan kandungan air. Penentuan
mutu tapioka biasanya didasarkan berdasarkan contoh yang diambil dari karung dan selanjutnya diperiksa dengan
memegang contoh tersebut. Penentuan mutu tapioka dilakukan oleh pihak dari pabrik karena sudah
berpengalaman. Untuk penjualan onggok, ada pengusaha tapioka
yang menjual melalui tengkulak. Rata-rata pengusaha menjual sendiri onggok ke pabrik. Sedangkan yang menjual
melalui tengkulak biasanya berpandangan bahwa perbedaan terjadi pada ongkos transportasi, sehingga tidak merasa
dirugikan bila menjual melalui tengkulak. Semakin banyaknya pabrik pengolahan tapioka,
membuat pengusaha tapioka kasar memiliki alternatif dalam menjual produknya. Pengusaha tapioka tersebut terlebih
dahulu melakukan survai harga ke beberapa pabrik pengolahan dan selanjutnya menjualnya ke pabrik yang
memberikan harga tertinggi.
b. Analisis Lingkungan