15
2.3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Paradigma pembangunan mengalami pergeseran dari sentralisasi ke pembangunan partisipatif termasuk dalam pembangunan sektor kehutanan,
dari kehutanan industrial menjadi berbasis masyarakat, dari sentralistik negara ke desantralisasi masyarakat Lynch dan Talbott 2001; Suharjito et al.
2000. Demikian pula dengan peristilahan mengalami perkembangan seperti community forestry, social forestry, participatory forestry, farm forestry,
agroforestry dan sebagainya Suharjito et al. 2000:10-12. Dijelaskan bahwa ada tiga strategi umum social forestry, yaitu a community or communal
forestry, yaitu hutan yang dikelola oleh masyarakat secara kolektif, dapat dilaksanakan dilahan komunal atau perseorangan atau negara; b farm
forestry, yaitu hutan yang dikelola oleh individu yang dapat dilaksanakan pada lahan masyarakat perseorangan atau negara; dan c publicly-manage
forestry for local community development, yaitu hutan yang dikelola oleh negara untuk pembangunan masyarakat lokal yang dapat dilaksanakan di
lahan komunal, perseorangan atau pada lahan negara. Masyarakat lokal sebagai bagian integral dari ekosistem hutan telah
memanfaatkan hutan sebagai ruang dan sumber kehidupan secara interaktif. Masyarakat membangun sistem nilai yang adaptif selaras ekologi dan sistem
nilai budaya yang berfungsi mengatur kelangsungan ekosistem yang teraktualisasi dalam kearifan lokal, yaitu aturan tradisional yang telah
berlangsung lama secara lintas generasi dalam mewujudkan keseimbangan sosial ekonomi dan keberlanjutan fungsi lingkungan dan konservasi hutan
Anshari et al. 2005. Masyarakat desa hutan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan adat istiadat sejak dulu dikenal
memiliki kemampuan mengelola hutan secara arif dan bijaksana. Ritual yang telah diturunkan dari generasi ke generasi merupakan salah satu aspek
kelestarian dalam pengelolaan sumberdaya alam Gonner 2001. Pengelolaan lokal yang sudah dilakukan secara turun-temurun dapat
mendukung pengelolaan hutan lestari sekaligus mengembalikan hak-hak masyarakat yang menjadi salah satu sumber konflik sumberdaya selama ini
Awang 2004.
16
Menurut Awang 2004 ada beberapa alasan mengapa hutan berbasis masyarakat relevan dikembangkan di Indonesia, antara lain: Pertama, laju
pertambahan penduduk Indonesia di pedesaan akan terus meningkat disatu sisi dan luas lahan tidak bertambah, sehingga perlu pengetahuan dan
teknologi untuk meningkatkan produktivitas hutan. Kedua, kemiskinan dan peluang kerja yang sempit justru banyak terjadi di sekitar kawasan hutan
karena sebagian sumberdaya hutan merupakan milik negara. Ketiga, tuntutan demokrasi yang semakin membuka peluang masyarakat mengambil
bagian aktif dalam pengelolaan hutan. Keempat, model kehutanan yang dikembangkan pemerintah sejak Orde Lama sampai Orde Baru ternyata tidak
membuat hutan semakin baik justru semakin hancur. Kelima, munculnya konflik di kawasan hutan negara antara masyarakat dan pemerintah,
masyarakat dengan pengusaha, antar masyarakat, akibat kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Alasan lainnya bahwa masyarakat yang
bermukim di sekitar hutan mempunyai pengetahuan lokal yang turun-temurun terbukti melestarikan hutan dan secara hukum adat mereka adalah bagian
dari ekosistem hutan Darusman 2002. Pentingnya pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat juga
dikuatkan oleh Korten 1986 dengan tiga alasan, yaitu 1 local variety, bahwa masyarakat lokal mempunyai karateristik lingkungan yang beragam
baik dalam aspek biofisik, sosial dan ekonomi yang harus ditanggapi secara tepat dan cepat, 2 local resource, bahwa sumberdaya berada ditengah-
tengah masyarakat yang dibutuhkan dan saling ketergantungan dan 3 local accountability, bahwa masyarakat yang mempunyai ketergantungan terhadap
sumberdaya akan memiliki komitmen dan tanggungjawab penuh untuk mengelola sumberdaya tersebut secara bijaksana dengan prinsip kearifan
lokal yang dimiliki. Dari pemahaman di atas sesungguhnya pengelolaan hutan berbasis
masyarakat merupakan adaptasi karena terjadinya perubahan lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia. Pengetahuan lokal warga
Kasepuhan di Jawa Barat dalam pengelolaan lingkungan secara tradisional mampu melestarikan kawasan hutan yang sangat penting untuk kepentingan
konservasi Adimihardja 1992. Masyarakat Baduy mempunyai kearifan menjaga ekosistem hutan Handoyo 2003. Modal sosial masyarakat
17
Kasepuhan Banten Kidul mampu mengelola sumberdaya hutan dengan bijaksana Suharjito dan Saputro 2008. Aturan tradisional pengelolaan hutan
mampu mewujudkan keseimbangan sosial ekonomi dan keberlanjutan fungsi lingkungan. Aturan tersebut dijaga dan dipertahankan oleh masyarakatnya
melalui sistem budaya Anshari et al. 2005. Namun demikian, pengetahuan masyarakat juga mengalami ancaman.
Sunaryo dan Joshi 2003 menjelaskan bahwa pengetahuan indigenous yang sudah beradaptasi dengan baik dan efektif untuk mengamankan kehidupan
masyarakat dalam lingkungan tertentu menjadi tidak sesuai lagi dengan kondisi lingkungan yang sudah terdegradasi. Walaupun sistem pengetahuan
indigenous mempunyai kelenturan yang cukup baik dalam mengadaptasi perubahan ekologis, tetapi jika perubahan tersebut drastis dan cepat,
pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan ekologis tersebut menjadi tidak sesuai lagi. Greiner 1998 menjelaskan terancamnya pengetahuan asli
dipengaruhi oleh globalisasi memaksa masyarakat indigenous menjadi bagian dari masyarakat global dengan tatanan baru. Kekuatan ekonomi dan
sosial secara perlahan dan pasti seringkali menghancurkan struktur sosial Sunito et al. 1999. Teknologi menyebabkan terjadinya dehumanisasi dan
hilangnya pengetahuan etnik masyarakat yang mengancam kelestarian hutan Downs 2000.
Untuk memelihara pengelolaan lokal yang adaptif dalam konteks kekinian, maka pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat harus
diletakkan pada mekanisme pengelolaan melalui kebijakan kelembagaan sosial budaya yang sudah ada secara turun temurun. Berbagai studi
mengemukakan bahwa peranan kelembagaan sangat berpengaruh terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya Fraser 2002; Adimihardja 1992;
Kartodiharjo 2006; Claridge dan O’Callaghan 1995; Sembiring 1999; Budhisantoso 2002; Golar 2007. Peranan tersebut antara lain tercermin dari
pelaksanaan nilai-nilai, norma, hukum dan sangsi dalam mengatur hubungan- hubungan sosial dan perilaku baik secara individu maupun bersama dalam
pemanfaatan sumberdaya secara lestari. Contohnya adalah modal sosial masyarakat Banten Kidul yang mampu mengelola hutan secara arif dan
lestari Suharjito dan Saputro 2008.
18
2.4. Pengelolaan Adaptif dan Kelestarian Sumberdaya