Tipologi Kaindea Sara di Mandati

130

6.4. Tipologi Kaindea Sara di Mandati

Karena Kaindea u’sara di Mandati mempunyai kinerja yang baik, maka penilaian kelestarian hutan juga dilakukan pada Kaindea Nto’oge sebagai Kaindea contoh penggunaan perangkat kriteria dan indikator. Penentuan ini untuk menjelaskan sejauhmana adaptasi masyarakat organisasi sosial yang kuat berimplikasi pada kinerja pengelolaan dan kelestarian hutan Kaindea. Pendekatan KI yang digunakan adalah diadaptasi dari perangkat Kriteria dan Indikator yang dikembangkan oleh LEI LEI 2002. Dalam naskah akademik LEI dijelaskan, untuk melakukan penilaian perlu ditetapkan lebih awal variabel-variabel penting diantaranya: fungsi kawasan; status penguasaan lahan; orientasi usaha; dan jenis produk hutan yang dihasilkan. Keempat variabel tersebut digunakan untuk melihat keberagaman praktek pengelolaan hutan secara lebih spesifik, dan bermanfaat terhadap sumberdaya hutan yang dijadikan objek penelitian. Variabel fungsi kawasan dibagi ke dalam 3 tiga kelompok, yaitu: kawasan budidaya kehutanan KBK, kawasan budidaya non-kehutanan KBNK, dan kawasan yang dilindungi KD. Bagi KBK dan KD, pertimbangan utama terletak pada kepentingan publik dibandingkan kepentingan pihak pengelola. Sedangkan pada KBNK berlaku sebaliknya. Kaindea merupakan kawasan budidaya kehutanan yang berfungsi lindung. Variabel status penguasaan lahan dibedakan menjadi lahan publik yang dikuasai negara, lahan adat, dan lahan dengan hak milik formal berdasarkan hukum positif. Variabel ini akan menentukan otoritas, hak, dan kewajiban bagi pemegang hak penguasaan lahan. Penggunaan variabel ini, selain merujuk pada ketetapan yang diberikan oleh hukum positif secara formal, juga mengacu dan bersandar pada pengakuan hukum adat setempat. Dengan demikian, secara teori maupun praktek, pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat dapat dilakukan pada semua status penguasaan lahan. Kejelasan terhadap status penguasaan lahan sangat menentukan perilaku pengelola, sehingga menentukan pencapaian keberlanjutan fungsi hutan. Variabel orientasi usaha, dibedakan menjadi orientasi usaha yang bersifat komersial dan subsisten. Secara teoritis, perilaku yang berorientasi komersial akan cenderung mengutamakan keuntungan dan akumulasi modal. 131 Sebaliknya, perilaku subsisten cenderung akan memanfaatkan sumberdaya hutan secara terbatas dan memperhatikan kapasitas alamiahnya. Karena itu, didalam pengelolaan hutan yang berorientasi komersial, kecenderungan untuk melakukan eksploitasi berlebih sangat terbuka dalam rangka mencapai keuntungan ekonomi. Oleh karena itu, didalam pola pengelolaan hutan yang berorientasi komersial, peluang terjadinya pengelolaan hutan yang tidak lestari akan sangat besar. Sebaliknya, pengelolaan hutan yang lebih pada tujuan pemenuhan kebutuhan subsisten memiliki kecenderungan kelestarian fungsi hutan yang lebih baik LEI 2002. Variabel jenis produk, membedakan produk utama yang hendak dikelola, kayu dan atau non-kayu dari hutan. Pembedaan ini sedikit- banyaknya akan berpengaruh terhadap kelestarian fungsi ekologis hutan. Pemanenan kayu akan cenderung memberikan dampak ekologis lebih besar, dibandingkan pemanenan non-kayu maupun jasa, meskipun tidak berarti bahwa, seluruh usaha pengelolaan hasil hutan non-kayu tidak akan menimbulkan kerusakan fungsi ekologis hutan. Telah dijelaskan di atas tentang implikasi adaptasi pada kinerja Kaindea dalam perspektif emik dan etik masyarakat baik di Mandati maupun di Wanci. Untuk itu telah digunakan analisis kinerja yang dikembangkan Suharjito et al. 2000 dimana kedua kriteria tersebut memuat sejumlah kondisi ekologi, ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam mengukur kinerja Kaindea dalam pengelolaan hutan. Namun demikian, kriteria tersebut masih perlu dilengkapi dengan implikasi pengelolaan terhadap kelestarian Kaindea. Dalam pembahasan ini, hanya mengukur kelestarian Kaindea Nto’oge di Mandati sebagai suatu obyek studi kasus pengelolaan hutan yang lebih baik. Sementara pada Kaindea Teo di Wanci tidak dapat diukur karena vegetasinya telah berubah menjadi kebuntegal. Mengacu pada variabel fungsi kawasan, kawasan Kaindea Nto’oge di Mandati merupakan kawasan dilindungi KD oleh adat maupun oleh pemerintah Kabupaten Wakatobi. Berdasarkan status penguasaan lahan, Kaindea Nto’oge adalah lahan adat. 103 Hal ini disebabkan karena sebagian 103 Lahan adat diterminologikan sebagai sebidang tanah yang diklaim sebagai hak milik suatu komunitas tertentu, dan pengelolaannya diatur berdasarkan hukum adat mereka, terlepas dari keberadaannya yang terletak di dalam kawasan yang diklaim sebagai tanah negara TN oleh 132 besar tipologi lahan adat, baik Kaindea u’sara maupun Kaindea u’santuha dikuasai oleh seluruh anggota komunitas dan sepenuhnya dikelola oleh pemiliknya masing-masing berdasarkan aturan adat. Orientasi usaha adalah subsisten dengan hasil usaha non-kayu. Berdasarkan karakteristik di atas, maka instrument KI LEI yang sesuai berada dalam kategori I K-I dengan tipe PHMB 02. Menurut LEI 2004:48 bahwa kategori K-I dari 01-08 meliputi semua PHBM yang menurut tata ruang wilayah berada dalam kawasan yang dilindungi. Karena statusnya dilindungi menghendaki agar fungsi hutan sebagai ekosistem Pamoninia u’togo dan Uranga u’kadadi tidak terganggu, termasuk fungsi penutupan lahannya. Pengambilan kayu juga tidak diperbolehkan, sehingga pengelolaan hutan dalam kategori ini dikeluarkan dalam sistem PHBM. Namun pada kenyataannya bahwa Kaindea Teo di Wanci merupakan hutan yang berfungsi lindung ternyata sudah rusak, maka tidak menutup kemungkinan hal ini dapat terjadi pada lainnya seperti Kaindea Nto’oge di Mandati. Termasuk ingin mengetahui keselarasan kriteria emik dan etik dalam pengelolaan hutan. Kaindea Nto’oge pada awalnya adalah daerah yang ditanami tanaman kehutanan dan pertanian dan hasil hutan non-kayu tetap dimanfaatkan, maka penilaian kriteria dilakukan dengan kategori K-II. Pada kategori ini, PHBM dapat dilakukan pada tanah adat yang dikuasai komunal dan berdasarkan tata ruang wilayah berada dalam kawasan budidaya kehutanan KBK. Meskipun lahan di wilayah kelola Mandati merupakan lahan adat, seperti Kaindea, Motika dan Padangkuku, masyarakat diperkenankan untuk memanfaatkan sumberdaya lahan dan hasil hutan kayu dan non-kayu, sehingga dapat dikategorikan ”sama” dengan kawasan budidaya kehutanan. Umumnya jenis tanaman dengan sistem agroforestri. Selain itu, kategori juga menekankan pada kebutuhan dalam menjaga kepentingan komunal, meliputi kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial yang berimbang, sehingga sesuai dengan konsep pengelolaan hutan masyarakat di Mandati. pemerintah maupun yang berada di luar kawasan TN dan yang dalam hal penguasaannya bersifat individu maupun komunal LEI 2002. 133 6.5. Kelestarian Kaindea Nto’oge 6.5.1. Kelestarian Fungsi Sosial