Sejarah Pulau Wangi-Wangi Kaindea : Adaptasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi

47

4.3. Sejarah Pulau Wangi-Wangi

Pulau Wangi-Wangi merupakan gugus pulau terbesar di Kabupaten Wakatobi. Gugus pulau tersebut bernama Kepulauan Tukang Besi. Nama “Tukang Besi” 6 berasal dari kepandaian masyarakat dalam menempa besi. Secara historis, “Kepulauan Tukang Besi” mempunyai sejarah sejak zaman Belanda. Bakar 1999:30 dalam Buletin Wolio Molagina mengenai Asal-Usul Nama Pulau di Gugus Kepulauan Tukang Besi menulis bahwa “Tukang Besi” berawal dari peristiwa pembuangan beberapa ratus tokoh rakyat Maluku dibawah pimpinan Raja Hitu Pulau Ambon yang bernama “Tulukabessi”. Raja Tulukabessi bersama pengikutnya tiba di Pantai Patuno Patuhu ano di Pulau Wangi-Wangi sebagai tawanan VOC 7 Verenigde Oost Indische Compagnie. Mereka dibuang karena memberontak karena VOC memusnahkan pohon rempah-rempah pala dan cengkeh milik raja-raja dan rakyat Maluku yang dikenal sebagai Hongi-Tochten. 8 Mereka kemudian membunuh serdadu VOC dan lari menyebar ke Koba Wangi-Wangi, Wantoromata Kaledupa, Lagole Tomia, dan Palahidu Binongko. Mereka ini merupakan pendatang pertama dan pelopor perubahan di Kepulauan Tukang besi sekarang Wakatobi. Peristiwa ini menegaskan bahwa masyarakat Wangi-Wangi mempunyai hubungan sejarah yang erat dengan Maluku sebelum masuknya Kerajaan Buton. 9 Sebelumnya, di Mandati Tonga sudah terdapat kerajaan kecil yang pertama. Bakar 1999:31 menjelaskan bahwa abad ke-5 di Pulau Koba terdapat seorang Ratu bernama Wasurubaende. Ratu ini mempunyai empat orang anak dua laki-laki dan dua perempuan. Setelah dewasa, kekuasaan diberikan kepada turunannya yaitu Gangsalangi berkuasa di Riwumotalo Pulau Oroho-Liya, Gangsauri Tindoi, Patimalela Kapota dan Wasurubontongi Koba dan pusat kerajaan di Togo Koba Mandati Tonga. 6 Nama “Tukang Besi” diperkuat dengan hasil penelitian Aldin 2003:81 yang merujuk pada catatan seorang berkebangsaan Belanda Ligtvoet 1878. Ia menuliskan bahwa gugusan Kepulauan Tukang Besi sebagai “Toekang Besi Einlanden” atau dalam terjemahan Bahasa Indonesianya adalah “Kepulauan Tukang Besi”. 7 VOC adalah perusahaan serikat dagang Hindia Belanda di Indonesia. 8 Schoorl 2003;61; Ali Hadara 2005:10; Fitriyah 2005:34 mengemukakan hal serupa. 9 Sebelum Kepulauan Tukang Besi bagian dari Buton, maka sebelumnya merupakan bagian dari Ternate Schoorl 2003.Hubungan dengan Maluku dapat dilihat pada vegetasi Kaindea yang banyak ditumbuhi pohon kenari Canarium amboinense. Tanaman kenari merupakan tanaman asli Maluku dan tidak dikenal di Sulawesi Heyne 1987. 48 Mereka hidup di pedalaman yang tinggi agar terbebas dari bajak laut. Kepercayaan masyarakat saat itu adalah animisme dan bercocok tanam secara tradisional. Setelah menjadi bagian dari Kerajaan Buton, Pulau Wangi-Wangi didatangi rombongan Buton dengan membawa pengikut dari daerah Suai Lasalimu-Cia-Cia Pulau Buton. 10 Mereka menempati daerah-daerah pesisir yang ditugaskan melindungi Kerajaan Buton di bagian timur dari serangan Raja Ternate. Mulai saat itu dibentuk pemerintahan Kadie, 11 yakni Kadie Mandati, Kadie Wanci, Kadie Liya dan Kadie Kapota. Masing-masing Kadie bersifat semi-otonom namun dibebankan membayar upeti Schoorl 2003. Masing-masing Kadie membentuk sistem pemerintahan adat-istiadat tersendiri yang berkaitan dengan aspirasi sosial budaya dan pengelolaan sumberdaya. Setelah Raja Buton memeluk Islam, maka sistem kerajaan menjadi kesultanan berdasarkan ajaran Islam. 12 Lembaga “Sara” 13 yang mengatur tata nilai dan pengelolaan sumberdaya alam yang meliputi wilayah darat dan laut dibentuk. Tata nilai dan kelembagaan Sara di Kadie disesuaikan dengan nilai dan struktur lembaga Sara di Kesultanan Buton. Penduduk selanjutnya yang bermigrasi ke Pulau Wangi-Wangi tahun 1963 adalah Suku Bajo Sama. Mereka menempati pesisir barat pulau dengan mendirikan perkampungan di Wangi-Wangi Selatan. Pada awalnya Suku Bajo berasal dari Mantigola Kaledupa dan perpindahan tersebut terjadi karena peristiwa pemberontakan DIITII. Masyarakat Bajo mempunyai budaya yang khas dan mampu beradaptasi tinggi dengan lingkungan ekologi dan sosial sehingga tetap adaptif dan mudah diterima oleh masyarakat setempat khususnya di Mandati. Hubungan Bajo dengan Mandati tercipta sejak tahun 1963 dan lebih erat lagi sejak dipimpin Bapak Abbas di Mandati 10 Schoorl 2003 bahwa perluasan Kerajaan Buton sebelum kesultanan terjadi pada kepemimpinan Raja Buton ke-4 Tuarade dengan membawa sejumlah pasukan ke Kepulauan Tukang Besi asal Cia-Cia. Suku Cia-Cia ini juga banyak yang bermukim di Binongko hingga sekarang Fitriyah 2005:24-25. Peristiwa ini kemudian banyak diikuti warga sekitar Pulau Buton dan menetap di daerah Wanci pada masa kesultanan La Ode Moane, Desember 2008. Sebelum menjadi Kesultanan, Buton adalah kerajaan dari abad 15-16. Pertengahan abad 16 Buton menjadi Kesultanan dengan Sultan Pertama adalah Murhum Raja ke-6. 11 Kadie nama lain dari desa atau kampung yang mempunyai sistem pemerintahan tersendiri. 12 Raja Buton yang ke-6 memeluk Agama Islam pada tahun1540, Buton menjadi kesultanan sehingga paham Islam turut berpengaruh besar pada tata nilai di Kadie. Paham Islam yang berkembang lebih ke arah Sufisme dengan sistem pemerintahan Islam yang ketat. Namun di masyarakat masih banyak yang percaya mistis animisme Schoorl 2003. 13 Sara adalah dewan yang menjalankan fungsi pemerintahan adat dan keagamaan yang dipimpin Meantu’u. 49 dipanggil La Abasi. Masyarakat Bajo di Wangi-Wangi hidup sebagai nelayan. Sebagian mempunyai tingkat kehidupan sosial ekonomi yang cukup baik dengan memanfaatkan laut dalam untuk menangkap ikan. Daerah tangkapan mereka di sekitar Laut Banda dan Laut Flores juga bahkan sampai ke Australia mencari kerang, ikan tuna, sirip hiu, teripang dan lain-lain. Sejak zaman VOC, Pulau Wangi-Wangi sudah berada dalam jalur perdagangan dari dan ke Maluku yang selalu dilewati oleh pedagang dari barat ke timur atau sebaliknya pada pelayaran nusantara. Hal tersebut menyebabkan beragamnya kebudayaan yang terakumulasi dalam masyarakat. Jika dilihat dari kajian budaya, maka budaya yang berkembang di Pulau Wangi-Wangi terdapat kemiripan dengan budaya Wolio, Jawa, Ternate dan Melayu. Sementara secara bahasa, banyak kata-kata secara kontekstual pelafalan atau pun kedekatan kegampangan pengucapan dengan bahasa Wolio, Jawa, dan Melayu Udu 2006. Dalam perkembangannya, masyarakat memperlihatkan kecenderungan yang berbeda-beda. Bagian barat Mandati dan Wanci cenderung menjadi pedagang, membangun jaringan perdagangan ke daerah-daerah di bagian barat dan timur nusantara. Orang yang menempati daerah pantai selatan Liya cenderung migrasi ke bagian timur nusantara. Penduduk yang tinggal di Pegunungan Tindoi Rupu dan Wungka cenderung sebagai petani Donohue 1995:5–6. Orang yang menempati utara Wanci cenderung pegawai negeri dan nelayan tradisional. Saat ini perkembangan Pulau Wangi-Wangi sangat pesat setelah menjadi ibukota Kabupaten. Infrastruktur mulai dibangun seperti jalan, pelabuhan dan perkantoran. Akses utama masuk ke Wangi-Wangi melalui Kendari atau Bau-Bau dengan trasportasi kapal laut yang dapat dicapai melalui Kendari sekitar 10 jam atau melalui Bau-Bau sekitar 10 jam. Saat ini sudah beroperasi Bandar Udara Wakatobi di Pulau Wangi-Wangi dengan tujuan Kendari. Bandara ini merupakan yang kedua setelah bandara wisata di Pulau Tomia. Demikian pula dengan kehidupan politik lokal mulai terasa dinamikanya. Keputusan-keputusan politik masih lebih bernuasa kekeluargaan. Birokrasi pemerintahan yang diharapkan dapat memberikan pelayanan, masih menjadi masalah tersendiri karena sebagian besar aparat birokrasi berasal dari guru karena memenuhi syarat kepangkatan menjadi pejabat. 50 4.4. Tekanan Penduduk, Intervensi Pasar dan Dinamika Politik 4.4.1. Tekanan Penduduk