91
berkayu. Salah satu tanaman bergetah dan beracun adalah Ngonga.
67
Dengan demikian, pengaturan kembali tata guna lahan dan perubahan pemanfaatan Kaindea merupakan respon pemerintahan adat terhadap
tekanan penduduk dan respon masyarakat terhadap kebijakan kesultanan. Tujuannya agar masyarakat terhindar dari bencana kelaparan akibat
sempitnya lahan dan rendahnya produktivitas ladang Ontoala.
5.2.2. Sistem Pertanian Lokal
Dalam sistem pertanian lokal, kebun dan hutan merupakan indentitas kultural yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Nugraha
dan Murtijo 2005; Suharjito et al. 2000; Awang 2004 termasuk hutan Kaindea dan kebun Koranga pada masyarakat Wangi-Wangi. Kebun
merupakan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan status sosial, sementara hutan Kaindea adalah sumber kesuburan dan
ketersediaan air Pamonini’a u’togo. Hutan dan kebun juga merupakan aktivitas ekonomi dan penegasan sistem sosial dalam masyarakat. Sebagai
sumber pemenuhan kebutuhan ekonomi, masyarakat menanam berbagai jenis tanaman pangan seperti ubi kayu, jagung dan juga tanaman sayur-
sayuran seperti kacang tanah, kacang panjang. Juga ada tanaman selingan seperti kopi dan kelapa. Sebagai status sosial, kebun dianggap sebagai
aktivitas orang yang rajin dimana orang tidak berkebun walaupun mempunyai aktivitas lainnya masih dianggap sebagai orang malas. Setiap pagi, laki-laki
kepala keluarga sehabis shalat subuh sudah berangkat ke kebun untuk mencabut rumput, menggali ubi jalar atau memanen ubi kayu dan menjelang
siang sudah pulang ke rumah. Setelah makan siang suami akan istirahat, selanjutnya isteri akan mengerjakan hasil panen kemudian dipilah-pilah yang
dimakan dan kalau ada lebihnya akan dijual oleh anaknya. Cara menjualnya dengan berkeliling kampung sambil meneriakkan “Bhumalu te …...” siapa
yang mau beli……... Pada awalnya masyarakat sudah mengenal bercocok tanam secara
tradisional dan berpindah. Kebun masyarakat masih berbentuk ladang
67
Orang yang kena getah Ngonga akan gatal dan membengkak dalam waktu 3-6 hari. Setelah dioles minyak kelapa atau minyak gosok akan segera sembuh.
92
Ontoala
68
yaitu membuka kembali lahan bekas ladang yang lama ditinggalkan. Kayu yang telah tumbuh menjadi pohon tidak diganggu,
sementara yang berbentuk tiang akan dipangkas daunnya sehingga tanah terkena sinar mata hari. Setelah kering selama satu minggu, maka akan
dilakukan pembakaran. Menjelang musim hujan Ontoala akan ditanami umbi- umbian yang dalam bahasa lokal disebut “Uwi” Discorea spp. Juga ada
jagung, kacang tanah, ketimun dan sebagainya. Pinggir pagar kebunladang biasanya
ditanami kacang panjang atau tanaman merambat. Saat
masyarakat Mandati turun dari Koba
69
sampai sekarang sistem pertanian ladang Ontoala masih ditetap dilakukan pada lahan-lahan yang kurang
subur dengan kondisi tanah berbatu. Peralihan awal abad ke-20 pengelolaan Kaindea sebagian dilimpahkan
ke keluarga. Pengalihan tersebut kemungkinan berkaitan dengan kondisi masyarakat banyak dilanda kelaparan karena hasil ladang tidak memenuhi
kebutuhan pangan sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Hasil ladang kurang produktif karena umumnya dilakukan di lahan tanah berbatu
yang dikelola dengan sistem bero di sekitar hutan Motika. Seiring dengan pengalihan kepemilikan Kaindea dan diizinkannya berkebun di sekitar
Kaindea, tanaman utama umbi-umbian mulai digeser dengan ubi kayu yang diambil dari Jawa.
70
Karena cara penanaman kurang bagus dan varietasnya juga tidak cocok, sehingga masalah pangan masih menghantui masyarakat
sampai tahun 1960an. Setelah hubungan dengan Jawa berjalan, masyarakat mulai intensif memanfaatkan lahan kebun untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga. Saat itu istilah kebun Koranga mulai dikenal dimana masyarakat membuka lahan di sekitar Kaindea yang sebelumnya di sekitar Motika. Kebun
ditanami ubi kayu tanpa pengolahan tanah Welli’a berubah dengan pengolahan tanah Rawu’a.
68
Ontoala atau ladang adalah cara bercocok tanam yang dilakukan dengan membuka lahan yang mempunyai kayu-kayuan yang telah lama diberokan, kemudian dibakar dan ditanami. Kondisi
lahan di Ontoala umumnya solum tanah dangkal, dan berbatu.
69
Proses perpindahan masyarakat Mandati disebabkan karena kondisi lahan ditempat mereka berdiam tidak mendukung lagi mereka bercocok tanam. Dibandingkan dulu, tempat berkebun
masyarakat sekarang di sekitar Kaindea yang sangat subur.
70
Perubahan dan adopsi teknologi pertanian banyak dipengaruhi oleh sistem pertanian dari Jawa dan kemungkinan juga dari Maluku seperti jenis tanaman ubi kayu, cara mengolah lahan dan
alat yang digunakan cangkul. Hal tersebut juga tampak dari nama jenis ubi kayu yang dalam nama lokal yang kemungkinan merupakan bahasa asal varietas tersebut seperti Bogoro,
Inggirisi, Basiteli, Buru.
93
Tanaman ubi kayu Kau djawa ditanam sepanjang tahun menjadi tanaman utama. Ubi kayu saat itu cukup lama baru panen sekitar satu
sampai dua tahun. Produktivitas kebun yang demikian membuat kehidupan masyarakat semakin terasa sulit seiring dengan kondisi politik Orde Lama
yang tidak menentu. La Ode Moane menyebutnya “Te dhamani u’susa’a” zaman kesusahan. Aktivitas masyarakat hanya memikirkan untuk makan
sehari-hari. Setelah dari kebun, waktu senggang digunakan untuk memelihara ternak seperti ayam. Pagi-pagi mereka akan berangkat mencari
ubi di kebun. Kalau masih ada waktu mereka akan singgah di hutan untuk mencari tanaman umbi hutan. Sore hari baru pulang ke rumah dan langsung
mengupas ubi. Umbi hutan direndam sampai dua malam hari untuk menghilangkan racunnya.
Dari Welli’a ke Rawu’a
Perubahan sistem pertanian ladang tanpa pengolahan tanah dan tanpa jarak tanam Welli’a ke sistem ladang dengan pengolahan tanah dan jarak
tanam teratur Rawu’a dikenal setelah masuknya teknologi cangkul dan adopasi cara pertanian dari daerah lain rantau. Setelah intensif hubungan
dengan Jawa-Maluku tahun 1960-an, sistem pertanian lokal mengalami kemajuan dengan sentuhan teknologi “cangkul”.
71
Masyarakat meniru cara- cara Orang Jawa dan Maluku, mengolah tanah dan mengatur jarak tanam.
Tanah dicangkul dan dibuatkan gundukan dan stek ubi ditancapkan dengan jarak teratur. Jenis tanaman ubi diganti dengan varietas dengan umur panen
lebih singkat sekitar enam bulan. Hasil wawancara dengan La Haibu 68 tahun mengatakan bahwa cara bertani masyarakat Mandati banyak
“mengikuti” cara masyarakat lain tempat mereka berlayar seperti mengolah tanah dan jenis tanaman yang meniru kebiasaan orang di Jawa. Bahkan
banyak tanaman budidaya mereka introduksi dari Jawa atau Maluku. Setelah terbukti mempunyai produktivitas yang tinggi banyak kebun yang ditanami ubi
kayu dengan pengolahan tanah dan pengaturan jarak tanam sistem Rawu’a. Penyesuaian teknologi pertanian merupakan respon kekurangan
pangan akibat tekanan penduduk.
71
Cangkul berasal dari Jawa kemudian digunakan masyarakat untuk memacul dan mengolah tanah pertanian.
94
Untuk menjelaskan lebih jauh tentang perubahan teknologi pertanian tahun 1960-an dari sistem Welli’a ke Rawu’a tahapannya adalah pemilihan
lahan, pembersihan lahan, persiapan tanam, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan Harviyadin 2005. Perubahan sistem teknolologi pertanian
tersebut merupakan akibat pertambahan tekanan penduduk yang membutuhkan pangan. Menurut Boserup 1965 dalam Iskandar 1992:17
bahwa perkembangan atau perubahan teknologi pertanian terjadi karena tekanan penduduk yang meningkat, sehingga kebutuhan pangan akan
meningkat. Peningkatan kebutuhan pangan menyebabkan penduduk
mengembangkan sistem pertanian yang lebih intensif dan akan mengubah metoda penggarapan sistem pertanian, serta mencari perkakas pertanian
yang sesuai. Dengan demikian bahwa perkembangan teknologi pertanian masyarakat Wangi-Wangi merupakan upaya adaptasi untuk meningkatkan
produktivitas lahan dan untuk mengatasi keseimbangan ekologi seperti membatasi konversi hutan menjadi lahan pertanian.
Kebun ubi kayu singkong dibudidayakan di kebun sekitar Kaindea memiliki kesuburan yang tinggi sehingga masyarakat dapat melakukan
penanaman sepanjang tahun. Untuk mempertahankan kesuburan tanah maka dibuat Rawu’a dan aplikasi pemulsaan dari daun atau sampah panen
dan sampah organik rumah tangga. Petani yang berkebun di sekitar Motika dan Padangkuku kurang subur sehingga hanya ditanami sekali setahun.
Untuk mempertahankan kesuburan tanah, masyarakat membuat modifikasi pemberoan yang diikuti pembakaran, pemulsaan, dan tumpang sari dengan
tanaman legum. Indikator pemilihan lahan didukung dengan keberadaan tanah yang melekat pada batu di permukaan tanah. Jumlah tanah yang
melekat pada batu tersebut berhubungan positif dengan kesuburan tanah. Rawu’a berbeda dengan
Welli’a.
72
Pembersihan lahan
Rawu’a dilakukan dengan memotong atau mencabut vegetasi tanpa pembakaran,
sedangkan Welli’a diikuti dengan pembakaran vegetasi. Menurut petani manfaat pembakaran adalah menekan biaya dan tenaga, tanaman terhindar
dari penyakit, dan tanah menjadi subur. Meiklejohn 1955 dalam Ewusie
72
Rawu’a adalah kebun yang diolah dan dibuatkan gundukan tanah dengan cangkul dan diatur jarak tanam. Welli’a adalah lahan bero yang telah dicabut rumput dan dibersihkan dari pohon-
pohon kecil kemudian dibakar Harvyadin 2004.
95
1990 melaporkan efek pembakaran pada mikroflora tanah yaitu terjadi kemerosotan hanya pada tiga bulan pertama selanjutnya kembali normal.
Selanjutnya Ewusie mengungkapkan bahwa kecuali nitrogen dan belerang yang menguap, pembakaran tidak mengakibatkan kehilangan unsur hara
lainnya fosfat, kalium, kalsium, dan magnesium karena itu pengaruh utama kebakaran ialah pembebasan unsur hara pada suatu ketika pada permukaan
tanah dan bukan pembebasan secara berangsur-angsur yang biasa terjadi pada pembusukan jasad pengurai. Ini berarti bahwa lahan Welli’a lebih cepat
mengurai unsur hara dibandingkan lahan Rawu’a. Tanah sebagai media tumbuh perlu dipersiapan sedemikian agar
memberikan kesempatan bagi tanaman untuk berkembang secara optimal. Untuk itu masyarakat melakukan
Sangko’a mencangkul
ataupun memodifikasi Rawu’a. Kegiatan tersebut merupakan tindakan mekanik
memperbaiki kondisi tanah seperti penetrasi akar, infiltrasi air, dan aerasi. Di samping itu bertujuan memberantas gulma. Setelah media tanam siap maka
segera dilakukan penanaman yang diawali dengan seleksi turus, penentuan waktu dan pola tanam. Pemotongan turus dilakukan secara terbalik Pale
tuangko sehingga turus bagian atas tertutup oleh tanah dan bagian bawah turus relatif bersayap. Ketika ditanam dengan posisi mata tunas menghadap
ke atas maka transpirasi turus dapat ditekan karena penutupan permukaan turus dengan tanah. Di samping itu, sayap yang terbentuk saat pemotongan
dapat menjadi tempat keluarnya akar serta memperluas serapan air dan unsur hara. Praktek ini menghasilkan ubi yang banyak dibandingkan dengan
pemotongan turus secara normal Pale monea. Curah hujan merupakan panduan petani dalam menyusun pola tanam.
Pola tanam masyarakat merupakan hasil aplikasi selama bertahun-tahun yang telah disesuaikan dengan kondisi alam curah hujan. Untuk
meningkatkan stabilitas dan meminimalkan resiko kegagalan panen karena sistem pertaniannya mengandalkan air hujan sebagai satu-satunya sumber
air. Di samping itu pola tanam tersebut mencakup sistem perakaran yang menembus tanah rapat, membawa unsur hara ke permukaan dan
memungkinkan udara dan air memasuki tanah secara lebih mudah. Perpaduan tanaman legum dan tanaman umbi-umbian juga dapat
memanfaatkan penangkapan cahaya secara optimal untuk fotosintesis.
96
Sementara itu kelembaban tanah terjaga dengan perpaduan tanaman sayur- sayuran yang merambat. Demikian pula kesuburan tanaman ubi kayu yang
didukung aplikasi pemulsaan. Penanaman dilakukan dengan membenamkan turus baik langsung
maupun tidak langsung. Setelah dibenamkan, turus ditarik ke atas agar tercipta ruang pada bagian bawah turus sehingga menciptakan kondisi aerasi
yang optimal. Agar turus tahan terhadap lingkungan yang eksterim maka ukuran dan posisi turus perlu diatur. Ukuran turus pada musim barat lebih
pendek dibandingkan ukuran turus pada musim timur karena pada musim barat, jumlah curah hujan relatif banyak sehingga peluang turus tumbuh lebih
besar. Turus yang panjang ditanam pada musim timur karena jumlah curah hujannya relatif kecil. Turus pada Rawu’a ditanam lebih tegak agar ubi dapat
terbentuk dari setiap mata tunas yang terbenam sehingga menghasilkan ubi yang relatif besar. Pada lahan Welli’a, turus ditanam kurang tegak agak
landai agar perkembangan ubi menurut permukaan batuan karena kedalaman tanah efektif sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan ubi yang
terbentuk relatif panjang dan kurang besar jika dibandingkan ubi yang terbentuk pada Rawu’a. Turus ditanam pada jarak tanam tertentu karena
perbedaan biofisik lahan. Jarak tanam pada Rawu’a lebih lebar dibandingkan dengan jarak tanaman pada lahan Welli’a. Hal ini disebabkan karena satu
Rawu’a untuk satu turus. Pada lahan Welli’a penanaman dilakukan pada bagian yang bertanah sehingga jarak tanah tidak teratur.
Pemelihaaan tanaman meliputi kegiatan pemupukan, pengendalian gulma dan pengendalian hama dan penyakit. Pemupukan merupakan
tindakan untuk menambah kesuburan tanah. Sekarang ini penggunaan pupuk buatan tidak dijumpai pada tanaman ubi tapi menggunakan mulsa atau bahan
organik. Pupuk lain yang digunakan adalah sisa pembakaran abu sebagai sumber hara utama dalam sistem usaha tani. Selain pupuk hijau dan pupuk
kandang juga dimanfaatkan tanah di bawah kolong rumah sebagai sumber kesuburan. Tanah tersebut subur karena belum mengalami pencucian air
hujan sehingga banyak mencadang unsur hara, juga merupakan akumulasi dari sampah-sampah rumah tangga yang mudah terurai dan kotoran ternak
ayam dan kambing. Hasil wawancara dengan petani responden menyatakan bahwa walaupun tidak memakai input luar pupuk anorganik
97
namun produksinya mampu mencukupi kebutuhan pangan keluarga terus- menerus. Untuk menambah kesuburan tanah maka dilakukan pemulsaan.
Mulsa tersebut akan terdekomposisi oleh mikro organisme sehingga dapat dimanfaatkan tanaman.
Pengendalian gulma dilakukan selektif namun sekarang sudah ada masyarakat telah menggunakan herbisida dengan alasan praktis. Tapi
sebagian besar masih dicabut atau memakai mulsa daun kelapa. Mulsa menimbulkan persaingan positif yang akan merangsang tanaman tumbuh
dan mengurangi erosi selama hujan turun karena adanya kemampuan akar tanaman mengikat tanah. Pengendalian hama dan penyakit disesuaikan
dengan jenis hama dan penyakit yang menyerang. Tindak agronominya adalah memilih kultivar ubi kayu yang tidak disukai oleh hama dan tahan
terhadap penyakit. Kultivar ubi kayu yang tidak disukai hama adalah Kalambe dan Bogoro sedangkan kultivar yang disenangi adalah Basiteli meha. Upaya
lain yang dilakukan adalah pemulsaan, pergiliran tanaman, pemberoan, tumpang sari, dan penggunaan musuh alami. Pemulsaan secara tidak
langsung mengendalikan hama dan penyakit dengan memberi ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan melalui ketersedian air tanah di
sekitar akar tanaman. Pergiliran tanaman dan pemberoan dapat memutuskan rantai makanan yang pada akhirnya memutuskan siklus hidup hama dan
penyakit bila diikuti dengan pembakaran. Tumpang sari menyebabkan beragamnya tanaman yang dapat menekan perkembangan hama.
Selanjutnya penggunaan semut sebagai musuh alami pada lahan Welli’a mampu mengendalikan walang sangit. Karena itu, pemilihan pola tanam
mampu menciptakan kondisi agar hama dan penyakit tidak berkembang. Petani menyatakan bahwa pola tanam Rawu’a lebih rentan penyakit
dibandingkan pada lahan Welli’a. Secara agrosentris menunjukkan bahwa manusia, hama dan penyakit serta sistem pertanian dan hutan merupakan
bagian dari suatu keseluruhan yang saling berhubungan satu sama lainnya sehingga diperlukan saling menghargai satu sama lain. Konsepsi ini tampak
pada penggunaan mantra-mantra dalam mengendalikan hama dan penyakit. Panen merupakan jaminan hidup petani karena merupakan akumulasi
akhir dari proses usaha tani. Penanaman beragam verietas ubi kayu dengan mempertimbangkan umur panen dan prioritas konsumsi dalam satu petak
98
kebun adalah bentuk penjagaan bahan pangan. Di samping itu, untuk mencadang pangan petani mengolah lahan lebih dari satu tempat sehingga
hasil panen ubi kayu dan daun sama pentingnya bagi keluarga. Hasil wawancara menunjukkan bahwa hasil panen produktivitas Rawu’a lebih
tinggi dari pada lahan Welli’a.
73
Hal ini disebabkan karena pada lahan Rawu’a dilakukan pengolahan tanah sehingga umbi dapat berkembang dengan baik
sementara pada lahan Welli’a dilakukan pengolahan tanah minimum bahkan tanpa pengolahan. Selain itu rendahnya produktivitas ubi pada lahan Welli’a
disebabkan lahan yang ada sekarang merupakan lahan yang masa beronya semakin singkat. Saat ini intensifikasi lahan pertanian semakin tinggi dengan
melakukan berbagai macam pengembangan teknologi seperti menanam sayuran. Untuk memacu dan mempertahankan stabilitas hasil dan
meningkatkan status sosial, masyarakat menyelenggarakan Sampe’a dan ritual adat Bhangka mbule-mbule
74
agar terjaga hubungan dengan sesama, sumberdaya alam dan Yang Maha Kuasa.
Kelestarian Teknologi Lokal
Dalam hal teknologi lokal, masyarakat Mandati dan Wanci tidak terlalu berbeda. Dalam hal ini akan diketengahkan kelestarian pengetahuan lokal
yang masih dianut dalam masyarakat kedua daerah ini. Kelestarian ekologi berarti bahwa kualitas sumber daya alam dipertahankan dan kemampuan
agroekosistem secara keseluruhan dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan Gips 1986 dalam Reijntjes et al. 1999.
Untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan ekosistemnya, peranan pengetahuan lokal masyarakat dalam sistem pertanian berkelanjutan
dibahas pada aspek konservasi. Konservasi adalah kelestarian sumberdaya yang dikelola tanpa batas waktu penggunaan atau berkelanjutan. Lahan
dimanfaatkan seperlunya agar unsur hara dapat digunakan pada musim tanam berikutnya. Kegiatan petani selalu berdasarkan pada fenomena alam
untuk mempertahankan keberlanjutan sumberdaya lahan seperti pemilihan
73
Didukung penelitian Harvyadin 2004.
74
Sampe’a adalah lomba kualitas dan kuantitas hasil kebun. Sampe’a banyak dilakukan oleh masyarakat Wanci. Bhangka mbule-mbule adalah semacam perahu kecil yang dimuati dengan
hasil-hasil kebun kemudian lepas di laut. Acara Bhangka mbule-mbule sering dilakukan masyarakat Mandati, merupakan ritual adat sebagai kesyukuran terhadap hasil yang diberikan
Yang Maha Kuasa. Bahan-bahannya diambilkan dari hasil hutan dan hasil panen.
99
lahan, penentuan waktu tanam sampai panen pada lahan Welli’a. Fungsi utama Welli’a adalah menyediakan panjatan tanaman kacang merah dan
umbi-umbian Uwi, mempercepat suksesi, sebagai cadangan pakan ternak, kayu bakar, dan sumber obat-obatan, dan pengelolaan iklim mikro.
Percepatan suksesi terjadi karena vegetasi tidak ditebang habis, sehingga tunas baru dapat tumbuh. Vegetasi dalam Welli’a dapat dipangkas
untuk pakan ternak atau sumber mulsa. Welli’a juga digunakan sebagai tanaman panjatan atau cadangan kayu bakar. Lahan Welli’a memiliki pohon-
pohon besar sebagai bahan bangunan rumah dan tempat bertenggernya berbagai jenis burung Toropanga’a sehingga di sekitarnya terdapat kotoran
burung dan sisa makanan biji-bijian. Kotoran dan sisa makanan burung dapat menyuplai hara dan sumber benih. Benih tersebut dapat meningkatkan
diversitas tumbuhan. Menurut petani, Toroponga’a dalam Welli’a dapat mengurangi populasi ular dan tikus. Iklim mikro dikelola dengan keberadaan
Toroponga’a pada pohon dengan mengurangi suhu, kecepatan angin, mencegah penguapan tanah, dan menyimpan air hujan. Di samping itu
pengelolaan iklim yang baik dapat mereduksi serangan jamur. Keberlanjutan ekonomi dapat diukur bukan hanya dalam produk usaha
tani langsung namun juga dalam hal fungsi seperti melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko Gips 1986 dalam Reijntjes et al. 1999.
Kelestarian ekonomi berarti petani mendapatkan penghasilan yang cukup untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan dalam sistem
usaha tani. Karena itu sistem pertanian semestinya memberikan jaminan hidup sehingga petani mampu merancang masa depan keluarga. Bagi petani
lahan sempit,
keamanan pendapatan
adalah penting
mengingat keberlanjutan hidup bergantung padanya Reijntjes et al. 1999. Pendapatan
rumah tangga dari usaha tani dirasakan cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Belum terjadi ketergantungan pada pupuk anorganik, obat-obatan
pelindung tanaman, dan mekanisasi sehingga biaya produksi rendah. Peralatan mekanisasi yang digunakan adalah cangkul, sumber bibit berasal
dari lahan mereka, serangan penyakit dicegah dengan pengasapan. Lahan Welli’a memungkinkan panen lebih dari satu kali dalam setahun.
Lahan ini juga ditanami tanaman merambat. Praktek ini secara ekonomi menguntungkan dan meminimalkan resiko kegagalan panen karena
100
beragamnya tanaman. Untuk memperkuat ekonomi, keluarga petani juga mengolah lahan Rawu’a yang dapat dipanen terus-menerus sehingga
cadangan pangan tetap tersedia sepanjang tahun. Nilai jual produksi hasil panen digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, biaya
pendidikan dan dana sosial Hopobhoka pada acara keluarga. Jaminan ekonomi diperkuat dengan meramu hasil hutan, memungut hasil laut dan
memelihara ternak. Pemungutan hasil laut seperti kerang-kerangan Kiwolu, bulu babi
Lei, dan ikan Ika dengan menggunakan alat tradisional. Alat tangkap ikan yang digunakan adalah jaring Dhari, pancing Kabua, bubu Polo, dan
racun ikan botani seperti Towole dan Pandita. Pemungutan hasil laut tetap memperhatikan fenomena dan gejala alam untuk menjaga keberlanjutan
sumberdaya. Saat ini, sebagian masyarakat menilai kegiatan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga dijadikan alasan memunggut
hasil laut dengan membom. Hasil ternak dijual menjelang hari-hari besar seperti ayam dan kambing. Ternak tersebut di budidayakan secara
tradisional. Ayam dilepas di sekitar rumah dan kambing ditambat di bawah kolong rumah atau dibuatkan kandang berbentuk rumah kecil Laiga di
ladang. Kelestarian sosial budaya merupakan bentuk integritas way of live
dalam sistem pertanian sebagai kebudayan bertani yang menjamin interaksi sosial. Karena itu peran pengetahuan lokal masyarakat dalam sistem
teknologi pertanian berkelanjutan ditinjau dari sistem sosial budaya dalam interaksi masyarakat dan Sara pada penguasaan lahan pertanian dan
jaminan produksi. Peran Sara menyangkut dua aspek yaitu aspek spiritual dan aspek sosial. Kedua aspek tersebut membuat harmonis hubungan Sara
dan masyarakat dalam sistem pertanian. Hubungan tersebut ditandai dengan citra dan mitos Sara sebagai wakil dari kekuatan supranatural yang
menguasai tanah sehingga keputusan Sara bersifat mutlak dan mengikat. Bagi masyarakat yang tidak patuh adalah keluar dari wilayah hukum adat.
Hal ini menyebabkan kharismatik Sara tetap lestari. Keberhasilan Sara dalam mempertahankan eksistensinya sebagai
pusat kekuasaan bergantung pada surplus produksi yang dihasilkan menurut kemauan dan kemampuan petani. Hal ini karena anggota Sara, disamping
101
sebagai pengatur sumberdaya alam, juga sebagai dukun tanaman Parika sehingga harus mempunyai “keampuhan ilmu”. Itulah sebab mengapa
anggota Sara harus diangkat dalam garis keturunannya. Karena jika hasil panen berkurang, gagal atau adanya wabah hama dan penyakit maka
pejabat Sarakepala desa yang bertanggungjawab. Jika panen berhasil maka hasil panen terbaik akan diberikan kepada Sara. Namun bila panen gagal
maka hasil panen terburuk akan diberikan kepada Sara sebagai simbol. Saat ini, pengetahuan lokal dan kharismatik Sara mulai mengalami
pergeseran nilai akibat dinamika politik. Hadirnya sistem pemerintahan negara, menyebabkan peran dan fungsinya Sara mulai melemah Manan dan
Arafah, 1999. Namun pemerintah tetap berupaya melestarikan sistem sosial budaya melalui penguatan interaksi Sara dan pemerintah atas dukungan
masyarakat baik melalui lembaga adat maupun keluarga pemangku adat sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan sosial kemasyarakatan.
5.3. Pengaturan Tenaga Kerja Keluarga