Perubahan Ekonomi Tekanan Penduduk, Intervensi Pasar dan Dinamika Politik 1. Tekanan Penduduk

56 tinggi yaitu mencapai 3.934 jiwakm 2 . Selain tekanan penduduk, kepadatan penduduk di Wilayah Adat Mandati cukup tinggi mencapai 230,8 jiwakm dan Wanci 96,1 jiwakm. Kondisi ini menyebabkan ruang bercocok tanam semakin menyempit dan menimbulkan ancaman konversi lahan sehingga kebutuhan pangan tidak mencukupi dan ruang terbuka untuk daerah tangkapan hujan berkurang. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa hampir semua komoditi pangan telah didatangkan dari luar daerah seperti beras, sayur-sayuran, buah-buahan, bumbu-bumbuan dan air mineral. Hasil wawancara menunjukkan sejak tahun 2000, hampir semua air sumur pesisir Wangi-Wangi tidak bisa digunakan sebagai air minum. Sebelumnya Desa Wungka dan di Tindoi merupakan desa yang terletak di tengah pulau yang banyak hutan dan mempunyai persediaan air yang melimpah sepanjang tahun dari sumur gali dan mata air Tewe’u, sekarang hanya bisa dimanfaatkan selama dua bulan pada musim kemarau.

4.4.2. Perubahan Ekonomi

Studi tentang perubahan ekonomi akibat intervensi pasar menurut Alexander 1999 dalam Akhmad 2005:13 menggunakan tiga konsep, yaitu “dagang, pedagang dan perdagangan”. Konsep dagang menempatkan pasar sebagai arena sistem tukar menukar barang dan sirkulasi barang dagangan. Konsep pedagang menggambarkan tipe pedagang dan lembaga-lembaga sosial yang menyalurkan mereka ke hubungan sosial yang rumit. Sedangkan perdagangan diartikan sebagai suatu aliran informasi yang terstruktur berdasarkan budaya. Geertz 1983; 1989 menjelaskan bahwa ekonomi pasar adalah perekonomian dimana arus total perdagangan terpecah-pecah menjadi transaksi dari orang ke orang, dengan ciri 1 barang yang diperjualbelikan tidak besar dan mudah dibawah, dan 2 barang mengalir sangat cepat dalam jalur-jalur pasar. Pendapat Akhmad dan Geertz akan menjelaskan perubahan ekonomi masyarakat di Pulau Wangi-Wangi seperti perubahan orientasi ekonomi dan mata pencaharian serta lingkup pertukaran barang dan jasa yang berdampak pada Kaindea. Walaupun hubungan ekonomi sudah terjadi sejak zaman kesultanan namun perubahan ekonomi masyarakat Wangi-Wangi terjadi pada abad 57 ke-20 setelah mengenal pelayaran dan perdagangan, yaitu perubahan orientasi ekonomi sekitar tahun 1960-an. Sebelumnya masyarakat memanfaatkan lahan disekitar Kaindea sebagai sumber ekonomi utama keluarga. Namun seiring dengan tekanan penduduk dan kebutuhan hidup ekonomi yang berkembang seperti kebutuhan pendidikan dan gaya hidup, mata pencaharian pertanian lahan kering jangka pendek secara perlahan menjadi pedagang dengan komoditas ekonomi dan barang-barang luar yang bernilai ekonomi. Lahan-lahan pertanian yang tadinya digunakan untuk subsisten banyak ditanami tanaman perkebunan. Dalam perkembangannya terjadi pertukaran barang dan jasa dari yang bersifat lokal barter menjadi aktivitas ekonomi uang dalam lingkup regional, nasional dan bahkan internasional. Perubahan orientasi ekonomi juga diikuti dengan perubahan struktur sosial-ekonomi masyarakat yang berlangsung sampai tahun 1980-an. Intensitas perkembangan sosial ekonomi ini ditandai dengan mobilitas pelayaran dan perdagangan antar pulau yang memungkinkan aktivitas sosial ekonomi terus berkembang pada masyarakat Wangi-Wangi. Selain itu juga tersedianya dengan berbagai fasilitas penunjang, seperti sarana dan prasarana telah mendukung terjadinya perkembangan dan perubahan itu. Sehingga perubahan ekonomi masyarakat Wangi-Wangi sangat ditentukan oleh aktivitas sosial ekonomi yang berlangsung dan berkembang. Kalau diamati maka ada dua fase perkembangan sosial ekonomi yang berlangsung pada masyarakat Wangi-Wangi terutama pada masyarakat Mandati dan Wanci. Pertama, masyarakat yang aktivitasnya didominasi oleh pertanian tradisional subsisten. Kedua, bentuk ekonomi pertanian yang telah mendapat pengaruh kegiatan ekonomi pasar yang diikuti oleh perilaku konsumtif dari perdagangan dan migrasi. Perubahan fase ekonomi pertanian tradisional ke ekonomi pasar yang diikuti perilaku konsumtif menunjukkan adanya intervensi pasar karena diikuti perubahan perilaku sosial Akhmad 2005. Dengan demikian, perubahan yang terjadi bukan sekedar perubahan pendapatan per-kapita, tetapi perubahan struktural yang tercermin dari munculnya komersialisasi sektor pertanian. Sebagai contoh, pada tahun 1976 dilaksanakan program penghijauan lahan kritis seluas 50 ha di Pulau Wangi- Wangi. Program tersebut disambut antusias oleh masyarakat. Ternyata ada 58 sebagian masyarakat yang memanfaatkan lahan-lahan di sekitar hutan untuk perkebunan jambu mete tersebut. Hal ini terjadi pada Motika dan sejumlah Kaindea u’sara di Wanci ikut dirambah seperti Kaindea Taibhete Asuhadi 2008. Sejalan dengan peranan Sara mulai melemah dan pemerintah desa yang tidak tegas akhirnya banyak lahan Kaindea dan Motika dirambah dan ditanami tanaman perkebunan seperti jambu mete, kelapa serta tanaman pangan ubi kayu. Sampai sekarang pemerintah daerah “kewalahan” menahan serbuan masyarakat untuk merambah hutan. Namun pada tahun 2006, aparat berwenang sempat “memproses” beberapa anggota masyarakat yang merambah Kaindea Teo. Kebijakan pembatasan masuknya kayu pada tahun 2006-2008 juga turut menambah ancaman terhadap hutan di Wakatobi. Sejak dulu tanaman pangan utama masyarakat di Pulau Wangi-Wangi adalah umbi akar 27 dan jagung yang kedua. Kedua tanaman ini mudah tumbuh dengan baik. Kalau dijadikan makanan olahan dapat bertahan lama sehingga cocok untuk bekal berlayar dan makanan bagi keluarga yang ditinggalkan. Bila surplus, maka akan dijual berserta hasil bumi lainnya seperti kacang tanah. Di desa-desa pesisir ada kegiatan memungut hasil laut seperti kerang-kerangan dan menangkap ikan dengan peralatan sederhana seperti jaring, pancing dan bubu. Masyarakat Wangi-Wangi juga mengusahakan sistem pertanian secara tradisional pada lahan yang relatif terbatas sehingga banyak membutuhkan tenaga kerja. Ekologi yang tandus dan keras telah mengakibatkan kelebihan tenaga kerja. Kesempatan kerja di pertanian tidak seimbang dengan jumlah penduduk telah mendorong masyarakat mencari pekerjaan lain di luar daerah dengan bermigrasi dan melakukan perdagangan antar pulau. Masyarakat mengakui bahwa perkembangan sektor perdagangan dan jasa memberikan keuntungan secara ekonomi lebih baik dibanding sektor pertanian subsisten. 28 Hal ini menyebabkan terjadinya transformasi ekonomi dan perubahan nilai dalam masyarakat. Tersedianya sarana dan prasarana 27 Schoorl 2003:6 mencatat makanan pokok masyarakat Kepulauan Tukang Besi adalah umbi akar dan jagung yang kedua. Setelah “mengenal” Jawa dan Maluku, maka ubi kayu diadopsi dan menjadi makanan tradisional pokok bersama jagung. Ubi kayu diolah menjadi Soami. Jagung yang ditumbuk dijadikan Kambose jagung yang langsung direbus atau Saurondo jagung yang telah tumbuk dan campur santan. Saat ini makanan pokok beralih ke beras. 28 Perilaku subsisten dalam pengertian ini adalah perilaku produksi pertanian yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok konsumsi keluarga. Masyarakat petani yang termasuk pada kategori ini ditandai dengan ciri sistem produksi pertanian cara tradisional yang menonjol. 59 sebagai media perhubungan seperti perahu, kapal motor dan sebagainya merupakan bagian dari perkembangan dan transformasi ekonomi. Teknologi transportasi dan intensifnya hubung antar daerah turut mempercepat pertukaran informasi dan hubungan sosial ekonomi. Hal itu membuka isolasi daerah sehingga kontak dengan daerah lain tidak dapat dihindari. Dengan letak yang ada dipersimpangan jalur perhubungan Indonesia Barat dan Timur merupakan faktor penarik dan ekologi wilayah sebagai faktor pendorong, menyebabkan arus mobilisasi penduduk di dalam dan ke luar negeri menjadi tinggi. Pada umumnya masyarakat Wangi-Wangi dikenal sebagai masyarakat pelaut dan mempunyai banyak sarana transportasi dalam berbagai ukuran dan bentuk. Tersedianya berbagai fasilitas tersebut juga telah menjadi jembatan 29 antara pemilik modal atau barang TaukeToke dengan masyarakat dan menjadikannya sebagai orang kaya baru di kampung. Masyarakat telah melibatkan diri dalam ekonomi global. Kontak dengan daerah lain yang intensif yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi Jawa, Singapura, Malaysia dan penyedia hasil alam dan tempat pemasaran barang Maluku, Irian Jaya, Sulawesi menjadi bukti. Perubahan perilaku sosial juga mulai mewarnai kehidupan sebagain masyarakat. Kebiasaan minuman keras yang memabukkan, musik, konsumtif dan pola pergaulan menjadi bukti adanya pengaruh intervensi luar. Haji Husma 55 tahun mengakui bahwa perubahan ekonomi masyarakat disebabkan adanya hubungan ekonomi dengan Jawa dan luar negeri, sehingga berpengaruh pada perilaku sosial dan ekonomi. Secara sosial Haji Husma mengatakan : ….te gara-gara u’langke Djawa ke Woru, koruo na mia, te ana bou mai numangka te monea’a u dhaga akibat dari kegiatan pelayaran ke Jawa dan Singapura, banyak masyarakat terutama anak muda yang banyak meniru kebiasaan orang luar. 29 Fasilitas transportasi di Wangi-Wangi dikatakan memadai karena, di Kabupaten Wakatobi, Wangi-Wangi paling banyak, baik dari segi teknologi, kualitas dan kuantitasnya. Umumnya kapal kayu sekarang berkisar 200 ton. Kapal untuk digunakan untuk mobilitas domestik dan perdagangan. Hubungan dagang dengan luar negeri telah menjadikan adanya hubungan khusus antara pemilik barang Tauke dengan masyarakat Wangi-Wangi. Pelayar menjamin hasil alam dan Tauke menjamin barang dagangan. Sebelum ada modal, penjaminan ini pada awalnya dilakukan atas dasar saling kepercayaan antara Tauke-masyarakat. Schoorl 2003:6 mencatat bahwa awal abad ke-20, jumlah perahu di Kesultanan Buton meningkat dengan pesat yaitu tercacat 300 buah. Di Wangi-Wangi tahun 1980 tercatat 220 perahu layar, 150 diantaranya masih dipakai. Seiring dengan perkembangan teknologi dan intensifnya perdagangan ke Singapura dan Malaysia, perahu layar mulai diganti dengan perahu mesin yaitu 37 buah. 60 Dan secara ekonomi Haji Husma mengatakan: …..te mia I kita ana, ara o rodongo ka te hembulata o leama na haragaano, saba’ane a monangka a membula setiap orang pada masyarakat kita, kalau mendengar bahwa tanaman bagus harganya, semuanya akan ikut dan berusaha menanamnya. Pergeseran orientasi migran Wangi-Wangi dari pertahanan hidup menjadi keuntungan, tidak terlepas dari daya dukung alam yang tandus sehingga masyarakat bermigrasi dengan memanfaatkan jaringan transportasi. Akibatnya mobilitas di dalam maupun di luar negeri sebagai tenaga kerja berkembang pesat, sehingga terjadi mobilitas ekonomi dan akumulasi modal para pelaku migrasi. Gerak mobilitas masyarakat Wangi- Wangi mengikuti arus pertukaran modal barang dan jasa secara langsung menuntut kemudahan berupa tersedianya transportasi dan jaringan komunikasi yang memadai. Prioritas daerah yang didatangi adalah yang dianggap memberikan keuntungan ekonomi. Daerah itu seperti Jakarta, Jawa Timur, Kepulauan Maluku, Kendari, Bau-Bau, Batam, Singapura dan Malaysia merupakan daerah yang paling banyak dikunjungi Rabani 1997:82. Kebanyakan pelaku migrasi yang ke luar negeri bersifat ilegal karena tidak dilengkapi dokumen perjalanan resmi. Meskipun demikian bila ditanyakan mengapa menjadi daerah tujuan dalam melakukan migrasi, maka dengan spontan akan mengatakan …..te togo meatu’e na mou kita te ido’a ke untu lumeama daerah-daerah itulah yang memberikan kehidupan lebih baik dan mampu memberikan keuntungan yang cukup. Terlibatnya masyarakat dalam arus perekonomian telah memberikan pengaruh pada perilaku ekonomi pasar dalam masyarakat. 30 Perdagangan ke luar negeri mencapai masa keemasan pada tahun 1980-1987. 31 Berbagai barang bekas dari Singapura dan Malaysia Timur seperti pakaian bekas dan barang-barang elektronik bekas motor, kulkas, 30 Kebanyakan masyarakat menggunakan uangnya untuk membeli kendaraan bermotor, emas, pakaian dan sebagian ditabung serta investasi untuk perdagangan. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat dengan peningkatan pemukiman baru, mengalirnya kiraman uang dari migran, munculnya berbagai bentuk hiburan, lunturnya nilai-nilai sosial yang merupakan imbas dari aktivitas ekonomi dan migrasi. 31 Tahun 1980-1987 merupakan masa dimana hubungan ke luar negeri tidak dibatasi, sehingga barang-barang dari luar yang murah dengan bebas masuk ke Wangi-Wangi. Kemudian dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi, sehingga banyak pedagang yang menangguk untung besar. Setelah terjadi “Operasi Pelarangan Barang Selundupan 1987”, perdagangan ke luar negeri dilakukan secara diam-diam sampai sekarang, dengan skala yang sudah terbatas. 61 AC, TV dibeli dan dibawa ke Wangi-Wangi. Kemudian dari Wangi-Wangi di pasarkan kesejumlah daerah di Indonesia Timur seperti Maluku, Irian Jaya Papua, Sulawesi Utara dan Kendari Sulawesi Tenggara. Membanjirnya barang-barang impor dari luar negeri yang dijual di pasar lokal seperti pakaian bekas, motor bekas, dan alat elektronik menjadikan dinamika ekonomi perkembang pesat. Masyarakat juga menjual barang-barang asal Jawa seperti alat-alat kebutuhan rumah tangga. Karena perputaran uang yang tinggi menjadikan permintaan konsumsi komoditas pertanian dan perikanan juga mengalami peningkatan. Tingginya harga komoditas perikanan dan hasil hutan juga dipicu oleh kelangkaan di pasar karena sebagian dibawa ke luar daerah sebagai komoditi ekspor. Kondisi ini menyebabkan komoditas pertanian bukan sekedar untuk kebutuhan subsisten tapi juga dilihat sebagai komoditas dagang untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Perkembangan ekonomi pasar ini lahan pertanian menjadi intensif diolah. Banyak anak-anak usia sekolah pada waktu senggang turut membantu membersihkan kebun Porabha. Anak muda laki-laki Ana moane yang belum kawin akan merantau dan bekerja. Hasilnya dikirimkan ke orang tua di kampung untuk kebutuhan keluarga dan persiapan perkawinan. Hasil kerja remitan 32 di daerah tujuan yang dikirim ke daerah bukan saja dalam bentuk uang atau barang, tetapi juga dalam bentuk ide-ide perubahan kearah perbaikan yang dibutuhkan daerah asal terutama teknologi pertanian. 33 Khusus remitan dalam bentuk uang dan barang dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan rumah, perdagangan, investasi barang, pendidikan, perkawinan yang dianggap dapat memberikan nilai tambah. Menurut Mantra 1995:34 bahwa menilai wujud dari suatu remitan harus berhati-hati, karena sifatnya yang tidak teratur. Remitan dalam bentuk barang yang dikirim dari daerah lain seperti alat dapur, kosmetika, pakaian, alat rumah tangga, kendaraan bermotor dan lain-lain. Kesulitan menentukan nilai remitan dalam bentuk uang adalah informasi yang diberikan sering tidak jujur karena persoalan budaya. Hal yang dapat dilakukan adalah mengamati barang-barang fisik dalam suatu keluarga 32 Hasil kerja buruh migran di rantau. 33 Sebagian nara sumber mengakui bahwa perkembangnya teknologi pertanian karena melihat dari tempat mereka migrasi 62 ditandai dengan bangunan permanen, kendaraan bermotor, alat elektronik video, tape, kamera, televisi, kulkas dan kapal motor. Intensifnya penduduk Wangi-Wangi melakukan kontak ekonomi dan migrasi ke telah membawa perubahan orientasi ekonomi ke sistem uang. Peran keluarga juga mengalami perubahan. Hal ini tidak lepas dari ekologis wilayah yang tandus serta lahan yang terbatas sehingga tidak memungkinkan pengembangan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kuntowijoyo 2002 menyatakan bahwa ekologi yang terbatas dan lahan yang tidak memenuhi kebutuhan hidup mendorong masyarakat akan melakukan migrasi dan berdagang. Perubahan ekonomi masyarakat di Wangi-Wangi yang diikuti perubahan perilaku merupakan ancaman terhadap sumberdaya lokal termasuk hutan karena kebutuhan hidup akan mendorong konversi lahan untuk komoditas perkebunan. Perilaku konsumtif dan gaya hidup telah meningkatkan kebutuhan akan kayu. Meningkatnya perekonomian masyarakat ini turut memberikan andil terhadap tekanan pada sumberdaya hutan dan lahan. Pembangunan infrastruktur dan perumahan membutuhkan kayu dan konversi lahan. Pada tahun 2005 nilai perdagangan antar pulau di Wakatobi, sektor kehutanan menduduki peringkat tertinggi sebesar Rp. 35,1 milyar 34 Statistik Kabupaten Wakatobi 2007. Perambahan hutan di Pulau Wangi-Wangi mulai berani dilakukan masyarakat secara terang-terangan setelah perkembangan ekonomi pasar tahun 1980-an 35 . Kebutuhan kayu untuk industri pembakaran batu-bata merah dan kapur alam serta bahan bangunan meningkat. Beberapa model dan jenis tanaman pertanian berubah dari tanaman pangan subsisten menjadi tanaman perkebunan komersial dengan melakukan ekspansi kebun ke wilayah hutan dan mendorong masyarakat mengkonversi hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan. Perubahan kawasan Kaindea akibat perubahan ekonomi terlihat pada perubahan struktur dan komposisi Kaindea Teo di Wanci dengan adanya tanaman kelapa dan jambu mete Tabel 15. Dampak kebutuhan kayu rumah tangga menyebabkan ancaman terhadap 34 80 persen aktivitas perekonomian Kabupaten Wakatobi berpusat di Wangi-Wangi sebagai ibukota kabupaten. 35 Sampai awal tahun 1980-an, orientasi perdagangan mulai berubah dan banyak dialihkan ke Singapura dan Malaysia. Pada saat itu, terjadi pertumbuhan ekonomi lokal dan gaya hidup mulai berubah. Tumbuhnya industri rumah tangga menjadi indikator perubahan ekonomi. 63 hutan di Asia Korten 1986; perluasan kebun menyebabkan kerusakan hutan di Nepal Gautam 2004; peningkatan ekonomi pasar mengancam kelestarian hutan Fraser 2002. Praktek destruktif masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam merupakan indikator intervensi ekonomi Wiratno et al. 2004; Rositah 2005; Bachtiar et al. 2003. Gambar 8 Aktivitas masyarakat sebagai dampak tekanan penduduk dan intervensi pasar yang mengancam eksistensi hutan dan produktivitas lahan. Pembuatan batu-bata merah foto kanan dan perluasan kebun dengan membakar di tepi hutan foto kiri sumber: Nur Arafah 2008.

4.4.3. Dinamika Politik