273
intensif. Masyarakat kota yang memiliki lahan umumnya mengubah vegetasi untuk perlindungan dan lanscape perdesaan diubah menjadi pertamanan dengan
penutupan rumput lawn dan mengganti dengan tanaman hias serta berubah menjadi lantai bersemen.
Perubahan penutupan lahan menjadi lahan terbangun dan pertamanan
memberikan efek negatif terhadap iklim mikro dan tidak berperan positif sebagai daerah tangkapan air DTA. Konservasi tanah dan sumberdaya air tidak berjalan
secara baik yang dicirikan oleh tingginya tingkat erosi, sedimen dan bahan-bahan terlarut, serta kualitas air sungai semakin tercemar. Dengan perubahan penutupan
lahan tersebut maka fungsi perlindungan dari longsor semakin berkurang, alur sungai dan sumber-sumber air menjadi kering pada musim kemarau termasuk
sumur-sumur masyarakat. Untuk mempertahankan DAS sebagai daerah tangkapan air DTA maka
perlu dipertegas aturan dan implementasinya terhadap kepemilikan lahan oleh masyarakat perkotaan di wilayah hulu mencakup batasan luas kepemilikan lahan,
ketentuan koefisien dasar bangunan KDB, koefisien lantai bangunan KLB, penanaman tumbuhan berkayu, pembuatan sumur resapan, kewajiban pemilik
lahan selama belum dibangun selama menjadi lahan tidurlahan gontai, serta hak dan kewajiban lainya dalam upaya konservasi tanah dan air. Pengendalian
pemanfaatan ruang terhadap bangunan-bangunan di wilayah hulu sebagai DTA perlu ditingkatkan implementasinya baik pada lahan milik maupun lahan garapan.
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di dalam DAS maka perlu ditingkatkan peran pemerintah dengan mengembangkan alternatif
pendapatan bagi masyarakat petani yang berasal dari kegiatan non-pertanian misalnya budidaya ternak sapi, domba, kelinci, bertani komoditi ekspor buah-
buahan dan tanaman hias, dan kegiatan ekonomis off-farm lainnya. Dengan kepemilikan lahan yang dikuasai oleh masyarakat luar perkotaan maka untuk
meningkatkan fungsi DAS sebagai konservasi tanah dan air perlu ditingkatkan kapasitas koordinasi instansi pemerintah. Peran instansi teknis yang bertugas
mengurusi konservasi tanah dan air sudah kurang tepat lagi karena permasalahan pada penguasaan lahan dan akses terhadap lahan untuk konservasi tanah dan air
serta pemberdayaan masyarakat lokal. Kegiatan konservasi tanah dan air dilakukan melalui upaya rehabilitasi vegetatif harus mampu memberikan
274
tambahan alternatif pendapatan ekonomi keluarga petani dalam jangka pendek, dan mampu memperbaiki fungsi ekologi DAS dalam jangka panjang.
277
IX SIMPULAN DAN SARAN
9.1 Simpulan
a. Nilai indeks pengelolaan DAS Ciliwung Hulu 47,23 berarti kurang
berkelanjutan. Dari kelima dimensi keberlanjutan yang dianalisis, dua dimensi dengan status cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi dan dimensi
aksesibilitas dan teknologi konservasi sedangkan ketiga dimensi yang kurang berkelanjutan adalah dimensi ekologi, dimensi sosial dan dimensi
kelembagaan. b.
Status pengelolaan DAS Ciliwung Hulu kurang berkelanjutan disebabkan tidak adanya kelembagaan yang mengatur pengelolaan lahan eks-perkebunan 379 ha
2,55 yang berstatus open access dan lahan milik terkait dengan transaksi dan penggunaan lahan yang mengabaikan fungsi konservasi.
c. Lima aktor kunci dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu adalah masyarakat
luar DAS Ciliwung Hulu, Bappeda Kabupaten Bogor, biyong makelar tanah, pengusaha lokal hasil pertanian, dan BP4K dan UPT BP3K Wilayah Ciawi
yang aktif menjalankan fungsi penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Kelima aktor kunci tersebut sangat berperan dalam meningkatkan kinerja
pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Masyarakat luar DAS Ciliwung Hulu, biyong dan pengusaha lokal hasil pertanian terkait dengan penguasaan lahan
dan pengelolaannya di DAS Ciliwung Hulu. Bappeda Kabupaten Bogor terkait dengan permasalahan lahan eks-HGU perkebunan yang kini dalam
kondisi open access. BP4K dan UPT BP3K Wilayah Ciawi berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat lokal dengan menciptakan alternatif
pendapatan dari kegiatan berbasis non-lahan. d.
Pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dilakukan melalui penanganan terhadap 5 lima faktor kunci yaitu 1
peningkatan alternatif pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian, 2 pemanfaatan jasa wisata, 3, pengendalian perubahan lahan menjadi lahan
terbangun, 4 peningkatan kapasitas koordinasi instansi pemerintah, dan 5 kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Pengembangan
kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dilakukan melalui penanganan terhadap kelima faktor tersebut sebagai syarat kecukupan
sufficient conditions.
278
e. Implementasi kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu masih bersifat
parsial dan sektoral sehingga tidak menumbuhkan koordinasi yang baik dan integrasi, sinkronisasi dan sinergi program antar sektor, antar wilayah, antar
level pemerintahan dan antar pelaku kebijakan. f.
Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dapat ditingkatkan keberlanjutannya melalui intervensi terhadap 5 lima kunci melalui alternatif Skenario Moderat
sehingga mampu meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dari 47,23 kurang berkelanjutan
menjadi 51,84 cukup berkelanjutan. g.
Pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu hanya dapat dilakukan jika didahului dengan koordinasi pengaturan
kepemilikan lahan property right of land. Pengaturan kepemilikan lahan property right of land sebagai fungsi sosial dilakukan dengan mengatur hak
dan kewajiban yang seimbang kepada pemegang hak atas lahan di dalam kerangka pengaturan kelembagaan yang lebih baik. Pengaturan kepemilikan
lahan property right of land sebagai syarat keperluan necessary conditions dalam pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu.
9.2 Saran
a. Kapasitas koordinasi instansi pemerintah Bappeda Kabupaten Bogor perlu
ditingkatkan sehingga mampu mengkoordinasikan permasalahan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu diantaranya pengelolaan lahan eks-HGU perkebunan dan
koordinasi antara para pemilik lahan yang berasal dari luar dengan instansi pemerintah pusat dan daerah dan kelompok tani lokal untuk dapat mengakses
terhadap lahan serta upaya sinkronisasi dan sinergi program pembangunan. b.
Pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu akan menjadi lebih efektif jika dilakukan dalam satu Sistem Pengelolaan DAS Ciliwung Terpadu yang
mencakup lintas sektoral, lintas pelaku, lintas batas administratif pemerintahan dan lintas level pemerintahan.
c. Instansi atau pejabat yang mengurusi kelembagaan pada DAS Ciliwung Hulu
harus berupaya mentransformasikan aspek ekonomi kedalam program-program sektor dan lintas sektoral dari kelima faktor kunci pengelolaan berkelanjutan
DAS Ciliwung Hulu dan mendorong terwujudnya pengaturan kepemilikan lahan property right of land yang berfungsi sosial.
279
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih ES, Soenarmo SH dan Mujiasih S. 2001. Kajian Perubahan Distribusi Spasial Udara Akibat Perubahan Penutupan Lahan Studi Kasus Cekungan
Bandung. Warta LAPAN Vol. 3 No. 1 Edisi Maret 2001. LAPAN. Jakarta. Alikodra H. 2009. Krisis, Konflik dan Degradasi Pengelolaan SDA dan
Lingkungan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan RPJM Kementerian Lingkungan Hidup Tahun 2010-2014. Bogor.
Anonim. 1999a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Anonim. 1999b. Keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 1999. Penataan Ruang
Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur. Jakarta. Anonim. 2004a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air.
Anonim. 2004b. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanan Kehutanan. Jakarta.
Anonim. 2008a. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025. Bogor.
Anonim. 2008b. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta.
Anonim. 2009. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta.
Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. Barnas H. 1988. Peranserta Masyarakat Dalam Penghijauan Studi Kasus DAS
Jeneberang di Sulawesi Selatan. Disertasi S3 Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor Tidak dipublikasikan.
Blomquist W. 1992. Dividing the Waters : Governing Groundwater in Southern California.
San Francisco : ICS Press. Blomquist W dan Schlager E. 2005. Political Pitfals of Integrated Watershed
Management. Journal Society and Natural Resources, 18 :101-117, 2005. Taylor Francis Incorporation. USA.
Bourgeois R and Jesus F. 2004. Participatory Prospective Analysis, Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. Center for Alleviation of
Poverty through Secondery Crops Development in Asia and The Pacific and French Agricultural Reasearch Center for Internasional Development.
Monograph 46 : 1 – 29.
BPDAS Citarum-Ciliwung. 2003. Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Ciliwung
. Kerjasama antara BPDAS Citarum-Ciliwung Departemen Kehutanan dengan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.