BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan tempat bagi anak untuk mempelajari nilai-nilai moral sejak usia dini. Hubungan yang kurang dekat dengan orangtua membuat anak kurang
mengalami proses belajar tentang perbedaan perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setelah anak menginjak usia remaja seringkali
mereka tidak memiliki kontrol diri dan mengabaikan norma-norma yang berlaku di masyarakat Kartono, 1998, sehingga timbullah bentuk pelanggaran yang dilakukan
remaja. Selain keluarga, sekolah juga memiliki peranan yang penting dalam proses
sosialisasi anak. Sekolah dituntut untuk menciptakan suasana yang nyaman untuk proses pembelajaran dan perkembangan anak. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa di
sekolah pun juga terjadi masalah. Bullying adalah salah satu diantara masalah yang ada dan umumnya bersifat tersembunyi Neser, Ovens, Merwe dan Morodi, 2002.
Remaja mulai melepaskan ketergantungan dengan orang tua dan mulai mengembangkan kemandirian. Di lain pihak, remaja juga mulai menjalin kedekatan
dengan teman sebaya di luar lingkungan keluarga. Teman sebaya dijadikan pedoman dan tolak ukur dalam berperilaku Diener dan Larson, dalam Hoffman, Paris dan Hall,
1994. Dalam siklus hidup manusia setiap orang mengalami beberapa tahap
perkembangan yaitu mulai dari bayi, anak-anak, remaja dan dewasa. Dari sekian tahap PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tersebut, masa remaja merupakan masa yang penting karena banyak tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Remaja berusaha mencari
identitas diri dan menemukan jati dirinya. Remaja mulai mencari otonomi diri, kebebasan dan mengurangi kelekatan dengan orangtua. Selain itu, masa remaja
merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Perkembangan emosi remaja menunjukkan sifat yang sensitif, reaktif dan
temperamental. Dalam pencarian identitas diri, remaja melakukan serangkaian upaya dan
tindakan untuk menunjukkan jati dirinya. Dalam pencarian jati diri tidak sepenuhnya remaja melakukan dengan cara dan tujuan yang positif. Tidak sedikit remaja yang
salah dan gagal dalam membentuk jati diri. Begitu pula ketika remaja harus bersosialisasi dengan orang lain, sering pula remaja mengambil tindakan yang salah
dan tidak sesuai dengan aturan yang ada, salah satunya adalah dengan melakukan bullying.
Menurut Indarini 2007 bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sebuah kelompok, sehingga korban merasa tertekan,
trauma, dan tidak berdaya. Peristiwa bullying sangat mungkin terjadi berulang. Bullying terbagi menjadi tiga. Pertama: fisik, seperti memukul, menampar, dan
memalak atau meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya. Kedua: verbal, seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Ketiga: psikologis, seperti mengintimidasi,
mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasikan. Di Indonesia, sejak lima tahun terakhir gejala bullying di sekolah mulai
diperhatikan media massa walaupun dengan istilah yang beragam Ratna, 2007. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam bahasa pergaulan sering disebut dengan istilah “gencet-gencetan” atau juga senioritas. Selain itu ada bentuk bullying lainnya misalnya siswa yang dikucilkan,
difitnah, dipalak dan lainnya. Dalam sebuah penelitian disebutkan juga bahwa korban mempunyai persepsi
jika pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena ia dulu diperlakukan sama, ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak
berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapat kekuasaan dan iri hati Riauskina, Djuwita dan Soesetio, 2005. Menurut Purnama 2007 alasan yang paling
utama adalah bahwa pelaku merasa puas apabila ia berkuasa di antara teman- temannya. Selain itu dengan melakukan bullying, ia akan dapat memperoleh sanjungan
teman-temannya karena dianggap punya selera humor yang tinggi, keren, serta populer. Pelaku bullying kemungkinan sekedar mengulangi apa yang pernah dilihat
atau dialaminya sendiri. Selain itu, juga kerena ia pernah ditindas oleh sesama siswa di masa lalunya.
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi dalam Aulia, 2007 mengatakan selama Januari-April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap
anak. Rinciannya adalah kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Umumnya dari sekian kasus tersebut 226 terjadi di
sekolah. Kasus bullying salah satunya menimpa Fifi yang duduk di kelas 2 SMP. Fifi
rela mengakhiri hidupnya dengan melilitkan kabel televisi ke lehernya lalu menggantungkan diri karena teman-teman yang mengejeknya dengan sebutan anak
tukang penjual bubur. Kekerasan yang dialami Fifi di sekolah ini bukanlah kekerasan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
fisik melainkan kekerasan terhadap mental yang jarang disadari oleh banyak orang. Kasus serupa menimpa Hendra Saputra, seorang taruna Akademi Kepolisian
Semarang. Dia harus kehilangan cita-citanya akibat kekerasan fisik yang dialaminya. Sejumlah senior di akademi itu melakukan kekerasan di luar batas kewajaran dan
akhirnya membuat Hendra harus dirawat selama hampir empat bulan di rumah sakit Samhadi, 2007. Muhamad Fadhil Harkaputra Sirath siswa SMU 34 yang masih
duduk di kelas 1 mengalami penganiayaan oleh kakak kelasnya Sujadi, 2007. Dari ketiga kasus di atas, peneliti bermaksud mengemukakan bahwa kasus
bullying terjadi di usia remaja, mulai dari usia remaja awal hingga remaja akhir. Hal ini seturut dengan pernyataan Milsom dan Gallo 2006 yang menyatakan bahwa
perilaku bullying semakin memuncak ketika seseorang berada di akhir masa kanak- kanak atau di awal masa dewasa.
Menurut Haryana 2007, bullying yang ada di Indonesia dianggap wajar oleh sebagian orang. Sedikit sekali pihak yang menyadari dampak panjang yang
ditimbulkan baik bagi para korban ataupun pelaku. Akibatnya bullying terus terjadi dan menimbulkan korban jiwa berkepanjangan.
Berdasarkan penelitian Nansel pada tahun 2001 dalam Milsom dan Gallo, 2006 disebutkan bahwa laki-laki lebih sering menjadi pelaku ataupun korban bullying.
Hal ini didukung oleh Seals dan Young pada tahun 2003 dalam Milsom dan Gallo, 2006 dimana laki-laki secara signifikan lebih sering menjadi pelaku ataupun korban
bullying. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Haryana 2007 menyebutkan bahwa bullying terjadi di kota ataupun di pedesaan dengan perbedaan geografis yang ada. Remaja dan anak-anak umumnya
melakukan bullying dalam bentuk fisik, verbal ataupun dalam bentuk pemisahan sosial. Berdasarkan survey yang ada disebutkan jika bullying lebih sering terjadi di
lingkungan sekolah. Greene 2006 menyatakan bahwa bullying adalah salah satu bentuk agresi
yang nyata di sekolah dan mendapatkan banyak perhatian di dunia internasional. Hal ini menjadikan kasus bullying di sekolah menarik dan perlu untuk diteliti lebih jauh
lagi, terutama berkaitan dengan siapakah yang umumnya menjadi pelaku bullying. Pelaku bullying umumnya memiliki karakter seperti dominan, berkuasa, disegani oleh
orang lain, berjiwa pemimpin Yayasan Sejiwa, 2008. Karakter tersebut hampir serupa dengan karakter yang ada pada anak sulung jika dihubungkan dengan urutan
kelahiran anak dalam keluarga. Selain anak sulung, terdapat juga urutan kelahiran lain yaitu anak tengah dan anak bungsu yang juga memiliki karakter berlainan satu sama
lain. Noviasari 2002 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada perbedaan yang
sangat signifikan antara anak sulung, tengah dan anak bungsu dilihat dari kematangan emosionalnya. Hal ini didukung oleh Maslichah 2002 yang dalam penelitiannya
berpendapat bahwa perlakuan orangtua yang berbeda terhadap anak akan berakibat panjang terhadap perkembangan kepribadian dan perkembangan kreativitasnya,
sehingga terdapat perbedaan yang sangat signifikan jika ditinjau dari urutan kelahiran anak dalam suatu keluarga. Hal tersebut semakin memperjelas bahwa urutan kelahiran
membawa dampak adanya perbedaan karakter di setiap posisi urutan kelahiran pada PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
remaja. Dalam bersosialisasi dengan teman sebayanya, mungkin sekali remaja melakukan bullying.
Eckstein pada tahun 2000 dalam Schiller, 2007 melakukan survey terhadap 151 penelitian, dimana hasilnya ditemukan secara statistik bahwa ada hubungan yang
signifikan antara urutan kelahiran dan kepribadian. Hal ini semakin memperkuat bahwa kepribadian seseorang terkait dengan urutan kelahirannya.
Perlakuan dan pengasuhan dari orangtua menjadikan masing-masing posisi anak memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Anak sulung adalah anak yang
diharapkan dan diberi limpahan kasih sayang. Biasanya kerap terbebani dengan keinginan orangtua, sehingga akan memunculkan karakter sebagai anak yang percaya
diri, bertanggungjawab, suka menjadi pusat perhatian, kompetitif, otoriter, egois, emosional, perfeksionis, berjiwa pemimpin dan superior Sulloway, 2007.
Anak tengah adalah anak yang lahir ketika orangtuanya telah siap menjadi orangtua. Orang tua sudah tidak sekhawatir ketika melahirkan anak sulung. Ketika
anak bungsu lahir, anak tengah harus melepaskan sebagian perhatian orangtuanya. Karakter dari anak tengah umumnya lebih sering menjaga kedamaian dalam keluarga,
mandiri, mediator penghubung dalam keluarga, berjiwa seni, tidak rapi, kurang tegas, kurang terbuka karena tidak memiliki kelekatan seperti anak sulung ataupun anak
bungsu. Anak bungsu seringkali lahir di luar perencanaan. Anak bungsu seringkali
diperlakukan dengan manja oleh orangtuanya karena merupakan anak terkecil. Gunarsa 2000 menyebutkan bahwa anak bungsu menjadi pusat perhatian dari kakak-
kakaknya dan orangtua sehingga menjadi kekanak-kanakan, cepat putus asa, inferior. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Herera dan Zonjanc dalam Schiller, 2007 mengungkapkan bahwa anak bungsu adalah anak yang kreatif, emosional dan terbuka. Akan tetapi di sisi lain anak bungsu
kurang patuh dan tidak bertanggungjawab. Bertolak dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian
guna membuktikan apakah perlakuan dan kebiasaan-kebiasaan yang diterima oleh anak sulung, tengah dan bungsu dari orangtua dan lingkungannya sejak masa kanak-
kanak akan mempengaruhi kecenderungan remaja dalam melakukan bullying. Apakah urutan kelahiran tertentu akan menunjukkan kecenderungan bullying yang lebih tinggi
atau lebih rendah.
B. Rumusan Masalah