Perbedaan kecenderungan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahiran...
ABSTRAK
PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN
Stepanus Budi Raharjo Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2008
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kecenderungan bullying pada remaja awal berdasarkan urutan kelahirannya. Remaja adalah usia yang paling rentan untuk melakukan bullying. Dalam keluarga setiap remaja mendapat perbedaan perlakuan dari orangtua berdasarkan urutan kelahiran mereka. Urutan kelahiran terdiri dari anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Perbedaan perlakuan ini menimbulkan terjadinya karakteristik kepribadian tertentu pada setiap urutan kelahiran. Kepribadian adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku bullying. Bullying terdiri dari tiga aspek yaitu; adanya perbedaan kekuasaan, perilaku menyakiti yang berulang dan perilaku yang dilakukan dengan sengaja.
Subjek penelitian ini berjumlah 129 orang remaja putra yang terdiri dari 43 anak sulung, 43 anak tengah dan 43 anak bungsu. Semua subjek tersebut merupakan remaja yang memenuhi kriteria berikut; berusia antara 13-16 tahun, memiliki dua orang saudara kandung, dan bersekolah di SMP yang terletak di Kabupaten Sleman. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk skala yaitu skala kecenderungan bullying. Koefisien reliabilitas dari skala ini adalah 0,900.
Hasil yang diperoleh dari data yang diolah dengan anava satu jalur adalah F hitung = 2,811 yang lebih kecil dari F tabel = 3,07 serta nilai signifikansinya yang lebih besar dari 0,05 yaitu 0,064. Hal ini menunjukkan hipotesis pada penelitian ini ditolak, yang berarti tidak ada perbedaan kecenderungan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahiran.
(2)
ABSTRACT
THE DIFFERENCES OF BULLYING TENDENCY ON BOY TEENAGERS BASED ON THEIR BIRTH ORDER
Stepanus Budi Raharjo Sanata Dharma University
Yogyakarta 2008
The aim of this research was to find out the differences of bullying tendency on boy teenagers based on their birth order. Teenagers were the most susceptible group to do bullying behavior. In their family, every teenager gots different treatment from their parents. The parents usually treated them differently according to their order of birth. Different treatment can created certain personality to every order of birth. Birth order consists of the first born, the middle born and the last born. Personality is one of the factors which causes bullying behavior. There are three aspects of bullying, that are the difference of authority, repeated and in purpose violence attitudes.
The subject of this research were about 129 boy teenagers, consist of 43 first born, 43 middle born and 43 last born. The subjects to be observed were based on the writer’s criteria. The criteria are: first, 13-16 years old students; second, they had two siblings and the last, students must Junior High School students in Sleman Regency. The method of data collection was done by giving a scale. The scale of this research was the scale of bullying tendency. The reliability of this scale were 0,900.
The result from processed data with anava was F count = 2,811 less than F table = 3,07. This result showed that hypothesis on this research was refused. It means that there was no difference on bullying tendency seeing from the birth order point of view.
(3)
PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh: Stepanus Budi Raharjo
NIM : 049114033
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh: Stepanus Budi Raharjo
NIM : 049114033
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(5)
(6)
(7)
Karya yang telah aku susun dengan penuh perjuangan ini, aku persembahkan untuk:
Tuhan Yesus yang menjadi ANDALAN hidupku
Alm. Bapak Aloysius Yitno Diharjo
&
Alm. Ibu Theresia Mursini di Surga
Semua Keluargaku
(8)
Motto Hidupku
Hidup Sekali Harus Berarti
karena
Aku Diciptakan-Nya Untuk Menjadi Individu yang Berguna
maka
Aku Harus Selalu Berusaha
untuk
Meraih Kebahagiaan dan Menggapai Semua Mimpiku
buat
KELUARGA
&
SAHABAT
(9)
(10)
ABSTRAK
PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN
Stepanus Budi Raharjo Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2008
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kecenderungan bullying pada remaja awal berdasarkan urutan kelahirannya. Remaja adalah usia yang paling rentan untuk melakukan bullying. Dalam keluarga setiap remaja mendapat perbedaan perlakuan dari orangtua berdasarkan urutan kelahiran mereka. Urutan kelahiran terdiri dari anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Perbedaan perlakuan ini menimbulkan terjadinya karakteristik kepribadian tertentu pada setiap urutan kelahiran. Kepribadian adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku bullying. Bullying terdiri dari tiga aspek yaitu; adanya perbedaan kekuasaan, perilaku menyakiti yang berulang dan perilaku yang dilakukan dengan sengaja.
Subjek penelitian ini berjumlah 129 orang remaja putra yang terdiri dari 43 anak sulung, 43 anak tengah dan 43 anak bungsu. Semua subjek tersebut merupakan remaja yang memenuhi kriteria berikut; berusia antara 13-16 tahun, memiliki dua orang saudara kandung, dan bersekolah di SMP yang terletak di Kabupaten Sleman. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk skala yaitu skala kecenderungan bullying. Koefisien reliabilitas dari skala ini adalah 0,900.
Hasil yang diperoleh dari data yang diolah dengan anava satu jalur adalah F hitung = 2,811 yang lebih kecil dari F tabel = 3,07 serta nilai signifikansinya yang lebih besar dari 0,05 yaitu 0,064. Hal ini menunjukkan hipotesis pada penelitian ini ditolak, yang berarti tidak ada perbedaan kecenderungan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahiran.
(11)
ABSTRACT
THE DIFFERENCES OF BULLYING TENDENCY ON BOY TEENAGERS BASED ON THEIR BIRTH ORDER
Stepanus Budi Raharjo Sanata Dharma University
Yogyakarta 2008
The aim of this research was to find out the differences of bullying tendency on boy teenagers based on their birth order. Teenagers were the most susceptible group to do bullying behavior. In their family, every teenager gots different treatment from their parents. The parents usually treated them differently according to their order of birth. Different treatment can created certain personality to every order of birth. Birth order consists of the first born, the middle born and the last born. Personality is one of the factors which causes bullying behavior. There are three aspects of bullying, that are the difference of authority, repeated and in purpose violence attitudes.
The subject of this research were about 129 boy teenagers, consist of 43 first born, 43 middle born and 43 last born. The subjects to be observed were based on the writer’s criteria. The criteria are: first, 13-16 years old students; second, they had two siblings and the last, students must Junior High School students in Sleman Regency. The method of data collection was done by giving a scale. The scale of this research was the scale of bullying tendency. The reliability of this scale were 0,900.
The result from processed data with anava was F count = 2,811 less than F table = 3,07. This result showed that hypothesis on this research was refused. It means that there was no difference on bullying tendency seeing from the birth order point of view.
(12)
(13)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus yang selalu menyertai dan membimbing penulis selama pengerjaan skripsi ini. Penulis juga berterimakasih atas perlindungan dan terang pikiran yang selalu Bunda Maria limpahkan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini adalah sebuah proses yang panjang, dimana penulis harus berusaha, bekerja keras dan menghadapi berbagai kesulitan yang ada. Proses yang panjang ini tidak akan selesai bila tidak ada mereka yang membantu. Oleh karena itu, penulis secara tulus ingin mengucapkan terimakasih kepada mereka yang telah berperan dalam proses pengerjaan skripsi ini dan kehidupan penulis:
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan dalam perijinan penelitian.
2. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M., S.Psi,. M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar memberi arahan, memberi masukan, merevisi skripsi dan memberi semangat yang sangat membantu proses pengerjaan skripsi ini.
3. Ibu Passchedona Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi. dan Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku dosen penguji skripsi.
4. Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberi dukungan dan semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
(14)
5. Bapak Heri dan Ibu Dewa yang telah memberi masukan berkaitan dengan penghitungan statistik sehingga memperlancar pengerjaan skripsi ini.
6. Bapak Ibu dosen yang telah memberi ilmu kepadaku untuk masa depan dan hidup saya.
7. Bapak dan Ibu di SURGA yang selalu mendoakan dan memberkati. Terimakasih atas semua yang boleh saya terima.
8. Kakak-kakak saya: Mas Jefrey, Mbak Yuni, Mas Narto, Mbak Parti, Mbak Santi atas semua dukungan dan biaya kuliah selama ini.
9. Ponakan saya: Yani, Rudi dan Alfon.
10. Saudara angkat saya Bernand, yang membantu mencarikan buku referensi, meskipun gak dapat.
11. Mas Gandung dan Mbak Nanik yang telah membantu kelancaran administrasi akademik selama ini.
12. Pak Gi…yang ramah dan membantu sekali dalam perijinan penelitian.
13. Mas Muji yang sudah berbagi pengalaman menjadi asisten. Mas Doni yang telah meminjami buku-buku.
14. Pak Priyo yang telah menerima di P2TKP.
15. Br. Pius selaku Kepala Sekolah SMPK ST. Aloysius Turi, Para Kepala Sekolah: SMP Kanisius Pakem, SMPN II Turi, SMPN I Ngaglik, SMPK Aloysius Denggung, SMP Kanisius Sleman, SMPN III Turi, Bapak Siswanto selaku guru SMPN II Tempel dan Ibu Yani selaku guru SMPN 4 Sleman yang telah membantu dalam proses pengambilan data.
(15)
17. Irai, Andre, Ika, Desy, Tika, Lina, Tiara yang mau membantu mencari data. 18. Teman-teman P2TKP, tempat berbagi koreksian, pekerjaan dan bermain BI---:
Desta, AB, Otik, Gothe, Wiwid, Rondang, Badai, Fani, Tina, Vania, Atik, Weni, Lia, Mitha, Wulan, dan yang paling memotivasiku Betty.
19. Badai (pasti berlalu) teman seperjuangan bimbingan. 20. Rm. Yatno & Rm. Eltus atas beasiswanya.
21. Tiara yang sudah membantu menerjemahkan abstrak.
22. Adik-adik CAS CIS yang telah membantu dalam skoring kuesioner : Dik Theo, Natalia, Ningrum, Swilla dan lain-lain.
23. D’Berto, Fendi, Calvin, Oki, Peni, Adit, Satriya, Danur, Wulan, Ruri, Yaya, Jalung yang …….. membantu dengan doa.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi semua yang membaca dan bagi ilmu pengetahuan kita.
Penulis
(16)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II. LANDASAN TEORI ... 9
(17)
1. Pengertian Bullying ... 9
2. Kategori Perilaku Bullying ... 10
3. Aspek-Aspek Bullying ... 12
4. Kategori Perilaku Bullying ... 13
5. Pelaku Bullying ... 14
6. Dampak Perilaku Bullying ... 14
B. Urutan Kelahiran ... 15
1. Asumsi Urutan Kelahiran mempengaruhi Kepribadian... 15
2. Anak Sulung ... 17
3. Anak Tengah ... 19
4. Anak Bungsu ... 20
C. Remaja ... 23
D. Hubungan antara Bullying dengan Urutan Kelahiran pada Remaja ... 25
E. Hipotesis Penelitian ... 29
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 30
A. Jenis Penelitian ... 30
B. Subjek Penelitian ... 30
C. Identifikasi Variabel ... 30
D. Definisi Operasional ... 31
1. Urutan Kelahiran ... 31
2. Bullying ... 31
(18)
F. Alat Pengumpulan Data ... 34
G. Uji Validitas, Reliabilitas dan Seleksi Aitem ... 35
H. Teknik Analisis Data ... 36
BAB IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37
A. Persiapan Penelitian ... 37
1. Uji coba skala bullying ... 37
2. Hasil uji coba skala bullying ... 37
3. Uji reliabilitas ... 38
B. Pelaksanaan Penelitian ... 39
C. Hasil Penelitian ... 39
1. Deskripsi data penelitian ... 39
2. Uji asumsi ... 41
3. Uji hipotesis ... 42
D. Pembahasan ... 43
BAB V. PENUTUP ... 49
A. Kesimpulan ... 49
B. Saran ... 49
C. Keterbatasan Penelitian ... 51
DAFTAR PUSTAKA ... 52
(19)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Ciri Kepribadian Menurut Urutan Kelahiran 22
Tabel 2 : Spesifikasi Skala Kecenderungan Bullying Sebelum Ujicoba 34
Tabel 3 : Subjek Try Out 37
Tabel 4 : Spesifikasi Skala Bullying setelah uji coba 38 Tabel 5 : Spesifikasi Skala Bullying untuk penelitian 38
Tabel 6 : Subjek Penelitian 39 Tabel 7 : Hasil Penelitian 39
Tabel 8 : Kriteria Kategori Bullying 41
Tabel 9 : Hasil pengujian Uji Homogenitas 42
Tabel 10 : Hasil penghitungan one way anova 42
(20)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A : Skala Bullying
Lampiran B : Skor Penelitian Bullying Lampiran C : Reliabilitas Skala Bullying Lampiran D : Hasil analisis uji normalitas Hasil analisis uji homogenitas
(21)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan tempat bagi anak untuk mempelajari nilai-nilai moral sejak usia dini. Hubungan yang kurang dekat dengan orangtua membuat anak kurang mengalami proses belajar tentang perbedaan perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setelah anak menginjak usia remaja seringkali mereka tidak memiliki kontrol diri dan mengabaikan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Kartono, 1998), sehingga timbullah bentuk pelanggaran yang dilakukan remaja.
Selain keluarga, sekolah juga memiliki peranan yang penting dalam proses sosialisasi anak. Sekolah dituntut untuk menciptakan suasana yang nyaman untuk proses pembelajaran dan perkembangan anak. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa di sekolah pun juga terjadi masalah. Bullying adalah salah satu diantara masalah yang ada dan umumnya bersifat tersembunyi (Neser, Ovens, Merwe dan Morodi, 2002).
Remaja mulai melepaskan ketergantungan dengan orang tua dan mulai mengembangkan kemandirian. Di lain pihak, remaja juga mulai menjalin kedekatan dengan teman sebaya di luar lingkungan keluarga. Teman sebaya dijadikan pedoman dan tolak ukur dalam berperilaku (Diener dan Larson, dalam Hoffman, Paris dan Hall, 1994).
Dalam siklus hidup manusia setiap orang mengalami beberapa tahap perkembangan yaitu mulai dari bayi, anak-anak, remaja dan dewasa. Dari sekian tahap
(22)
tersebut, masa remaja merupakan masa yang penting karena banyak tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Remaja berusaha mencari identitas diri dan menemukan jati dirinya. Remaja mulai mencari otonomi diri, kebebasan dan mengurangi kelekatan dengan orangtua. Selain itu, masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Perkembangan emosi remaja menunjukkan sifat yang sensitif, reaktif dan temperamental.
Dalam pencarian identitas diri, remaja melakukan serangkaian upaya dan tindakan untuk menunjukkan jati dirinya. Dalam pencarian jati diri tidak sepenuhnya remaja melakukan dengan cara dan tujuan yang positif. Tidak sedikit remaja yang salah dan gagal dalam membentuk jati diri. Begitu pula ketika remaja harus bersosialisasi dengan orang lain, sering pula remaja mengambil tindakan yang salah dan tidak sesuai dengan aturan yang ada, salah satunya adalah dengan melakukan bullying.
Menurut Indarini (2007) bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sebuah kelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Peristiwa bullying sangat mungkin terjadi berulang. Bullying terbagi menjadi tiga. Pertama: fisik, seperti memukul, menampar, dan memalak atau meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya. Kedua: verbal, seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Ketiga: psikologis, seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasikan.
Di Indonesia, sejak lima tahun terakhir gejala bullying di sekolah mulai diperhatikan media massa walaupun dengan istilah yang beragam (Ratna, 2007).
(23)
Dalam bahasa pergaulan sering disebut dengan istilah “gencet-gencetan” atau juga senioritas. Selain itu ada bentuk bullying lainnya misalnya siswa yang dikucilkan, difitnah, dipalak dan lainnya.
Dalam sebuah penelitian disebutkan juga bahwa korban mempunyai persepsi jika pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena ia dulu diperlakukan sama, ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapat kekuasaan dan iri hati (Riauskina, Djuwita dan Soesetio, 2005). Menurut Purnama (2007) alasan yang paling utama adalah bahwa pelaku merasa puas apabila ia berkuasa di antara teman-temannya. Selain itu dengan melakukan bullying, ia akan dapat memperoleh sanjungan teman-temannya karena dianggap punya selera humor yang tinggi, keren, serta populer. Pelaku bullying kemungkinan sekedar mengulangi apa yang pernah dilihat atau dialaminya sendiri. Selain itu, juga kerena ia pernah ditindas oleh sesama siswa di masa lalunya.
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi (dalam Aulia, 2007) mengatakan selama Januari-April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak. Rinciannya adalah kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Umumnya dari sekian kasus tersebut 226 terjadi di sekolah.
Kasus bullying salah satunya menimpa Fifi yang duduk di kelas 2 SMP. Fifi rela mengakhiri hidupnya dengan melilitkan kabel televisi ke lehernya lalu menggantungkan diri karena teman-teman yang mengejeknya dengan sebutan anak tukang penjual bubur. Kekerasan yang dialami Fifi di sekolah ini bukanlah kekerasan
(24)
fisik melainkan kekerasan terhadap mental yang jarang disadari oleh banyak orang. Kasus serupa menimpa Hendra Saputra, seorang taruna Akademi Kepolisian Semarang. Dia harus kehilangan cita-citanya akibat kekerasan fisik yang dialaminya. Sejumlah senior di akademi itu melakukan kekerasan di luar batas kewajaran dan akhirnya membuat Hendra harus dirawat selama hampir empat bulan di rumah sakit (Samhadi, 2007). Muhamad Fadhil Harkaputra Sirath siswa SMU 34 yang masih duduk di kelas 1 mengalami penganiayaan oleh kakak kelasnya (Sujadi, 2007).
Dari ketiga kasus di atas, peneliti bermaksud mengemukakan bahwa kasus bullying terjadi di usia remaja, mulai dari usia remaja awal hingga remaja akhir. Hal ini seturut dengan pernyataan Milsom dan Gallo (2006) yang menyatakan bahwa perilaku bullying semakin memuncak ketika seseorang berada di akhir masa kanak-kanak atau di awal masa dewasa.
Menurut Haryana (2007), bullying yang ada di Indonesia dianggap wajar oleh sebagian orang. Sedikit sekali pihak yang menyadari dampak panjang yang ditimbulkan baik bagi para korban ataupun pelaku. Akibatnya bullying terus terjadi dan menimbulkan korban jiwa berkepanjangan.
Berdasarkan penelitian Nansel pada tahun 2001 (dalam Milsom dan Gallo, 2006) disebutkan bahwa laki-laki lebih sering menjadi pelaku ataupun korban bullying. Hal ini didukung oleh Seals dan Young pada tahun 2003 (dalam Milsom dan Gallo, 2006) dimana laki-laki secara signifikan lebih sering menjadi pelaku ataupun korban bullying.
(25)
Haryana (2007) menyebutkan bahwa bullying terjadi di kota ataupun di pedesaan dengan perbedaan geografis yang ada. Remaja dan anak-anak umumnya melakukan bullying dalam bentuk fisik, verbal ataupun dalam bentuk pemisahan sosial. Berdasarkan survey yang ada disebutkan jika bullying lebih sering terjadi di lingkungan sekolah.
Greene (2006) menyatakan bahwa bullying adalah salah satu bentuk agresi yang nyata di sekolah dan mendapatkan banyak perhatian di dunia internasional. Hal ini menjadikan kasus bullying di sekolah menarik dan perlu untuk diteliti lebih jauh lagi, terutama berkaitan dengan siapakah yang umumnya menjadi pelaku bullying. Pelaku bullying umumnya memiliki karakter seperti dominan, berkuasa, disegani oleh orang lain, berjiwa pemimpin (Yayasan Sejiwa, 2008). Karakter tersebut hampir serupa dengan karakter yang ada pada anak sulung jika dihubungkan dengan urutan kelahiran anak dalam keluarga. Selain anak sulung, terdapat juga urutan kelahiran lain yaitu anak tengah dan anak bungsu yang juga memiliki karakter berlainan satu sama lain.
Noviasari (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan antara anak sulung, tengah dan anak bungsu dilihat dari kematangan emosionalnya. Hal ini didukung oleh Maslichah (2002) yang dalam penelitiannya berpendapat bahwa perlakuan orangtua yang berbeda terhadap anak akan berakibat panjang terhadap perkembangan kepribadian dan perkembangan kreativitasnya, sehingga terdapat perbedaan yang sangat signifikan jika ditinjau dari urutan kelahiran anak dalam suatu keluarga. Hal tersebut semakin memperjelas bahwa urutan kelahiran membawa dampak adanya perbedaan karakter di setiap posisi urutan kelahiran pada
(26)
remaja. Dalam bersosialisasi dengan teman sebayanya, mungkin sekali remaja melakukan bullying.
Eckstein pada tahun 2000 (dalam Schiller, 2007) melakukan survey terhadap 151 penelitian, dimana hasilnya ditemukan secara statistik bahwa ada hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran dan kepribadian. Hal ini semakin memperkuat bahwa kepribadian seseorang terkait dengan urutan kelahirannya.
Perlakuan dan pengasuhan dari orangtua menjadikan masing-masing posisi anak memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Anak sulung adalah anak yang diharapkan dan diberi limpahan kasih sayang. Biasanya kerap terbebani dengan keinginan orangtua, sehingga akan memunculkan karakter sebagai anak yang percaya diri, bertanggungjawab, suka menjadi pusat perhatian, kompetitif, otoriter, egois, emosional, perfeksionis, berjiwa pemimpin dan superior (Sulloway, 2007).
Anak tengah adalah anak yang lahir ketika orangtuanya telah siap menjadi orangtua. Orang tua sudah tidak sekhawatir ketika melahirkan anak sulung. Ketika anak bungsu lahir, anak tengah harus melepaskan sebagian perhatian orangtuanya. Karakter dari anak tengah umumnya lebih sering menjaga kedamaian dalam keluarga, mandiri, mediator penghubung dalam keluarga, berjiwa seni, tidak rapi, kurang tegas, kurang terbuka karena tidak memiliki kelekatan seperti anak sulung ataupun anak bungsu.
Anak bungsu seringkali lahir di luar perencanaan. Anak bungsu seringkali diperlakukan dengan manja oleh orangtuanya karena merupakan anak terkecil. Gunarsa (2000) menyebutkan bahwa anak bungsu menjadi pusat perhatian dari kakak-kakaknya dan orangtua sehingga menjadi kekanak-kanakan, cepat putus asa, inferior.
(27)
Herera dan Zonjanc (dalam Schiller, 2007) mengungkapkan bahwa anak bungsu adalah anak yang kreatif, emosional dan terbuka. Akan tetapi di sisi lain anak bungsu kurang patuh dan tidak bertanggungjawab.
Bertolak dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian guna membuktikan apakah perlakuan dan kebiasaan-kebiasaan yang diterima oleh anak sulung, tengah dan bungsu dari orangtua dan lingkungannya sejak masa kanak-kanak akan mempengaruhi kecenderungan remaja dalam melakukan bullying. Apakah urutan kelahiran tertentu akan menunjukkan kecenderungan bullying yang lebih tinggi atau lebih rendah.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan kecenderungan melakukan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahirannya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji perbedaan kecenderungan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahiran.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai perilaku bullying yang masih dianggap biasa oleh sebagian orang di Indonesia dan bagi berkembangnya Ilmu Pengetahuan di bidang Psikologi pada umumnya.
(28)
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini dapat mengetahui perbedaan kecenderungan bullying pada remaja putra dilihat dari urutan kelahirannya.
b. Dengan penelitian ini para pendidik atau guru dapat memantau peserta didiknya apakah melakukan bullying.
(29)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Bullying
1. Pengertian Bullying
Menurut Indarini (2007) bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Peristiwanya sangat mungkin terjadi berulang.
Pengertian bullying lainnya yang sedikit berbeda dengan pendapat di atas adalah penyerangan dengan sengaja yang tujuannya melukai korban secara fisik atau psikologis, atau keduanya. Para pelaku umumnya bertindak sendirian atau dalam kelompok kecil (Lipkins, 2008).
Pengertian di atas didukung oleh Papalia et al. (2004) yang menyatakan bahwa bullying adalah perilaku agresif yang disengaja dan berulang untuk menyerang target atau korban, yang secara khusus adalah seseorang yang lemah, mudah diejek dan tidak bisa membela diri.
Neser et al. (2002) memberikan definisi yang hampir sama dimana bullying adalah perilaku yang disengaja, perilaku menyakiti yang berulang, berupa kata-kata atau perilaku lainnya, seperti mengejek memberi julukan mengancam dan lainnya.
Olweus et al. (dalam Greene, 2006) menyebutkan definisi yang lebih lengkap tentang bullying. Bullying adalah salah satu bentuk agresi yang ditujukan untuk menyakiti atau menyebabkan gangguan pada korban. Hal ini terjadi akibat
(30)
adanya perbedaan kekuasaan antara pelaku dengan korban. Perilaku bisa dikatakan bullying bila hal itu terjadi secara berulang. Perilaku bullying muncul bukanlah karena hasil provokasi melainkan muncul dari keinginan pelakunya.
Riauskina et al. (2005) memberikan pengertian yang lebih spesifik mengenai bullying di sekolah dimana mereka menyebutkan bahwa school bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa atau siswi lain yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Definisi bullying menurut peneliti sendiri adalah penggunaan kekuasaan, kekuatan dengan sengaja secara berulang untuk menyakiti, menyerang seseorang atau sekelompok orang yang lemah dan tidak dapat membela diri, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya.
2. Kategori Perilaku Bullying
Bullying terbagi menjadi tiga bagian, pertama: fisik, seperti memukul, menampar, dan memalak atau meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya. Kedua: verbal, seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Ketiga: psikologis, seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasikan (Indarini, 2007).
Riauskina et al. (2005) mengatakan bahwa perilaku bullying terdiri dari lima kategori, yaitu:
(31)
a. Kontak fisik langsung meliputi: memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain.
b. Kontak verbal langsung meliputi: mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama, sarkasme, mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.
c. Perilaku non-verbal langsung meliputi: melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam, biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal.
d. Perilaku non-verbal tidak langsung meliputi: mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
e. Pelecehan seksual meliputi: kadang dikategorikan perilaku agresif fisik atau verbal.
Yayasan Sejiwa (2008) menyebutkan bahwa praktik bullying dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:
a. Bullying fisik: ini adalah jenis bullying yang kasat mata dan dapat dilihat oleh siapa pun karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dengan korbannya. Contoh bullying fisik antara lain: menampar, menimpuk, menginjak kaki dan lain-lain.
b. Bullying verbal: jenis bullying ini bisa terdeteksi karena bisa tertangkap oleh indra pendengaran kita. Contohnya: memaki, menghina, menebar gosip dan lain-lain.
(32)
c. Bullying mental/ psikologis: ini adalah jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap mata atau telinga jika tidak dideteksi secara cermat. Contohnya: memandang sinis, mendiamkan, mengucilkan, memelototi dan lain-lain.
3. Aspek-Aspek Bullying
Bullying memiliki tiga aspek yang terkait satu sama lain (Sulhin, 2008 & Aulia, 2008) yaitu:
a. Perbedaan kekuasaan
Pelaku bullying memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan korban bullying. Perbedaan kekuasaan ini dikarenakan oleh pelaku yang dominan dan umumnya mengajak temannya untuk melakukan bullying. Sedangkan di pihak korban, dia tidak memiliki teman sehigga timbulah tindakan pengeroyokan.
b. Perilaku menyakiti yang dilakukan berulang-ulang.
Bullying dilakukan dengan dalih humor. Pelaku sering tidak menyadari bahwa humor yang dilontarkan atau perilakunya merupakan hal yang tidak disukai oleh korbannya bahkan menyakitkan. Karena ketidaksadaran ini menjadikan perilaku tersebut diulang-ulang.
c. Dilakukan dengan sengaja
Pelaku dengan sengaja menyakiti orang lain karena mereka pernah mengalami hal yang sama dan ingin menunjukkan kekuasaan mereka. Selain itu
(33)
juga karena pelaku merasa marah sebab korban berperilaku tidak sesuai dengan yang diharapkan
4. Faktor Penyebab Bullying
Pelaku bullying (Purnama, 2007) kemungkinan sekedar mengulangi apa yang pernah dilihat atau dialaminya sendiri. Ia menganiaya orang lain karena mungkin ia sendiri dianiaya oleh orang tuanya di rumah. Selain itu dapat juga karena ia pernah ditindas oleh sesama siswa di masa lalunya. Dari sinilah siklus kekerasan akan terus berlanjut, turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Pelaku bullying tidak menyadari bahwa ia telah menjadi seorang pelaku serta tidak mengetahui dampak-dampak buruk yang bisa disebabkan oleh perilaku tersebut.
Riauskina (2005) dan Yayasan Sejiwa (2008) menjelaskan bahwa korban memiliki persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena:
a. Diawali dengan adanya tradisi inisiasi (hazing) yang akhirnya menurun dari generasi ke generasi selanjutnya
b. Balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki) c. Ingin menunjukkan kekuasaan
d. Ingin diakui
e. Ingin menunjukkan eksistensi f. Senioritas
g. Marah karena korban tidak berlaku sesuai dengan yang diharapkan h. Menutupi kekurangan diri
(34)
j. Ikut-ikutan
k. Mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan). l. Iri hati ( menurut korban perempuan)
5. Pelaku Bullying
Menurut Milsom dan Gallo (2006) perilaku bullying semakin memuncak ketika seseorang berada di akhir masa kanak-kanak atau di awal masa dewasa. Sesuai dengan pendapat Olweus (dalam Banks, 1997) bahwa perilaku bullying paling banyak terjadi di usia remaja.
Berdasarkan penelitian Nansel pada tahun 2001 (dalam Milsom dan Gallo, 2006) disebutkan bahwa laki-laki lebih sering menjadi pelaku ataupun korban bullying. Hal ini didukung oleh Seals dan Young pada tahun 2003 (dalam Milsom dan Gallo, 2006) dimana laki-laki secara signifikan lebih sering menjadi pelaku ataupun korban bullying. Selain itu, remaja putra umumnya melakukan bullying yang secara langsung atau kelihatan sehingga lebih mudah untuk diteliti (Batsche & Knoff, 1994; Nolin & Davies, 1995 dalam Banks, 1997).
6. Dampak Perilaku Bullying
Seorang yang menjadi korban bullying akan menjadi anak yang gelisah, kurang popular serta kurang aman dan nyaman. Korban merasakan banyak emosi negatif seperti marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, terancam, namun tidak berdaya menghadapi. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini memicu pada munculnya perasaan rendah diri. Dampak yang lebih ekstrim lagi, korban akan
(35)
putus asa dan lebih banyak mengurung diri. Dampak lain yang kurang terlihat namun berefek jangka panjang adalah menurunnya kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan penyesuaian sosial yang buruk. Sedangkan dampak psikologis yang paling ekstrim adalah kemungkinan gangguan psikologis seperti depresi, ingin bunuh iri, dan gejala stres (Riauskina, 2005 & Hafidzi, 2008).
Menurut Riauskina (2005), dampak dari perilaku bullying yang jelas terlihat adalah kesehatan fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. Bahkan dalam kasus ekstrim dampak fisik bisa mengakibatkan kematian.
Para korban juga memiliki kelemahan dalam pergaulan, tidak mendapatkan dukungan dari guru ataupun teman sebayanya. Mereka ingin pindah sekolah atau keluar dari sekolahnya. Sekalipun mereka masih berada di sekolah itu, prestasi akademik mereka akan terganggu atau menjadi sengaja sering tidak masuk sekolah (Riauskina , 2005 & Hafidzi, 2008).
B. Urutan Kelahiran
1. Asumsi bahwa Urutan Kelahiran mempengaruhi Kepribadian
Menurut Hadibroto dkk. (2002), konsep urutan kelahiran atau birth order bukan didasarkan semata-mata oleh nomer urutan kelahiran menurut diagram keluarga, melainkan yang lebih tepat adalah berdasarkan persepsi psikologis yang terbentuk dari pengalaman seseorang di masa kecilnya, terutama sejak ia berusia dua sampai lima tahun.
(36)
Adkins (2003) memberikan definisi lain mengenai urutan kelahiran. Dia berpendapat bahwa urutan kelahiran didefinisikan sebagai urutan posisi seseorang dari beberapa saudara mereka dalam hal rangkaian kelahiran.
Allport (dalam Syed, 2004) menyebutkan bahwa apa yang individu pelajari tentang diri mereka dalam keluarga mencerminkan bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri dalam lingkungan. Cara individu berinteraksi dengan lingkungan mencerminkan keunikan pribadi mereka, yang juga disebut sebagai kepribadian mereka. Syed (2004) juga menyatakan bahwa pengalaman pertama dalam keluarga memainkan peran yang penting dalam perkembangan kepribadian. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Frank (1996) yang berpendapat bahwa urutan kelahiran anak dalam sebuah keluarga akan mempengaruhi bagaimana orang tua merawat dan mengasuh mereka. Pengasuhan dan perawatan ini nantinya akan menimbulkan perbedaan kepribadian.
Eckstein (2000) juga mendukung bahwa urutan kelahiran mempengaruhi kepribadian individu, dimana ada 151 penelitian yang secara statistik menyatakan ada hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran dan kepribadian. Penelitian ini semakin memperkuat bahwa urutan kelahiran berpengaruh terhadap kepribadian seseorang.
Santrock (1995) menyatakan bahwa perbedaan dalam urutan kelahiran disebabkan oleh adanya variasi dalam interaksi dengan orangtua dan saudara kandung. Hal ini diasosiasikan dengan pengalaman unik pada suatu posisi tertentu dalam keluarga.
(37)
Sulloway (dalam Angela Haris, 2007) meyakini bahwa urutan kelahiran memainkan peranan penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, dimana urutan kelahiran mempengaruhi lima sifat kepribadian yang utama yaitu kecemasan, keterbukaan, sikap berterus terang, keramah-tamahan dan sikap berhati-hati.
Pada relasi saudara kandung juga ditemui sesuatu yang unik. Agresi dan dominansi terjadi lebih besar dalam relasi-relasi saudara kandung yang jenis kelaminnya sama dibandingkan dengan relasi saudara kandung yang jenis kelaminnya berbeda (Santrock, 1995). Selain itu Santrock (1995) juga menyatakan bahwa perlakuan yang berbeda oleh orangtua kepada anak-anak, berpengaruh terhadap bagaimana saudara kandung tersebut cocok satu sama lain. Anak-anak yang diperlakukan relatif sama oleh orang tua cenderung cocok satu sama lain begitu pula sebaliknya.
Menurut Saroglou dan Fiasse (2003), umumnya penelitian mengenai urutan kelahiran hanya membandingkan antara anak sulung dengan anak bungsu, sedangkan anak tengah jarang diikutkan dalam penelitian. Selain itu, disebutkan bahwa jumlah saudara memang perlu dikontrol dalam penelitian mengenai urutan kelahiran.
2. Anak Sulung
Anak sulung (Hadibroto, 2002) adalah anak tunggal hingga tiba saat adiknya hadir dalam keluarga. Perhatian dari orang tua cenderung membuat anak
(38)
sulung memiliki perasaan mendalam untuk menjadi superior atau kuat, kecemasan tinggi dan terlalu dilindungi.
Anak sulung mulai menyadari bahwa ia tidak disayangi lagi semenjak memiliki adik. Ia mencoba mengkompensasikan kehilangan tersebut dengan mencari kasih sayang pengganti dalam bentuk-bentuk lain, misalnya perasaan dihormati, dikagumi dan disetujui. Ia bertindak hati-hati untuk tidak menyinggung perasaan orang di sekelilingnya agar tidak sampai kehilangan lagi kasih sayang orangtuanya.
Orangtua memberi tanggungjawab kepada anak sulung untuk menjaga adiknya. Anak sulung belajar bertanggung jawab dan mandiri melalui kegiatan sehari-hari. Mereka memiliki karakter kerap terbebani dengan harapan atau keinginan orangtua dan didorong untuk mencapai standar pendidikan ataupun pekerjaan yang tinggi sebagai representasi orangtua. Salah satunya dengan perlakuan orangtua yang cenderung lebih memperhatikan pendidikan anak sulung, dimana biasanya mereka adalah seorang high achiever. Hal ini menjadikan anak sulung cenderung tertekan.
Di lain sisi anak sulung senang menjadi pusat perhatian, dan dengan perhatian tersebut perkembangan kepribadiannya menjadi lebih baik. Anak sulung secara umum dapat diandalkan, cenderung terikat pada aturan-aturan, dominan, kompeten, konservatif, otoriter, mempunyai pemikiran yang tajam dan lebih sensitif (Alwisol, 2004 & Roslina, 2006). Selain itu Santrock (1995) menambahkan bahwa anak yang lahir duluan lebih berorientasi dewasa, suka menolong, dapat menyesuaikan diri, cemas dan dapat mengendalikan diri.
(39)
3. Anak Tengah
Anak tengah yaitu anak kedua, anak ketiga dan seterusnya yang masih mempunyai adik. Anak tengah merasa dirinya serba kekurangan dalam segi kemampuan mengerjakan sesuatu dibandingkan kakaknya. Untuk itu dia berusaha menunjukkan prestasi yang lebih baik untuk menarik perhatian orangtuanya. Situasi yang terabaikan menjadikan anak tengah cenderung mempunyai motivasi tinggi, bisa dalam hal prestasi maupun sosialisasi.
Anak tengah cenderung lebih mandiri dan lebih bebas dari harapan orangtua sehingga dapat membentuk karakternya sendiri. Ia lebih pandai melihat situasi dan aturan yang diterapkan kepadanya lebih longgar sehingga diperbolehkan melakukan hal-hal tertentu dengan sedikit batasan. Anak tengah suka berteman dan hidup berkelompok sehingga lebih bebas mengekspresikan kepribadiannya yang unik dan menjadi lebih ekspresif. Dia memiliki bakat seni sehingga dalam berpakaian kadang tidak rapi.
Pada tahap tertentu, kepribadian anak tengah dibentuk melalui pengamatannya terhadap sikap kakaknya. Jika sikap kakaknya penuh kemarahan dan kebencian, anak tengah mungkin menjadi sangat kompetitif, atau menjadi penakut dan sangat kecil hati. (Hadibroto dkk., 2002; Alwisol, 2004 & Roslina 2006).
(40)
4. Anak Bungsu
Anak bungsu yaitu anak kedua, anak ketiga dan seterusnya yang tidak punya adik lagi (Alam, 2002). Anak bungsu tumbuh menjadi sosok yang merasa serba tidak mampu dalam mengerjakan sesuatu dengan baik. Mereka tergolong anak yang sulit karena mempunyai kakak yang dijadikan model sehingga kerap merasa inferior (rendah diri) dan merasa tidak sehebat kakak-kakaknya. Dengan demikian, anak bungsu berupaya membentengi dirinya dengan mengabaikan sikap kakaknya.
Dalam pengasuhan anak bungsu kerap dibantu orang sekitar, sehingga tidak terlalu sadar dengan potensi dirinya. Anak bungsu cenderung dimanjakan dan mendapat kasih sayang banyak sehingga cenderung tidak dewasa. Mereka hanya diberi sedikit tanggung jawab dan tugas dalam keluarga. Anak bungsu umumnya lebih spontan dan mempunyai jiwa yang lebih bebas dan empatik (Alwisol, 2004 ; Roslina, 2006 & Eckstein 2000).
Alfred Adler dalam penelitiannya pada tahun 1920 (dalam Sulloway, 2008) mendalilkan pengaruh urutan anak terhadap kepribadiannya. Ia mengamati, anak-anak sesuai urutan kelahirannya dalam keluarga memegang posisi kekuasaan yang berbeda. Pencarian identitas dan perhatian dipengaruhi oleh posisi urutannya. Perbedaan lingkungan yang hadir pada anak pertama, tengah, dan bungsu juga bisa membawa mereka pada kepribadian yang berbeda. Dalam dalilnya disebutkan bahwa dalam pandangan Adler semua anak berusaha menjadi superior dan berjuang demi mendapat perhatian, serta kasih sayang orangtuanya. Mereka umumnya berkompetisi untuk
(41)
menarik perhatian. Kondisi ini membentuk kepribadian mereka berbeda dan mencerminkan usaha mencari perhatian.
Menurut peneliti, anak sulung adalah anak yang superior dan dominan dalam keluarga. Anak sulung ingin menjadi pemimpin bagi adik-adiknya dan menjadi panutan. Kecenderungan ini terkait dengan karakternya yang otoriter. Anak tengah adalah anak yang kurang mendapat kasih sayang seperti anak sulung ataupun anak bungsu. Situasi ini menjadikannya lebih mandiri, lebih bebas dan kreatif. Sebagai kompensasinya anak tengah menjadi lebih suka bergaul dengan teman seusianya. Anak bungsu adalah anak yang mendapat kasih sayang dari berbagai pihak. Kadangkala menjadikan anak bungsu terlihat manja. Hal ini menjadikan anak bungsu kurang mandiri, kurang dewasa dan sedikit mendapat tanggungjawab dari orang yang lebih tua.
Untuk memperjelas pemahaman mengenai karakteristik anak sulung, anak tengah dan anak bungsu kita dapat menyimak pada tabel ciri kepribadian berdasarkan urutan kelahiran (Alwisol, 2004) di bawah ini:
(42)
Tabel 1. Ciri Kepribadian Menurut Urutan Kelahiran
Anak Sulung Anak Tengah Anak Bungsu Situasi Dasar
Menerima perhatian tidak terpecah dari orang tua
Turun tahta akibat kelahiran adik dan harus berbagi perhatian
Memiliki model atau
perintis, yakni kakaknya
Harus berbagi perhatian sejak awal
Memiliki banyak model perhatian, walaupun berbagi, tidak berubah sejak awal Sering dimanja Dampak Positif Bertanggungjawab, melindungi dan memperhatikan orang lain
Organisator yang baik
Motivasinya tinggi Memiliki interes sosial
Lebih mudah menyesuaikan diri dibandingkan
kakaknya.
Kompetisi yang sehat
Sering mengungguli semua saudaranya. Ambisius yang realistik Dampak Negatif
Merasa tidak aman,
takut tiba-tiba kehilangan nasib baiknya.
Pemarah, pesimistik konservatif, perhatian pada aturan dan hukum Berjuang untuk diterima Tidak kooperatif, sering mengkritik orang lain
Pemberontak dan pengiri permanen, cenderung berusaha untuk mengalahkan orang lain kompetitif berlebihan Mudah kecil hati
Sukar berperan sebagai pengikut
Merasa inferior dengan siapa saja
Tergantung pada orang lain
Ambisi yang tidak realistik
(43)
C. Remaja
Utamadi (2007) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa "belajar" untuk tumbuh dan berkembang dari anak menjadi dewasa. Masa belajar ini disertai dengan tugas perkembangan. Istilah tugas perkembangan digunakan untuk menggambarkan harapan masyarakat terhadap suatu individu untuk melaksanakan tugas tertentu pada masa usia tertentu sehingga individu itu dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur dua belas sampai dua puluh satu tahun (Lumansupra, 2008). Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan fisik yang begitu pesat. Remaja mengalami pubertas yang berarti suatu periode di mana kematangan, kerangka dan seksual terjadi secara pesat (Santrock, 1995).
Secara kognitif, remaja mulai mengembangkan pemikiran operasional formal, dimana pemikiran mereka menjadi lebih abstrak atau tidak terbatas pada pengalaman konkret aktual sebagai dasar pemikirannya. Remaja sering berpikir tentang ciri-ciri ideal diri mereka sendiri, orang lain dan dunia (Santrock, 1995). Hal ini didukung oleh pendapat Yudhi (2008) yang menyebutkan bahwa remaja dengan citra dirinya mulai menilai diri sendiri dan menilai lingkungannya terutama lingkungan sosial mereka. Remaja menyadari adanya sifat-sifat sikap sendiri yang baik dan yang buruk. Mereka belajar perilaku manakah yang sesuai dengan standar agama dan lingkungan sosial. Hal ini juga didukung oleh Dariyo (2004) yang mengatakan bahwa remaja mulai memperhatikan sifat baik yang disenangi dan diharapkan orang lain. Mereka ingin menjadi goodboy/ goodgirl. Agar dikatakan sebagai anak yang baik, maka individu
(44)
akan melakukan tindakan-tindakan yang menyenangkan orang lain. Tujuannya agar dirinya mudah diterima dalam lingkungan sosialnya. Remaja harus patuh terhadap aturan yang berlaku di masyarakat dan mulai memegang prinsip-prinsip kebenaran.
Remaja juga mengalami perubahan berkaitan dengan kognisi sosial mereka. David Elkind (dalam Santrock, 1995) yakin bahwa egosentrisme remaja memiliki dua bagian: penonton khayalan dan dongeng pribadi. Penonton khayalan ialah keyakinan remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya sendiri. Perilaku ini misalnya akan mengundang perhatian yang umum terjadi pada remaja. Selain itu ada juga keinginan untuk tampil di depan umum, diperhatikan dan dilihat.
Dari segi sosio emosional, menurut Havighurst (dalam Dariyo, 2004) remaja mulai menuntut akan otonomi, tanggungjawab dan kebebasan emosional yang semakin besar dari orangtua mereka. Remaja lebih suka menghabiskan waktu untuk bergaul bersama dengan teman sebaya. Hal ini kadang diikuti dengan perilaku melawan keinginan orangtua. Selain itu masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atas situasi sosial, emosinya negatif dan temperamental. Dalam menghadapi ketidaknyamanan emosional remaja awal akan bereaksi secara defensif dan berusaha melindungi kelemahan. Akhirnya sikap agresiflah yang muncul. Sedangkan di pihak orangtua, mereka juga melakukan pengendalian yang semakin erat. Kedua hal tersebut dapat memicu timbulnya konflik diantara kedua belah pihak dan akhirnya menjadikan remaja
(45)
menjadi lebih percaya pada teman-teman yang senasib dengannya (Lumansupra, 2008 & Santrock, 1995).
Menurut Erikson (dalam Rice, 1996), salah satu tugas perkembangan yang utama pada masa remaja adalah pembentukan identitas diri yang koheren. Tugas pembentukan identitas digambarkan Erikson sebagai kemampuan pembuatan keputusan dengan mengeksplorasi alternatif dan komitmen berdasarkan peran tertentu. Remaja tertarik untuk mengetahui siapa dirinya, bagaimana dirinya dan kemana mereka akan menuju ke masa depannya. Remaja yang berhasil mengatasi identitas yang saling bertentangan pada masa ini akan memunculkan suatu kepribadian yang menarik dan dapat diterima. Sedangkan remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas, menjadi bingung dan menderita, sehingga perilaku mereka akan cenderung menarik diri atau kehilangan identitas mereka dalam kelompok (Santrock, 1995).
Menurut Erikson (Santrock, 1995) kenakalan remaja terjadi karena anak remaja gagal mengalami identitas diri. Tidak jarang pula mereka berperilaku menyimpang seperti membolos, melalaikan tugas dan mogok belajar. Selain itu, juga mengalami hambatan dalam proses sosialisasi di sekolah, bahkan tindakan agresif terkadang muncul dalam pergaulan.
D. Hubungan antara Bullying dengan Urutan Kelahiran pada Remaja
Remaja adalah sebuah tahap perkembangan dengan berbagai tugas yang menyertainya. Dari segi sosio emosional kondisi emosi anak remaja menuntut otonomi, tanggungjawab dan kebebasan emosional yang lebih besar. Selain itu masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi.
(46)
Perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atas situasi sosial, emosinya negatif dan temperamental. Dalam menghadapi ketidaknyamanan emosional, remaja awal akan bereaksi secara defensif dan berusaha melindungi kelemahan. Akhirnya sikap agresiflah yang sering muncul. Sedangkan di pihak orangtua, pengontrolan terhadap remaja menjadi semakin ketat. Kedua hal yang bertolak belakang ini akhirnya menimbulkan konflik dan remaja memutuskan untuk bergabung dengan teman-teman sebayanya.
Dilihat dari segi kognitifnya anak remaja mulai berpikir operasional formal dan sudah bisa berpikir abstrak. Pemikiran mereka idealis dan menerapkan standar-standar kehidupan yang tinggi. Hal ini bisa memicu adanya ketidakpuasan apabila realita yang mereka jumpai tidak seperti yang ada dengan pemikiran mereka yang idealistis. Remaja juga harus menyelesaikan tugas perkembangannya mencari identitas diri. Dalam tugas ini, remaja mencari kemampuannya dan kekurangannya. Mereka mengeksplorasi diri, mencari tahu siapa dan bagaimana dirinya. Selain itu, remaja merasa ingin diperhatikan dan tampil di depan umum. Mereka merasa diperhatikan oleh orang lain.
Di lain sisi setiap remaja dengan keluarga yang berbeda dan pengasuhan yang berbeda membawa mereka kepada perbedaan karakter. Hal ini terkait dengan posisi urutan kelahiran dimana orang tua memberi perlakuan yang berbeda kepada setiap posisi sehingga karakter yang dihasilkan pun berbeda. Anak sulung memiliki karakter yang superior dan dominan dalam keluarga. Mereka ingin menjadi pemimpin bagi adik-adiknya dan menjadi panutan. Kecenderungan ini terkait dengan karakternya yang otoriter. Anak tengah berkarakter lebih mandiri, lebih bebas dan kreatif. Mereka
(47)
lebih suka bergaul dengan teman seusianya. Anak bungsu memiliki karakter sebagai anak yang manja. Hal ini menjadikan anak bungsu kurang mandiri, kurang dewasa dan sedikit mendapat tanggungjawab dari orang yang lebih tua.
Remaja akhirnya memiliki karakter yang berlainan sebagai hasil dari penyelesaian tugas perkembangan yang ada. Di lain sisi, remaja yang memiliki posisi urutan kelahiran yang juga berbeda-beda baik sebagai anak sulung, tengah ataupun bungsu memiliki karakter yang berlainan. Dengan karakter-karakter yang berlainan itu tentunya akan membawa ke sebuah kecenderungan perilaku salah satunya kecenderungan bullying. Bullying adalah perilaku menyakiti yang dilakukan dengan sengaja dan berulang. Perilaku ini muncul karena ada perbedaan kekuasaan antara pelaku dengan korbannya. Pelaku bullying secara umum memiliki karakter seperti otoriter, suka memerintah, dominan, menjadi penentu keputusan dan memiliki kekuasaan. Karakter ini hampir serupa dengan karakter yang ada pada anak sulung. Anak bungsu karakternya berlaianan dengan karakter pelaku bullying. Anak bungsu dikenal dengan karakter yang bebas, manja, inferior dan mandiri. Sedangkan anak tengah juga memiliki karakter yang berlainan dengan karakter pelaku bullying, dimana anak tengah suka bersosialisasi, dan menjadi mediator dalam pergaulan.
(48)
(49)
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kecenderungan bullying berdasarkan urutan kelahiran/ birth order pada remaja putra.
(50)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat perbedaan dengan cara membandingkan kecenderungan bullying (Variabel Tergantung) ditinjau dari urutan kelahiran yang meliputi anak sulung, anak tengah dan anak bungsu (Variabel Bebas) (Purwanto, 2008).
B. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah anak remaja yang dibatasi pada remaja awal yaitu mulai dari usia 13 sampai 16 tahun (Santrock, 1995). Subjek secara umum memiliki kriteria:
1. Berada dalam batas usia 13-16 tahun. 2. Berpendidikan SLTP.
3. Jenis kelamin laki-laki.
4. Mempunyai 2 saudara kandung yang masih hidup, sehingga dalam keluarga subjek masih ada pengasuhan terhadap anak sulung, tengah dan bungsu.
C. Identifikasi Variabel
Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu yang pertama disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas merupakan sebuah aspek dari lingkungan yang diteliti secara empiris dengan tujuan untuk menentukan apakah ini akan mempengaruhi suatu
(51)
perilaku (Purwanto, 2008). Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah urutan kelahiran (birth order).
Jenis variabel yang kedua adalah variabel tergantung. Variabel tergantung merupakan respon yang diteliti atau diukur dalam penelitian yang dilakukan (Purwanto, 2008). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah bullying
D. Definisi Operasional
1. Birth order/ Urutan kelahiran
Anak sulung adalah anak tunggal hingga tiba saat adiknya lahir. Anak tengah yaitu anak kedua dan seterusnya yang masih mempunyai adik. Anak bungsu yaitu anak kedua, anak ketiga dan seterusnya yang tidak punya adik lagi.
Urutan kelahiran subjek penelitian diperoleh dengan cara: ketika proses pengisian kuesioner penelitian, subjek diminta untuk mengisikan urutan kelahiran mereka dengan menggaris bawahi ketiga pilihan urutan kelahiran yang terdiri dari anak sulung, tengah dan bungsu. Dengan pengisian tersebut peneliti akan memperoleh subjek penelitian yang termasuk dalam kategori anak sulung, anak tengah dan anak bungsu.
2. Bullying
Definisi bullying menurut peneliti sendiri adalah penggunaan kekuasaan, kekuatan dengan sengaja secara berulang untuk menyakiti, menyerang seseorang atau sekelompok orang yang lemah dan tidak dapat membela diri, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya.
(52)
Bullying memiliki tiga aspek yang terkait satu sama lain yaitu: a. Perbedaan kekuasaan
Pelaku bullying memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan korban bullying. Perbedaan kekuasaan ini dikarenakan oleh pelaku yang agresif dan dominan. Umumnya pelaku mencari dan mengajak temannya untuk membentuk kelompok dan kemudian melakukan bullying.
b. Perilaku menyakiti yang dilakukan berulang-ulang.
Bullying dilakukan dengan dalih humor. Pelaku sering tidak menyadari bahwa humor yang dilontarkan atau perilakunya merupakan hal yang tidak disukai oleh korbannya bahkan menyakitkan. Karena ketidaksadaran ini menjadikan perilaku tersebut diulang-ulang. Perilaku tersebut terdiri dari lima kategori yaitu sebagai berikut:
i. Kontak fisik langsung ii. Kontak verbal langsung iii. Perilaku non-verbal langsung iv. Perilaku non-verbal tidak langsung v. Pelecehan seksual
c. Dilakukan dengan sengaja
Pelaku dengan sengaja menyakiti orang lain karena mereka ingin menunjukkan kekuasaan mereka. Selain itu juga karena pelaku merasa marah sebab korban berperilaku tidak sesuai dengan yang diharapkan.
(53)
Masing-masing subjek akan mendapat skor pada tiap aitem yang mereka isi. Skor pada tiap-tiap aitem kemudian dijumlahkan sehingga akan diketahui skor total subjek. Kecenderungan bullying diketahui dengan melihat skor total subjek tersebut. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek menunjukkan bahwa kecenderungan bullyingnya tinggi. Begitu pula sebaliknya semakin rendah skor total yang diperoleh subjek, semakin rendah pula kecenderungan bullyingnya.
E. Prosedur Penelitian
1. Peneliti membuat skala pengukuran kecenderungan bullying dengan metode rating yang dijumlahkan (summated rating).
2. Melakukan ujicoba skala pada kelompok subjek yang memiliki kriteria yang sama dengan subjek penelitian sesungguhnya.
3. Peneliti melakukan uji kesahihan aitem dan reliabilitas skala untuk mendapat aitem yang sahih dan data yang reliabel.
4. Menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria dan kemudian meminta subjek untuk mengisi skala kecenderungan bullying yang telah diuji kesahihannya dan kereliabelnya.
5. Menganalisa data yang masuk dengan uji statistik dengan analisis varian satu jalur untuk melihat ada tidaknya perbedaan kecenderungan bullying dari ketiga kelompok urutan kelahiran.
(54)
F. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala kecendrungan bullying yang dibuat berdasarkan metode penskalaan Likert (Azwar, 2005). Skala ini dibuat berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sulhin (2008) dan Aulia (2008) bahwa kecenderungan bullying terdiri dari tiga aspek yaitu adanya perbedaan kekuasaan, perilaku menyakiti yang berulang, dan perilaku yang disengaja.
Adapun skala kecenderungan bullying ini berisi pernyataan yang favorable dan unfavorable. Terdapat empat alternatif pilihan jawaban yaitu: Sangat Tidak Sesuai (STS), Tidak Sesuai (TS), Sesuai (S), dan Sangat Sesuai (SS). Pemberian skor dibedakan berdasarkan pada derajat favorable atau unfavorable masing-masing butir.
Pemberian Skor Favorable : STS TS S SS
1 2 3 4
Pemberian Skor Unfavorable : STS TS S SS
4 3 2 1
Tabel 2. Spesifikasi Skala Kecenderungan Bullying Sebelum Ujicoba
No. Aspek Nomer aitem Jumlah
1 Perbedaan kekuasaan
4, 5, 12, 16, 21, 22, 27, 28, 29, 43, 44, 45, 46, 47, 53, 54, 57, 62, 63, 64, 66, 68, 69, 78, 80, 81, 85, 86, 87, 90
30
2 Perilaku menyakiti
1, 6, 7, 10, 11, 13, 17, 20, 23, 26, 30, 31, 34, 35, 39, 42, 48, 52, 55, 56, 58, 61, 65, 67, 70, 73, 79, 82, 84, 89
30
3 Dilakukan sengaja
2, 3, 8, 9, 14, 15, 18, 19, 24, 25, 32, 33, 36, 37, 38, 40, 41, 49, 50, 51, 59, 60, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 83, 88
30
(55)
G. Uji Validitas, Reliabilitas dan Seleksi Aitem 1. Validitas
Validitas dalam penelitian ini adalah menggunakan validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengajuan terhadap isi tes dengan hasil analisis secara rasional atau lewat professional judgment. Dalam validitas ini aitem-aitem yang disusun harus mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur (Azwar, 2004).
2. Reliabilitas
Selain uji validitas, alat ukur dalam penelitian ini juga akan diuji reliabilitasnya. Reliabilitas adalah kepercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi atau sejauhmana hasil pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2004).
Dalam penelitian ini estimasi reliabilitas alat ukur dicari dengan metode Alpha-Cronbach yaitu melalui pendekatan reliabilitas konsistensi internal. Koefisien alpha merupakan estimasi yang baik terhadap reliabilitas pada banyak situasi pengukuran (Azwar, 2004). Nilai reliabilitas skala dianggap memuaskan apabila koefisien alpha di atas 0,675 (Purwanto, 2008).
3. Seleksi Aitem
Seluruh analisis aitem skala bullying dihitung dengan menggunakan SPSS for windows versi 12.00. Seleksi aitem yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah memakai koefisien korelasi aitem total yang nantinya akan menghasilkan indeks daya beda aitem. Indeks daya beda aitem bergerak dari 0 sampai dengan
(56)
1,00. Semakin baik daya beda aitem maka indeksnya semakin mendekati 1,00. Kriteria aitem yang dapat diterima adalah jika korelasinya positif dan sama dengan atau lebih besar dari 0,25. (Azwar, 2008)
H. Teknik Analisis Data 1. Uji Asumsi
Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu harus dipenuhi syarat untuk bisa dianalisis yaitu dengan melakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas sebaran dan uji homogenitas.
a. Uji normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi sebaran variabel bebas dan variabel tergantung bersifat normal atau tidak.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah varians yang akan diuji tersebut adalah sama.
2. Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis varians, yaitu suatu prosedur untuk membandingkan tiga kelompok subjek atau lebih dengan mencari perbedaan mean kelompok yang akan diuji. Hipotesis diterima jika F hitung > F tabel dan signifikansinya < 0,05.
(57)
BAB IV
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Uji Coba Skala Bullying
Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan uji coba alat tes untuk melihat validitas dan reliabilitas alat yang nantinya akan dijadikan sebagai alat penelitian sesungguhnya.
Alat ukur bullying diuji cobakan kepada kelompok uji coba yang memiliki karakteristik sama dengan kriteria subjek penelitian. Uji coba alat tes dilakukan pada tanggal 25-31 Juli 2008. Skala tersebut diuji cobakan kepada 111 subjek yang memenuhi kriteria.
Tabel 3. Data Subjek Uji Coba
Usia (dalam tahun) No. Urutan Kelahiran Jumlah
13 14 15 16 1 Anak Sulung 37 orang 3 19 15 -
2 Anak Tengah 37 orang 5 18 12 2 3 Anak Bungsu 37 orang 2 22 12 1
Total 111 orang 10 59 39 3
2. Hasil Uji Coba Skala Bullying
Seluruh analisis aitem skala bullying dihitung dengan menggunakan SPSS for windows versi 12.00. Kriteria aitem yang dapat diterima adalah jika korelasinya positif dan sama dengan atau lebih besar dari 0,25. (Azwar, 2008) Berdasarkan kriteria 0,25 tersebut, maka 55 aitem dinyatakan baik untuk penelitian. Di bawah ini disajikan tabel spesifikasi skala setelah uji coba.
(58)
Tabel 4. Spesifikasi skala bullying setelah uji coba
No. Aspek Aitem Jumlah
1 Perbedaan kekuasaan 4, 12, 16, 28, 29, 43, 44, 45 47, 53, 62, 64, 68, 81, 85, 86, 87, 80
18 2 Perilaku menyakiti 6, 11, 17, 23, 26, 30, 34, 42, 48,
52, 58, 61, 65, 67, 69, 70, 73, 82
18 3 Dilakukan sengaja 2, 9, 15, 24, 19, 32, 33, 36, 38,
50, 59, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 88, 83
19
Jumlah keseluruhan 55
Oleh karena adanya perbedaan proporsi antara aitem yang favorable dengan yang unfavorable, maka peneliti memilih 48 aitem untuk dijadikan aitem skala penelitian. Pemilihan ini bertujuan agar proporsi tiap aspek tetap seimbang (Azwar, 2008). Berikut adalah tabel spesifikasi skala penelitian.
Tabel 5. Spesifikasi skala bullying untuk penelitian
No. Aspek Aitem Jumlah
1 Perbedaan kekuasaan 4, 12, 16, 29, 43, 44, 45 47, 53, 62, 64, 68, 81, 85, 86, 87
16 2 Perilaku menyakiti 6, 11, 17, 26, 30, 34, 42, 48, 52,
61, 65, 67, 69, 70, 73, 82
16 3 Dilakukan sengaja 9, 15, 24, 19, 32, 33, 36, 38, 50,
71, 72, 74, 75, 76, 88, 83
16
Jumlah keseluruhan 48
3. Uji Reliabilitas
Reliabilitas skala bullying dihitung dengan menggunakan SPSS for windows versi 12.00. Teknik uji reliabilitas yang digunakan adalah teknik koefisien reliabilitas Alpha-Cronbach. Koefifien reliabilitas yang diperoleh adalah 0,900. Koefisien tersebut cukup tinggi sehingga alat ukur dapat dipercaya. Hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran.
(59)
B. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 20-23 Agustus 2008. Responden dalam penelitian ini adalah siswa kelas 2 dan atau 3 dari 5 SMP di Kabupaten Sleman. Pengambilan data tidak dilakukan secara langsung oleh peneliti, melainkan dilakukan oleh Guru dari sekolah yang bersangkutan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan agar pengambilan data tidak mengganggu jam pelajaran di masing-masing sekolah.
Dari hasil pemilihan subjek yang memenuhi kriteria, maka diperoleh sampel sebanyak 129 anak dengan perincian sebagai berikut:
Tabel 6. Data Subjek Penelitian
Usia (dalam tahun) No. Urutan Kelahiran Jumlah
13 14 15 16 1 Anak Sulung 43 orang 1 27 14 1
2 Anak Tengah 43 orang 3 24 13 3 3 Anak Bungsu 43 orang 3 21 18 1
Total 129 orang 7 72 45 5
C. Hasil Penelitian
1. Deskripsi data penelitian
Tabel 7. Hasil Penelitian
Min Mak Mean Variabel
H E H E H E
Bullying 48 62 192 129 120 91,53
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa skor nilai rata-rata empirik bullying lebih rendah dari skor rata-rata hipotetiknya. Ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata bullying subjek rendah.
(60)
Dalam membuat kategorisasi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah pada skala bullying, peneliti menyusun suatu norma kategori yang dipilih untuk semua norma skala berdasarkan model distribusi normal menurut Azwar (2000).
Skala bullying terdiri dari 48 aitem yang masing-masing aitemnya diberi skor 1 sampai 4. Dengan demikian skor terkecil adalah (48 x 1) = 48 dan skor terbesar adalah (48 x 4) = 192. Maka rentang skor skala diperoleh dari skor terbesar dikurangi skor terkecil yaitu (192 - 48) = 120. Kemudian rentang skor sebesar 120 itu dibagi dalam enam satuan deviasi standar sehingga diperoleh (120 / 6) = 20. Angka 20 ini merupakan estimasi besarnya satuan deviasi standar populasi () yang akan digunakan untuk membuat kategori normatif skor subjek. Adapun rata-rata teoritisnya (µ) diperoleh dari jumlah aitem dikalikan skor tengah dari kategori respon yaitu (48 x 2,5) = 120.
Norma untuk kategori skala bullying:
< x ≤ (µ - 1,5 ) : sangat rendah (µ - 1,5 ) < x ≤ (µ - 0,5 ) : rendah (µ - 0,5 ) < x ≤ (µ + 0,5 ) : sedang (µ + 0,5 ) < x ≤ (µ + 1,5 ) : tinggi (µ + 1,5 ) < x ≤ : sangat tinggi
(61)
Tabel 8. Kriteria Kategori Bullying
Skala Rentang nilai Jumlah Prosentase (dlm %)
Kategori < x ≤ 90 55 42,6 % Sangat rendah 90 < x ≤ 110 69 53,9% Rendah 110 < x ≤ 130 5 3,9% Sedang 130 < x ≤150 0 0 Tinggi
Bullying
150 < x ≤ 0 0 Sangat tinggi
Berdasarkan kategori skor bullying di atas diketahui bahwa subjek dengan kategori skor rendah merupakan kategori skor yang paling besar prosentasenya yaitu 53,9 %.
2. Uji Asumsi
Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu harus dipenuhi syarat untuk bisa dianalisis yaitu dengan melakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas sebaran dan uji homogenitas.
a. Uji normalitas
Uji normalitas penyebaran skor kuesioner kecenderungan bullying terhadap urutan kelahiran anak didapatkan p = 0,064 dan p = 0,195 (p > 0,05). Berdasarkan hasil uji normalitas tersebut, dapat dikatakan bahwa sebarannya adalah normal. Hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah varians yang akan diuji tersebut adalah sama. Berdasarkan uji homogenitas, diperoleh f hitung sebesar 0,598. Oleh karena probabilitas 0,05 maka ketiga varians adalah sama atau homogen. Hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran.
(62)
Tabel 9. Hasil pengujian Uji Homogenitas
Levene
Statistic df1 df2 Sig. .517 2 126 .598
3. Uji Hipotesis
Hipotesis alternatif (Hi) dalam penelitian ini berbunyi ada perbedaan kecenderungan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahiran dalam keluarga. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis varian satu jalur dengan alat bantu SPSS versi 12.00. Pengujian dilakukan dengan cara membandingkan nilai F hitung dengan nilai F tabel dan dengan melihat signifikansinya. Hipotesis akan diterima bila nilai F hitung > F tabel dan taraf signifikansinya kurang dari 0,05 (p < 0,05)
Hasil perhitungan nilai F dalam penelitian ini adalah 2,811 sedangkan F tabelnya adalah 3,07 (F hitung < F tabel), nilai signifikansinya adalah 0,064 yang berarti lebih dari 0,05 (p > 0,05). Hal ini berarti Hi ditolak dan Ho diterima yaitu tidak ada perbedaan kecenderungan bullying pada remaja ditinjau dari urutan kelahirannya. Di bawah ini disertakan penghitungan one-way anova.
Tabel 10. Hasil penghitungan one way anova
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig. Between Groups 750.434 2 375.217 2.811 .064 Within Groups 16817.721 126 133.474
(63)
Dalam homogeneous subsets terlihat adanya grup atau subset mana saja yang mempunyai perbedaan rata-rata. Pada tabel homogeneous subsets terlihat bahwa grup pada subset satu anggotanya terdiri dari kelompok anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Ketiga kelompok anak berdasarkan urutan kelahiran tersebut mempunyai perbedaan yang tidak signifikan.
Tabel 11. Homogeneous Subsets
Subset for alpha = .05
Urutan Kelahiran
N
1
Tengah 43 88.60 Sulung 43 91.47 Bungsu 43 94.51 Tukey
HSD(a)
Sig. .050
D. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan kecenderungan bullying pada remaja putra ditinjau dari urutan kelahirannya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F hitung yang lebih kecil daripada F tabel dan nilai signifikansinya yang lebih dari 0,05 (p > 0,05).
Menurut Purnama (2007) pelaku bullying kemungkinan sekedar mengulangi apa yang pernah dilihat dan dialami. Apabila dihubungkan dengan hasil penelitian, mungkin sebagian besar subjek belum pernah melihat ataupun mengalami bullying. Hal ini menjadikan keseragaman karakter dan kecenderungan perilaku yang relatif sama dalam bersosialisasi pada diri mereka.
(64)
Remaja-remaja putra dalam penelitian ini mungkin juga tidak mewarisi tradisi hazing dari kakak-kakak kelas atau generasi sebelumnya. Sekalipun mereka pernah dibully, mereka tidak berniat untuk balas dendam atau melakukannya kepada orang lain. Hal ini seturut dengan pendapat Riauskina (2005).
Yayasan Sejiwa (2008) menyatakan bahwa bullying dilakukan oleh seseorang karena ingin menunjukkan kekuasaan, ingin diakui, menunjukkan eksistensi dan mencari perhatian. Berdasarkan pernyataan ini, bisa dikatakan bahwa secara umum subjek penelitian memiliki dorongan ke arah eksistensi dan popularitas yang wajar dan bisa diterima oleh lingkungan sekolah mereka. Dengan demikian tidak dijumpai perilaku bullying dengan perbedaan yang signifikan.
Purnama (2007) mengatakan bahwa pelaku bullying umumnya tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi pelaku serta tidak mengetahui dampak-dampak buruk yang bisa disebabkan oleh perilaku tersebut. Hal ini terkait dengan pendapat Haryana (2007) yang menyatakan bahwa bullying yang ada di Indonesia dianggap wajar oleh sebagian besar orang, dan sedikit pihak yang menyadari dampak jangka panjangnya. Karena kurangnya kesadaran, wawasan serta anggapan yang wajar tersebut, maka perilaku-perilaku bullying yang sebenarnya muncul dalam pergaulan tetap akan dijadikan hal yang wajar dan ditutup-tutupi. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Sulhin dan Aulia (2008) yang menyatakan bahwa bullying umumnya dilakukan dengan dalih humor sehingga pelaku sering tidak menyadari perilakunya tidak disukai dan menyakitkan bagi korban. Pernyataan di atas mungkin juga terjadi pada remaja-remaja yang menjadi subjek dalam penelitian ini.
(65)
Menurut Lumansupra (2008) dan Santrock (1995), setiap remaja mulai menuntut otonomi dan kebebasan emosional yang semakin besar dari orang tua mereka. Hal ini terjadi pada semua remaja dalam setiap urutan kelahiran baik sebagai anak sulung, anak tengah ataupun anak bungsu. Dengan demikian secara pribadi setiap remaja akan berjuang untuk menemukan kenyamanan diri, terlebih ketika harus berelasi dengan teman sebaya. Pada akhirnya hal ini dapat memunculkan karakter yang relatif sama dalam berelasi sosial antara remaja yang satu dengan yang lain dari urutan kelahiran yang berbeda.
Selain perkembangan emosional pada remaja di atas, remaja juga memiliki tugas perkembangan untuk mencari identitas diri (Rice, 1996). Remaja yang berhasil menemukan identitas diri akan memunculkan kepribadian yang menarik dan dapat diterima oleh lingkungan sosialnya, sehingga menjadi mudah bagi mereka ketika bersosialisasi dengan orang lain termasuk di lingkungan sekolah. Hal ini terkait dengan pendapat Utamadi (2007) yang mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa "belajar" untuk tumbuh dan berkembang dari anak menjadi dewasa. Remaja belajar dari apa yang boleh dan dilarang untuk dilakukan. Konsep ini terbawa dalam proses sosialisasi mereka sehingga setiap remaja menjadi terbentuk untuk menghindarkan diri dari tindakan agresif yang merugikan orang lain seperti halnya bullying (Santrock, 1995).
Santrock (1995) menyebutkan bahwa berdasarkan tahap perkembangannya, secara kognitif remaja mulai mengembangkan pemikiran operasional formal dimana pemikiran mereka menjadi lebih abstrak atau tidak terbatas pada pengalaman konkret aktual sebagai dasar pemikirannya. Remaja sudah bisa membedakan perilaku mana
(66)
yang boleh dan dilarang untuk dilakukan karena telah mengetahui peraturan yang ada di lingkungan mereka. Sesuai dengan pendapat Yudhi (2008) yang menyebutkan bahwa remaja dengan citra dirinya mulai menilai diri, menyesuaikan perilakunya dengan standar agama atau lingkungan sosial Dariyo (2004) juga menegaskan peryataan diatas dimana remaja mulai memperhatikan sifat-sifat yang disenangi dan diharapkan oleh orang lain. Segala tindakan diarahkan agar dirinya diterima oleh lingkungan sosialnya. Apabila hal ini tertanam dalam setiap remaja, maka perilaku mereka akan relatif seragam dalam hal kepatuhan terhadap peraturan dan penghindaran diri dari perilaku yang tidak diterima oleh lingkungan, misalnya agresi atau bullying. Meskipun pada dasarnya mereka memiliki karakter yang berlainan berdasarkan urutan kelahiran mereka.
Remaja juga mengalami perubahan berkaitan dengan kognisi sosial mereka. Elkind (dalam Santrock, 1995) yakin bahwa remaja akan berperilaku yang mengundang perhatian, keinginan untuk tampil di depan umum, diperhatikan dan dilihat. Oleh karena itu, remaja berjuang untuk menemukan cara-cara agar orang mau memperhatikan mereka. Dalam hal ini, remaja menyadari bahwa mereka akan diperhatikan bila melakukan hal-hal yang positif. Tanpa memperhatikan mereka berada di urutan kelahiran ke berapa, masing-masing remaja berjuang agar diperhatikan dan dipandang sebagai pribadi yang sama termasuk dalam pergaulan mereka. Pada akhirnya setiap remaja berjuang menghindarkan diri dari perilaku negatif yaitu bullying.
Sulloway (dalam Angela Haris, 2007) meyakini bahwa urutan kelahiran memainkan peranan penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, dimana
(67)
urutan kelahiran mempengaruhi lima sifat kepribadian yang utama yaitu kecemasan, keterbukaan, sikap berterus terang, keramah-tamahan dan sikap berhati-hati. Dari kelima sifat tersebut, kencederungan untuk setiap individu berbeda satu dengan yang lain. Kecenderungan bullying terkait dengan sifat keramah-tamahan. Jika setiap remaja memiliki sifat dasar keramah-tamahan yang lebih tinggi daripada sifat dasar lainnya, maka akan terajdi keseragaman pada diri setiap remaja untuk mau menghargai oranglain dan menghidari perilaku bullying.
Santrock (1995) juga menyatakan bahwa anak-anak yang diperlakukan relatif sama oleh orang tua cenderung cocok satu sama lain. Dalam sebuah keluarga, orangtua yang bijaksana akan memperlakukan setiap anaknya dengan cara yang relatif sama meskipun dengan urutan kelahiran yang berbeda. Hal ini menjadikan anak-anak dalam keluarga tersebut cocok satu sama lain, mau menghargai perbedaan yang ada. Karena situasi yang demikian, maka anak-anak akan menanamkan kebiasaan tersebut diluar lingkungan keluarga dan melakukannya juga kepada orang lain ketika bergaul di luar rumah termasuk di sekolah.
Ada beberapa kemungkinan variabel yang tidak dikontrol oleh peneliti yang menyebabkan tidak diterimanya hipotesis dalam penelitian ini. Guastello (2002) menyarankan bahwa dalam penelitian mengenai urutan kelahiran sebaiknya dilakukan kontrol dalam hal etnis, pendidikan orangtua dan status perkawinan orang tua. Dalam penelitian ini peneliti tidak melakukan kontrol terhadap pendidikan dan status perkawinan orangtua sehingga hasil yang diperoleh tidak signifikan.
Variabel kedua adalah jarak usia, menurut Adler (dalam George, 2004) jarak usia antara anak yang satu dengan yang lain juga berpengaruh terhadap persepsi
(68)
seorang anak terhadap dirinya sendiri. Cara pandang dua orang saudara yang jarak usianya dekat akan berbeda dengan cara pandang dua orang yang jarak usia mereka berbeda jauh. Dengan demikian pola pengasuhan orangtua dan relasi antar saudara kandung yang terjadi di dalamnya juga dipengaruhi oleh jarak usia antar anak. Dalam penelitian ini peneliti tidak melakukan kontrol terhadap jarak usia antar saudara di dalam keluarga, sehingga sekalipun seorang anak adalah anak sulung di rumahnya bisa saja dia mempersepsikan dirinya sebagai anak tunggal karena jarak usia dengan adiknya terpaut jauh. Hal ini tentunya akan menciptakan karakter yang berbeda dengan anak-anak sulung di keluarga yang jarak usianya relatif sama.
Variabel ketiga adalah keadaan sosio-ekonomi, kebiasaan, pendidikan keluarga. Hal ini memunculkan bentuk pengasuhan yang berbeda antara keluarga yang satu dengan yang lain. Pengasuhan yang berbeda tersebut akan berdampak terhadap pemunculan karakter yang berbeda untuk sebuah urutan kelahiran antara keluarga yang satu dengan yang lain (Guastello, 2002).
Variabel keempat adalah jenis kelamin. Menurut Santrock (1995) agresi dan dominansi terjadi lebih besar dalam relasi-relasi saudara kandung yang jenis kelaminnya sama. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja putra yang mungkin sekali memiliki saudara kandung perempuan. Hal ini tentunya juga berpengaruh terhadap sikap agresi yang dimiliki oleh setiap subjek. Perbedaan jenis kelamin antara saudara kandung memungkinkan minimnya perilaku agresi ataupun bullying.
(69)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kecenderungan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahirannya.
B. Saran
Hasil penelitian ini masih banyak menunjukkan kekurangan. Untuk itu peneliti mengajukan beberapa saran dengan harapan informasi ini dapat menjadi pertimbangan dan mendorong peneliti selanjutnya untuk meneliti lebih jauh topik yang berhubungan dengan topik penelitian ini. Saran tersebut antara lain:
1. Saran berkaitan dengan kelanjutan penelitian
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik terhadap topik yang sama yaitu urutan kelahiran, diharapkan mempertimbangkan dan mengontrol variabel-variabel lain yang terkait dengan urutan kelahiran terutama jarak kelahiran antar anak dalam keluarga dan kombinasi jenis kelamin anak dalam keluarga.
Selain itu, bagi peneliti yang berminat terhadap topik bullying, disarankan untuk meneliti masalah bullying dengan mengambil subjek perempuan, mengingat subjek pada penelitian ini hanyalah remaja laki-laki. Dengan demikian bisa diketahui apakah ada perbedaan hasil penelitian atau tidak.
(70)
Remaja atau siswa dalam penelitian ini bersekolah di sekolah yang heterogen. Penelitian selanjutnya diharapkan bisa mengambil subjek penelitian pada sekolah yang homogen sehingga bisa diketahui apakakah ada perbedaan antara sekolah heterogen dengan sekolah homogen.
Dalam penelitian ini, hasil yang diperoleh hanya berasal dari data skala. Untuk dapat mengenal lebih dalam lagi mengenai kecenderungan bullying seseorang, penelitian selanjutnya dapat menambahkan metode wawancara. Dengan demikian hasilnya menjadi lebih mendalam dan optimal.
2. Saran berkaitan dengan manfaat penelitian
a. Saran kepada remaja
Setiap remaja dari semua urutan kelahiran baik sebagai anak sulung, tengah dan bungsu berpeluang untuk menjadi pelaku bullying. Di Indonesia bullying masih jarang dikenal, baik pengertian, jenis-jenis perilaku ataupun dampaknya. Dengan demikian remaja diharapkan untuk berhati-hati dalam berperilaku terkait dengan pergaulan mereka, sekalipun mereka mungkin belum melakukan bullying saat ini. Mengingat masa remaja adalah masa yang penuh gejolak dan memungkinkan seseorang berperilaku bullying, maka remaja diharapkan untuk mampu mengelola emosinya yang masih labil dan senantiasa menjaga hubungan sosial yang sehat, sehingga kedepannya mereka tidak terjebak dalam perilaku bullying.
(71)
b. Saran kepada sekolah
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, tidak ditemukannya perbedaan kecenderungan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahiran mereka. Hal ini menjadikan pihak sekolah untuk senantiasa memantau semua peserta didiknya dari semua urutan kelahiran mereka agar perilaku bullying bisa dicegah mulai saat ini. Dengan demikian sekolah menjadi tempat sosialisasi dan tempat belajar yang kondusif bagi para peserta didiknya.
C. Keterbatasan Penelitian
Penelitian yang sudah dilakukan memiliki keterbatasan, yaitu:
1. Aitem yang dibuat oleh peneliti banyak yang gugur. Aitem sebelum uji coba berjumlah 90 aitem. Setelah diujicobakan dan dianalisis hanya 55 aitem yang memenuhi kriteria dan layak untuk dijadikan aitem penelitian, sedangkan 35 aitem dinyatakan cacat. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa istilah yang sulit dipahami sehingga subjek kurang bisa memahami aitem. Pada akhirnya hal ini menjadikan ke-35 aitem tersebut kurang bisa membedakan subjek yang memiliki jawaban favorable dan unfavorable.
(1)
LAMPIRAN D
Hasil Analisis Uji Normalitas
Hasil Analisis Uji Homogenitas
(2)
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kecenderungan bullying 129 100.0% 0 .0% 129 100.0%
Descriptives
Statistic Std. Error
Mean 91.53 1.031
Lower Bound 89.49
95% Confidence
Interval for Mean Upper Bound
93.57
5% Trimmed Mean 91.52
Median 93.00
Variance 137.251
Std. Deviation 11.715
Minimum 62
Maximum 129
Range 67
Interquartile Range 16
Skewness -.020 .213
Kecenderungan
bullying
Kurtosis .295 .423
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kecenderungan bullying .076 129 .064 .986 129 .195
(3)
Kecenderungan bullying
60 70 80 90 100 110 120 130
Observed Value
-3 -2 -1 0 1 2 3
Ex
pected Normal
Normal Q-Q Plot of Kecenderungan bullying
60 70 80 90 100 110 120 130
Observed Value
-0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8
De
v from
Normal
(4)
Oneway
Descriptives
Skor Kuesioner
N Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence
Interval for Mean Minimum Maximum
Lower Bound
Upper
Bound
Sulung 43 91.47 11.835 1.805 87.82 95.11 67 112
Tengah 43 88.60 12.052 1.838 84.90 92.31 62 122
Bungsu 43 94.51 10.729 1.636 91.21 97.81 75 129
Total 129 91.53 11.715 1.031 89.49 93.57 62 129
Test of Homogeneity of Variances
Skor Kuesioner Levene
Statistic df1 df2 Sig.
.517 2 126 .598
ANOVA
Skor Kuesioner
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 750.434 2 375.217 2.811 .064
Within Groups 16817.721 126 133.474
(5)
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Skor Kuesioner
(I) Urutan Kelahiran (J) Urutan Kelahiran Mean Difference (I-J) Std.
Error Sig.
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound
Tukey HSD Sulung Tengah 2.860 2.492 .487 -3.05 8.77
Bungsu -3.047 2.492 .442 -8.96 2.86
Tengah Sulung -2.860 2.492 .487 -8.77 3.05
Bungsu -5.907 2.492 .050 -11.82 .00
Bungsu Sulung 3.047 2.492 .442 -2.86 8.96
Tengah 5.907 2.492 .050 .00 11.82
Bonferroni Sulung Tengah 2.860 2.492 .759 -3.19 8.91
Bungsu -3.047 2.492 .671 -9.09 3.00
Tengah Sulung -2.860 2.492 .759 -8.91 3.19
Bungsu -5.907 2.492 .058 -11.95 .14
Bungsu Sulung 3.047 2.492 .671 -3.00 9.09
Tengah 5.907 2.492 .058 -.14 11.95
Homogeneous Subsets
Skor Kuesioner Subset for alpha = .05 UrutanKelahiran N 1
Tengah 43 88.60
Sulung 43 91.47
Bungsu 43 94.51
Tukey HSD(a)
Sig. .050
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 43.000.
(6)