Kategori “Reaksi terhadap Stimulus Seksual”

tersebut bersumber pada keyakinan dan nilai yang dianut oleh para orang tua dan guru bahwa keperawanan merupakan hal yang penting Pangkahila dalam Francoeur, 2004. Oleh karena itu mereka cenderung mengasosiasikan perilaku seksual anak dengan konsekuensi-konsekuensi negatif yang dapat terjadi pada anak, seperti hamil di luar pernikahan dan menjadi korban pelecehan seksual. Bagi masyarakat Indonesia, adanya anak perempuan yang hamil di luar pernikahan adalah suatu musibah yang besar karena dianggap mencoreng nama baik keluarga Ramsey, dalam Francoeur, 2004. Atas dasar hal tersebut, para orang tua dan guru cemas anak mereka terlibat perilaku seksual. Para subjek juga menunjukkan pandangan negatif terkait perilaku seksual pada anak. Hal ini terlihat dari jawaban emosi negatif anak terkait seksualitas yang lebih bervariasi dibanding emosi positif. Emosi negatif yang disebutkan oleh subjek adalah seperti malu, takut, cemas, dan tidak nyaman. Sedangkan emosi positif yang disebutkan subjek hanya emosi senang. Hal tersebut menunjukkan adanya persepsi negatif oleh orang tua dan guru mengenai perilaku seksual anak. Menurut Martin Nakayama 2007, proses seleksi banyak dipengaruhi harapan, motivasi, kebutuhan, kecemasan dan pengetahuan masa lalu. Kecemasan dan ketakutan orang tua serta guru, terefleksikan ke dalam perbuatan mereka menyebutkan emosi-emosi negatif terkait perilaku seksual anak. Hasil temuan di atas juga menunjukkan variasi perilaku seksual anak yang sangat luas. Para orang tua dan guru menyatakan bahwa pemahaman dan emosi anak terkait seksualitas adalah perilaku seksual anak. Hal tersebut menunjukkan bagaimana para orang tua dan guru mempersepsikan seksualitas itu sendiri. Menurut mereka, pemahaman dan emosi anak terkait seksualitas berkolerasi terhadap perilaku seksual anak. Menurut Pangkahila dalam Francoeur, 2004, masyarakat Indonesia cenderung melihat dan menilai suatu makna dibalik peristiwa dibandingkan peristiwa itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memandang penting hal-hal implisit tersebut di samping perilaku anak yang senyatanya tampak.