Pengaruh Uang Saku, dan Aktivitas Fisik terhadap Obesitas

5.2 Pengaruh Uang Saku, dan Aktivitas Fisik terhadap Obesitas

Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara uang saku harian dengan kejadian obesitas p = 0,000. Ditemukan rata-rata uang saku harian yang diterima kelompok kasus lebih besar Rp 30.533 ± 10.086 dibandingkan kontrol Rp 24.600 ± 9.542. Selisih uang saku antara kasus dan kontrol sebesar Rp 5.933, dimana dengan uang saku yang lebih besar kelompok kasus memiliki kesempatan dan kemampuan lebih besar dalam memilih dan membeli makanan jajanan yang yang yang tersedia dan disukai. Makanan yang mengenyangkan dan lezat tinggi kalori dan lemak menjadi pilihan bagi mahasiswa yang berada di kampus mulai dari jam 07.00-17.00. Menu makanan yang dijual di kantin FK USU rata-rata mengenyangkan, padat energi dan terjangkau harganya oleh mahasiswa seperti lontong sayur Rp 6000porsi, soto medan Rp 8000porsi, nasi lemak Rp 8000, risolbakwan Rp 20003 buah. Di samping itu, mahasiswa sudah memiliki kemampuan untuk memilih makanannya sendiri dan mudah terpengaruh oleh lingkungan terutama teman sebaya dalam memilih makanan. Dijumpai sebanyak 66 orang 88,0 sering mengonsumsi fast food 3 kaliminggu. Pemasukan energi yang tinggi secara terus menerus tanpa diimbangi dengan pengeluran energi yang cukup sehingga terjadi kelebihan energi yang ditimbun dalam bentuk lemak dan mengakibatkan obesitas. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 7,11 yang menunjukkan bahwa responden dengan uang saku harian ≥ Rp 24.600 mempunyai resiko sebesar 7,11 kali lebih tinggi menjadi obesitas dibanding responden dengan uang saku harian Universitas Sumatera Utara Rp 24.600. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syafitri et al., 2009 melaporkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara besar uang saku dengan kebiasaan jajan pada anak sekolah dasar. Kebiasaan jajan yang tidak sehat beresiko menimbulkan obesitas. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Yoon et al., 2006 menyatakan bahwa pendapatan berhubungan dengan obesitas sentral pada laki-laki di Korea. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga semakin berisiko mengalami obesitas. Peningkatan pendapatan berpengaruh pada peningkatan asupan rumah tangga seperti makanan tinggi lemak dan asupan daging WHO 2000. Pendapatan juga berhubungan positif dengan kejadian obesitas sentral pada laki-laki di Korea. Pendapatan tinggi meningkatkan obesitas sentral 1.37 kali dibandingkan dengan pendapatan terendah pada laki-laki di Korea. Pada perempuan, pendapatan tidak menunjukkan hubungan nyata dengan kejadian obesitas sentral. Pengaruh pendapatan terhadap obesitas terletak pada ketersediaan dalam membeli makanan dan aktivitas fisik Yoon et al., 2006. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status tinggal tidak berhubungan dengan kejadian obesitas pada mahasiswa FK USU p 0,05. Hal ini kemungkinan karena mahasiswa baik kasus maupun kontrol yang tinggal bersama orangtua ataupun indekost, pada hakekatnya lebih banyak menghabiskan waktunya jam 07.00-17.00 di luar rumah yaitu di kampus, sehingga lebih sering mengonsumsi makanan di luar rumah atau jajan di kampus. Makanan jajanan di luar rumah biasanya kurang sehat, lebih banyak mengandung kalori, lemak dan rendah serat. Namun demikian, pemilihan makanan jajanan dipengaruhi juga oleh pengetahuan Universitas Sumatera Utara gizi dan porsi makan. Seseorang yang mempunyai pengetahuan tentang makanan sehat dan terbiasa makan dengan porsi kecil, cenderung memilih makanan sehat dan mengonsumsi makanan tersebut dalam porsi yang kecil. Hasil uji bivariat menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas p 0,001. Dijumpai kasus dengan aktivitas fisik ringan sebanyak 74 orang 98,7 dan jumlah kontrol yang memiliki aktivitas fisik ringan sebanyak 57 orang 76,0. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kasus dan kontrol merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran USU yang menghabiskan waktunya selama 8-10 jam di kampus untuk mengikuti kegiatan belajar dengan sistem KBK. Sebagian besar kegiatan belajar tersebut dilaksanakan dalam keadaan duduk atau berdiri dalam ruangan ber-AC sehingga mahasiswa kurang bergerak. Fasilitas untuk berolahraga yang bisa digunakan mahasiswa saat istirahat antar waktu kuliah belum tersedia, sehingga waktu istirahat digunakan oleh mahasiswa untuk duduk-duduk di kantin. Di samping itu, ditemukan juga sebagian besar mahasiswa baik kasus 77,3 dan kontrol 65,3 terbiasa menggunakan kendaraan pribadi ketika pergi ke kampus. Demikian juga dengan pemanfaatan waktu luang setelah pulang dari kampus, ditemukan pada kasus lebih lama menonton TV 2,64 ± 1,33 jamhari dibandingkan kontrol 1,79 ± 0,93 jamhari. Ditemukan juga kebiasaan ngemil pada kelompok kasus 82,7 saat menonton TV. Pemasukan energi pada mahasiswa seharusnya diikuti dengan pengeluaran energi melalui aktifitas fisik agar terjadi keseimbangan. Universitas Sumatera Utara Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan kelebihan energi yang disimpan sebai lemak dan menjadi faktor resiko terjadinya obesitas OR = 23,36. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Simatupang R, 2008 yang melaporkan ada pengaruh antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada siswa sekolah dasar di Medan. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Sudikno et al., 2010. Tim peneliti tersebut mengungkapkan bahwa ada hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada orang dewasa di Indonesia. Risiko obesitas ditemukan lebih tinggi pada laki-laki yang aktivitas fisiknya kurang OR=1,59 dibandingkan dengan perempuan yang aktivitas fisiknya kurang OR=1,29. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Kaplan, et al., 2003 yang mendapatkan hasil bahwa risiko obesitas pada laki-laki dengan aktivitas fisik kurang sebesar 2,49 kali CI 95: 1,65-3,75 dibandingkan dengan laki-laki dengan aktivitas fisik cukup. Sedangkan risiko obesitas pada perempuan dengan aktivitas fisik kurang sebesar 1,85 kali CI 95: 1,65-2,07 dibandingkan dengan perempuan dengan aktivitas fisik cukup.

5.3. Faktor Resiko yang paling Dominan terhadap Kejadian Obesitas