Ny. J mengatakan “Banyak dukungan...suruh sabar aja suruh nerima
kadang-kadang hilang juga rasa putus asa, suruh berdoa, ada juga semua orang pada ngasih banyak yang ini deh dari kepala sekolah...dari
perawat, orang-orang juga banyak yang ngasih tahu nanti habis ini harus gini harus gimana”.
Ny. T
mengatakan “Kadang-kadang saya sedih untungnya ada temen yang nemenin saya...keluarga saya tetap mendukung, tetap berusaha,
berobat aja...ada dari gereja bantu doa...biaya pengobatan dari ibu, majikan saya”.
Pernyataan keempat informan di atas juga dibenarkan keluarga yang mengatakan bahwa pasien kanker payudara post mastektomi merasa
senang dan sedikit berkurang kesedihannya ketika banyak dukungan baik dukungan emosi, spiritual, informasi dan finansial. Berikut pernyataannya:
An. D mengatakan “Ya pasti seneng kan ada yang ngasih
semangat...paling ngobrol-ngobrol, jalan-lalan, ada sih sedikit yang ngasih uang”.
Tn. P
mengatakan “Dukungan dari saudara, dukungan dari istri, dukungan dari kedua belah pihak, dukungan dari teman-teman dia
SMA...ya pastilah seneng istilahnya dia punya temen masih peduli”. Ny. S
mengatakan “Banyak yang dukung...senenglah dia banyak yang
dukung”. Tn. B
mengatakan “ Senenglah, ngasih semangat gitu, dari saudaranya paling lewat sms klo datang kan jauh paling nyemangatin ya...ngasih
uang dari ibu majikan sendiri yang bantu”.
Menurut informan pendukung yaitu perawat bahwa pasien kanker payudara post mastektomi yang tidak didampingi keluarga terdekatnya
cenderung mengalami beban psikologis dan lebih tidak kooperatif. Berikut pernyataannya:
Zr. M mengatakan “Pasien di sini kan dari jauh-jauh, keluarganya yang
datang paling berapa, ada yang suaminya gak bisa datang, itu ada yang ngeluhin...kebanyakan sih gitu lebih nggak kooperatif...yang paling
berperan disini keluarga”.
e. Penyebab lain yang muncul
Hasil analisis data kualitatif muncul penyebab lain dari depresi pada wanita post mastektomi diluar dari keempat penyebab yang diteliti pada
penelitian ini yaitu adanya nyeri yang tidak bisa digambarkan oleh informan dan rasa nyeri ini yang mengakibatkan informan tidak tahan
dengan kondisinya. Berikut pernyataannya:
Ny. M mengatakan “Ini rasa kayak disetrum, kalau disentuh gini masih
kerasa sambil memegang tangan peneliti dan menyuruh peneliti menyentuh jarinya yang sakit, ini rasanya nyeri luar biasa, saya nggak
bisa gambarin rasa nyerinya, sampe saya putus asa ada ya, kadang mending sekalian diambil daripada saya ngerasain nyerinya yang luar
biasa...”.
Ketersediaan biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi dan juga persiapan kemoterapi menambah beban psikologis pula bagi informan.
Berikut pernyataannya:
Ny. Y mengatakan “Pusing keuangannya, harus kemo...”.
Ny. M mengatakan “Biaya dari suami, dia lebih utamain saya ya...tadinya
dia juga harus operasi tapi terpaksa uangnya dipake untuk biaya saya operasi dulu”.
Pernyataan ini juga dibenarkan oleh keluarga dari salah satu informan dan perawat bedah di Dharmais. Berikut pernyataannya:
Tn. P mengatakan “Kalau kemo belum dijalankan...kebetulan dari askes
tapi nggak semuanya bebas, bayar sepertiganya...perkiraannya nggak segitu ternyata bengkak, nggak sesuai perkiraan”.
Zr. M
mengatakan “Ada, ada yang nggak mau kemo, kebanyakan sih takut karena belum itu ya...takut efek sampingnya mual muntah, ada yang takut
rontok, ada yang karna biaya juga ya, mungkin kebanyakan sih karena biaya, karena faktor biaya”.
Kurangnya dukungan spiritual, dan nilai keagaamaan serta distres spiritual juga dapat menimbulkan beban psikologis informan. Berikut
kutipannya: Ny. M mengatakan ” Saya kecewa sama Tuhan, Tuhan tidak adil, kenapa
harus saya bukan orang lain, sampai saat ini saya dan keluarga belum melakukan aktivitas keagamaan dan pergi ke gereja meskipun pihak gereja
pernah berkunjung bantu doa dan memberi nasihat” Ny. Y
mengatakan ”Beribadah ke kuil, belum saya dan keluarga jalankan dan tidak ada pihak rohaniawan yang berkunjung ke rumah”
Pernyataan ini juga dibenarkan oleh keluarga dari salah satu informan dan perawat bedah di Dharmais. Berikut pernyataannya:
Tn. P mengatakan “Dia pernah bilang sama saya, kenapa harus saya
jatuhnya tidak ke orang lain, rasa kecewa sama Tuhan, ada, Tuhan tidak adil dan memang hingga saat ini kami belum melakukan aktivitas
keagamaan, belum pergi ke gereja”. An. D
mengatakan ”Tidak ada rohaniawan yang datang ke rumah dan mamah juga tidak pernah menyuruh untuk didatangkan rohaniawan,
ibadah ke kuil juga nggak dilakukan”.