Analisis Kesiapan Kecamatan Sipirok Sebagai Pusat Pemerintahan di Kabupaten Tapanuli Selatan

(1)

ANALISIS KESIAPAN KECAMATAN SIPIROK

SEBAGAI PUSAT PEMERINTAHAN

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

T E S I S

Oleh

MUHAMMAD RUSDI SIREGAR

107003060 / PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

ANALISIS KESIAPAN KECAMATAN SIPIROK

SEBAGAI PUSAT PEMERINTAHAN

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD RUSDI SIREGAR

107003060 / PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

Judul Tesis : ANALISIS KESIAPAN KECAMATAN

SIPIROK SEBAGAI PUSAT PEMERINTAHAN

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

Nama Mahasiswa : Muhammad Rusdi Siregar Nomor Pokok : 107003060

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(

Ketua

Dr. Ir. Tavi Supriana, MS) (Wahyu Ario Pratomo, SE. M. Ec Anggota

)

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. Iic rer reg. Sirojuzilam, SE

Direktur,

) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 06 Juli 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Tavi Supriana, MS

Anggota : 1. Wahyu Ario Pratomo, SE. M. Ec 2. Agus Suriadi, S.Sos. M.Si

3. Dr. Agus Purwoko, S.Hut. M.Si 4. Ir. Supriadi, MS


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juli 2012 Penulis,


(6)

ABSTRAK

Penentuan ibukota sebagai pusat pemerintahan harus dilakukan suatu penilaian yang objektif yang didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Begitu halnya dengan Kabupaten Tapanuli Selatan yang ibukotanya sudah ditetapkan di Sipirok dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 37 dan 38 Tahun 2007 yang menetapkan Sipirok sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, namun hingga saat ini kantor pusat pemerintahannya masih di Kota Padangsidimpuan.

Metode untuk menilai kesiapan Sipirok menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan diukur dari tiga aspek yaitu aspek keterjangkauan, aspek ketersediaan dan aspek kecukupan secara deskriptif kualitatif. Kriteria-kriteria yang perlu mendapat penilaian dalam menentukan calon ibukota tersebut antara lain adalah aspek tata ruang, aksesibilitas, keadaan fisik, kependudukan dan ketersediaan fasilitas yang diatur dalam faktor dan indikator tolak ukur menurut Undang Undang Nomor 78 Tahun 2007 yang digunakan dalam menentukan ibukota kabupaten diseluruh kabupaten di Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapan Sipirok menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan diukur dari tiga aspek yaitu aspek keterjangkauan, aspek ketersediaan dan aspek kecukupan, layak untuk dijadikan sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan dibandingkan dengan daerah di kecamatan lainnya. Kenyataannya hingga saat ini ibukota/ pusat pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan belum dipindahkan hingga saat dilakukan penelitian . Faktor penyebabnya adalah kurangnya

political will dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan dengan alasan keterbatasan anggaran yang dimiliki daerah Tapanuli Selatan.


(7)

ABSTRACT

The determination of capital city as the center of administration must be done based on an objective evaluation under certain criteria considering public aspiration. Sipirok is determined as the capital city of Tapanuli Selatan District under Law No.37 and 38/2007, but, up to now, its center of administration is still in the City of Padangsidimpuan.

The method used to evaluate the preparedness of Sipirok to be the capital city of Tapanuli Selatan District was descriptively and qualitatively measured through 3 (three) aspects such as the aspects of accessibility, availability and adequacy. The criteria which need to be evaluate in determining the future capital city are, among other things, the aspects of land planning, accessibility, physical condition, population and the availability of facilities regulated in the standard factor and indicator according to Law No.78/2007 used in determining the capital city of all districts in Indonesia.

The result of this study showed that the preparedness of Sipirok to be the capital city of Tapanuli Selatan District measured based on three aspects of accessibility, availability and adequacy was appropriate to be the capital city of Tapanuli Selatan District compared to the towns in the other subdistricts. In fact, up to now the capital city/administration center of Tapanuli Selatan District has not been moved yet due to the lack of political will of the District Government of Tapanuli Selatan with the reason that the budget owned by the District Government of Tapanuli Selatan was limited.


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanyalah bagi Allah SWT Sang Penguasa alam semesta beserta isinya. Atas Rahmat dan Hidayah yang telah dilimpahkan Allah SWT, sehingga tesis ini dapat menyelesaikan. Tesis ini berjudul “Analisis Kesiapan Kecamatan Sipirok Sebagai Pusat Pemerintahan di Kabupaten Tapanuli Selatan” disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk gelar Magister Sains (M.Si) pada Selokah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Keberhasilan pengerjaan dan penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang memberikan bantuan dan dukungan, baik sewaktu penulis mengikuti proses perkuliahan maupun pada saat penulis melakukan penelitian. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Lic.rer.reg. Sirojuzilam dan Bapak Ir. Supriadi, MS, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaaan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. Tavi Supriana, MS dan Bapak Wahyu Ario Protomo, SE, M.Ec, selaku Komisi Pembimbing yang dengan ketulusan, kearifan dan kesabaran telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing penyusunan tesis ini.

4. Bapak Ir. Supriadi, MS, Bapak Dr, Agus Purwoko, S.Hut, M.Si dan Bapak Agus Suriadi, S.Sos. M.Si, selaku Dosen Pembanding yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi kesempurnaan tesis ini.

5. Kepada seluruh dosen civitas akademika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam


(9)

proses administrasi maupun kelancaran akademik pada Program Studi PWD USU Medan.

6. Bapak Bupati Tapanuli Selatan dan selaku Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan yang telah memberikan izin dan membantu kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatara Utara.

7. Bapak Camat Sipirok beserta jajarannya, Kepala-kepala Desa di Kecamatan Sipirok, masyarakat Kecamatan Sipirok dan masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan yang telah bersedia membantu dan menyajikan data. 8. Ayahanda Alm. Sunggulon Siregar, Ayahanda Abdul Wahab Panggabean

dan Ibunda Dra. Hj. Maisyaroh Dalimunthe atas dukungan doa dan motivasi 9. Keluarga, abang, kakak, uwak, udak, etek, nanguda, tulang, nantulang,

amanboru, bou, adek dan saudara/ i yang memberikan doa dan motivasi. 10.Teman–teman kuliah pada Program Studi Perencanaan Universitas

Sumatera Utara dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu dengan rendah hati Penulis menerima saran dan kritik membangun demi semua pihak. Ahirnya dengan rahmat Allah SWT tesis ini penulis persembahkan bagi semua pihak yang membacanya, dengan harapan dapat memberikan arti dan manfaat.

Sekian.

Medan, Juli 2012 Penulis

Muhammad Rusdi Siregar NIM. 107003060


(10)

RIWAYAT HIDUP

Muhammad Rusdi Siregar, lahir pada tanggal 04 November 1987 di Padangsidimpuan, anak ketiga dari tiga bersaudara dari (alm.) Bapak Sunggulon Siregar dan Ibu Dra. Hj. Maisyaroh Dalimunthe.

Pada tahun 2000 tamat SD Inpres. No. 146935 Kel. Sigalangan dengan status berijazah. Pada tahun 2003 tamat dari SLTP Nurul ‘Ilmi Padangsidimpuan dengan status berijazah. Pada tahun 2006 tamat dari SMA Negeri 2 Padangsidimpuan dengan status berijazah. Pada tahun 2009 tamat dari Fakultas Politik Pemerintahan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri di Jatinangor Kabupaten Sumedang dengan status berijazah.

Pada awal tahun 2010 ditugaskan /staf di Bappeda Tapanuli Selatan, dan syukur Alhamdulillah Penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada bulan Oktober 2010.


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Pusat Pemerintahan ... 12

2.2 Kota Sebagai Pusat Pemerintahan ... 14

2.2.1 Fungsi dan Pelayanan Kota ... 16

2.2.2 Model Pembangunan Kota ... 18

2.3 Teori Pusat Pelayanan ... 19

2.3.1 Jangkauan Pusat Pelayanan ... 20

2.3.2 Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan ... 21

2.4 Pengembangan Wilayah ... 22

2.5 Analisis Deskriptif ... 24


(12)

2.7 Penelitian Sebelumnya ... 25

2.8 Kerangka Pemikiran ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1 Lokasi Penelitian ... 32

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 32

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.4 Populasi dan Sampel ... 34

3.5 Metode Analisis Data ... 36

3.5.1 Analisis Deskriptif ... 36

3.5.2 Analisis SWOT ... 37

3.5.3 Analisis Faktor dan Indikator tentang Kriteria Penilaian Penentuan Ibukota Kabupaten yang Berlaku di Seluruh Kabupaten di Indonesia ... 39

3.5 Defenisi Operasional ... 42

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1 Gambaran Umum dan Lokasi Penelitian ... 46

4.1.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah ... 44

4.1.2 Kependudukan ... 48

4.1.3 Mata Pencaharian ... 50

4.1.4 Fasilitas Sarana dan Prasana Transportasi ... 54

4.2 Kondisi Eksisting dan Analisis Fasilitas ... 55

4.2.1 Sarana dan Prasarana Pemerintah Ibukota Padangsidimpuan ... 55

4.2.2 Analisis Fasilitas dan Kondisi Sarana dan Prasana di Sipirok ... 55


(13)

4.3 AnalisaKesiapan Kecamatan Sipirok sebagai Pusat Pemerintahan di

Kabupaten Tapanuli Selatan ... 56

4.3.1 Keterjangkauan ... 57

4.3.2 Kecukupan ... 64

4.3.3 Kesesuaian ... 72

4.4 Faktor Internal dan Faktor Eksternal ... 79

4.4.1 Faktor Internal ... 79

4.4.2 Faktor Eksternal ... 80

4.4.3 Penjelasan Matrix SWOT ... 82

4.4. Diagram SWOT ... 86

4.5 Rencana Strategi Kebijakan Pemerintah ke depan Membangun Sipirok Menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan ... 88

4.5.1 Strategi Pengembangan Struktur Ruang ... 88

4.5.2 Strategi Sarana dan Prasarana Wilayah ... 90

4.5.3 Strategi Pengembangan Kawasan Lindung ... 92

4.5.4 Strategi Pengembangan Kawasan Budi Daya ... 94

4.5.5 Strategi Pengembangan Kawasan Prioritas ... 98

4.6 Kebijakan Pemerintah Mengembangkan Sipirok... 99

4.6.1 Wilayah Perencanaan ... 99

4.6.2 Daya Tampung Lahan ……… 100

4.6.3 Maksud dan Tujuan Perumusan Rencana ……….. 104

4.6.4 Ruang Lingkup Penyusunan Rencana ……… 104

4.6.5 Metode Pendekatan Rencana ……….. 106

4.6.6 Prinsip Penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Kota Sipirok ……… 107

4.6.6.1 Dimaensi Teknis ……….. 107


(14)

BAB V Kesimpulan dan Saran ……… 109

5.1 Kesimpulan ………. 109

5.2 Saran ……… 110


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 1.1 Masalah, tujuan, metode analisis, data dan sumber data... 11 Tabel 3.1 Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian ... 35 Tabel 3.2 Faktor dan Indikator Pembentukan Wilayah... 41 Tabel 3.3 Kategori Indikator Kelulusan menurut PP No.78 Tahun 2007 ... 42 Tabel 4.1 Luas Wilayah Menurut Desa di Kecamatan Sipirok Tahun

2011 dan Topografi Desa/ Kelurahan ... 47 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Dan Kepadatan Dirinci Menurut Desa/

Kelurahan Tahun 2011 ... 49 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Kelompok Umur

Tahun 2011 ... 50 Tabel 4.4 Luas Panen, Rata–Produktivitas dan Produksi Padi dan

Palawija Menurut Jenis Tanaman 2011 ... 52 Tabel 4.5 Luas Panen Rata- Rata dan Produksi Sayur –Sayuran Menrut

jenis Tahun 2011 ... 52 Tabel 4.6 Luas Panen Rata- Rata dan Produksi Buah - Buhaan Menrut

jenis Tahun 2011 ... 53 Tabel 4.7 Luas Tanaman dan Produksi Perkebunan Rakyat Menurut

Jenis Tanaman 2011 ... 54 Tabel 4.8 Ruas Jalan Nasional di Kabupaten Tapanuli Selatan

Tahun 2011 ... 62 Tabel 4.9 Ruas Jalan Propinsi di Kabupaten Tapanuli Selatan


(16)

Tabel 4.10 Panjang Jalan Kabupaten di Kabupaten Tapanuli Selatan

Menurut Konstruksi Permukaan Jalan Tahun 2011 ... 63 Tabel 4.11 Panjang Jalan Kabupaten di Kabupaten Tapanuli Selatan

Menurut Kondisi Permukaan Jalan Tahun 2011 ... 64 Tabel 4.12 Jumlah Murid, Guru dan Rasio Murid terhadap Guru di

Kecamatan Sipirok Tahun 2011 ... 70 Tabel 4.13 Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Sipirok Tahun 2011... 71 Tabel 4.14 Perhitungan indikator dan faktor pembentukan Pusat

Pemerintahan Tapanuli Selatan menurut PP 78 tahun 2007 ... 74 Tabel 4.15 Kategori Indikator Kelulusan menurut PP No.78 Tahun 2007 ... 76 Tabel 4.16 Matriks SWOT ... 81 Tabel 4.17 Matrix Internal Factor Evaluation (IFE) ... 84 Tabel 4.18 Matrix Eksternal Factor Evaluation (EFE) ... 85


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 kerangka Pikir Penelitian ... 31 Gambar 4.1 Batas Administrasi Kab. Tabupaten Selatan ... 58 Gambar 4.2 Peta Jaringan Jalan Kabupaten ... 60 Gambar 4.3 Rencana Penyebaran Fasilitas Pemerintahan Kota

Tahun 2010 ... 61 Gambar 4.4 Diagram SWOT ... 87


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran 1 Tabel Perhitungan Indikator Kecamatan Sipirok

berdasarkan PP 78 tahun 2007 ... 115 Lampiran 2 Tabel Perhitungan Indikator Kecamatan Batang

Angkola berdasarkan PP 78 tahun 2007 ... 117 Lampiran 3 Perhitungan Indikator Kecamatan Batang Toru

berdasarkan PP 78 tahun 2007 ... 119 Lampiran 4 Tabel Pembandingan Kecamatan Sipirok dengan

Kecamatan Batang Angkola berdasarkan PP 78

tahun 2007 ... 121 Lampiran 5 Tabel Pembandingan Kecamatan Sipirok dengan Kecamatan

Batang Toru berdasarkan PP 78 tahun 2007 ... 123 Lampiran 6 Tabel Pembobotan Hasil Kuesioner SWOT ... 125 Lampiran 7 Tabel Rekapitulasi Pembobotan hasil Kuesioner SWOT ... 128 Lampiran 8 Daftar Wawancara dan Kuesioner SWOT ... Lampiran 9 Gambar Lokasi Area Pertapakan Tap-Sel ... Lampiran 10 SK. 534/ Menhut – VII / 2009 ... Lampiran 11 SK. 534/ Menhut – VII / 2009 ... Lampiran 12 SK. 244/ Menhut – II / 2011 ... Lampiran 13 Surat Rekomendasi Nomor ; 475/289/ 2012 ... Lampiran 14 Surat Rekomendasi Nomor 264.a ...


(19)

ABSTRAK

Penentuan ibukota sebagai pusat pemerintahan harus dilakukan suatu penilaian yang objektif yang didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Begitu halnya dengan Kabupaten Tapanuli Selatan yang ibukotanya sudah ditetapkan di Sipirok dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 37 dan 38 Tahun 2007 yang menetapkan Sipirok sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, namun hingga saat ini kantor pusat pemerintahannya masih di Kota Padangsidimpuan.

Metode untuk menilai kesiapan Sipirok menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan diukur dari tiga aspek yaitu aspek keterjangkauan, aspek ketersediaan dan aspek kecukupan secara deskriptif kualitatif. Kriteria-kriteria yang perlu mendapat penilaian dalam menentukan calon ibukota tersebut antara lain adalah aspek tata ruang, aksesibilitas, keadaan fisik, kependudukan dan ketersediaan fasilitas yang diatur dalam faktor dan indikator tolak ukur menurut Undang Undang Nomor 78 Tahun 2007 yang digunakan dalam menentukan ibukota kabupaten diseluruh kabupaten di Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapan Sipirok menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan diukur dari tiga aspek yaitu aspek keterjangkauan, aspek ketersediaan dan aspek kecukupan, layak untuk dijadikan sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan dibandingkan dengan daerah di kecamatan lainnya. Kenyataannya hingga saat ini ibukota/ pusat pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan belum dipindahkan hingga saat dilakukan penelitian . Faktor penyebabnya adalah kurangnya

political will dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan dengan alasan keterbatasan anggaran yang dimiliki daerah Tapanuli Selatan.


(20)

ABSTRACT

The determination of capital city as the center of administration must be done based on an objective evaluation under certain criteria considering public aspiration. Sipirok is determined as the capital city of Tapanuli Selatan District under Law No.37 and 38/2007, but, up to now, its center of administration is still in the City of Padangsidimpuan.

The method used to evaluate the preparedness of Sipirok to be the capital city of Tapanuli Selatan District was descriptively and qualitatively measured through 3 (three) aspects such as the aspects of accessibility, availability and adequacy. The criteria which need to be evaluate in determining the future capital city are, among other things, the aspects of land planning, accessibility, physical condition, population and the availability of facilities regulated in the standard factor and indicator according to Law No.78/2007 used in determining the capital city of all districts in Indonesia.

The result of this study showed that the preparedness of Sipirok to be the capital city of Tapanuli Selatan District measured based on three aspects of accessibility, availability and adequacy was appropriate to be the capital city of Tapanuli Selatan District compared to the towns in the other subdistricts. In fact, up to now the capital city/administration center of Tapanuli Selatan District has not been moved yet due to the lack of political will of the District Government of Tapanuli Selatan with the reason that the budget owned by the District Government of Tapanuli Selatan was limited.


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan publik merupakan kebutuhan bagi setiap negara, khususnya dalam konteks pemerintahan. Kebijakan publik dapat mendorong atau menekan aktifitas masyarakat pada suatu negara. Keunggulan negara bangsa ditentukan oleh keunggulan kebijakan publiknya. Pemerintahan daerah juga mempunyai kebijakan publik. Dengan demikian daerah yang unggul adalah daerah yang mempunyai kebijakan publik yang tepat (effectiveness, efficiency, responsiveness, equity, accountability, rule of law). Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh organisasi publik (publik organization, pemerintah). Pemerintah mengambil keputusan untuk mengarahkan masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan publik tertentu. Kebijakan publik tertinggi di daerah adalah peraturan daerah. Peran setiap negara/ daerah (pemerintah pusat/ daerah) semakin penting, dalam rangka membangun daya saing global bagi negara atau daerahnya. Pencapaiannya sangat tergantung pada kebijakan publik yang ditetapkan (Miraza, 2010).

Pada hakekatnya kebijakan publik adalah intervensi pemerintah yang bertujuan untuk mengubah yang ada atau mempengaruhi arah dan kecepatan dari perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat, guna mewujudkan kondisi yang diinginkan. Intervensi itu dilakukan melalui suatu atau serangkaian strategi


(22)

kebijakan dengan menggunakan berbagai instrumen kebijakan. Dalam hal ini, kondisi yang ingin dipengaruhi serta kemungkinan perubahan yang akan terjadi sangatlah bersifat spesifik. Artinya sangat bergantung pada ketepatan waktu dan ketepatan sasaran serta ketepatan lingkungan masyarakat. Hal seperti ini hanya dapat dipahami dan dihayati secara tepat oleh mereka yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.

Bahwasanya campur tangan dan pengaturan pemerintah (negara/ daerah) terhadap kehidupan masyarakat adalah sesuai berdasarkan peraturan dan undang- undang dan sesuai dengan harapan masyarakat. Tanpa campur tangan dan pengaturan yang jelas terhadap hubunngan–hubungan dimaksud maka akan muncul suatu ketidakefisienan dalam kehidupan (ekonomi, sosial, politik, ketertiban). Di samping ada pihak yang mendapatkan manfaat, akan ada pihak-pihak yang dirugikan dari aktifitas yang dilakukan oleh kelompok atau individu kelompok terhadap pihak lainnya, atau kejadian hubungan tersebut dinamakan eksternalitas yang negatif.

Dari keterangan di atas jelas bahwa pemerintah (negara/ daerah) mempunyai peran yang sangat menentukan terhadap kehidupan masyarakatnya dan hendaknya hal ini menjadi perhatian pemerintah (negara/ daerah). Oleh sebab itu peran pemerintah di dalam mengatur kehiduapan masyarakat harus benar, harus efektif dan efisien. Semua dapat dilihat dari kebijakan publik yang disusun dan dilaksanakan.

Pengaturan itu terwujud dalam bentuk kebijkan publik. Keunggulan dan kemajuan suatu kota/ kabupaten/ negara sangat ditentukan oleh kualitas kebijakan publik yang dikeluarkan dan yang akan dilaksanakan. Dari kebijakan publik yang


(23)

disusun, masyarakatnya tahu kemana campur tangan dan pengaturan diarahkan. Dan masyarakat juga tahu apakah pemerintahan negara/ daerah telah berjalan sebagaimana yang diharapkan. Kebijakan publik harus melindungi dan menjaga kepentingan seluruh masyarakat dan harus mendorong bagi terciptanya keunggulan dan kemandirian masyarakat.

Akhir-akhir ini dan ke depan permasalahan pembangunan di Indonesia akan semakin kompleks dan beragam. Hal ini disebabkan karena seiring dengan tujuan pembangunan itu sendiri adalah bagaimana upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus ini merupakan Indonesia vision bila kita merefleksi terhadap capaian pembangunan masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang, maka terlihatlah perjalanan panjang sejak Indonesia merdeka. Upaya pembangunan secara nasional dengan berbagai program sektoral secara otomatis akan mewujudkan pemerataan hasil pembangunan di pelosok daerah. Jawaban inilah yang ditunggu dengan diberlakukannya sistem desentarlisasi dalam bentuk otonomi daerah dengan wujud pemekaran wilayah (Sirojuzilam, 2011).

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah memberikan kewenangan yang luas dan nyata kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Terkait dengan hal tersebut dalam menentukan ibukota sebagai pusat pemerintahan harus dilakukan suatu penilaian yang objektif yang didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Kriteria-kriteria yang perlu mendapat penilaian dalam menentukan calon


(24)

ibukota tersebut antara lain adalah aspek tata ruang, aksesibilitas, keadaan fisik, kependudukan dan ketersediaan fasilitas.

Menurut Bappenas (2005), pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumber daya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan, kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas. Semua faktor di atas adalah penting tetapi masih dianggap terpisah-pisah satu sama lain dan belum menyatu sebagai komponen yang membentuk basis untuk penyusunan konsep pembangunan wilayah (regional) secara komprehensif.

Pemekaran daerah secara intensif berkembang di Indonesia sebagai salah satu jalan untuk pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Banyak pihak ragu apakah tujuan pemekaran tersebut dapat tercapai atau tidak. Meski saat ini pemekaran tidak dapat dihindarkan lagi dalam situasi politik yang terjadi namun upaya membangun penilaian yang lebih obyektif akan bermanfaat dalam menentukan arah kebijakan pemekaran selanjutnya.

Tujuan pemekaran merupakan suatu upaya percepatan pembangunan yang berorientasi kepada pelayanan publik yang mudah, dekat, nyata bisa dirasakan masyarakat yang bertujuan mensejahterakan serta memakmurkan masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar tersebut berdasarkan kajian, potensi, dan uji kelayakan dalam pemekaran daerah, pemerintah pusat melalui suatu ketetapan Undang Undang Nomor


(25)

37 dan Nomor 38 Tahun 2007 memekarkan Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi 3 bagian yang terdiri Padang Lawas (Palas), Padang Lawas Utara (Paluta), dan Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) sendiri sebagai kabupaten induk yang beribukota di Sipirok. Akan tetapi 23 bulan sejak undang undang tersebut ditetapkan ibukota sekaligus Pusat Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan tetap berada di Padangsidimpuan, artinya di bandingkan Padang Lawas dan Padang Lawas Utara tentu sangat ketinggalan dan terbelakang. Apabila Paluta dan Palas sudah bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mulai membangun infrastruktur pemerintahan di wilayahnya sendiri, Tapanuli Selatan yang justru sebagai ibu dari kabupaten baru tersebut masih menumpang di rumah tangga Pemerintah Kotamadya Padangsidimpuan. Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat Tapanuli Selatan, potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan efek dari penempatan pusat pemerintahan di wilayah sendiri tidak bisa dirasakan masyarakat.

Kabupaten Tapanuli Selatan adalah kabupaten induk sebelum dimekarkannya Kabupaten Padang Lawas Utara dan Kabupaten Padang Lawas yang menjadi 3 (tiga) kabupaten yaitu (i) Kabupaten Tapanuli Selatan, (ii) Kabupaten Padang Lawas Utara dan (iii) Kabupaten Padang Lawas pada tahun 2007.

Berdasarkan penegasan yang ditemukan pada kedua kebijakan yang dituangkan dalam Undang Undang :

1. Pada Undang Undang Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padang Lawas Utara di Provinsi Sumatera Utara, pada bagian keempat tentang ibukota, tepatnya Pasal 7, disebutkan bahwa ibukota


(26)

Kabupaten Padang Lawas Utara berkedudukan di Gunung Tua. Sedangkan pada Pasal 21 disebutkan bahwa ”Dengan disahkannya Undang Undang ini, ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan yang merupakan Kabupaten induk berkedudukan di Sipirok”. Dijelaskan lagi bahwa paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang Undang ini diundangkan, secara definitif, pusat kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan telah berada di Sipirok.

2. Undang Undang Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padang Lawas di Provinsi Sumatera Utara, pada bagian keempat tentang ibukota, tepatnya Pasal 7, disebutkan bahwa ibukota Kabupaten Padang Lawas berkedudukan di Sibuhuan. Sedangkan pada Pasal 21 disebutkan bahwa ”Dengan disahkannya Undang Undang ini, ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan yang merupakan Kabupaten induk berkedudukan di Sipirok”. Dijelaskan lagi bahwa paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang Undang ini diundangkan, secara definitif, pusat kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan telah berada di Sipirok. Kedua Undang Undang (Nomor 37 dan Nomor 38 Tahun 2007) memberi redaksi yang tak berbeda sama sekali.

Perpindahan ibukota kabupaten bukan sekedar persoalan pusat pemerintahan, namun hal ini merupakan perubahan yang sangat mendasar, yakni perubahan paradigma lama ibukota kabupaten sebagai pusat seluruh aktivitas pemerintahan ke


(27)

paradigma baru bahwa ibukota kabupaten direncanakan sedemikian rupa untuk menjadi pusat pelayanan. Dari sisi nasional, hal ini sekaligus diharapkan mampu mengatasi ketimpangan pembangunan dengan merencanakan pembangunan yang lebih merata dan seimbang (Purba, 2006).

Menurut Soekarno (1999), dalam kajian tentang pemindahan ibukota kabupaten menyatakan bahwa tahapan proses pemindahan ibukota kabupaten secara administratif sebagai berikut: a) legalisasi keinginan masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang perlunya ibukota kabupaten pindah, b) Bupati meneruskan keinginan tersebut kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi untuk mendapat persetujuan, c) Gubernur menerusakan usulan calon Ibukota Kabupaten tersebut kapada Menteri Dalam Negeri diteruskan ke Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) untuk meneliti calon lokasi ibukota kabupaten terbaik, d) Hasil Penelitian DPOD oleh Menteri Dalam Negeri diteruskan kepada menteri-menteri terkait untuk mendapatkan dukungan, e) Setelah mendapat dukungan dari menteri-menteri terkait, Menteri Dalam Negeri menyampaikan usulan lokasi terbaikan di atas. Fungsi kota dicerminkan oleh kelengkapan dan kualitas fasilitas pelayanan perkotaan yang dimilikinya, disamping itu kota ditinjau dari segi aksesibilitasnya ke kota-kota lain atau wilayah belakangnya.

Pandangan pembangunan daerah pedesaan dan pembangunan daerah perkotaan menurut Adisasmita (2010), seringkali dipertentangkan antara pembangunan daerah pertanian (pedesaan) dengan pembangunan daerah perkotaan. Seyogianya jangan dipertentangkan, keduanya bersifat saling melengkapi


(28)

(komplementer). Daerah pedesaan memiliki potensi produksi komoditas pertanian (misalnya pangan dan lain-lainnya), yang sebagian dari padanya dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk di daerah perkotaan. Sebaliknya di daerah perkotaan terdapat berbagai industri dan hasil-hasilnya didistribusikan untuk penduduk daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Kebutuhan akan tenaga kerja sektor industri di daerah perkotaan pada suatu saat disuplai dari daerah pedesaan. Jelas bahwa antara keduanya saling membutuhkan dan saling mengisi.

Unsur penting struktur dasar kawasan, tiga unsur struktur dasar kawasan/ wilayah meliputi: (i) pusat, (ii) wilayah pelayanan/ pengaruh dan (iii) jaringan transportasi. Dalam kaitannya dengan pusat sebagai kekuatan penggerak pembangunan yang perlu diperhatikan adalah jumlahnya, besarnya, fungsinya, hirarki dan kaitannya. Untuk membangun suatu kawasan andalan diperlukan keberadaan suatu kota yang berfungsi sebagai pusat penggerak utama (primer mover) yang ditopang oleh pusat-pusat pendukung yang relatif kecil yang diharapkan mampu menunjang pertumbuhan sektor-sektor yang saling menunjang secara cepat ke seluruh daerah. Sebaliknya suatu kawasan yang memiliki sejumlah kota/ pusat kecil adalah relatif lemah, diupayakan agar pusat-pusat lokal yang independen membentuk sistem kota-kota yang saling bergantungan secara fungsional, baik dalam kawasan yang bersangkutan dan selanjutmya secara antar kawasan. Jaringan transportasi merupakan fasilitas penunjang interaksi dan arah orientasinya secara geografis dalam kawasan yang bersangkutan ataupun ke luar kawasan (regional dan nasional).


(29)

Menyiapkan Kecamatan Sipirok menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan proses yang sangat lama. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti mengidentifikasi potensi yang menjadi kekuatan mengapa Sipirok terpilih pusat pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan, apa yang menjadi hambatan dalam proses dilaksanakannya pemindahan pusat pemerintahan, faktor-faktor yang mendukung dan penghambat yang ada dalam Sipirok itu sendiri sebagai peluang dan tantangan Sipirok sebagai pusat pemerintahan yang menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan.

Berdasarkan latar belakang di atas, menarik untuk diteliti bagaimana analisis kesiapan Sipirok sebagai Pusat Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan. Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian berjudul : “Analisis Kesiapan Kecamatan Sipirok sebagai Pusat Pemerintahan di Kabupaten Tapanuli Selatan”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, penelitian perumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana keterjangkauan (affordability) menuju lokasi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan yang ditetapkan di Sipirok.

b. Bagaimana kecukupan (Recoverability) yang sudah ada di Kecamatan Sipirok ditetapkannya menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan.

c. Bagaimana kesesuaian (Replicability potensi Kecamatan Sipirok menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan.


(30)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

a. Mengidentifikasi keterjangkauan (affordability) ke lokasi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan yang ditetapkan di Sipirok.

b. Mengidentifikasi kecukupan (Recoverability) yang sudah ada di Kecamatan Sipirok ditetapkannya menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan

c. Mengidentifikasi kesesuaian (Replicability) potensi Kecamatan Sipirok menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.4. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Bagi instansi terkait, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan rujukan/ informasi dalam meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam upaya pengembangan wilayah.

b. Bagi masyarakat, sebagai bahan informasi dalam pemenfataan pelayanan pemerintah di Kabupaten Tapanuli Selatan.

c. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan pelayanan pemerintahan dan pengembangan wilayah.


(31)

Matriks dan Kerangka Analisis Penelitian

Tabel 1.1 Masalah, tujuan, metode analisis, data dan sumber data

No. Masalah Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Sumber

Data

Primer Sekunder

1 Bagaimana keterjangkauan (affordability) menuju lokasi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan yang ditetapkan di Sipirok.

Mengidentifikasi keterjangkauan (affordability) ke lokasi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan yang ditetapkan di Sipirok.

Deskriptif dan SWOT Persepsi (Pemda dan masyarakat) Peta adm, potensi kecamatan (Infrastruktur, sosial, kelembagaan, kependududkan dan ekonomi) Survey, BPS: potensi kecamatan dan publikasi Pemkab Tap-sel, responden 2 Bagaimana

kecukupan (Recoverability)

fasilitas yang sudah ada di Kecamatan Sipirok ditetapkannya menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan. Mengidentifikasi kecukupan (Recoverability)

fasilitas yang sudah ada di Kecamatan Sipirok ditetapkannya menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan. Deskriptif dan SWOT Persepsi (Pemda dan masyarakat) Peta adm, potensi kecamatan (Infrastruktur, sosial, kelembagaan, kependududkan dan ekonomi) Survey, BPS: potensi kecamatan dan publikasi Pemkab Tap-sel, responden

3 Bagaimana kesesuaian (Replicability) potensi Kecamatan Sipirok menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan. Mengidentifikasi kesesuaian (Replicability)

potensi Kecamatan Sipirok menjadi Ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan. Deskiptif dan SWOT Persepsi (Pemda dan masyarakat) Produk hukum pemerintah pusat dan daerah

Survey, BPS: potensi kecamatan dan publikasi Pemkab Tap-sel, responden


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pusat Pemerintahan

Ibukota kabupaten, yaitu kota tempat kedudukan pusat pemerintahan kabupaten, dalam perkembangannya dapat menjelma menjadi kota yang makin mempunyai ciri dan tingkat kemajuan yang memenuhi syarat untuk diklasifikasikan sebagai kota. Bila tahap perkembangan yang demikian itu terjadi, dijumpai suatu dilema karena kota dan kabupaten mempunyai tingkat yang sama tatanannya dari segi hirarki administrasi pemerintahan (Soenkarno, 1999).

Tatanan pemikiran sistem pemerintahan yang berlaku, menimbulkan kecenderungan yang mengarah kepada diambilnya keputusan untuk memindahkan lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten keluar dari kota kedudukannya semula. Seperti yang terjadi pada Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu memindahkan ibukota dari sebelumnya berada pada wilayah Kota Padangsidimpuan ke wilayah perencanaannya ke Kecamatan Sipirok, salah satu wilayah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.

Kawasan pemerintahan merupakan tempat untuk melaksanakan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu kegiatan politik dan administatif, serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal mengenai politik dan pemerintahan. Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk


(33)

meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya (Purba, 2005).

Banyak hal yang harus dipenuhi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dalam suatu daerah, salah satu diantaranya adalah melalui aspek desain, yaitu melalui perancangan kawasan pemerintahannya. Kawasan pemerintahan merupakan tempat untuk melaksanakan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu kegiatan politik dan administratif, serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal- hal mengenai politik dan pemerintahan (Purba, 2005).

Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya. Banyak hal yang harus dipenuhi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dalam suatu daerah, salah satu diantaranya adalah melalui aspek desain, yaitu melalui perancangan kawasan pemerintahannya (Purba, 2005).

Menurut Hamid (2008), ada beberapa faktor dan indikator untuk menentukan lokasi atau wilayah calon ibukota kabupaten yaitu meliputi:

a. Faktor lingkungan makro adalah dorongan lingkungan baik dari dalam maupun dari luar seperti dorongan ketersediaan ruang atau lahan untuk menjadikan ibukota kabupaten sebagai pusat pemerintahan, pusat pengendalian dan pertumbuhan pembangunan. Pusat jasa perdagangan dan jasa sosial lainnya tentu memerlukan ruang atau lahan yang luas karena tidak


(34)

saja lahan yang disediakan hanya untuk perkantoran tetapi juga untuk kepentingan kegiatan ekonomi sosial.

b. Faktor endowment daerah yaitu ketersediaan SDM yang memadai dan SDA yang potensial serta tingkat pengetahuan masyarakat yang cukup sebagai calon warga ibukota kabupaten, sedangkan yang dimaksudkan dengan SDA yang potensial adalah ketersediaan sumber air, tanah dan lain sebagainya. c. Faktor budaya yang meliputi sifat dan perilaku masyarakat, adat istiadat yang

memberikan dukungan terhadap penetapan ibukota kabupaten.

Disamping faktor-faktor tersebut ikut menentukan kelayakan lokasi ibukota kabupaten yaitu daya dukung alam seperti yang disebut diatas antaranya lahan dan sumber air, akses kemudahan pelayanan serta ketersediaan infrastruktur dasar seperti jalan raya yang ada sehingga dapat meringankan beban pembiayaan infrastruktur dan sekaligus telah berfungsi dengan dimulainya pembangunan sarana pemerintahan didalam wilayah ibukota kabupaten (Hamid, 2008).

2.2. Kota Sebagai Pusat Pelayanan

Pusat pelayanan yang terletak di dalam kawasan perkotaan menjadi tempat sentral aktifitas masyarakat, terbentuk sebagai kawasan yang paling dinamis dan menjadi denyut nadi perkembangan suatu wilayah. Berbagai fasilitas pelayanan yang lebih berfariasi membuat pusat pelayanan sebagai tempat yang menarik bagi masyarakat di luar kawasan pusat kota. Adanya pusat pelayanan yang mengalami


(35)

kegagalan dalam perkembangannya disebabkan oleh banyak posisi daerah

hinterland-nya yang justru terserap masuk ke dalam wilayah pusat yang lebih besar, berakibat daerah ini mengalami perkembangan yang stagnan atau bahkan mengalami kemunduran dalam pembangunannya, sehingga menyebabkan kesenjangan antara wilayah (Sukirno, 1976).

Berbagai fasilitas dan lapangan kerja yang lebih bervariasi membuat suatu kota sebagai tempat yang menarik bagi masyarakat di luar kawasan perkotaan. Tentunya hal tersebut menyebabkan pusat kota banyak diminati oleh masyarakat setempat maupun pendatang untuk beraktifitas di dalam kota, walaupun dia bertempat tinggal di luar kawasan perkotaan tersebut (Bappenas, 2001).

Christaller (1966) dalam Djojodipuro (1992), mendefisikan tempat pusat atau lebih dikenal dengan sentral place merupakan kota-kota yang menyajikan barang dan jasa bagi masyarakat di wilayah sekelilingnya dengan membentuk suatu hirarki berdasarkan jarak dan ambang batas penduduk. Pembagian hirarki pelayanan tersebut, mengakibatkan suatu kota (dengan hirarki pelayanan paling tinggi) secara alami memiliki potensi daya tarik yang besar dan berpengaruh besar bagi daerah- daerah yang kekuatannya lebih kecil, dimana kota tersebut mempunyai kemampuan menarik potensi, sumber daya dari daerah lain dan kota di bawahnya.

Kesenjangan wilayah apabila dibiarkan berlarut- larut maka akan memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan wilayah. Adapun konsekuensi yang ditimbulkannya, yaitu:


(36)

1) Makin besarnya migrasi penduduk desa, terutama yang memiliki ketrampilan (skill), masuk ke wilayah perkotaan karena peluang untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi.

2) Investasi cenderung mengalir ke wilayah yang sudah berkembang karena peluang untuk meraih keuntungan lebih besar karena faktor pasar yang lebih mendukung.

3) Pemerintah cenderung melakukan investasi pembangunan di wilayah yang sudah berkembang karena kebutuhannya yang lebih besar. Seiring berlangsungnya pembangunan ini, guna mengatasi terjadinya kesenjangan wilayah antara kota utama dengan kota menengah/ kecil.

2.2.1. Fungsi dan Pelayanan Kota

Secara umum karakteristik kota dapat ditinjau berdasarkan aspek fisik, sosial serta ekonomi. Berdasarkan bidang ilmu, kota atau perkotaan telah menjadi pokok bahasan di bidang geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, engineering, planologi, dan lain-lain (Tarigan, 2006).

Berkaitan dengan konteks ruang menurut Tarigan (2006), kota merupakan satu sistem yang tidak berdiri sendiri, karena secara internal kota merupakan satu kesatuan sistem kegiatan fungsional di dalamnya, sementara secara eksternal, kota dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kota ditinjau dari aspek fisik merupakan kawasan terbangun yang terletak saling berdekatan/ terkonsentrasi, yang meluas dari


(37)

pusatnya hingga ke wilayah pinggiran, atau wilayah geografis yang didominasi oleh struktur binaan.

Kota ditinjau dari aspek sosial merupakan konsentrasi penduduk yang membentuk suatu komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas melalui konsentrasi dan spesialisasi tenaga kerja. Kota ditinjau dari aspek ekonomi memiliki fungsi sebagai penghasil produksi barang dan jasa, untuk mendukung kehidupan penduduknya dan untuk keberlangsungan kota itu sendiri. Di Indonesia, kawasan perkotaan dibedakan berdasarkan status administrasinya, yakni :

1) Kawasan perkotaan berstatus administratif daerah kota;

2) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari daerah kabupaten; 3) Kawasan perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang

mengubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan; dan

4) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan (Tarigan, 2006).

Peranan dan fungsi kota dalam lingkup wilayah menurut Tarigan (2006), sistem kota-kota terbentuk karena adanya keterkaitan antara satu kota dengan kota yang lain, baik secara spasial maupun fungsional. Suatu kota mempunyai potensi untuk membentuk suatu sistem dengan kota-kota lain karena tersedianya infrastruktur, faktor lokasi, dan penduduk. Dalam sistem kota-kota, terdapat banyak kota yang saling berkaitan secara fungsional, yang antara lain digambarkan oleh orientasi pemasaran geografis. Keterkaitan antar kota dalam suatu sistem kota-kota terjadi karena terdapat kota sebagai pusat koleksi/ distribusi komoditas dan kota


(38)

sebagai kode yang ukurannya berbeda-beda tergantung jumlah penduduk, fungsi dan hirarkinya. Peran penting yang diemban oleh interaksi atau keterkaitan antar kota adalah : (1) mewujudkan integrasi spasial, karena manusia dan kegiatannya terpisah- pisah dalam ruang, sehingga interaksi ini penting untuk mengkaitkannya; (2) memungkinkan adanya differensiasi dan spesialisasi dalam sistem perkotaan; (3) sebagai wahana untuk pengorganisasian kegiatan dalam ruang; dan (4) memfasilitasi serta menyalurkan perubahan-perubahan dari satu simpul ke simpul lainnya dalam sistem.

Dalam lingkup wilayah yang lebih luas, setiap kota mempunyai fungsi baik fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk, sedangkan fungsi khusus kota adalah dominasi kegiatan fungsional di suatu kota yang dicirikan oleh kegiatan ekonomi kota tersebut yang mempunyai peran dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Di Indonesia, National Urban Development Strategy (NUDS, 1985) telah mengidentifikasi empat fungsi dasar kota/ perkotaan: Hinterland Services, Interregional communication, Goods processing (manufacturing), Residential subcenters.

2.2.2. Model Perkembangan Kota

Perkembangan kota di Indonesia mengalami perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan politik maupun perekonomian. Dalam era desentralisasi sekarang ini, dimana implementasi dari kebijakan tersebut serta perubahan


(39)

pendekatan dalam pembangunan akan menimbulkan implikasi pada pola urbanisasi. Urbanisasi terkait dengan perkembangan perkotaan.

Fungsi-fungsi tersebut mampu mendorong lebih jauh migrasi desa-kota. Kecenderungan ini akan semakin menguat dengan konsentrasi investasi di kota-kota besar seperti yang dilakukan di banyak negara berkembang karena pertimbangan keterbatasan sumberdaya serta infrastruktur pendukung. Semua ini akan mendorong urbainsasi (Nugroho, dkk, 2004).

Dalam praktik perencanaan tata ruang kota di Indonesia, sering kali terjadi benturan antara perencanaan tata ruang kota dengan berbagai kecenderungan yang menyertai perkembangan kota. Isu strategis dalam perencanaan tata ruang kota adalah bagaimana mengefektifkan rencana tata ruang agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kota sesuai dengan fungsi dan peranannya secara regional. Jika ditelusuri lebih jauh, permasalahan dalam praktik perencanaan kota di Indonesia, yang secara umum menyangkut tiga hal, yaitu: (1) permasalahan teknis penyusunan rencana tata ruang; (2) ketidakefektifan rencana tata ruang; dan (3) perbedaan pola pikir/ persepsi tentang rencana tata ruang.

2.3. Teori Pusat Pelayanan

Pusat distribusi barang dan jasa kepada penduduk yang tersebar dapat menjelaskan ukuran dan jumlah kota dan jarak mereka tinggal di suatu wilayah. Teori ini berdiri di batas antara geografi dan ekonomi spasial, dan mungkin diklaim oleh kedua disiplin. Teori ini didasarkan pada perbedaan antara pusat, yang merupakan


(40)

kursi dari persediaan barang, jasa dan perifer (daerah melengkapi pusat) dimana permintaan dari penduduk yang menggunakannya. Gagasan sentral membenarkan

clustering di tempat yang sama jasa produksi dan tingkat yang sama dari rentang yang sama ditujukan pada populasi yang tersebar di wilayah yang saling melengkapi (atau daerah pengaruh), pelanggan yang terpolarisasi oleh pusat (Hartshorn, 1980).

2.3.1. Jangkauan Pusat Pelayanan

Jangkauan pelayanan suatu pusat dikenal sebagai range of a good. Jangkauannya (range) digambarkan sebagai area pasar (luas jangkauan area yang dilayani) dari satu jenis barang dagangan. Atau dapat juga dianalogikan sebagai asal konsumen, yang diukur dari jarak tempat tinggal konsumen menuju ke pusat pelayanan.

Jangkauan pelayanan bagian dalam (inner range of the good) adalah perwujudan secara spasial dari konsep ambang batas, yang bukan merupakan konsep spasial. Ini merupakan bentuk wilayah belakang (hinterland) atau area pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi ambang batas. Hartshorn (1980), jangkauan pelayanan bagian luar ada juga yang ideal, yang kemudian dikenal sebagai ideal outer range of the good. Ini merupakan areal perluasan paling luar, yang tidak mendapatkan pelayanan dari pusat manapun. Penduduk di area ini tidak dapat dilayani karena biaya untuk menuju ke pusat pelayanan terlalu tinggi. Area ini mewujudkan adanya keterbatasan geografi dan ekonomi bagi suatu pusat pelayanan.


(41)

Guna memenuhi kebutuhan, penduduk menciptakan penggantinya, atau hidup dengan tidak bergantung pada barang yang tidak mampu mereka produksi sendiri.

Hasil penelitian Christaller (dalam Hartshorn, 1980) menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan penduduk membentuk hirarki pelayanan, dengan sebuah pusat utama yang didukung oleh beberapa pusat pelayanan dengan skala yang lebih rendah. Bila ideal outer range of the good kemudian, karena perkembangan teknologi, dapat dilayani oleh suatu pusat, maka area ini menjadi real outer range of the good.

Jangkauan pelayanan bagian luar yang nyata (real outer range of the good)

adalah perluasan area dari jangkauan pelayanan bagian dalam, yang bisa dilayani tidak hanya oleh satu pusat pelayanan. Bila pusat pelayanan tidak mendapatkan pesaing guna melayani ideal outer range of the good, maka pusat pelayanan tersebut mendapatkan ideal outer range sepenuhnya menjadi bagian dari real outer range of the good. Namun bila terdapat pesaing, maka ideal outer range dilayani secara bersama sehingga real outer range mengecil.

2.3.2. Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan

Beberapa teori lain dengan penerapan teori Economic Base, Multiplier Effect

yang berkaitan dengan teori input-output dan penerapan teori lokasi, (Location Theory), teori pusat (Sentral Place Theory) dan penerapan teori Kutub Pengembangan (Growth Pole Theory).


(42)

Paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan (3) keuntungan tertinggi.

b. Teori Pusat Pelayanan

Pola ideal yang diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller menyajikan bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk pola pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001).

c. Teori Kutub Pertumbuhan

Berbeda dengan Christaller yang berlatar belakang ahli geografi, teori kutub pertumbuhan diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini melahirkan konsep ekonomi seperti konsep industri penggerak (leading industri), konsep polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect). Tarigan (2006), teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber- sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/ kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial.


(43)

2.4. Pengembangan Wilayah

Sampai sekarang visi dan misi pengembangan wilayah nampaknya belum baku. Sebagai gambaran dapat disampaikan visi dan misi Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Visi tersebut adalah terwujudnya keselarasan pembangunan dan keserasian pertumbuhan wilayah regional, perkotaan, dan perdesaan yang diselenggarakan secara holistik, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan memberdayakan masyarakat. Termasuk didalamnya permukiman untuk semua orang, yang layak huni, terjangkau, berjati diri dan mendorong produktifitas warganya.

Jadi pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan stakeholders

di suatu wilayah dalam memanfaatkan sumberdaya alam dengan teknologi untuk memberi nilai tambah atas apa yang dimiliki oleh wilayah administratif atau wilayah fungsional dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat di wilayah tersebut. Dengan demikian dalam jangka panjangnya pengembangan wilayah mempunyai target untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Cara mencapainya bersandar pada kemampuan SDM dalam memanfaatkan lingkungan sekitar dan daya tampungnya serta kemampuan memanfaatkan instrument yang ada. Dengan target tersebut dirancang skenario-skenario tertentu agar kekurangan-kekurangan yang dihadapi dapat diupayakan melalui pemanfaatan resources. Apabila konsep tersebut diterapkan di Indonesia, muncul persoalan berupa kekurangan teknologi untuk mengolah resources yang melimpah.


(44)

Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada dasarnya hampir seluruh kewenangan urusan pemerintahan, termasuk penataan ruang diserahkan kepada daerah (kabupaten dan kota), kecuali urusan yang ditetapkan menjadi kewenangan pusat dan propinsi. Persoalan dalam penataan ruang umumnya muncul karena adanya ketidaksesuaian antara kepentingan dan kewenangan. Ada potensi persoalan bila kepentingan suatu pihak (jenjang pemerintah) ternyata berada di bawah kewenangan pihak (jenjang pemerintah) lain. Kewenangan utama penataan ruang berbanding terbalik dengan jenjang pemerintahan, karena makin tinggi jenjang pemerintahan, makin terbatas kewenangan utamanya. Dasar pertimbangan dan kriteria yang secara umum dapat menjadi dasar perumusan kepentingan Pusat dan Propinsi antara lain: pertumbuhan ekonomi, pemerataan pelayanan, efisiensi investasi publik, swasembada, keberlanjutan, keadilan, dan kesesuaian fungsi.

Dalam konteks wilayah, perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah atau perencanaan wilayah (propinsi, kabupaten), dan perencanaan wilayah perkotaan (perencanaan kota), ketiganya saling berkaitan. Perencanaan wilayah mempengaruhi perencanaan kota, perencanaan kota pun tidak dapat mengabaikan perkembangan wilayah di mana kota tersebut berada. Di dalam perencanaan kota, perencanaan wilayah (propinsi, kabupaten) berperan dalam menentukan fungsi kota tersebut dalam struktur tata ruang wilayah yang melingkupinya. Fungsi serta kedudukan kota tersebut di dalam wilayah menentukan


(45)

seberapa besar perkembangan kota akan terjadi, serta fasilitas–fasilitas apa yang harus disediakan oleh kota yang sifatnya melayani wilayah yang melingkupinya.

2.5. Analisis Deskriptif

Analisa deskriptif atau logica verbal analysis digunakan untuk menjelaskan, menguraikan, menggambarkan, menganalisa, menyintesa, menjabarkan, dan menghubungkan fenomena riil dengan hasil analisis yang dilakukan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih objektif terhadap keadaan yang realistis.

Dalam pendekatan ini manusia menjadi focus of analysis yang melihat manusia sebagai makhluk berbudaya (human oriented disipline) yang menekankan pada behaviour, perception, dan activities (Yunus 2005). Penempatan manusia sebagai focus of analysis salah satunya melalui pendekatan actor-oriented analysis.

Walaupun tidak selalu keputusan yang dikambil terkesan merugikan, namun sering kali yang menonjol adalah nuansa politis dari pada teknis. Informan untuk analisis ini merupakan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu para pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif) dan masyarakat (akademisi, dunia usaha, dan masyarakat umum).

2.6. Analisis SWOT

Analisis SWOT (Strength, Weakness, Oppurtunity, dan Treatment) adalah suatu metode analisis yang mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk


(46)

merumuskan suatu strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Oppurtunity, namun secara bersamaan dapat menimbulkan kelemahan (weakness) dan ancaman (Treatment).

Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, misi, tujuan, strategi, dan kebijakan (Rangkuti,1997).

2.7. Penelitian Sebelumnya

Beberapa Penelitian serupa yang telah dilakukan berkaitan dengan pemindahan ibukota atau pusat pemerintahan serta kaitannya dengan pengembangan wilayah antara lain :

Bonar (2010) yang menganalisis dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap pengembangan wilayah Kecamatan Raya dengan metode deskriptif dalam menganalisis tingkat lapangan kerja dan analisis uji beda rata-rata (t-test) untuk menganalisis tingkat pendapatan masyarakat sebalum dan sesudah relokasi pusat pemerintahan di Kabupaten Simalungun. Setelah relokasi di tinjau dari aspek keterjangkauan pelayanan, kecukupaan pelayanan, dan kesesuaian pelayanan belum sepenuhnya terpenuhi, dan pendapatan rata-rata nominal berbeda tetapi tidak signifikan. Lapangan kerja yang yang bekerja di sektor pertanian menurun dan masyarakat yang bekerja di sektor perdagangan dan jasa mengalami peningkatan.

Susatyo (2009), yang menganalisis dampak pemindahan ibukota Kabupaten Pekalongan dari Kota Pekalongan ke Kajen terhadap pertumbuhan ekonomi


(47)

Kabupaten Pekalongan menggunakan metode deskriptif meliputi data PDRB Kabupaten Pekalongan serta pendapatan perkapita dan jumlah penduduk per kecamatan menyimpulkan bahwa pemindahan ibukota memberikan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pendapatan pada masing-masing kecamatan, meskipun juga menimbulkan dampak negatif yang juga perlu diperhatikan.

Penelitian Haris (2005), tentang evaluasi kriteria lingkungan dalam pemilihan ibukota baru: studi kasus pemindahan ibukota Kabupaten Bima menggunakan metode skala Guttman dan Likert, dimana penilaian dari segi kependudukan, segi kelengkapan fasilitas dan tingkat aksesibilitas antar wilayah perencanaan, menyimpulkan: (a) berdasarkan kriteria umum pemilihan lokasi ibukota Kabupaten Bima Kecamatan Woha memiliki nilai tertinggi. Dengan demikian kecamatan Woha dipilih sebagai lokasi ibukota baru Kabupaten Bima, (b) berdasarkan kriteria lingkungan alami dan lingkungan sosial Kecamatan Bolo memiliki nilai tertinggi sedangkan berdasarkan lingkungan binaan Kecamatan Woha memiliki nilai tertinggi, (c) kriteria umum yang digunakan dalam pemilihan ibukota baru tidak mencerminkan dan mempertimbangkan kriteria lingkungan secara komprehensif, (d) ibukota terpilih yang dikaji berdasarkan kriteria umum tidak memenuhi syarat lingkungan khususnya aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Penelitian Soenkarno (1999), yang mengkaji tentang proses pemindahan ibukota Kabupaten (Studi Kasus Kabupaten Bekasi-Cikarang). Setelah dilakukan kajian dapat diamati paling sedikit ada 6 (enam) tahapan yang dapat dijadikan


(48)

rujukan pada proses pemindahan ibukota Kabupaten meliputi: a) dasar pertimbangan dilakukannya pemindahan, b) persyaratan normatif, c) peraturan dan perundangundangan yang terkait, d) ketersediaan lahan, e) implikasi keputusan pemindahan ibukota Kabupaten, dan f) aspek pengaruh kekuatan "eksternal".

Penelitian Bahsan (2005), tentang sikap masyarakat Kecamatan Natar terhadap rencana pemindahan ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar Lampung Selatan menggunakan metode penelitian deskriptif, menyimpulkan bahwa dari aspek kognitif ternyata 53% responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap rencana pemindahan ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar Lampung Selatan. Dari aspek afektif 35% responden memilih pro dalam menanggapi rencana pemindahan ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar Lampung Selatan. Sedangkan dari aspek konatif diketahui 29% responden bertingkah laku positif dalam menindaki rencana pemindahan ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar Lampung Selatan.

Studi Hardjasaputra (2003), tentang pemindahan ibukota Kabupaten Tasikmalaya dalam perspektif historis, menyimpulkan bahwa pemilihan tempat untuk ibukota baru Kabupaten Tasikmalaya perlu didasarkan atas hasil kajian dua aspek. Pertama, hasil kajian aspek fisik, yang telah dilakukan oleh LAPI-ITB. Kedua, hasil kajian sejarah mencakup aspek sosial budaya, atau kajian sosial budaya dengan pendekatan sejarah. Kajian kesejarahan dan sosial budaya akan memperkuat/ menunjang hasil kajian aspek fisik. Perpaduan hasil kajian kedua aspek itu akan merupakan dasar yang kuat bagi Pemerintah Daerah dalam menentukan pilihan


(49)

tempat, dan dasar yang kuat pula bagi DPRD dalam membuat keputusan mengenai penetapan tempat bakal ibukota baru Kabupaten Tasikmalaya. Hal itu berarti, pemilihan dan penetapan tempat untuk ibukota baru itu dilakukan secara objektif dan proporsional.

2.8. Kerangka Pemikiran

Pemindahan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan didasarkan pada dikeluarkannya Undang Undang 37 dan 28 Tahun 2007 yang dijelaskan pada pasal 21 ditetapkan pemindahan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan ke Sipirok dan 18 (delapan belas) bulan setelah Undang Undang ini diundangkan. Pada hakikatnya masih berada di Kota Padangsidimpuan sudah 4 (empat) tahun lebih Undang Undang tersebut diundangkan.

Kelayakan Pusat Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan dari Kota Padangsidimpuan ke wilayah Kecamatan Sipirok untuk menjadikan tempat baru sebagai pusat pelayanan pemerintahan sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat. Sebagai ibukota kabupaten yang baru diharapkan memenuhi tiga prinsip berdasarkan sentral place theory (Haggett, 2001) yaitu: keterjangkauan (affordability), kecukupan (recoverability) dan kesesuaian (replicability) dijadikannya ibukota kabupaten. Menurut analisis faktor dan indikator dalam rangka pembentukan daerah otonom baru dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan,


(50)

penghapusan dan penggabungan daerah yang dipakai dalam menenentukan ibukota kabupaten diseluruh kabupaten di Indonesia.

Adanya rencana pemindahan pusat pemerintahan sesuai dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan dan faktor eksternal dan faktor internal dalam potensi ketersediaan wilayah tempat pemindahan daerah ibukota baru. Setelah dilakukan kajian dapat diamati paling sedikit ada 6 (enam) tahapan yang dapat dijadikan rujukan pada proses pemindahan ibukota Kabupaten meliputi: a) dasar pertimbangan dilakukannya pemindahan, b) persyaratan normatif, c) peraturan dan perundangundangan yang terkait, d) ketersediaan lahan, e) implikasi keputusan pemindahan ibukota kabupaten, dan f) aspek pengaruh kekuatan "eksternal" (Soenkarno 1999).

Kerangka pikir dalam penelitian ini didasarkan pada penetapan Sipirok sebagai pusat pertumbuhan dan pelayanan pemerintahan terhadap perkembangan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan yang berada di Sipirok. Hal ini dapat dilihat pada penduduk wilayah yang semakin meningkat setiap tahun dan kebutuhan yang semakin kompleks dan beragam. Kebutuhan didasarkan untuk mencapai kesejahteraan dari daerah kota sampai ke daerah pelosok.

Kecamatan Sipirok juga menyimpan banyak potensi, antara lain di bidang perikanan, perkebunan, indusri kecil dan kerajinan tangan, agroindustri dan pariwisata. Potensi tersebut dapat dikembangkan guna menarik investor dan dapat dijadikan keunggulan komparatif bagi Kecamatan Sipirok sehingga diharapkan dapat


(51)

memenuhi peran ibukota Kecamatan Sipirok sebagai pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Untuk mengetahui kondisi wilayah baik dari faktor pendukung dan faktor yang tidak mendukung dilakukan identifikasi diantaranya identifikasi wilayah pengaruh, identifikasi dengan interaksi wilayah ibukota kecamatan dengan wilayah belakangnya dan identifikasi ketersediaan pusat pelayanan. Hasil pengolahan data yang diperoleh dari identifikasi kemudian dianalisis dengan metode deskriptif dan analisis SWOT. Dari analisis tersebut akan diketahui peran Sipirok sebagai pusat pertumbuhan dan pelayanan pemerintahan wilayah di Kabupaten Tapanuli Selatan dan kebutuhan yang dibutuhkan dalam rencana stategi pengembangan wilayah Sipirok selanjutnya. Setelah tahapan analisis, akan diberikan temuan penelitian, kesimpulan penelitian dan rekomendasi yang diharapkan menjadi masukan bagi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan.


(52)

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Lahirnya UU 37 dan 38 Tahun 2007 ditetapkannya Pemindahan Ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan ke Sipirok yang sampai

sekarang masih berada di Kota Padangsidimpuan

Keterjangkauan (Affordability)

Rentang kendali - Jarak - Kelancaran

Faktor Eksternal Faktor Internal

Strategi Pengembangan Wilayah Analisis Kesiapan

(PP 78 Tahun 2007)

Kecukupan (Recoverability)

Kependudukan

Sosial budaya

Sosial Politik

Luas daerah

Pertahanan

keamanan

Fasilitas – fasilitas publik

Kesesuaian (Replicability)

Kemampuan ekonomi

Potensi daerah

Kemampuan keuangan

Tingkat kesejahteraan masyarakat


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian berlokasi di Kabupeten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara, dengan pertimbangan bahwa kabupaten ini merupakan kabupaten induk dari tiga kabupaten yang lahir setelah pemekaran Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara dikeluarkannya Undang Undang Nomor 37 dan 38 Tahun 2007 dan belum memiliki pusat pemerintahan dan pelayanan yang representatif, serta merupakan tempat penulis bertugas sebagai Pegawai Negeri Sipil.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Menurut Arikunto (2006:129) “sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh”.

Sumber data juga dibedakan kedalam 2 kelompok yaitu : 1) Data Primer

Data yang diperoleh dari sumber pertama melalui penelitian langsung di lapangan, dalam hal ini peneliti memperoleh data dengan cara wawancara .


(54)

2) Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung melalui penelitian terhadap dokumen atau arsip-arsip yang relevan, peraturan perundang-undangan yang relevan dengan objek penelitian.

3.3.Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar dalam memperoleh data yang diperlukan dan memiliki hubungan antara metode pengumpulan data dengan penelitaian yang ingin dilaksanakan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Wawancara

Pengertian wawancara menurut Sugiyono (2006:157) “adalah teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/ kecil”.

Jadi wawancara adalah cara pengumpulan data dengan mewawancarai sumber informasi yang mempunyai otoritas pengetahuan dan dapat memberikan bahan informasi yang valid tentang seluk beluk kejadian yang dipertanyakan oleh pewawancara. Dalam pengertian lain, wawancara diartikan sebagai proses mengadakan pertanyaan tanya jawab dengan pihak-pihak yang berkepentingan


(55)

melalui pedoman wawancara yang sifatnya terbatas pada lingkungan dan ruang lingkup masalah yang diselidiki, di mana semua pertanyaan telah dirumuskan secara cermat, sehingga dalam pengolahan data yang diperoleh akan lebih mudah dan lebih cepat mengingat adanya keterbatasan waktu.

2) Dokumentasi

Menurut Arikunto (2006:231) ”Dokumentasi adalah penelitian menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan dan sebagainya”. Dalam hal ini peneliti mengumpulkan data melalui sejumlah dokumen, arsip-arsip, bahan-bahan tertulis lainnya yang diperoleh melalui kantor dinas terkait.

Dengan demikian penulis melakukan pengumpulan data dengan mencatat dan melihat dari berbagai sumber–sumber tertulis yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

3.4. Populasi dan Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah mewaliki populasi yang ada. Jumlah penduduk Kecamatan Sipirok 30.722 jiwa dengan 15.138 laki-laki dan 15.584 perempuan. Kecamatan Sipirok memiliki 7.111 kepala keluarga dari 40 (empat puluh) desa/ kelurahan. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah pihak yang terkait dalam analisis pengembangan Sipirok sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan yang melibatkan beberapa instansi terkait (Sekretariat Daerah; Asisten I, II dan III; Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; Badan Pemberdayaan Masyarakat


(56)

dan Pemerintahan Desa; Dinas Pekerjaan Umum; dan Dinas Tata Ruang dan permukiman).

Jumlah penduduk yang ada dijadikan sampel terdapat beberapa pedoman. Yang dalam menentukan sampel peneliti menetapkan 35 sampel dalam membantu menjawab rumusan masalah, yaitu 10 responden dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kecamatan Sipirok ; 25 responden dari kalangan masyarakat Kecamatan Sipirok dengan rincian 5 responden dari tokoh adat yang dipilih secara klaster sampling (cluster sampling) dipilih berdasarkan klasifikasi letak geografi desa/ kelurahan dari yang terdekat dengan area wilayah pemindahan ibukota pusat pemerintahan sampai dengan yang terjauh; dan 20 responden masyarakat yang berada di Kecamatan Sipirok itu sendiri yang didasarkan pada letak geografisnya.

Tabel 3.1. Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian

No. Instansi Jumlah

(1) (2) (3)

1 Sekretariat Daerah Tap-sel 1

2 Asisten I 1

3 Asisten II 1

4 Asisten III 1

5 Bappeda 1

6 Kepala BPMD 1

7 Kepala Dinas Tarukim 1

8 Kepala Dinas PU 1

9 Camat Sipirok 1

10 Sekcam. Sipirok 1

11 Tokoh adat dan masyarakat desa/ kelurahan di

wilayah Kecamatan Sipirok 25


(57)

3.5. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif yang menggambarkan Tapanuli Selatan di Kecamatan Sipirok peneliti memakai analisis SWOT untuk mengetahui peluang, tantangan, ancaman dan hambatan dalam proses pemindahan ibukota Tapanuli Selatan ke Sipirok.

3.5.1. Analisis Deskriptif

Analisa deskriptif atau logica verbal analysis digunakan untuk menjelaskan, menguraikan, menggambarkan, menganalisa, menyintesa, menjabarkan, dan menghubungkan fenomena riil dengan hasil analisis yang dilakukan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih objektif terhadap keadaan yang realistis. Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan, maka metoda penelitian yang dipakai untuk membahas dan memaparkan adalah dengan menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif merupakan cara untuk mengungkapkan suatu masalah atau keadaan sebagaimana adanya dan sebagaimana mengungkapkan fakta–fakta yang ada, walau kadang–kadang diberi interprestasi atau analisis (Tika, 1997).

Pendekatan actor-oriented analysis adalah suatu pendekatan yang lebih dinamis untuk memahami perubahan sosial dengan penekanan pada hubungan saling mempengaruhi dan saling menguntungkan antara faktor internal dan eksternal, yang berintikan pada kesadaran dan tindakan manusia. Penerapan dari pendekatan ini dikenal luas dalam sosiologi dan antropologi sekitar akhir 1960-an dan awal 1970–an. Pendekatan ini berkisar pada analisis fenomena dan interaksi simbolik terhadap


(58)

bentuk–bentuk pengambilan keputusan dan kebijakan. Keuntungan dari pendekatan ini pada kemampuannya dalam menjelaskan berbagai respon yang berbeda–beda terhadap keadaan struktural dari masalah yang sama. Dengan demikian anggapan yang timbul dari pola ini adalah ada tidaknya kerjasama antara aktor–aktor itu sendiri.

Pendekatan actor-oriented merujuk pada kecenderungan dimana setiap orang memiliki pandangan tertentu yang relatif subjektif terhadap suatu permasalahan yang ditemuinya, sehingga jika saja dia memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan terhadap permasalahan tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa kebijakan yang diambil cenderung berorientasi atau bertitik tolak kepada cara pandangnya itu. Peluang inilah yang dapat menghitam-putihkan sebuah keputusan yang kadang-kadang sangat bertolak belakang denganpandangan umum yang rasional yang dipahami oleh sebagian besar orang.

3.5.2. Analisis SWOT

Analisis SWOT merupakan salah satu metode untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi suatu masalah, proyek atau konsep pusat pelayanan yang berdasarkan faktor internal (dalam) dan faktor eksternal (luar) yaitu Strengths, Weakness, Opportunities dan Threats. Metode ini paling sering digunakan dalam metode evaluasi bisnis untuk mencari strategi yang akan dilakukan. Analisis SWOT hanya menggambarkan situasi yang terjadi bukan sebagai pemecah masalah.


(59)

Setelah itu dibuat pemetaan analisis SWOT maka dibuatlah tabel matriks dan ditentukan sebagai tabel informasi SWOT. Kemudian dilakukan pembandingan antara faktor internal yang meliputi strength dan weakness dengan faktor luar

opportunity dan threat. Setelah itu kita bisa melakukan strategi alternatif untuk dilaksanakan. Strategi yang dipilih merupakan strategi yang paling menguntungkan dengan resiko dan ancaman yang paling kecil.

Selain pemilihan alternatif analisis SWOT juga bisa digunakan untuk melakukan perbaikan dan improvisasi dengan mengetahui kelebihan (strength dan opportunity) dan kelemahan kita (weakness dan threat), maka kita melakukan strategi untuk melakukan perbaikan diri. Mungkin salah satu strateginya dengan meningkatkan strength dan opportunity atau melakukan strategi yang lain yaitu mengurangi weakness dan threat.

Analisis SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu:

1. Strengths (kekuatan)

merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep pusat pelayanan itu sendiri.

2. Weakness (kelemahan)

merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep pusat pelayanan itu sendiri.


(60)

3. Opportunities (peluang)

merupakan kondisi peluang berkembang di masa datang yang terjadi. Kondisi yang terjadi merupakan peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep pusat pelayanan itu sendiri. Misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar.

4. Threats (ancaman)

merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep pusat pelayanan itu sendiri.

3.5.3 Analisis Faktor dan Indikator tentang Kriteria Penilaian Penentuan Ibukota Kabupaten yang Berlaku di Seluruh Kabupaten di Indonesia Peneliti dalam mengukur indikator pemindahan pembentukan pusat pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan ke Sipirok diukur melalui faktor dan indikator yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 mengatur tentang tata cara pembentukan, pengahapusan, dan penggabungan daerah dalam isinya sekaligus juga mengatur kriteria penilaian penentuan ibukota kabupaten yang berlaku di seluruh kabupaten di Indonesia.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 adalah pengganti dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti.


(61)

Dalam Pembetukan dan pemindahan wilayah ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai Pusat Pemerintahan, terdapat beberapa faktor yang memiliki karakteristik yang diatur sebagai landasan hukum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000. Dalam penilaian indikator penyusunan rencana umum tata ruang (RUTR) Kota Sipirok Tahun 2006-2016, setelah diperbaharui dan diganti dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 peneliti mengukur dan menghitung indikator pembandingan Kecamatan Sipirok dengan 2 (dau) Kecamatan kecamatan lainnya yang dianggap sebagai calon ibukota Tapanuli Selatan, yaitu Kecamatan Batang Angkola dan Kecamatan Batang Toru. Penilaian teknis dalam penelitian ini dimaksud dilengkapi dengan penilaian secara kualitatif.

Pembandingan kota adalah kota–kota sejenis (tidak termasuk kota yang menjadi ibukota propinsi) di prorinsi yang bersangkutan dan atau propinsi disekitarnya minimal 3 (tiga) kota. Setiap indikator mempunyai skor dengan skala 1– 5, dimana skor 5 masuk dalam kategori sangat mampu, skor 4 kategori mampu, skor 3 kategori kurang mampu, skor 2 kategori tidan mampu dan skor 1 sangat tidak mampu.

Besaran/ nilai rata – rata pembanding dan besaran jumlah kuota sebagai dasar untuk pemberian skor. Pemberian skor 5 apabila besaran/ nilai indikator lebih besar atau lebih sama dengan 80 % besaran/ nilai rata–rata, pemberian skor 4 apabila besaran/ nilai indikator lebih besar atau sama dengan 60 % besaran/ nilai rata–rata,


(1)

yang direncanakan untuk dijadikan Pusat Pemerintahan Kabupaten dan juga masyarakatnya masih bisa diarahkan/ dibina karena penduduknya tersebar/ tidak menumpuk di suatu tempat

3. Sipirok meliliki nilai historis yang dapat dipertahankan dan dilestarikan untuk menarik dan memikat investor dari daerah sekitar maupun dari luar

4. Berpeluang untuk dijadikan tempat wisata karena wiliyah

topografinya berbukit sampai bergunung, pemandian air panas yang dari gunung Sibual Buali

5. Adanya industri tenun, pengolahan kopi dan kerajinan tangan di Sipirok dan keadaan adat istiadatnya masih kuat di Sipirok

Ancaman (T)

1. Diperlukan perencanaan yang matang dalam tata ruang perkantoran, mengingat topografi tidak datar

2. Diperlukan langkah konsulidasi pembebasan lahan yang bijaksana guna kepentingan positif bersama antara masyarakat dan pemerintah daerah

3. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang perencanaan untuk

membangun Sipirok pada Khususnya dan Tapanuli Selatan pada umumnya

4. Koordinasi pemerintah dengan masyarakat belum efektif

5. Mudahnya masuk kebudayaan luar dan membaur dengan kebudayaan adat yang ada di Sipirok akan terkikis dan hilang karena berada di jalan lintas propinsi apabila tidak dilestarikan dan perhatian dari masyarakat dan pemerintah daerah

TABEL PEMBOBOTAN HASIL KUESIONER SWOT

Responden Kekuatan Bobot Kelemahan Bobot Peluang Bobot Ancaman Bobot

Sekda. Tap-sel 1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

Asisten I

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4


(2)

Asisten II

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

Asisten III

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

Kepala BAPPEDA

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

Kepala BPMD

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

Kepala Dinas

TARUKIM

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

Kepala Dinas PU

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

Camat Sipirok

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4


(3)

4 4 4 4

5 5 5 5

1.

Tokoh adat

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

2.

masyarakat

desa/

kelurahan di

wilayah

Kecamatan

Sipirok

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

3.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

4.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

5.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

6.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

7.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4


(4)

8.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

9.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

10.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

11.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

12.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

13.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

14.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3


(5)

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

16.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

17.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

18.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

19.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

20.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

21.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

22.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4


(6)

23.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

24.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4

5 5 5 5

25.

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4